Seorang wanita berambut merah ikal panjang, memakai baju berwarna putih semata kaki dengan ciri khasnya dari abad 19. Dia duduk di teras sambil memandang kedua anak kembarnya. Mereka bermain di halaman rumahnya yang di penuhi bunga dengan rumput hijau yang lumayan lebat. Rumah indah milik mereka di tengah hutan yang dikelilingi pagar kayu dengan tanaman rambat dan buah plum.
Wanita itu tersenyum senang melihat kedua anaknya berlari-lari sambil tertawa. Mereka anak kembar laki-laki dan perempuan. Yang mencolok dari mereka adalah rambut mereka sama-sama merah menyala dan ikal. Dengan riang gembira mereka masih saja menikmati hari yang tampak cerah. Langkah mereka terhenti saat tiba-tiba awan biru yang tepat berada di atas rumah mereka berubah menjadi hitam. Suara guntur menggelegar dengan kerasnya. Anehnya awan hitam itu hanya berada di atas rumah mereka.
"Anak-anak kemarilah!" Wanita itu segera menarik mereka hingga berada dibelakangnya.
"Pasti ini ulah Ania. Keluar kau Ania! Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan keinginannmu!" teriak wanita itu.
Dalam waktu singkat, muncul seorang wanita dengan tiba-tiba di depan mereka. Wanita yang dipanggil Ania itu, berambut putih panjang dengan kulit putih dan mata yang berwarna biru. Bajunya sangat indah menandakan dia seorang bangsawan.
"Hai, Dansi adikku tersayang. Kenapa kau terlihat ketakutan setiap kali melihatku? Aku hanya ingin mengunjungimu saja," ucap Ania dengan tersenyum, namun wajahnya kaku. Senyuman paksaan terlihat jelas di wajahnya.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Kau tidak akan pernah bisa mendapatkannya. Ini adalah warisanku, dan seperti ibu kita, aku hanya akan memberikannya kepada penerusku ,” katanya pelan namun tegas. Ania semakin menatapnya datar. Ania menahan amarah yang akhirnya di keluarkan.
"Diam kau! Seharusnya aku yang mendapatkan warisan itu, bukan kau. Aku anak pertama dan telah menjadi ratu di negeri ini menggantikan ibu. Kau, harus memberikannya kepadaku!" ucapnya tegas membuat Dansi mengernyit.
"Ibu memilihku dan bukan kau. Jika kau memilikinya, maka dunia akan hancur karena ketamakanmu. Kita sama-sama tahu bagaimana kau bisa menjadi ratu pengganti ibu. Yaitu dengan kelicikanmu.” Dansi mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ania.
"Ibu adalah ratu sihir terkuat. Sudah jelas aku yang akan menjadi penerus kekuatannya, bukan kau. Berikan padaku!" perintah Ania tegas.
"Tidak akan pernah,” tolak Dansi dalam marah.
"Kalo begitu hanya ada satu cara. Kau harus mati ditanganku. Hiya!"
Ania menaikkan kedua tangannya dan membuat awan hitam semakin pekat sekaligus menggumpal. Suara halilintar menggema kemudian menyambar rumah Dansi hingga hancur.
"Duar, duar!"
Dansi menggunakan kekuatannya untuk membuat Ania tidak bisa bergerak untuk beberapa saat.
"Mematung,"
ucap Dansi pelan dan dengan cepat mengarahkan tangannya ke Ania yang berjalan kearahnya. Jari Dansi mengeluarkan angin yang berhembus cepat. Ania yang tak mengetahui kemajuan kesaktian adiknya menjadi terkejut saat tiba-tiba tubuhnya mematung.
Dansi segera menarik anak-anaknya berlari ke hutan. Mereka bersembunyi di balik pohon besar yang rindang."Ben, Jen, kalian harus pergi dari sini!" perintah Dansi. Kedua anak kembarnya menatapnya dengan gelisah.
"Ibu, apa kita akan ke kota?"
