Share

Rencana

Ares memantaskan diri depan cermin. Si tampan memakai kemeja putih juga jas abu-abu melekat di tubuh. Membuka pintu kamar lalu turun untuk sarapan. Sampai anak tangga terakhir si papa tampan disambut tawa ceria sang putra. Senyum menawan Ares menebar warna rona merah muda di wajah para maid. Begitu dahsyat pesona papa muda. Satu kecupan hangat mendarat di pipi sang putra.

Cup. "Putra tampan papa sudah bangun." Mencium gemas pipi Prime.

"Daddy... daddy..." Prime tampak protes dengan kelakuan si papa tampan.

"Apa dia sudah sarapan?" tanya Ares pada baby sitter.

"Sudah Tuan besar tapi hanya sedikit. Selebihnya Tuan muda diberi minum jus alpukat." Jelas si baby sitter.

Kepala Ares terangguk. "Pastikan gizinya seimbang. Putraku baru sembuh." Kata si Tuan tampan mengingatkan.

Flashback on

Hari terang berganti gelap saatnya beranjak dari tempat memeras otak serta tenaga. Ares melangkah keluar ruangan, gagah dan penuh kharisma. Siapapun melihat, tak mampu berpaling dari paras dewa pria satu anak itu.

Status pria memiliki anak satu dan tak pernah terikat pernikahan!? Hot isu menyebar seperti wabah baik di dalam perusahaan, kalangan investor ataupun kerabat lain. Banyak praduga, anak laki-laki tampan tersebut akibat one night stand. Pergaulan bebas para pengusaha sukses juga pecinta dunia malam, selepas penat bekerja.

Ares hanya perlu tutup telinga. Kehidupan pria itu jauh dari kata club, bukan berarti ia pria suci tak tersentuh. Ares sama seperti pria dewasa pada umumnya. Si tampan pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Disaat ia merasa sudah tak ada lagi kecocokan, Ares tak segan mengatakan kata putus. Yah se-simpel itu. Perlu di bahas Ares bukan tipe pria suka dikekang atau dibiarkan. Ia tipe pria acuh, ketus tapi manja. Aw... sangat menggemaskan.

Mobil mewah Ares meluncur membelah jalan raya ramai di malam hari. Rutinitas jenuh selalu menjadi teman setia. Ponselnya bergetar, nama sang ibu tertera pada  layar. Sebelum menekan tombol hijau dan loudspeaker si tampan menarik napas berat, berharap ini bukan panggilan untuk menemui seseorang yang sudah diatur sang ibu.

"Kau di mana?" suara panik sang ibu terdengar. Dahi Ares mengerut bingung tak biasanya sang ibu...tunggu suara tangis bayi!

"Ibu sedang bersama Prime?"

Helaan napas sang ibu terdengar diujung telepon. "Sayang, badan anak mu panas."

"Apa? Sebentar lagi aku sampai."

"Baiklah, hati-hati."

Walau ini bukan momen pertama kali sang anak sakit, tetap saja Ares merasa cemas. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya kenangan yang tertinggal. Sampai rumah Ares langsung berlari menuju kamar Prime. Pintu terbuka ia melihat Terry sedang menimang cucu dalam dekapan. Bergumam nyanyian menenangkan. Prime terlihat mengantuk, bayi laki-laki itu tampak nyaman dalam gendongan sang nenek.

"Apa panasnya sudah turun?" Ares langsung bertanya pada sang ibu. Mengelus kepala sang putra penuh sayang, telapak si tampan bisa merasakan suhu panas Prime.

"Ibu sudah memberinya obat penurun panas. Mudah-mudahan panasnya nanti malam turun."

"Kenapa Rira tak menghubungiku?" Ia biasa mendapat laporan apapun tentang Prime dari baby sitter, tapi kali ini justru sang ibu menghubungi lebih dulu.

"Sore tadi ibu sengaja datang ingin ajak cucu ibu pergi. Sampai sini Prime masih tidur. Ibu menunggu Prime bangun, tak lama anak itu menangis keras. Ternyata demam. Ibu menyuruh Rira membuat bubur." Terry menjelaskan dan Ares manggut-manggut mengerti. "Sudah sana bersihkan dirimu. Prime sedang tidur." Tambah Terry. Kepala Ares terangguk mencium pipi sang ibu keluar dari kamar Prime.

Tangisan bayi tengah malam membuat Ares mengerjab mata. Kaki panjangnya turun dari ranjang. Melangkah keluar kamar menuju kamar putra semata wayang. Rira baby sitter sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis. Bukan berhenti tangis si bayi semakin kencang sampai ia mendapati Tuannya mendekat.

