Tidak ada yang tahu. Meskipun pria itu memang sudah putus dari Dinah, tapi ia tak langsung menjalin hubungan dengan Nara. Entah apa alasan Tristan melakukan hal itu. Namun tentu saja membuat Nara kebingungan setengah mati.
Kendati demikian, Tristan malah bingung untuk memberitahukan perihal ini pada keluarganya. Bukan karena ia takut. Namun, karena hatinya sendiri masih bimbang. Ia ingin benar-benar memastikan, bahwa hatinya akan memilih siapa nanti. Boleh saja Dinah menganggap hubungan mereka selesai, tapi bagi Tristan hal seperti itu tidak berlaku. Hubungan yang terjalin di antara mereka, disetujui ole
Suara derap langkah kaki berkejaran dari arah gerbang bangunan kosong tersebut, dua orang pria tinggi tegap memasuki kawasan gedung dengan tampang cemas pada wajah masing-masing. Napas memburu diatur untuk kesekian kalinya, tapi tetap saja di setiap tarikannya terasa begitu berat. Ini bukan perihal oksigen yang tak tersalurkan ke paru-paru. Namun, ini tentang seberapa khawatirnya mereka saat ini.Tristan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru bangunan. Tak ada penerangan yang memadai dari dalam gedung. Cahaya hanya berasal dari lampu-lampu kecil di beberapa tiang saja. Jangankan malam hari, bahkan saat siang bolong pun, sepertinya gedung ini masih akan tetap terlihat menyeramkan dan angker. Lantas, bagaimana bisa ponsel Nara terlacak di sini? Dari yang Tristan ketahui, Nara tak begitu suka dengan tempat yang pencahayaannya minim. Kecuali, gadis itu hanya berpura-pura di depannya. Entah apa alasannya.Masalah utamanya, Nara tak bisa dih
Tangan mungil itu sedikit terburu ketika menalikan sepatunya. Gadis itu bangun kesiangan karena memikirkan peristiwa semalam. Astaga, sebegitu kepikirannya Dinah hingga tak sadar malah begadang. Lagipula, gadis mana yang akan bersikap biasa saja setelah mencium pipi seorang pria dewasa? Mungkin insiden semalam bisa disebut sebagai sebuah ketidak sengajaan, tapi tetap saja. Just Dinah being Dinah. Dirinya akan selalu menjadi gadis pemikir ekstra. Kalau kata Nancy, Dinah salah satu jenis manusia yang sulit untuk bahagia. Karena mau menghabiskan separuh waktu dalam hidupnya, hanya untuk memikirkan perkataan, atau reaksi orang-orang terhadapnya. Karena Dinah dengan langkah tergesa menuruni anak tangga, gadis itu malah terkena teguran dari ayahnya yang sedang bersiap sarapan. Danar khawatir jika putrinya terluka. Seandainya laki-laki paruh baya itu tahu, apa yang kemarin Dinah rasakan. Bagaimana kiranya reaksi
Pagi ini kediaman keluarga besar pensiunan TNI itu nampak lebih ramai dari biasanya. Dinah menatap berkeliling ke setiap sudut, orang-orang begitu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Acara pernikahan kakak satu-satunya itu hanya tinggal menghitung waktu. Besok adalah upacara pernikahan secara kemiliteran. Tristan juga ikut berpartisipasi sebagai pemimpin sangkur pora yang akan dilaksanakan esok pagi. Sedangkan Dinah? Entahlah, gadis itu tengah gundah seorang diri. Sebenarnya Dinah bahagia, tapi juga sedikit. Hanya sedikit sedih.Upacara sangkur pora, adalah semacam penyambutan untuk seorang calon istri prajurit. Ini bertujuan untuk mengenalkan si istri prajurit, secara keseluruhan kepada khalayak sekaligus rekan sesama prajurit. Sangkur pora untuk TNI Angkatan Darat, sama dengan pedang pora (upacara pernikahan untuk TNI Angkatan Laut). Menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka yang akan menjadi istri seorang prajurit TNI, ketika upacara ini berlangsung
Malam ini Dinah hanya duduk seorang diri sambil membaca novel di kamarnya. Sebenarnya gadis bermanik cokelat itu bosan. Karena biasanya di waktu seperti ini, Jafran yang akan mengajaknya pergi entah ke manapun. Mungkin sekadar berjalan-jalan malam mengitari taman komplek, atau juga melakukan hal lain bersama. Misalnya, menonton, membaca buku, bahkan memasak bersama. Ah, Dinah rindu masa seperti itu. Masa di mana mereka tak perlu khawatir jika harus berjauhan satu sama lain. Namun sekarang, sepertinya Dinah harus belajar berkawan rindu. Padahal Jafran menikah pun, belum dua bulan.Ingin sekali Dinah mengajak Arsyana dan Nancy keluar. Namun, sepertinya keinginan itu perlu Dinah tekan kuat. Kedua gadis itu juga tengah sibuk dengan pasangan mereka masing-masing. Mana boleh Dinah egois. Bagaimanapun, baik Arsyana atau Nancy. Mereka tentu butuh waktu bersama pasangan."Argh ...," jeritan frustrasi akhirnya meluncur dari bibir mungil gadis berman