"Tidak Ben, kalian harus pergi dari jaman ini ke waktu yang lain. Ibu akan menggunakan magic book warisan dari nenek kalian. Kini buku ini ibu wariskan kepada Jen karena dia perempuan. Kau harus menjadi penjaganya. Ingatlah, dalam segala kehidupan kalian ditakdirkan bersama! Kelak, di kehidupan mendatang, keturunan kalian akan bertemu kembali dan menjadi penerus kalian. Jen, kau adalah pewaris. Ben, kau adalah pelindung.”
Jen bersama Ben mendengarkan penjelasan Dansi dengan serius.
“Saat Ibu membuka pintu portal, segera masuk dan hiduplah dengan baik!"
Dansi mengambil kalung yang dipakai Jen. Dia membuka gembok buku bersampul kulit bewarna coklat dengan lambang gambar ratu ditengahnya menggunakan bandul kalung itu. Dansi mengusapkan jarinya ke halaman buku yang pertama dan tiba-tiba muncul tulisan kuno. Dansi membacanya dengan lantang dalam bahasa kuno. Hembusan angin seolah berbalik mengarah padanya. Angin itu berputar-putar mengelilingi tubuhnya dan mengarah sesuai jari telunjuk Dansi. Kumpulan angin itu kembali berputar membentuk lingkaran api yang menyala.
"Ibu, kami tidak mau meninggalkan Ibu," rengek Jen.
"Kalian harus saling menjaga! Ibu akan menuntun di setiap mimpimu." Dansi mengembalikan kalung ke leher Jen. Dia memberikan buku itu. Jen memasukkannya ke dalam bajunya sambil menangis.
"Kelak kau juga harus memberikan warisan Ibu kepada keturunanmu yang perempuan. Buku itu yang akan memilih sendiri ratunya. Jagalah selalu warisan ibu dengan aman atau dunia dimanapun kalian berada nanti akan binasa jika buku itu berada ditangan yang salah! Sekarang pergilah kalian!"
Ben bersama Jen masuk ke dalam lingkaran portal dengan tangisan perpisahan. Dansi, pun menangis dan terus menatap kedua anaknya hingga portal hendak menutup.
Ania akhirnya bisa kembali menggerakkan tubuhnya dan menuju hutan. Ania melihat Dansi mencoba membuat anak-anaknya kabur."Tidak akan kubiarkan."
Pisau emas terlempar sangat cepat dengan tiba-tiba di belakang Dansi yang sama sekali tidak dia duga. Pisau itu mengarah ke tubuh Jen. Ben yang melihat pisau hendak mengenai adiknya, dengan segera menghalanginya. Dia melompat dari portal hingga pisau itu menancap ke jantungnya.
"Argh!" teriak Ben.
"Tidak. Ben!" Dansi berlari kearah Ben dan mengarahkan kekuatannya untuk membuat pelindung di depan portal hingga tidak ada yang bisa menembusnya.
"Tameng," ucap Dansi kembali mengarahkan tangannya ke arah portal. Tiba-tiba angin mengumpul dan menjadi tameng di depan pintu portal. Angin itu menghembus siapa saja yang berusaha menembusnya tak terkecuali Ania.
Pintu portal tertutup dengan meninggalkan kenangan wajah Jen yang menangis. Jen berada di jaman yang hanya berbeda beberapa tahun dari yang sebelumnya. Dansi sengaja tak membuka dimensi waktu terlalu jauh agar Jen mudah beradaptasi.
"Sial. Akan aku hancurkan kau Dansi."
Ania sangat marah. Kedua matanya menatap tajam, mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk melawan Dansi. Dansi meletakkan tubuh Ben untuk melawan Ania. Kekuatan Dansi adalah pengendali angin. Seluruh angin tertarik ke kedua tangannya, menjadi cahaya putih yang menyilaukan. Dansi melirik ke arah tubuh Ben yang tidak bergerak.
"Ibu akan segera menyusulmu, Ben."
