Share

Meet

"Bagaimana pasti tidak diterima? Aku benar, 'kan!"

Baru saja sampai rumah langsung dihadang sebuah pertanyaan yang nyaris membuat Cherry putus asa. Delapan bulan ia menganggur, pontang-panting mencari pekerjaan di kota besar sangatlah sulit. Si gadis cantik tak memiliki banyak pengalaman. Mengingat dahulu ia hanya bekerja sebagai pengantar juga pelayan makanan siap saji selama dua tahun.

Helaan napas gadis itu belum lagi sempurna. "Hei, melamun saja terus jangan lanjutkan hidup jika tak mampu." Kalimat sarkastik seperti puing-puing kaca menancap tepat di ulu hati. Cherry telah terbiasa, ia hanya bisa menghela napas tanpa bisa membantah.

"Anak ini memang tidak berguna!" kata wanita tua lagi, selalu saja marah tanpa jeda—tanpa alasan.

Tubuh Cherry lelah, ia butuh istirahat. Kakinya hampir melipir ke arah lantai dua, belum juga tiga langkah suara wanita tua itu kembali terdengar.

"Siapa yang menyuruhmu masuk kamar, hah. Dasar tidak sopan!" Seru wanita tua itu (lagi) bertolak pinggang memasang wajah super menjengkelkan. "Sebentar lagi ada tamu. Aku peringatkan untuk tidak berkeliaran atau membuat masalah. Jika sampai itu terjadi segera angkat kaki dari rumah ini, mengerti!"

Cherry hanya bisa patuh lalu mengangguk lemah. Memutar tubuh ia berlari kecil pada anak tangga lalu masuk kamar. "Tamu? Hah, apa peduli ku!" si gadis bermonolog sendiri. "Apa itu berkeliaran? Ibu bahkan menganggapku seperti binatang." Melangkah lunglai ia mendekati ranjang.

Si gadis melempar tubuh pada ranjang besar, menaruh lengan tangan pada wajah ia menutup mata lelah. Cherry akhirnya kembali ke rumah setelah putus kontrak kerja. Sebentar, tadi apa? Rumah? Hah, bahkan kata itu tidak layak untuk disebut. Cherry lebih suka menyebut tempat ini sebagai neraka.  Kalian tahu? Cherry sudah terbiasa dibedakan. Ia biasa diacuhkan dalam keluarga. Tempat besar ini beranggotakan tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Yang katanya saudara harus saling menghormati juga menyayangi. Faktanya, pepatah itu tak pernah ia temui atau sekadar singgah sebagai panutan. Selalu terpisah diantara kehangatan keluarga.

Sebagian besar dari keluarga sang ayah atau ibu jika sedang berkumpul mungkin hampir tak ada yang sadar akan diskriminasi yang Cherry hadapi. Cherry diperlakukan sangat baik jika ada acara keluarga. Sang ibu dan adik perempuan  bersikap baik padanya. Mmm.. tidak juga ada satu orang yang selalu menyalahkan dirinya apabila takdir buruk menimpa. Yah, itu tadi si adik perempuan.

Ayah Cherry meninggal dunia saat ia menginjak usia lima belas tahun. Saat itulah kemalangan terus hadir mengisi hari-hari si gadis manis tanpa memberinya ruang untuk bernapas. Caci maki sampai sikap kasar sang ibu dan adik perempuannya selalu ia terima. Si gadis manis hampir putus sekolah karena sang ibu dengan kejam tak ingin membiayai. Beruntung ia memiliki sedikit tabungan dan cukup untuk biaya sekolah.

Tiga tahun berlalu dari kematian sang ayah. Cherry tumbuh menjadi remaja pendiam. Setelah lulus dari sekolah Cherry memutuskan mencari kerja mengadu nasib diantara ratusan ribu atau bahkan jutaan pencari kerja. Lagi, nasib baik tak berpihak padanya. Ijasah lulusan senior high school sangat dianggap tidak kompeten. Hah, putus asa mendera. Cherry yang lelah duduk disebuah pinggir toko tua penjual makanan ringan dan ia mendapat keberuntungan. Sebuah lembaran kertas terbawa angin jatuh di depan kaki. Si gadis memungut kertas tersebut lalu tersenyum sumringah. Ia masuk ke dalam toko menanyakan alamat yang tertera pada kertas. Si pemilik toko menyambut pertanyaan Cherry dengan ramah.