"Duh, perut gue kok sakitnya nambah parah, ya?" keluh gadis itu sendiri.Dinah meremas perutnya yang terasa amat nyeri. Entah apa yang ia makan, hingga kini keadaan Dinah malah terlihat seperti minta dikasihani saja. Bibirnya memucat, tatapannya sayu, juga tubuh yang terasa begitu lemas. Gadis itu masih bergelung di dalam selimut, sesekali mengumpat pelan karena rasa sakitnya kian menjadi.Kesialan bagi Dinah, kedua orang tuanya sedang tak ada di rumah. Sudah hampir tiga hari mereka mengunjungi sang abang tercinta. Tepat setelah ia dan Tristan kembali dari curug sewaktu itu. Kabarnya Alya sedang menjalani trimester pertama kehamilannya. Dinah senang mengetahui kabar itu. Namun, cukup prihatin juga dengan keadaan Jafran. Pria dengan senyum menawan itu sampai kelimpungan sendiri melayani keinginan aneh dari istrinya. Yah. Dari fakta yang Dinah dengar melalui Danar, mengidam memang membuat para suami susah.Melupakan persoala
"Akhirnya ... selesai juga. Walaupun baru dikit yang, sih," ujar gadis itu lega.Dinah mengembuskan napasnya perlahan. Ia baru saja selesai mengerjakan tugas dari dosennya. Entah mengapa, saat masa menstruasi seperti ini, Dinah cenderung rajin mengerjakan tugasnya. Gadis itu paling tak suka menumpuk tugas. Catat, hanya saat dia mengalami masa menstruasi.Di tengah kesibukannya, tiba-tiba saja pintu ruang kelas mereka dipukul keras oleh seseorang dari luar. Semua mata secara serentak menoleh ke arah sumber suara, tak terkecuali dengan Dinah sendiri. Sementara orang yang berada di ambang pintu, Nancy. Malah terkekeh canggung karena berhasil membuat dirinya menjadi pusat perhatian.Namun, pada dasarnya Nancy malas peduli. Mau ditatap sedemikian tajam pun, Nancy tak akan pernah ambil pusing tentang cara orang lain berpikir tentangnya. Mungkin itu juga yang menjadi alasan utama, mengapa Nancy selalu terlihat bahagia dengan kead
Secangkir teh hangat yang beranjak mendingin di atas meja kecil di balkon kamarnya, menjadi teman terbaik Dinah di sore ini. Berhubung ia hanya sendirian, jadi Dinah tak perlu bersusah payah untuk bercerita pada siapa pun terkait kecewanya. Pun ingatan tentang seluruh perkataan Tristan kemarin malan, kini malah berputar bagai kaset rusak di dalam otaknya. Dinah tak ingin mengakui ini, tapi nyatanya dia memang selemah itu.Awan mendung nan kelabu memayungi langit kota di sore hari. Terlihat begitu sendu, seolah menyamai diri dengan suasana hati Dinah. Rumah, adalah tempat terakhir yang bisa Dinah pakai untuk menenangkan diri, entahlah. Ia merasa cukup santai saat tak ada seorang pun di sini. Hanya ia dan bayangannya. Sepulang dari kampusnya, Dinah sama sekali tak berniat kembali ke rumah keluarga Adiyakhsa. Persetan dengan bagaimana reaksi mereka semua. Dinah benar-benar tak mau peduli.Tangan mungil Dinah memilin liontin kalung berinisial
Rasa itu istimewa, ia tumbuh ketika kita sering bertemu. Menghabiskan banyak waktu, dengan kamu yang begitu menguras haru. Sejauh ini, belum ada kata tepat untuk mendeskripsikan kamu. Jika kamu mengibaratkan aku sebagai 'cinta', lalu harus kusebut apa dirimu? Sempurna, kah?Kemarin kita saling meluka, tapi sekarang semuanya baik-baik saja. Katanya, itu karena kamu tak suka aku marah. Tak suka bila aku harus menjauh dan mengalah. Iya, ego itu seperti duri. Jadi, jangan lagi ditanam dalam hatiTerkadang, kita tak bisa membunuh ego itu. Meski berulang kali dipaksa mati, tapi ia tumbuh bagai membuat janji dengan diri. Terakhir yang menjadi harapanku kali ini, kita berhenti membuat luka antara satu sama lain.Dinah meletakkan penanya. Ia baru saja membuat prosais. Entah