Share

2. Perjodohan

Nata terbangun saat hari masih subuh. Ia semalam baru tidur jam satu pagi karena asik bermain game online dengan sahabat-sahabatnya. Namun karena ini di Keraton membuatnya mempunyai kebiasaan akan bangun sebelum fajar meskipun jam tidurnya berkurang. Sudah jadi kebiasaannya sejak kecil, entah karena semua orang memang dididik untuk bangun jam segini atau memang Nata tak begitu nyaman tidur di Keraton. Nata menatap ponselnya dan tak menemukan satupun pesan dari kekasihnya.

Kamarnya pagi itu terasa lebih dingin sebab Nata lupa menutup jendelanya semalam. Setelah memastikan jendela kamar tertutup, Nata pun menuju kamar mandi dan mencuci muka. Jika sudah begini Nata bingung ingin melakukan apa. Tak ada yang bisa dilakukan jam lima pagi, meskipun semua orang sudah bangun namun kebanyakan memilih untuk berdiam diri di kamar sedangkan Nata tidak bisa terus-terus an diam, aura nya tidak cocok untuk berdiam diri saja. Akhirnya Nata memutuskan untuk mencuci mukanya dan kembali terbengong di atas ranjang.

Abdi dalem yang menunggu di luar kamarnya menanyakan pada Nata apa yang Sang Pangeran butuhkan pagi-pagi buta seperti ini. Namun Nata yang di tanya seperti itu juga ikut bingung. Akhirnya Nata memilih untuk jogging di alun-alun. Nata meminta semua Abdi Dalem untuk tidak mengikutinya karena Ia merasa tidak nyaman. Meskipun itu peraturan namun Nata tetap saja tak suka. Akhirnya Nata berhasil keluar dari Keraton setelah memenangkan perdebatan kecil itu.  

Alun-alun kota tentu saja masih gelap namun hiasan lampu-lampu neon tidak membuat suasananya menjadi menakutkan. Nata memutuskan berlari beberapa putaran untuk menghabiskan waktunya. Airpods di telingannya mengalunkan lagu kesukaan Kinna. Semua playlist lagu di ponselnya bukan hanya berisi kesukaan Nata namun kebanyakn adalah milik Kinna. Jika sedang saling berjauhan seperti ini, keduanya selalu memutar playlist kesukaan masing-masing. Jika kalian tanya seberapa bucin seorang Nata, inilah jawaban pertamanya.

“Cuma di sini doang gue jadi anak kelewat rajin. Biasanya jam segini masih enak mimpi in Kinna,” monolog Nata.

Satu jam kemudian Nata memutuskan untuk kembali ke Keraton. Terlihat para Abdi Dalem sudah sibuk pagi-pagi buta. Nata memilih untuk mandi karena setengah jam lagi Ia harus menuju ruang makan karena semua keluarga berkumpul untuk sarapan. Nata memang jarang sarapan bersama keluarganya karena sejak kecil Ia lebih sering makan sendirian sebab kesibukan orang tuanya yang sudah pergi saat Nata belum terbangun. Namun bukan juga sarapan ala kerajaan seperti ini yang Nata butuhkan, jika disuruh memilih mungkin Nata lebih suka makan sendirian dari pada bersama keluarga besarnya. Dari pada disebut acara makan, ini lebih ke pengadilan tak resmi, karena suasananya sangat dingin dan tak terlihat seperti sarapan bersama keluarga besar.

Nata keluar dari kamarnya dan menemukan Gala yang terlihat kesal akan sesuatu. Melihat itu terbesit ide nakal Nata untuk mengerjai adik sepupunya itu. Nata mengendap-endap berjalan di belakang Gala lalu mengambil ponsel milik adiknya itu yang berada di meja. Gala terlihat serius memperhatikan kertas di tangannya sampai tak sadar kalau Nata sudah ada di belakangnya tanpa suara.

DOR!