"Maaf Tuan, saya sudah berusaha menenangkan." Rira langsung minta maaf.

"Tak apa, berikan padaku." Perintah Ares.

Prime beralih dalam gendongan Ares. Pria tampan itu dengan sabar menenangkan sang putra kesayangan. Mengelus kepala bagian belakang Prime sangat lembut. "Sssttt... sayang tenanglah! Papa disini." Mantra Ares cukup ampuh. Prime terdiam dengan sisa-sisa sesegukan.

"Kau sudah periksa suhu tubuhnya?" Tanya Ares pada Rira, baby sitter itu setia menunggu dekat ranjang bayi.

"Sudah Tuan, suhunya turun jadi 36,2° celcius."

Ares bernapas lega. Sedikit terheran apa yang membuat sang putra menangis begitu kencang. Beruntung suhu tubuhnya turun dan bisa dikatakan normal. Telapak tangan Ares tak henti mengelus kepala belakang sang putra. Ia melirik jam pada dinding pukul dua dini hari. Ia masih harus bersabar dengan keadaan ini.

Semua telah menjadi keputusannya. Ares memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Tak hanya itu ia bertekad tidak akan menikah. Selama Ares merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Ares mengira bisa mencurahkan semua rasa kasih sayang untuk sang putra. Termasuk kasih sayang layaknya seorang ibu. Pria idealis mendekati sempurna. Ares tak ingin Prime terluka. Si tampan tak bisa sembarang menikah, ia ingin sang istri bisa menerima kehadiran putra semata wayang. Prime lebih berharga dari apapun. Jika Ares memutuskan menikah, wanita itu haruslah pilihan hatinya, bukan rekomendasi sang ibu.

Bagi Ares mendapatkan seorang wanita sangat mudah. Tak perlu bersusah payah mencari. Seperti selama ini, Ares selalu dikelilingi wanita-wanita yang sangat ingin menjadi pendamping hidupnya. Cantik, pintar, mempunyai lekuk tubuh indah serta berpendidikan. Tidak untuk Ares, pria itu lebih memilih hati yang mampu menjaga kepercayaan juga kesetiaan dalam hubungan.

Masihkah ada wanita seperti itu di dunia ini?

Ares menaruh tubuh sang putra hati-hati di atas ranjang, setelah beberapa menit ia dengan sabar menggendong juga mengusap penuh kasih sayang. Menatap sekali lagi pada sang putra yang kini tengah tertidur pulas. Tak ada tanda-tanda jika Prime terusik atau semacamnya. Ares mengusap tengkuk, menoleh pada Rari sang baby sitter untuk segera istirahat. Kaki panjang Ares melangkah keluar kamar Prime. Ia juga butuh tidur.

Flashback off

Si baby sitter mengangguk mengerti. Ares memberikan Prime pada sang pengasuh. Duduk di kursi meja makan, si tampan menyantap hidangan yang telah maid siapkan. Ares terbiasa sarapan seorang diri. Pergi sendiri dan tidur sendiri, eh.

Banyak didekati wanita tak membuat hati si tampan tergerak menjalin hubungan serius. Ares bukan tipikal pria yang cepat takluk pada seorang wanita.

Benarkah?

Lalu kemarin malam itu apa? Bukankah Ares sendiri sangat penasaran dengan gadis manis di rumah Tante Merlin. Membayangkan kejadian semalam saja si tampan tersenyum, sendok terisi nasi dan lauk di tangan mengambang di udara tanpa niat masukan ke dalam mulut. Padahal sebelum sampai meja makan ia tak memikirkan apapun. Kenapa setelah duduk, isi kepala si tampan justru tersangkut ke sana?

Oh, ini masalah besar. Ia sangat ingin tahu. Menaruh sendok di atas piring, Ares beranjak dari meja makan tanpa berhasil loloskan satu suap pun. Membuat para maid yang telah menyiapkan sepenuh hati memasang wajah manyun cemberut. Ares kembali ke kamar masuk ke walk in closet meraih salah kunci mobil di laci. Si tampan memutuskan sarapan dengan sahabat lama.

Papa tampan tak lupa berpamitan pada sang putra semata wayang. "Papa berangkat dulu sayang. Nanti malam kita jumpa lagi." Mencium pipi Prime sedikit kencang dan bocah laki-laki itu tertawa tanda senang.