Dansi mengeluarkan seluruh kekuatannya dan mengarahkan ke Ania. Ania yang telah menyalakan kedua tangannya dengan kekuatan petir, segera mengarahkan ke Dansi sehingga kedua kekuatan hebat itu saling bertemu dan mengadu. Kedua tangan mereka saling menahan serangan masing-masing.
"Hiya!" Mata Dansi yang coklat menjadi abu-abu menandakan kekuatannya keluar dengan sempurna.
"Kenapa dia menjadi semakin kuat? Apa karena buku itu? Aku tidak boleh kalah." Ania semakin mengeluarkan halilintarnya yang terus mengarah ke tubuh Dansi. Namun, angin disekitar tubuh Dansi menghalanginya hingga halilintar itu meledak di udara.
"Duar, duar!"
"Aku harus membuat Ania tak lagi bisa mengejar Jen. Dia harus kalah. Dansi menutup matanya dan melepaskan senjata terkuatnya yang bisa mengakhiri nyawanya.
"Ini untukmu, Ben. Dan untuk keselamatanmu, Jen."
Dansi melompat ke udara dan mengeluarkan cahaya putih yang sinarnya mengalahkan kekuatan petir dari Ania.
"Tidak!" teriak Ania saat terlempar ke atas. Masih melayang di udara, Dansi menepuk kedua tangannya hingga suaranya seperti ledakan menggema.
"Duar!"
Tepukan tangannya mengeluarkan sinar yang membuat Ania hancur menjadi kerikil-kerikil.
"Argh!" jeritan Ania semakin lama semakin memudar.
Dansi terlihat lemas di udara dan terjatuh ke tanah tepat di sebelah Ben.
Dengan sisa tenaga, Dansi menyentuh tangan Ben dan akhirnya menutup mata untuk selamanya.Diantara semak-semak, muncul pelayan Ania yang segera mengumpulkan kerikil-kerikil tubuhnya dan membawanya pergi dari tempat itu.
"Aku akan membangkitkanmu kembali, Ratu Ania," ucap pelayan wanita itu yang segera pergi menjauh.
Setelah beberapa menit, tubuh Dansi memudar menjadi debu. Debu itu berputar-putar menjadi angin yang bersinar. Nampak arwah Dansi melayang memandang arwah Ben yang berdiri sebelah tubuhnya.
"Ben, kau harus hidup! Ibu akan memberikan kekuatan ruh ibu kepadamu. Ingatlah, kau sang penjaga! Tugasmu adalah melindungi pewaris magic book. Carilah dia di segala kehidupan! Ibu akan menuntunmu nanti."
Dansi meniupkan angin berkerlip ke tubuh Ben dan ruh Ben segera kembali masuk ke dalam tubuhnya. Pisau berukiran emas yang menancap di jantungnya tiba-tiba terlepas.
"Ibu," ucap Ben tersedu. Ben mengambil pisau disampingnya dan berdiri.