Nata tertawa terbahak saat melihat Gala yang hampir jatuh tersungkur akibat ulahnya. Gala menatap kakak sepupunya nyalang. Hari Gala sepertinya di awali dengan adegan yang cukup menyebalkan sedangkan Nata masih dengan sisa-sisa tawanya. Nata tak bisa menghentikan tawanya sebab ekspresi adik sepupunya itu benar-benar menghibur. Bahkan sekarang Nata berusaha tak terjatuh karena badannya lemas akibat tertawa.

“Puas? Udah puas ketawanya?” cibir Gala.

“Wajah lo lucu njirr, coba aja tadi gue foto dulu,” ujar Nata.

“Tobat kek lu Mas, jahil mulu dari dulu,” ujar Gala yang kini sedang mencari-cari sesuatu.

“Hidup di keraton terlalu monoton kalo gak ada gue,” ujar Nata percaya diri.

Tawa Nata hampir saja pecah saat menyadari kalau Gala sedang kebingungan mencari ponselnya. Bukannya memberikan ponsel milik adiknya itu, Nata justru memilih bungkam dengan berusaha yang terbaik untuk menahan tawanya agar tidak kembali meledak. Namun sepertinya akan gagal, karena raut wajah Gala yang kebingungan justru membuat Nata semakin ingin tertawa. Percayalah ekspresi Gala itu sangat lucu di mata Nata.

“Mas Nata! Hape gue mana!” seru Gala menyadari sesuatu.

Saat keduanya asik bertengkar karena ulah Nata, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah belakang. Baik Nata maupun Gala tiba-tiba terdiam di tempat. Mereka segera berdiri tegap dengan posisi tangan berada di depan. Keduanya langsung bersikap sopan dan menunduk. Suara gaduh yang tadi terdengar di seluruh penjuru lorong tiba-tiba hilang dan senyap bersamaan dengan tertutupnya mulut dua pangeran ini rapat-rapat. Baik Nata maupun Gala saling melirik dan saling menyalahkan satu sama lain.

“Mas Adinata dan Mas Janggala, tolong kata-kata nya lebih sopan nggih. Ini di dalam Keraton, jangan sampai Romo Kakung dengar. Mboten sopan,” ujar asisten pribadi Eyang bernama Bomo itu yang entah sejak kapan sudah ada di sana.

Baik Nata ataupun Gala hanya bisa mengangguk patuh. Keduanya sudah punya firasat akan ada hukuman pagi hari untuk mereka. Bomo masih dengan petuah dan peringatannya yang cukup panjang di pagi hari seperti ini. Baik Nata dan Gala hanya diam mendengarkan dan sesekali Nata menyeletuk pelan. Hal itu tentu saja membuat keduanya paham jika cara Nata yang memotong ucapan Bomo dapat membuat keduanya di hukum dengan hukuman yang lebih berat dari sekedar diceramahi. Namun ucapan Bomo selanjutnya justru membuat Nata dan Gala saling pandang dan kebingungan.

“Mas Adinata dan Mas Janggala sudah ditunggu untuk sarapan,” ujar Bomo singkat setelah mengambil nafas dalam-dalam.

Nata dan Gala langsung bergegas menuju ruang makan sebelum Bomo berubah pikiran dan menghukum mereka. Keduanya masuk ke aula ruang makan saat hampir semua tempat duduk sudah terisi. Semua orang hari ini lengkap berkumpul. Mulai dari keluarga Byan, Sena dan Gala semuanya lengkap hari ini termasuk saudari Sena yang sekolah di luar negeri. Semuanya sudah ada di sini kecuali Eyang Kakung Ararya dan Eyang Putri. Nata dan Gala masih berisik dan saling menyalahkan dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Nata masih menyalahkan suara Gala yang terlalu keras sampai terdengar dari depan sedangkan Gala masih menyalahkan Nata yang selalu menjahilinya.

