Share

Involved Love
Involved Love
Author: ViRuz04

Prolog

New York, 30 June.

"Ia butuh seorang ibu."

Suara wanita paruh baya terdengar sendu, menutup pintu lalu mengayun kaki mendekat ke ranjang box sang cucu.

Ucapan sang Ibu membuat si Pria tampan melirik melalui ekor mata lantas menghela napas kecil. Usapan punggung jari lembut papa tampan pada pipi seorang anak laki-laki kecil sedang tertidur pulas terhenti. Papa muda meluruskan punggung, berdiri tegap kemudian berpaling memandang sang Ibu.

Tatapan penuh iba wanita paruh baya curahkan pada cucu tersayang. Perasaan getir langsung merayap dalam hati, ia menangis tepat di samping putranya. "Kenapa harus?! Rasanya sangat sakit harus melihat cucuku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Cucuku tersayang. Cucuku malang tak pernah menginginkan takdirnya seperti ini."

Mengusap pipi basah saat air mata terus turun tanpa bisa wanita paruh baya kendalikan.

"Kumohon jangan berpikir jauh, Bu! Biarkan cucu kesayangan ibu tidur tanpa mendengar keluh kesahmu. Beri anakku waktu lepas guna istirahat, kejadian beberapa waktu lalu, yang ia alami sungguh di luar batas," sahut putra tampan. Mengusap punggung tangan ibu tersayang bermaksud menenangkan hati.

Wanita paruh baya itu menoleh memberi senyum hangat. Hatinya sedikit tenang, kala putra semata wayang mampu mengontrol emosi. "Yah, kau benar. Cucu tampanku sangat kuat." Mengusap kepala cucu tersayang sangat lembut.

"Dia sangat special, aku pasti bisa memberikan yang terbaik untuknya. Ia putraku," jawab papa muda penuh percaya diri. Manik hitam Ares melirik guna meresapi ekspresi sang Ibu.

Tatapan mereka bertemu. Telapak sang Ibu mengusap lengan putra kesayangan. "Sayang dengarkan ibu, Nak! Itu pasti sangat sulit. Bekerja serta membagi waktu untuk cucuku yang tampan. Ibu bisa mencarikanmu calon ...."

"Tidak, Bu! Aku belum mau menikah. Siapa juga yang bisa menerima pria tampan dengan status anak satu?! Walau bukan hal sulit untukku." Ares memotong ucapan sang Ibu dengan desahan lelah. Papa tampan sengaja menyelipkan canda pada akhir kalimat, ia tidak ingin menyakiti hati Terry.

Wanita paruh baya itu terkekeh. Paham persis sifat putranya. Telapak Terry menepuk sedikit keras pundak sang Putra.

"Kau tahu, duda jelek saja laku. Apalagi putra tampan ibu. Oh, ya, Tuhan, anakku pasti laris-manis dipasaran. Terlebih jika kau memasang diskon." Terry membalas tak kalah jenaka.

Ares mencebik, sekaligus melongo tak percaya. Terry bicara seolah ia barang murah, bukan barang berharga yang tak mungkin laku dengan harga tinggi. Oh, yang benar saja. Ia tampan, menawan, berpostur tubuh tinggi juga memiliki kekayaan. Siapa yang bisa menolak pesona dirinya. Hanya wanita bodoh yang tak ingin jadi pendampingnya. Tapi di mana wanita bodoh itu?

Tuhan, pertemukan aku dengan wanita bodoh seperti itu. Doa Ares dalam hati dan malaikat dengan senang hati mencatatnya. Ah, mungkin saja akan terkabul. Siapa yang tahu?!

"Aku memang tidak berniat pasang diskon," balas Ares acuh angkat satu bahu.

Bahu Terry merosot. "Baiklah, tidak ada diskon. Jika putraku bersedia, biar ibu kenalkan pada anak dari teman-teman ibu. Mereka semua cantik-cantik, memiliki tubuh indah, juga berpendidikan tinggi. Aku yakin kau pasti tertarik pada salah satu dari mereka. Bagaimana?" Terry mengerjab mata lucu. Berharap Ares menerima ide konyol darinya.

Gelengan lemah kepala Ares membuat Terry menghela napas sebal. Wanita paruh baya itu berpaling menatap sang cucu. "Kasihan sekali, cucuku yang tampan ...."

"Bu!" sela Ares cepat tak ingin mendengar kalimat drama sang Ibu. "Tolong, percaya saja padaku. Aku bisa urus semua keperluan serta kebutuhan anak itu tanpa kekurangan apa pun." Ares tetap berpegang teguh pada pendiriannya.