Pintu garasi terbuka, kali ini Ares memilih si merah sexy untuk menemani. Meluncur keluar halaman mansion. Ares menekan earphone bluetooth, menyapa dan bicara pada seseorang di seberang sana. "Di cafe kopi tempat biasa, aku tunggu di sana." Setelah mendapat jawaban ia kembali menekan earphone bluetooth dan fokus mengemudi.

Tak sampai tiga puluh menit si tampan  telah sampai di cafe. Memesan dua minuman yang biasa dipesan bersama sang sahabat. Pintu cafe terbuka, sosok sahabat yang ditunggu datang.

"Sedang gelisah ya?" Scott langsung mengajukan pertanyaan. Menarik bangku dan duduk berhadapan.

Ares mendengus kecil. "Tidak juga."

Pelayan datang membawa kopi pesanan, "Selamat menikmati," ucap si pelayan ramah, disambut balasan terima kasih dari kedua pria tampan dan segera berlalu dari sana.

"Ceritakan padaku, kali apa?" Scott dibuat penasaran. Pasalnya Ares tak pernah menghubungi, jika pria itu tidak sedang kalut.

"Apa aku mengganggu pagi bercinta mu?" Justru papa muda berbalik tanya.

Scott menyesap kopi latte. Ia berdecak menikmati rasa tertinggal di lidah. "Aku sudah menyusu dan hampir melakukan itu, sayangnya istriku sedang tersegel bulanan." Sedikit mendesah ia harus menahan gairah paginya.

Ares hampir menyembur kopi panas. Kelopaknya melebar dengan pipi terisi penuh. Jawaban Scott selalu saja frontal. Papa muda berhasil meloloskan kopi masuk ke dalam tenggorokan. "Sialan,"

Scott terpingkal, punggung lebar pria itu bersandar nyaman pada bangku. "Ayolah, kau sudah dewasa bahkan memiliki anak. Kalimat itu seharusnya membuatmu ingin." Sahut Scott kalem angkat bahu tanpa merasa bersalah.

"Kau tahu riwayatku." Ares menaruh cangkir di atas tatakan. "Aku terusik, lebih tepatnya penasaran. Beberapa waktu lalu aku bertemu seorang gadis keluar dari toilet dalam keadaan sedih. Wajah sembab, mata dan hidung merah ku pastikan ia habis menangis."

Cerita Ares membuat pikiran Scott melayang jauh di luar batas. "Wow, apa gadis itu menangis karena kau mencoba menyentuhnya tanpa foreplay lebih dulu?" Goda Scott.

Ares mengutuk mulut laknat Scott. "Aku tidak se-bajingan itu." Ares menggerutu kesal.

"Oh, oke... lalu kau se-bangsat apa? Sampai gadis itu menangis di toilet?" dua alis Scott terangkat tinggi.

"Keparat, dengar dulu sampai selesai." Maki si papa tampan. "Aku diundang makan malam di rumah salah satu teman ibuku."

"Ah, pantang menyerah." Scott menebak sekaligus meledek.

Ares mendengus kecil, tak berniat protes karena memang benar. "Dia Tante Merlin, seperti biasa aku dan putrinya berkenalan. Yah, dipaksa akrab." Ares memasang wajah jengah. "Awalnya kukira ia memiliki seorang putri. Saat izin ke toilet aku bertemu gadis itu. Kau tahu, dia pendek sebatas dadaku, ketus, pembohong dan menyebalkan."

Ares mencebik mengingat momen di mana gadis itu menolak memberitahu nama serta berbohong. Mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang pembantu. Berani sekali, memang siapa dia? Membuat seseorang penasaran dan itu—aku.

Scott merasa terhibur pagi ini. Pria itu kembali tertawa melihat wajah muram Ares. "Tapi kau menyukainya." Skak Scott, jari telunjuk panjang pria itu mengacung pada wajah Ares si sahabat yang sedang terusik gelisah.

Wajah Ares seketika memerah. Membuang tatapan pada pemandangan luar cafe, menghembus napas kesal. "Tidak seperti itu. Aku hanya penasaran, gadis itu selalu berkeliaran di otakku." Tukas Ares cepat dan merasa bodoh dengan jawabannya.

"Ya Tuhan," sabda Scott. "Otak brilian mu tiba-tiba menghilang."

Ares mengabaikan. Menyungging senyum kecut. Ia merasa malu. "Bisa aku minta tolong?" Jari Ares mengetuk meja.

Scott meneguk lagi kopi yang sudah dingin. "Kenapa jadi sungkan!?" serunya menatap Ares lalu memberi senyum konyol.