Beberapa menit kemudian Eyang Kakung Ararya dan Eyang Putri masuk ke dalam aula. Otomatis semua orang berdiri dengan sopan menyambut keduanya. Jika seperti ini maka Nata akan berubah menjadi Nata versi tenang. Ia tak mau mendengar suara-suara Budhenya yang selalu mengadu kalau mereka sudah lelah dengan tingkah Nata yang terkadang katanya lupa unggah-ungguh. Nata cukup tahu diri untuk tidak membuat keributan saat makan. Akan ada sesi dimana ia bisa membuat keributan, nanti ada saatnya.

Sarapan pagi itu di mulai dengan baik. Tak ada percakapan, namun setelah makanan di piring mulai habis, tiba-tiba Eyang kakung meletakkan sendok dan garpunya yang berarti semua orang juga harus berhenti makan. Nata melirik ke arah Gala yang kini menunduk. Sesi seperti ini yang paling di takuti keduanya. Ini sama seperti acara selamatan untuk Byan, Dhanu dan Sena karena pasti hanya akan terdengar sanjungan untuk ketiganya namun untuk Nata dan Gala lebih tepatnya ini seperti sidang penghakiman. Dimana Eyang akan mengurutkan serangkaian jenis kesalahan mereka berdua selama jauh dari Eyang selama ini.

“Byantara, bagaimana kabarnya Anggun? Kemarin Eyang belum sempat bicara,” tanya Eyang pada Byan yang berada di tempat paling dekat dengan Eyang.

Sae Eyang, bulan depan Anggun sidang,” jelas Byan dengan sangat tenang.

“Syukurlah, Eyang doakan lancar ya Le,” ujar Eyang.

Matur suwun, Eyang,” ucap Byan.

Tatapan Eyang beralih pada Dhanu yang berada di sebelah Byan. Nata yang merasa gilirannya masih lama tetap mencoba untuk tenang dan bersikap santai meskipun sekarang kakinya tak bisa berhenti gemetar. Tak bisa dipungkiri sekarang pikirannya juga tak tenang. Nata berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah Ia perbuat sebulan belakangan. Apakah Eyang akan membahas tentang masalah Nata yang membantu menutupi Gala balapan?

“Andhanu, bagaimana kabarnya Andayani?” tanya Eyang.

Sae Eyang, sedang sibuk-sibuknya semester akhir,” jelas Dhanu singkat.

Eyang mengangguk, menandakan bahwa beliau puas dengan jawaban Dhanu. Tatapannya kini beralih pada Sena, si pemeran utama kemarin malam. Mendengar nama Sena yang di sebut, membuat Nata dan Gala kembali gugup. Nata bahkan kini telah menenggak air putih di gelasnya sampai habis tak tersisa. Meskipun sudah berkali-kali diadili di depan keluarga besar namun keduanya masih saja gugup. Nata melirik ke arah Sena yang terlihat tenang-tenang saja.

“Fusena,” panggil Eyang Kakung.

Nggih Eyang,” jawab Sena.

“Eyang titip Diajeng ya. Dijaga yang baik, keluarganya sudah percaya sama trah Ararya, jangan bikin Eyang kecewa yo le,” ujar Eyang.

Sena mengangguk pelan dan berkata, “Nggih Eyang, Sena mengerti.”

Nata menghembuskan nafasnya pelan-pelan. Gilirannya datang dan rasa gugupnya tiba-tiba menyerang. Namun saat mendengar nama Gala yang keluar membuatnya menoleh ke arah Gala. Gala yang juga terkejut juga menatap Nata balik. Keduanya bertatapan selama beberapa detik. Nata bingung mengapa gilirannya dilewatkan begitu saja. Ia menatap Byan lalu kemudian orang tuanya. Ibu Nata hanya tersenyum dan mengangguk pelan, menandakan kalau Nata tidak usah khawatir. Melihat senyum Ibunya tentu saja Nata bisa tenang walau sejenak. Ia juga berharap semuanya baik-baik saja.

“Janggala, gimana sekolah nya?” tanya Eyang pada Gala.

“Baik Eyang, sedang persiapan ujian akhir. Tahun ini Janggala lulus,” cicit Gala.

“Masih sering ngebut-ngebutan naik motor di jalan?” tembak Eyang Kakung.