Tak membuang waktu ia memutuskan datang ke alamat tersebut. Rumah makan siap saji yang memiliki jasa order online. Ia tidak mengeluh mengantar di siang hari, saat panas terik menyengat kulit juga saat musim hujan tiba dingin menusuk tulang tak jadi halangan untuk Cherry menjemput rezeki. Sampai hari itu tiba, beberapa karyawan kontrak harus menerima keputusan sepihak dari pemilik kedai. Setelah kontrak habis, mereka harus kembali mencari pekerjaan baru.

Helaan napas panjang Cherry meluncur dari celah bibir. Bulir bening menetes di sudut mata. Hidung gadis itu memerah, isak sedu sedan terdengar  ia melepas sesak. Cherry menatap langit kamar gamang. Tak ada lagi secuil kebahagiaan yang Cherry dapat semenjak sang ayah meninggal. Gadis itu merasa seperti anak tiri, terasingkan, tersisih dan terbuang. Air mata Cherry semakin mengalir mengingat kebahagiaan bersama sang ayah yang dulu pernah ia raih.

"Ayah," cicit si gadis pilu. Bangun terduduk ditepi ranjang, ia membuka laptop kesayangan. Menulis kisah pahit yang tak ingin dimiliki siapa pun.

Bersinarlah dalam kegelapan. Hari di mana dirimu bahagia akan selalu menjadi masa lalu yang indah. Teruslah hidup menggapai mimpi walau itu sulit.

Kesepuluh jari kecil Cherry menari bebas di atas papan keyboard, menulis kutipan penyemangat diri. Selebihnya ia tercenung, menatap layar laptop tanpa ekspresi berarti. Cherry terkekeh pahit, mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti. Bisakah, ia bersinar dalam gelap? Sedangkan ia sendiri membutuhkan sebuah cahaya. Cherry menutup laptop, matikan saklar lampu ia melangkah ke arah balkon. Membuka pintu kaca, ia berdiri pada pembatas balkon. Kepala si gadis menengadah menatap langit malam salah satu cara Cherry menenangkan hati.

Kerutan samar muncul di dahi Cherry kala deru mobil menyapa rungu, mengusik kegiatan tenang si gadis. Manik cantik Cherry menatap ke bawah. Sebuah mobil hitam mewah masuk ke halaman depan rumah. Seorang pria muda dan wanita paruh baya keluar dari  mobil mewah tersebut. Cherry terus memperhatikan. Detik berikutnya kepala si pria tiba-tiba sedikit mendongak menatap ke arahnya. Cherry gelagepan, terlalu terkejut saat tertangkap basah sedang memperhatikan. Si gadis terburu-buru masuk kamar, menutup pintu balkon serta jendela. Berharap pria itu tak mengatakan apapun pada sang ibu.

🌟🌟🌟

"Putramu sangat tampan." Puji si wanita tua tak lain ibunda Cherry.

Mereka berada di ruang tengah berjalan menuju ruang makan. "Ah itu dia," seru Merlin saat putri kedua muncul dengan gaun cantik berwarna hijau tua. "Kemari sayang," katanya lagi mengumbar senyum merekah. "Kenalkan ini putriku, Early." Manik mata Merlin menatap Ares sumringah. "Sayang dia putra teman ibu yang kuceritakan padamu tempo hari." Imbuhnya lagi.

Senyum Early mengembang sempurna menatap binar pada Ares pria tampan berkharisma. Mereka bahkan belum berjabat tangan, Early sudah lancang bergelayut manja di lengan Ares. "Aku Early. Salam kenal Ares." Suaranya centil.