"Itu menurutmu. Merawat bayi tidak mudah tampan, tetap butuh tenaga ekstra sayang. Selain dari pada itu, kenyataannya cucuku memang butuh kasih sayang seorang ibu. Semisal membacakan cerita sebelum tidur. Belaian lembut atau nyanyian seorang ibu saat ingin tidur." Terry terdiam sesaat, memberi pengertian pada Ares memanglah sangat sulit. Terutama masalah pendamping, bukan ingin ikut campur masalah pribadi sang putra. Hanya saja bayangan desakan pertumbuhan sang Cucu tanpa seorang ibu membuatnya khawatir.

"Apa kau bisa melakukan itu? Sedangkan waktu makan dan jam tidurmu saja sangat berantakan." Terry memberi jeda sejenak. "Aku tidak menuntut kesempurnaan dari calon menantuku. Setidaknya pendampingmu nanti bisa menerima serta membesarkan cucuku penuh kasih sayang tulus, itu saja aku sudah bahagia." Tetap bersikukuh meminta Ares untuk memikirkan kembali permintaannya.

Ares memijat pangkal kening. Ia tak ingin menikah dalam waktu dekat. Terlebih ia punya kriteria tersendiri memilih calon pendamping. Manik mereka bertemu sesaat, Terry tetap memasang wajah binar dengan alis terangkat tinggi. Sedangkan papa muda membuang arah pandang menatap lantai kamar, Ares mengusap tengkuk tak ingin berdebat tengah malam. Tubuh dan hati si tampan terlalu lelah saat ini.

"Akan kupikirkan," sahut Ares kalem tanpa ekspresi berarti. Meski begitu wanita paruh baya itu menganggap kalimat barusan adalah sebuah persetujuan. Terry tersenyum sumringah mendengar jawaban putra tampan.

Menepuk lembut pipi Ares lalu menarik dua sudut bibir ia tersenyum puas. "Ibu tunggu, kabar baik itu, jika memang tidak dapat ibu pasti bertindak," kata Terry seolah mengancam. Manik hitam Terry bergulir menatap sang Cucu lantas tubuhnya sedikit membungkuk guna berbisik. "Cucuku akan dapat mama. Selamat malam, mimpi indah tampan." Mengusap sayang kepala bayi laki-laki di sana. Iris Terry bergulir menatap Ares. "Kau juga perlu istirahat, selamat malam sayang!" setelahnya keluar dari kamar Ares dengan hati berdegub senang.

Kelopak mata Ares tertutup sejenak lalu membukanya kembali manakala mendengar suara pintu kamar telah tertutup. Pria tampan berusia 25 tahun itu kembali menghela napas berat. Mengayun kaki kemudian merebahkan tubuh berusaha membagi rasa lelah pada ranjang besar miliknya. Tangannya terlipat di belakang kepala. Manik hitam papa tampan menatap langit kamar, tanpa renungan apapun dalam kepala. Hanya sebuah tatapan kosong. Ia tidak ingin memikirkan hal apa pun.

Manik hitam tegas Ares bergulir menatap box bayi. Dimulai dari beberapa jam yang lalu. Takdir telah mengubah status dirinya dalam satu malam. Memberi emban sebagai orang tua tunggal untuk sang Putra tercinta. Ia harus memikul beban serta tanggung jawab besar untuk anak bayi laki-laki.

Helaan napas Ares mengudara. Ia tidak sepenuhnya mengabaikan keinginan sang Ibu. Ares pun bisa membayangkan hari-hari sulitnya di kemudian hari. Tangannya mengerat pada selimut tebal menutupi tubuh.

"Aku pasti bisa."

Monolognya pada hening dalam kamar. Tidak peduli pada cibiran orang nantinya. "Yeah pasti," sekali lagi Ares bertekad fokusnya saat ini hanya terbagi dua. Pekerjaan dan si anak laki-laki tersebut.

Kelopak mata Ares mulai turun, napas halus papa tampan mulai teratur. Ares tidur, melepas penat tanpa memikirkan hal yang masih belum bisa ia jangkau. Yah, dirinya harus istirahat.

Ares Allan

***

"Kalian sangat cantik."

Suara lembut seorang gadis tertanam lirih bersamaan dalam satu waktu. Mengabaikan sinar laptop memapar wajah. Kepala si Gadis menengadah menyapa langit malam terlihat indah penuh cahaya bintang. Gemerlap, sangat! Mampu membawa hati seseorang tenggelam dalam puisi alam. Seulas senyum manis terpasang sekadar melepas beban. Beberapa tahun terakhir si Gadis manis berponi menyukai kegiatan ini hampir di setiap malam.

Semilir angin dingin menerpa kulit wajah. Poni gadis manis ikut melambai terbuai bergerak, seiring mata arah angin. Gadis manis menunduk, kembali memandang laptop tanpa tahu apa yang harus ia tulis di sana. Terkadang manusia dipaksa untuk berpikir dan lupa bahwa melamun sesaat bisa menenangkan. Yah, sampai separah itu padahal otak saja didesak tak juga mau.