Ares ikut tersenyum. "Saat pernikahanmu,  aku yakin melihat Tante Merlin di sana. Apa kalian saling kenal?"

Dahi Scott berkerut bingung. "Tante Merlin, ya?" coba mengingat-ingat. "Aku tidak ingat memiliki kerabat atau saudara bernama Merlin, mungkin kau salah lihat."

Ares menggeleng kepala lemah. "Nope, tak mungkin aku salah mengenali orang. Bisa jadi itu kerabat atau saudara dari pihak istrimu."

Scott manggut-manggut, mengelus dagu. "Ada lagi?"

"Itu saja, hubungi aku jika tahu sesuatu." Ares menatap arloji di tangan, sudah hampir jam masuk kerja. Dan ia tak ingin terlambat, memberi contoh tak baik bagi karyawan yang bekerja di perusahaannya.

Mereka berdua beranjak dari cafe. Masuk mobil dan meluncur menuju perusahaan masing-masing.

🌟🌟🌟

Cherry menarik napas dalam, membuangnya perlahan memberi efek sedikit longgar dalam dada. Hari ini Cherry berjalan cukup jauh. Ia perlu berhemat tabungannya semakin menipis. Dua tahun bekerja,  mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk melanjutkan kuliah. Namun sayang, semua hanya sekadar angan, tak bisa diraih dalam satu waktu.

Kepala si gadis menengadah menatap langit indah oranye dikala senja, sangat indah. Ia menyukai detik-detik pergantian waktu ini. Begitu mempesona sampai ia enggan beranjak dari bangku besi di sana. Cherry membuka tas dalam pangkuan. Mengeluarkan minuman isotonik, meminumnya sedikit demi sedikit guna menuntaskan rasa haus pada kerongkongan.

"Selalu cantik," kata Cherry tersenyum lebar, ia baru saja menyapa langit.

Satu kata prasa berupa pujian gadis itu lontarkan. Tatkala manik cokelat si gadis manis dimanjakan dengan pemandangan alam indah luar biasa. Mengantar efek tenang saat gelapnya malam hadir. Menggiring setiap insan yang lelah setelah satu hari beraktivitas di luar rumah untuk kembali pada habitatnya.

Jika memang begitu, kenapa gadis manis itu masih setia menempelkan bokong. Tanpa ada tanda-tanda berniat pergi.  Bukanlah perkara gadis itu masih ingin atau tak ingin. Cherry berusaha menenangkan hati kala ia sampai rumah nanti. Siapkan telinga serta mental saat suara sang ibu terus menjejal kalimat pesakitan untuknya. Tak lupa tatapan sinis dari adik perempuan yang kini duduk dibangku kuliah semester akhir.

Hah,

Hembusan napas berat terdengar tak bersahabat. Hatinya terlalu lama kosong. Tak berpenghuni, hampa nan gersang. Adakah seseorang yang bisa menerima  kehadirannya? Cherry menunduk menatap gamang sebuah amplop berisi lamaran ditumpuk dengan tas berwarna hitam di atas pahanya.

"Aku kuat," cicitnya lemah. Bersamaan kalimat itu meluncur, remasan pada sisi tas semakin kencang. Cherry menguatkan hati sekeras baja sebelum beranjak pulang dan kembali bertemu keluarga.

Keluarga asing. Yah, begitu.

Sekali lagi Cherry menghirup oksigen dalam-dalam lalu melepas uap karbondioksida secara perlahan. Si manis mulai mengayun kaki mencari halte bus terdekat. Kurang lebih sepuluh menit ia menunggu sampai bus datang. Orang berbondong-bondong secara bergantian antri masuk ke dalam bus. Cherry membayar mengunakan kartu lalu memilih tempat duduk kosong. Kali ini ia kurang beruntung. Duduk bagian tengah di samping anak sekolah. Tidak  masalah hanya saja Cherry lebih suka duduk dipojok belakang dan menyandarkan kepala pada jendela.

Satu per satu penumpang turun, lalu berganti dengan penumpang baru disetiap rute pemberhentian. Halte berikutnya Cherry turun, menyebrang jalan untuk sampai rumah.

"Kakak," seseorang berteriak dibalik punggung si gadis.

"Kakak, tunggu sebentar."

Cherry berhenti. Menoleh ke belakang mendapati anak sekolah yang tadi duduk di sampingnya berlari mengejar.

"Ada apa?" tanya Cherry bingung.

Si anak remaja butuh waktu, ia meraup udara sebanyak-banyaknya. Lima belas detik, napasnya kembali normal. Tangan remaja itu terulur memberi sebuah gantungan liontin hijau cantik.  "Ini punya kakak terjatuh."