Riak wajah Ares tampak kebingungan sekaligus tak suka. Baginya Early terlihat sangat murahan. Satu tangan bebas Ares mencoba melepaskan tangan Early. Nihil, genggaman dari putri teman sang ibu justru semakin merekat kuat. Sembari jalan si tampan membuang napas kesal. Melirik sang ibu mencoba meminta bantuan dengan wajah muram, dibalas senyum tipis dari Terry. Dan ia hanya bisa pasrah.

Early menarik satu bangku untuk Ares duduk. Kedua wanita paruh baya itu tersenyum melihat perlakuan manis Early pada Ares. Semua telah duduk, Early masih mencari perhatian mengisi gelas kosong Ares dengan jus jeruk. Setelahnya ia duduk bersebrangan tepat di hadapan Ares.

"Silahkan mencicipi, maafkan kami jika hidangan di rumah ini tidak sesuai dengan selera kalian." Merlin berbasa-basi.

"Sama saja, selalu saja merendah," balas Terry. 

"Kalau begitu selamat menikmati."

Suapan pertama Ares disambut pertanyaan antusias dari Early. "Bagaimana enak tidak? Satu hari ini aku membantu ibuku di dapur. Menyiapkan semua hidangan ini untuk calon suamiku," katanya memasang wajah berbinar centil.

Ares batuk-batuk. Menaruh sendok dan garpu lalu meraih gelas. Terry menepuk punggung sang putra. "Kamu baik-baik saja?" tanya Terry pada Ares.

Si tampan angkat tangan depan dada lalu menggeleng kepala. "Maafkan aku," Ares menjawab kalem. "Bisa aku tahu di mana toiletnya?" lanjutnya menyenggol kaki Terry.

Terry hanya diam, ia hampir tertawa kencang melihat tingkah lucu Ares. Terry yang mengerti maksud sang putra hanya tersenyum maklum.

"Sayang antar Ares ke kamar mandi." Perintah Merlin dengan senyum, menyentuh bahu sang putri menyuruh Early untuk mengantar Ares.

Si tampan menggeleng kepala lemah menolak secara halus, "Biar aku sendiri saja. Beritahu aku harus ke arah mana!" sahut si tampan tanpa mengurangi rasa hormat pada teman sang ibu.

Merlin menarik senyum samar. Sebenarnya tidak suka perintahnya di tolak. "Dari sini belok ke kiri, kamar mandi di samping tangga menghadap area belakang rumah."

Ares mengerti, mengucapkan terima kasih ia beranjak keluar meja makan. Sampai samping tangga ia menemukan sebuah pintu cokelat. Tangan Ares hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi. Ia terkejut saat pintu terbuka menampilkan gadis manis kecil dengan hidung merah dan mata bengkak.

Cherry tak kalah terkejut. Ia menunduk guna menyembunyikan wajah. Geser ke kiri diikuti, geser ke kanan diikuti. Cherry mencebik kesal. "Minggir," ketusnya terpaksa angkat kepala, menyorot Ares sebal.

Ares menelisik wajah manis di hadapan terlihat sangat kacau.

Habis nangis, eh.

"Kamu gadis di atas balkon tadi?"

Cherry memilih tak menjawab, ia hampir melangkah. Bukan menyingkir memberi jalan, tangan Ares memblokir jalan Cherry. "Jawab dulu." Menghalangi saat gadis itu hampir melipir pergi.

Menutup mata Cherry mencoba bersabar. "Apa maumu?" suaranya sangat pelan, ia tak mau membuat kesalahan dan berakhir diusir dari rumah.

"Wajahmu sembab seperti habis menangis."

Seketika Cherry langsung menunduk. Mengumpat dalam hati, ia yakin wajahnya saat ini pasti terlihat aneh. "Beri aku jalan,"

Ares menautkan alis merasa bingung kenapa gadis ini tak seperti gadis lain. Langsung terpesona saat pertama kali bertemu. Gadis ini justru memasang wajah anti jatuh hati.

Ah, gadis menarik.