Ratusan tahun setelah kejadian itu, hutan telah menjadi perkotaan yang ramai dengan peradapan modern masa kini. Seorang gadis muda sedang bersenang- senang dengan teman-temannya di kafe ternama. Gadis itu sedang merayakan hari kelahirannya yang menginjak 17 tahun. Nampak musik disco dengan DJ ternama di kota itu mengiringi gadis itu dan para tamu yang sedang berdisco."Hahaha, acara ultahmu sangat meriah, Jani. Lihatlah! Dave dari tadi memandangmu terus. Sepertinya sebentar lagi dia akan mendekatimu," bisik sahabat Jani bernama Cela. Seperti ucapan Cela, Dave salah satu cowok popular di sekolah mereka, mendekati Jani dan mengajaknya ke balkon yang lumayan jauh dari tempat pesta. Jani yang merasa senang dengan pasrah mengikuti Dave."Jani, kau sangat cantik malam ini, aku ingin memberimu hadiah istimewa." Dave menarik Jani dan mendekatkan bibirnya ke bibir Jani."Apa yang mau kau lakukan, Dave? Menjauhlah dariku! Plak." Jani mendorong Dave dan menamparny
Di dalam ruangan, Jani seolah mendengar suara berbisik di telinganya. Dia memandang sekitar dan tidak ada yang berbicara. Jani kembali mengerutkan keningnya, mengabaikan suara itu."Tolong katakan yang sebenarnya, Pengacara! Apa maksud ucapanmu?" Ken mendekati meja pengacara dengan menatap serius. Pengacara membuka map di depannya dan mulai membacakan warisan."King Kennard Lucio dan Queen Jani Donovan. Sesuai dengan isi surat wasiat dari kedua orang tua kalian, mulai hari ini kalian harus tinggal satu atap di rumah utama." Saat kedua nama mereka diucapkan dengan lantang, tiba-tiba lampu ruangan menjadi berkedip dan mati. Masih terlihat dengan jelas seluruh ruangan karena hari itu masih siang. Jani dan Ken saling menatap heran. Semua orang di dalam ruangan itu mematung kecuali mereka berdua."Simpan buku itu." Jani mendengar suara samar. Dia menoleh ke segala arah mencari sumber suara itu."Ken, apa yang terjadi? Kenapa semua orang mematung dan hanya kita
Jani merasa kaget melihat sekitarnya menjadi gelap, seolah dia berada di tempat lain. Buku bersampul kulit berwarna coklat yang dipegangnya bersinar hingga terlihat jelas gambar ratu di tengahnya."Buka buku itu, Jani," ucap suara lirih di telinga Jani.Jani membolak-balik bukunya dan melihat gembok indah berbentuk bulat yang dikelilingi permata berwarna-warni, yang mengunci buku itu. Tanpa berpikir panjang, Jani mengambil kalungnya. Gembok mewah yang menutup rapat di buku itu dibuka dengan bandul kalungnya. Betapa terkejutnya Jani saat membuka buku itu. Dia hanya mendapati lembaran kertas kosong berwarna coklat."Kenapa bukunya kosong? Buku apa ini sebenarnya?" Jani semakin tidak mengerti dengan hal aneh yang dialaminya."Usap buku itu, Jani." Suara lirih itu kembali terdengar di telinganya.Jani mengusap pelan halaman pertama dengan jarinya. Tanpa diduga, muncul tulisan kuno bersinar hingga terlihat jelas di ruangan yang gelap.Jani membel
Ken keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju kamar Jani segera mengetuk pintu kamarnya. Tanpa dia duga, pintu itu terbuka dengan sendiri. Dia masuk ke dalam dan melihat Jani yang masih tidak sadar di atas ranjang.Saat Ken hendak membangunkannya, dia teringat akan perjanjian mereka. Ken mengurungkan niatnya dengan keluar dari kamar. Namun dia berbalik untuk menatap wajah Jani dan membelainya."Ternyata kau cantik juga saat diam. Apa yang kulihat barusan itu kenyataan? Jika memang benar, sesuai janjiku kepada ayahku, aku akan menjagamu selamanya."Ken teringat pembicaraan dengan ayahnya saat baru masuk ke sekolah menengah atas."Apa sebenarnya pekerjaan Ayah? Kenapa Ayah selalu membawa pedang dan penuh luka tiap kali pulang?" tanya Ken saat menemukan ayahnya yang terluka di kamarnya.Ibu Ken telah tiada ketika Ken masih kecil karena penyakit. Ayahnya tidak pernah menikah lagi sejak kepergian istrinya."Ayah bekerja sebagai pengawal. Seseoran
Jani masih lemas setelah mendengar jawaban Bi Inah tentang siapa dia sebenarnya. Wajah yang selalu ada di sampingnya selama hidupnya, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia."Apa ibuku tahu siapa dirimu, Bi?” tanya Jani."Tentu saja tahu. Setelah ayahmu meninggal, ibumu pindah ke rumah dimana selama ini Nona tinggal. Di rumah itu saya menembus dimensi waktu. Saat itu nyonya Julia sedang bersamamu di kamar. Dia langsung mengenaliku lewat lukisan ini. Sejak itu saya tinggal bersama kalian.”"Siapa nama Bibi yang asli?” tanya Ken."Nama saya Mina Hasanof, biasa dipanggil Minah. Saya kepala asisten rumah tangga keluarga Lucio. Mereka adalah orang tua angkat Jenifer. Tuan Lucio keturunan dari Tuan Benjamin, saudara kembarnya. Atau biasa di panggil Ben. Karena itu mereka bisa menemukan Jen yang ada di hutan. Keturunan Tuan Benjamin selama puluhan tahun menunggu kedatangan Jen di hutan di hari yang sama saat dia memasuki dimensi waktu.”