Cherry. Nama itu terdengar manis, bukan? Julukan cantik tersebut diberikan sang Ayah, kala ia terlalu sering meminta buah Cherry sebagai oleh-oleh jika sang Ayah pergi dinas. Kendatipun sang Ayah sangat sibuk bekerja. Menjalankan bisnis acapkali pergi dalam waktu cukup lama. Cherry tidak merasa haus kasih sayang seorang ayah. Beliau memiliki sifat hangat penuh perhatian. Ayah bijaksana, bertanggung jawab juga setia pada sang ibu. Yah pada ibu. Iris cokelat cantik bergulir pada laptop.

Aku tidak ingin menjadi seorang yang dewasa. Bukan berarti aku ingin terus kekanakan. Setidaknya diusia ini, aku berharap bisa lagi berbagi cerita dan tawa denganmu. Bawa aku ke tempatmu, aku rindu.

Baru saja selesai menjalin kalimat anggun. Mata cokelat Cherry tampak berkaca-kaca. Dirinya bukanlah gadis yang lihai menyembunyikan pedih di hati kala sendiri. Ia bisa menangis melengking tanpa peduli detik bahkan jam. Jari lentik gadis manis setia mengambang di atas keyboard. Menggigit bibir kecil kuat-kuat, lantas menyingkirkan laptop dari pangkuan. Cherry meluruskan kaki, duduk di antara pintu balkon dan ruang kamar kost. Cherry tidak berniat angkat bokong dari sana.

Manik cokelat gadis manis menelisik seluruh sudut kamar kost, senyum pahit sesaat kini ia hanya sebuah ia sedikit pasrah. Beberapa waktu lalu Cherry dan teman-teman tempat kerja mendengar kabar kurang sedap. Tempat mereka bekerja akan ada pengurangan pegawai. Belum lagi tabungan Cherry menipis, gaji sebagai pramusaji sangat kecil. Meskipun telah hidup hemat setiap bulannya tetap saja, ia tidak bisa menabung banyak.

Isi kepala si Gadis terus mencari jalan keluar terbaik. Cherry harus bergerak cepat. Lantas kemarin diakhir pekan ia dan salah satu teman kerja sudah cari info lowongan pekerjaan. Yah, harus se-siap itu. Cherry harus punya back-up sebelum benar-benar dipecat. Setidaknya jika sudah ada satu, ia bisa tenang. Tak perlu lagi pulang ke rumah.

Rumah'kah?

Bisakah ia menyebut tempat mewah itu sebagai tempat istirahat terbaik? Entahlah. Cherry sendiri harus siapkan mental jika memang kembali ke sana. Rumah seharusnya tempat berlindung dari bahaya di luar. Tempat hangat dan nyaman untuk berbagi cerita. Bukan neraka yang siap melahapnya hidup-hidup. Separah itu, Cherry merasa kehadirannya tak pernah di anggap.

"Haha ...." tiba-tiba si gadis manis tertawa sakit. Perih. Jika ada pilihan lain Cherry lebih memilih tidak ingin kembali ke sana.

Andai saja ia bisa memilih jalan takdirnya sendiri. Pahitnya. Setiap manusia dilahirkan tanpa bisa memilih. Barisan kata sakit dan bahagia seharusnya menjadi penyeimbang kebahagiaan di dunia. Cherry sampai tidak mengerti arti sikap kasar sang Ibu.

Apa ia pernah berbuat salah? Apa ia membuat malu keluarga? Ataukah memang ia sengaja di perlakukan tidak adil? Tapi apa? Kenapa? Seakan pertanyaan dalam kepala menjadi labirin yang tak pernah ada jalan keluarnya. Sulit dimengerti. Sukar diterima hati.

"Bahagia? Apa kata itu masih ada?" Cherry bersuara lirih. Bagaimanapun ia ingin merasakan bahagia bersama seseorang yang dicintai. Saling berbagi suka ataupun duka tanpa ada kebencian mendalam. Tanpa ada kebohongan serta kemunafikan. Adakah yang masih menjaga nilai suci dari kata itu?

Misteri.

Sebanyak apa pun yang dilakukan. Sekeras apa pun dijelaskan. Tetap saja tidak ada ruang di hati pemuja dengki. Lucunya. Mereka menebar pesona pada manusia hipokrit. Berteman baik dengan boneka annabelle yang kemudian saling menikam dari belakang. Ah, iya seperti itu! Sangat lucu, seolah mereka telah tersakiti.

Cherry menghela napas berdiri. Menutup pintu balkon lalu meraih laptop. Kaki gadis manis melangkah lemah menaruh benda tersebut di atas meja. Naik ranjang, Cherry menarik selimut serta mendekap guling. Gadis itu berusaha menutup mata. Berharap esok lebih baik, lebih, lebih dan lebih. Kelopak Cherry mulai turun mencoba menggapai mimpi indah.

Mimpi indah? Bisakah? Semoga semesta mengabulkan.

Qyana Thomas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status