Kelopak Cherry melebar. Memeriksa tas dan benar gantungan liontin miliknya tak ada di sana. Tangan si gadis meraih benda dari tangan si anak remaja. "Terima kasih, ini sangat berharga untukku." Ucap Cherry tulus diselingi senyuman manis.

Si anak remaja tersenyum, "Lain kali hati-hati ya kak!"

Cherry terkekeh, "Rumah kamu di mana?"

"Dekat sini. Rumah kakak di mana?" si remaja laki-laki berbalik tanya.

"Dua blok dari sini."

"Perlu aku antar?" si bocah remaja membuat Cherry tertawa.

"Seharusnya aku yang katakan itu. Mau kakak antar?"

"Aku laki-laki tugasku menjaga seorang perempuan."

Cherry semakin tertawa.  Menggeleng kepala sebelum ia melanjutkan. "Terima kasih, tapi aku tak mau kekasihku cemburu. Melihat aku di antar laki-laki lain terlebih jauh lebih muda." Kata Cherry melontarkan kalimat canda.

"Hahaha...baiklah, kakak hati-hati." Melambai tangan, memutar badan mengambil arah berlawanan.

"Kau juga," ikut melambaikan tangan.

Remaja laki-laki itu mengacung ibu jari dengan senyum mengembang.

Cherry mendekap amplop surat lamaran dalam dada. Berjalan santai melewati jajaran rumah mewah untuk sampai. Jalanan luas dan sepi selalu menemani kala Cherry pulang malam. Gadis manis itu telah terbiasa berjalan jauh. Cherry tak pernah mempersalahkan jarak juga tak memiliki kendaraan pribadi.

Ah, ia rindu masa nge-kost. Dua tahun selama ia bekerja. Cherry memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kost kecil dekat tempat kerja. Saat itu Cherry mengira akan mendapat ceramah panjang dari sang ibu. Ternyata semua berbanding terbalik. Terserah—begitu jawaban sang ibu.

Lebih menyakitkan saat ia memutuskan kembali ke dalam neraka mewah itu. Uang mu habis?  Sambutan luar biasa dari seorang ibu ketika sang putri datang ingin mengisi kembalj kamar miliknya. Cherry hanya menahan napas, bungkam seribu bahasa. Oh, Cherry lupa bahkan saat berada jauh dari rumah sang ibu dan saudarinya tak pernah berkunjung sekadar menyapa atau melihat ia masih hidup atau tidak.

Siapa yang peduli? Percaya diri sekali. 

Cherry tak berharap banyak. Ia tetap selalu bersyukur mempunyai seorang adik laki-laki begitu hangat padanya. Hanya adik laki-lakinya, yang mencari keberadaannya. Menghubungi saat Cherry tak ada di rumah. Cherry terperanjat suara klakson mobil terdengar kencang memecah lamunannya. Langkah Cherry terhenti, tersenyum penuh arti ia mengenali mobil sport hitam yang telah berhenti di sampingnya.

"Sudahku bilang, jangan pernah jalan sendiri ditempat luas dan sepi seperti ini. Kakak hanya perlu menekan nomorku diponselmu." Omelan penuh kasih sayang langsung mengudara dari si pengendara tampan, sesaat setelah jendela mobil turun sempurna.

Benar'kan? Dia—adik tampanku dan selalu seperti itu.

Cherry terkekeh sebentar, ia menutup mulut. "Maafkan aku, bukan sengaja lupa. Aku tak ingin mengganggu waktumu."

Tangan si adik tampan terulur membuka pintu. Cherry segera masuk, dan menutup pintu. Mobil sport mulai meluncur. "Bagaimana hari ini?" tanya si adik sembari fokus mengemudi.

Cherry menunduk mainkan jari di atas tas. "Masih belum beruntung." 

Si adik tampan melirik sekadar mengintip ekspresi sang kakak. "Aku bisa...."

"Tidak, kau bisa kena omel ibu." Cherry memotong ucapan sang adik. "Aku tak apa, kau tak perlu khawatir. Doakan saja kakakmu ini. Semoga esok ada keberuntungan hadir."

Si adik melirik (lagi) lewat sudut mata. Melihat sang kakak cantik tersenyum membuat dirinya ikut menarik dua sudut bibir. "Tuhan, beri kakakku (jodoh) terbaik." Doa tulus si adik tampan dalam hati.

"Amen," jawab si gadis. Tanpa Cherry tahu si adik tampan tersayang menambahkan kata jodoh di dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status