Fred telah membawa mobil sampai ke depan rumah. Ken segera keluar sambil menggendong Jani. Bi Inah berlari menghampiri dengan rasa khawatir. Ken membawa tubuh Jani ke kamarnya dan membaringkannya dengan pelan."Non Jani, bangunlah,” bisik Bi Inah dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Jani.Ken melangkah mundur agar Jani tak melihatnya memasuki kamarnya saat sadar. Terlihat Fred dengan cepat membawakan minuman hangat dan meletakkannya di nakas.Perlahan Jani membuka matanya. Ken yang melihatnya langsung bernafas lega. Dengan cepat dia pergi dari kamar Jani menuju kamarnya.“Bibi, apa yang terjadi? Kenapa aku sudah berada di kamarku?” tanya Jani dengan lemah.“Tenanglah. Yang penting Nona Jani baik-baik saja.” Bi Inah membelai kepala Jani.“Tadi ada makhluk yang menyerangku. Sangat menyeramkan. Tapi tiba-tiba ada yang membantuku menghadangnya.”“Tuan Ken menyelamatkan anda, Nona,” j
Di belahan negara lain, terdapat tempat rahasia yang berada dibawah tanah. Tempat itu dibangun ratusan tahun yang lalu. Terlihat dari hiasan yang berupa baju besi prajurit jaman dulu di tata hampir disetiap pojok ruangan. Namun tempat itu mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan jaman.Alat-alat canggih seperti layar lebar di sebuah ruangan yang menjadi pusat tempat itu, menandakan bahwa mereka bukan orang biasa. Terdapat berbagai komputer dan juga tombol-tombol canggih yang menayangkan radar di seluruh dunia. Orang-orang yang mengoperasikannya terlihat sangat ahli.Seseorang mengatakan sesuatu kepada lelaki yang terlihat sebagai pemimpin di tempat itu.“Tuan, saya melihat kekuatan yang besar di kota ini,” ucap salah satu pekerjanya yang menunjukkan suatu wilayah dengan lampu berkerdip di layar komputernya.“Kenapa tanda itu berwarna merah?” tanya sang Pemimpin.“Itu karena bukan kekuatan gelap. Sangat kua
Ken, Jani dan Bi Inah segera masuk mobil untuk kembali ke rumah. Kali ini Fred mengendarainya lebih cepat dari sebelumnya karena tidak mau terlihat para polisi yang berdatangan ke perpustakaan yang separo hancur. Ketiga pembasmi penyihir mengikuti mereka menggunakan motornya.Jani duduk di sebelah Ken dengan sesekali curi pandang kearahnya.“Kenapa tadi dia sangat berbeda? Dia menjagaku seolah aku sangat berarti untuknya.” Tanpa sadar, Jani memandang Ken tanpa berkedip.“Jangan memandangku. Nanti kau bisa terikat kepadaku,” ucap Ken yang membuyarkan lamunan Jani.“Dalam mimpimu, Ken,” jawab Jani yang sedikit gugup.“Lalu biarlah mimpi itu menjadi kenyataan,” jawab Ken yang tersenyum dengan sedikit membisik di telinga Jani.Jani menjauhkan tubuhnya dengan bersandar di jendela mobil.“Kenapa aku jadi gugup didekatnya? Bahkan tadi saat memeluk punggungnya, aku merasakan kenyaman dalam