"Itu bukan jawaban." Ucap Ares sedikit memaksa, masukkan kedua tangan ke dalam kantong celana si tampan kembali bersuara. "Kenapa tidak ikut makan malam?"

Cherry angkat kepala merotasi bola mata malas. Menggeleng singkat sebelum menjawab. "Tidak minat, okey. Sekarang minggir...," Cherry menahan napas saat Ares tiba-tiba menghimpitnya ke pintu. Ia mendongak mendapati tatapan elang si pria. Cherry meneguk liur susah, tingginya sebatas dada pria itu. Jantung si gadis manis semakin berdetak kuat. Kala pria itu menunduk.

"Ka-kamu mau apa?" tangan Cherry terangkat menyentuh bagian perut si pria. Berusaha menahan supaya mereka tak terlalu rapat.

"Siapa namamu?" tanya Ares tak lebih dari sebuah bisikan maut, membuat bulu kuduk Cherry merinding. Tatapan mereka bertemu, jarak wajah mereka sangat dekat. Irama lain Ares rasakan dalam dada.

Cherry hanya diam tak minat menjawab pertanyaan pria songong itu. "Minggir Tuan, aku...," Cherry menggantung kalimatnya. Kehilanan kata.

Tuan?

Ares semakin mengerut alis. Sekarang ia dipanggil Tuan oleh gadis ini. Satu sudut bibir si tampan terangkat. "Beritahu aku siapa namamu?" perintah si tampan.

Cherry menarik napas kecil, menatap kesal pada si pria. Cherry akui pria itu sangat tampan tapi melihat tingkah tak sopan seperti ini, ia menyimpulkan kalau pria itu tipe playboy bangsat. "Dengarkan aku Tuan, aku pembantu di rumah ini. Aku tak mau diusir sebelum gaji bulananku dibayar. Jadi tolong...,"

"Ares,"

Suara Cherry terpotong, saat mendengar suara Early. Cherry gelisah, segera  mendorong tubuh Ares masuk kamar mandi dan menutup pintu. Di dalam sana ia berdoa berharap pria itu tak mengatakan apapun.

"Kenapa lama sekali? Kamu sudah selesai?" suara Early begitu melihat Ares berdiri di depan kamar mandi.

Ares mengusap belakang leher. Ia memberi senyum menawan pada Early. "Yeah, baru saja selesai,"

Early merona. Ares tak mempedulikan. Si tampan melangkah menjauh dari kamar mandi disusul Early. Sampai ruang makan, ia melihat sang ibu dan Tante Merlin sedang berbincang.

"Ares, kenapa lama? Ada masalah?" Kata Terry melihat sang putra mendekat.

"Ah, tidak ada."

"Tak apa," Merlin menyahut. "Ah, Early sayang! Ibu rasa makanan Ares perlu diganti."

Kepala Early terangguk sekali. Suara tak setuju Ares lebih dulu terdengar, menghentikan gerakan tangan Early. "Tak perlu, aku ingin kopi." 

Merlin tersenyum senang. Permintaan dari Ares seperti angin segar tanda menyambut kebaikan darinya. "Tunggu sebentar, biar maid buatkan untukmu."

Mereka beranjak dari ruang makan ke ruang tamu. Berbincang lebih santai saling mengakrabkan diri. "Bukankah anakmu tiga, dan ini putrimu yang nomor berapa?" tanya Terry pada Merlin.

Sedangkan Ares, si tampan menunggu kopi pesanan dengan gelisah. Iris pria itu sesekali melirik arah dapur jauh dibalik tembok.

"Ini putriku nomor dua. Putri pertamaku sedang pergi makan malam bersama tunangannya. Lalu putraku yang ketiga ia sedang ada urusan kuliah." Jelas Merlin pada Terry.

Ares mendengar itu langsung mengerut dahi samar. Seorang maid datang membawa secangkir kopi. Menaruhnya di atas meja dan segera berlalu dari sana. Ares mengusap dagu. Manik hitam miliknya menyusuri tiap sudut ruang tamu. Tak ada pigura besar sebagaimana biasanya terpajang sebagai hiasan serta kepemilikkan si Tuan rumah. Obsidian Ares menelisik ruang tamu, ada beberapa pigura kecil namun tak ada gambar sosok yang ia cari.