Gala menelen ludah dengan susah payah. Ia menatap Nata meminta pertolongan namun nyatanya Nata tak bisa membantu apapun karena sekarang laki-laki itu juga akan di adili sebentar lagi. Gala tak juga menjawab pertanyaan Eyang nya membuat Bomo sekali lagi memanggil nama Gala.

“Kalo gak lagi khilaf Eyang,” cicit Gala.

Jawaban Gala membuat sepupunya tertawa kecil sedangkan para orang dewasa menghela nafas pelan melihat tingkah si bungsu Ararya. Bahkan Nata dapat mendengar dengan jelas cibiran beberapa Budhenya. Mau seperti apapun didisiplinkan nyatanya tingkah Gala belum juga berubah menjadi lebih baik. Nata tahu kalau balapan adalah salah satu cara adik sepupunya itu untuk melepaskan stres atas semua kungkungan yang Ia rasakan selama ini. Semua pangeran punya caranya masing-masing untuk melepaskan stres dan Gala memilih balapan. Mungkin hanya Gala yang terlihat ekstrim dibanding Nata atau yang lain.

“Gak sesering dulu kok Eyang,” ujar Gala membela diri.

Eyang menghembuskan nafasnya pelan sedangkan Eyang Putri hanya geleng-geleng melihat tingkah cucunya. Sudah berkali-kali di beri wejangan dan juga hukuman tetap saja tidak ada perubahan. Dari sekian banyak orang di sana, hanya Nata yang tak bereaksi dengan jawaban Gala. Laki-laki yang dari tadi terlihat santai itu tiba-tiba diserang gugup, selama di Jakarta Ia tak pernah merasa segugup ini. Sena yang melihat tingkah sepupunya hanya bisa menepuk pelan punggung Nata. Nata harus siap.

“Adinata,” panggil Eyang.

Nata yang tadi menundukkan kepalanya langsung menegakkan tubuh begitu mendengar namanya di panggil. Nata melirik dan bisa melihat jelas jika Dhanu dan Sena yang sedang berusaha menahahan tawa mereka sekuat mungkin. Nata menatap Eyang, tangannya yang ada di bawah meja sama sekali tak bisa diam.

“Eyang sudah putuskan, bulan depan kita adakan makan malam bersama keluarga Guinandra, kita bicarakan tentang pertunangan Adinata dan Anasera,” ujar Eyang tanpa basa-basi.

“Romo!” seru Ayah Nata tak terima.

Nata yang mendengar itu terbelalak tak percaya. Sama hal nya dengan semua orang yang ada di meja makan tersebut. Mereka tak mengira kalau akan secepat itu padahal Nata masih belum menyelesaikan gelar sarjananya. Bukan hanya ucapan Eyang yang mengejutkan namun juga jawaban Nata setelah itu. Tak ada yang menyangka sosok Nata yang dari dulu selalu menurut akan semua pilihan Eyang tiba-tiba berani berkata demikian. MEskipun sering membangkang namun Nata tak pernah terang-terangan mengucapkannya pada Eyang Ararya.

“Nata gak mau di jodohin,” ucap Nata tegas.

“Saya Adinata Lingga Ararya menolak adanya perjodohan ini secara lahir dan batin,” imbuh Nata.

Semua orang mencoba menahan diri untuk tidak menyerang Nata karena kata-katanya yang sama sekali tak sopan. Melihat kegigihan Nata yang seperti ini akankah trah Ararya berhasil mempertahankan tradisinya? Atau keinginan Nata dapat terkabulkan dan berhasil merubah sebuah tradisi turun temurun dari pendahulu mereka?

Tak salah jika sampai detik ini seorang Nata dijuluki sebagai pangeran kekacauan. Semua kacau sejak ucapan sederhana Nata di meja makan tersebut, ini pertama kalinya seorang pangeran menentang keras keputusan Raja di hadapan semua keluarga. Siapa lagi kalau bukan seorang Adinata Lingga Ararya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status