Pembantukah!?

Hati Ares semakin dibuat penasaran. Dan lagi apa yang tadi dikatakan Tante Merlin. Kalau Early adalah putri kedua, bisa jadi gadis tadi adalah putri pertama. Ataukah benar gadis itu pembantu di rumah ini? Oh, ayolah Ares tak sebodoh itu dan mudah tertipu. Bagaimanapun penampilan gadis itu tak terlihat seperti seorang pembantu. Asyik melamun ponsel Ares dibalik saku bergetar, meraih ponsel ia meminta izin berlalu dari sana. Kaki Ares membawanya melangkah keluar rumah, ia sengaja. Sampai depan iris tajam si tampan berkeliaran mencari sosok si manis.

Menatap lagi ke arah kamar gelap di atas sana.  Ia yakin gadis itu ada di sana. Ah, ia lupa ponselnya masih menempel di telinga. Padahal itu hanya keisengan belaka. Ares sengaja memasang alarm  jam 20.05 pm. Lebih tepatnya lagi si tampan ingin segera pulang satu jam setelah acara makan malam. Namun ada sosok manis tadi membuat Ares begitu penasaran. Hatinya tergelitik melihat wajah sembab juga merasa lucu pada sikap ketus si gadis. Si tampan menghela napas kecil lalu menarik sudut bibir. Menunduk serta mengusap tengkuk tidak pegal.

Bagaimana bisa ini terjadi padaku? Kenapa begitu penasaran pada sosok itu.

Cukup lama Ares berdiam diri di halaman rumah, hanya memandangi kamar gelap si gadis. Setelah puas ia memutuskan masuk lalu mengajak sang ibu untuk berpamitan. Ares mengatakan ada keperluan mendadak yang harus dikerjakan.

"Jika ada waktu lagi jangan sungkan untuk mampir." Merlin masih mencoba menarik perhatian Ares untuk menatap Early di sampingnya.

"Iya Tante—Ares, sering-sering  berkunjung ya." Early menambahkan, gadis itu mengumbar senyum manis yang membuat Ares mual.

"Terima kasih, kami permisi." Ares to the point.

Terry memasang wajah kaku, kebiasaan sang putra sangat sulit dihilangkan. "Maafkan kami hanya sebentar, lain waktu aku kabari jika ingin berkunjung. Kalau begitu kami permisi," kata Terry pada Merlin.

"Aku tunggu kabar baiknya. Hati-hati di jalan." Sahut Merlin.

Sebelum masuk mobil manik hitam Ares kembali melirik ke arah kamar lantai dua lewat sudut mata. Masih gelap tak ada tanda-tanda gadis itu akan keluar atau mungkin sudah tidur.

"Oh, ya Tuhan aku pasti gila! Aku sangat berharap" gumam Ares pada diri sendiri.

Mobil hitam sexy meluncur keluar halaman rumah. Meninggalkan sejuta rasa penasaran Ares begitu ketat, pada sosok gadis manis yang menarik simpatinya saat pertama bertemu.

Inikah cinta pada pandangan pertama.

Lagi-lagi Ares merasa geli pada kalimat aneh itu. Kenapa secara tiba-tiba singgah dalam kepala!? Dua sudut bibir Ares kembali tertarik ke atas lalu menggeleng kepala sangat geli dengan rasa ingin tahu kuat.

Terry sadar ada yang aneh pada sang putra setelah meninggalkan rumah Merlin. "Kamu kenapa?"

Sekilas Ares melirik sang ibu. "Tidak ada."

Wanita paruh baya itu merasa was-was. Manik Terry memperhatikan lagi aksi senyum aneh di wajah sang putra. Terry menyentuh kalung salib melingkar indah di leher. Ia mulai berdoa pada Tuhan, berharap sang putra tidak terjangkit penyakit siput gila.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ayyona
siput gila? 😂😂 auto inget gerry spongebob
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status