Share

Hari sial

Wajah tampan Ares sedang berbinar senang. Telepon genggam masih menempel di telinga. Seseorang memberi kabar baik sampai si Tampan terus menyungging senyum menawan.

"Wow, lebih cepat dari dugaan aku," kata papa tampan memberi pujian pada sahabatnya.

"Pastikan dia mau datang," tetap memberi perintah mutlak tak terbantah.

"Yeah, aku tunggu kabar baik darimu."

Kira-kira seperti itu percakapan telepon antara Scott dan Ares. Papa tampan kembali menatap laptop.

"Ares,"

Baru saja panggilan telepon terputus. Panggilan suara lembut malaikat tak bersayap mengusik gendang telinga. Pintu ruang kerja Ares terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Menampilkan sosok sang Ibu menggendong Prime dengan dot karet menempel pada mulut bocah laki-laki itu.

"Ada apa, Bu?" Ares mengalihkan fokus dari laptop di atas meja, menatap sang ibu.

"Aku minta izin padamu, membawa Prime ikut bersamaku besok." 

Terry duduk di sofa putih ruang kerja. Memangku Prime memberi bocah laki-laki itu mainan untuk digenggam.

Kedua tangan Ares bertaut di atas perut. Menyandarkan punggung pada kursi abu-abu sebelum bertanya. "Ibu mau pergi ke mana?" menggerakkan kursi seirama gerak tubuh.

Tangan Terry sibuk dengan tingkah Prime yang tak mau diam. "Rahasia," sahutnya acuh.

"Kalau begitu, aku tidak bisa memberi izin." 

Ares menjawab pelan dan tegas maniknya bergulir fokus pada laptop.

Satu sudut bibir atas Terry terangkat. "Cih, menyebalkan sekali papamu," cibir sang Ibu dan Ares tampak tak peduli. 

"Besok ibu dan beberapa teman yang sudah memiliki cucu ingin pergi ke taman hiburan. Ayolah, Prime juga butuh hiburan. Cucu kesayangan ibu bisa tua di rumah karena kamu selalu mengurungnya."

Fokus Ares tetap pada laptop. Tidak lama melirik sang Ibu lalu manik hitam Ares bergulir pada putra kesayangan. Ares mendesah, yang dikatakan sang Ibu benar. Ia selalu sibuk dengan pekerjaan. Jarang sekali membawa Prime pergi jalan-jalan.

"Ya," balasan singkat padat dari Ares sudah cukup membuat Terry tersenyum senang. Tak masalah yang terpenting ia sudah memiliki izin.

"Pulang jangan terlalu sore, anakku butuh istirahat."

Ares mengingatkan sang ibu.

Terry merotasi bola mata jengah. Dirinya seperti anak kecil yang harus diperingati karena main tidak kenal waktu serta pulang ke rumah selalu terlambat.

"Nee," sahutnya meledek.

Ares mengerut alis cukup dalam. "Apa itu, nee?" mengikuti intonasi mengejek sang Ibu.

Terry terkekeh. Membawa sang Cucu kesayangan dalam dekapan kemudian berdiri. "Hah, kamu memang payah, itu bahasa Korea, seluruh dunia sedang tergila-gila pada negeri ginseng."

Terry memberi jeda sesaat. "Kamu tahu di sana ternyata ada banyak pria-pria yang sangat tampan."

Berlaku centil layaknya gadis remaja berusia belasan tahun, sangat labil.

Kepala Ares mundur sedikit lalu menggeleng. "Ibu kira aku gay!" mencebik sangat dongkol, ada saja tingkah sang Ibu.

Terry justru tertawa keras mendengar gerutu dari Ares.

"Aku rasa kalau ayah tahu sifat labil ibu, seluruh akses ibu akan dicabut."

Sang ibu lagi-lagi tertawa kencang putra tampan kesayangan mencoba memperingati. Mengingat sifat over cemburu James sang Suami.

"Tak perlu khawatir suamiku sudah tahu. Pria tua itu bahkan mengancam  membuang televisi di rumah, dan aku tidak boleh memiliki ponsel."

Ares menghembus napas singkat lalu menggeleng. "Yang ibu sebut pria tua itu suamimu," balas papa tampan kalem.

Terry tampak acuh,  jalan mendekat pada Ares. Berdiri tepat di depan meja ia sedikit menundukkan tubuh. "Aku bilang pada ayahmu. Jika sampai melakukan hal tersebut, aku tidak akan memberinya jatah sampai semua akses milikku kembali."

Ya Tuhan istri laknat.

Ares mendengus tipis. "Lalu?" kedua alis papa Tampan terangkat, ia penasaran.

Tubuh Terry kembali lurus sigap. "Tentu saja ayahmu cemberut. Bagaimanapun semua pria memiliki  gairah tinggi, mereka butuh hal berbau biologis.

Manik Terry tertarik ke sudut mengerling jahil menyidik putra semata wayang lantas mengulas senyum sebelum melanjutkan bicara.  "Tak seperti putraku bernama Ares. Pria dewasa itu sangat aneh. Aku pastikan si Ares membuang cairan biologis ke saluran kamar mandi.

Terry mencibir juga merasa menang melihat raut masam sang putra. Oh, putranya sangat menggemaskan.

Ucapan sang Ibu membuat Ares tersedak liur sendiri. Batuk-batuk memukul dada sendiri, membuang tatap ke segala arah serta salah tingkah. Terry tertawa geli mendapati putra kesayangan gugup tersiksa.

"Ouh ... ouh, aku benar, 'kan? Hahaha...."

Melangkah keluar ruang kerja dengan tawa puas.

Pintu ruang kerja pribadi Ares tertutup sempurna, batuk papa tampan pun telah reda. Jari telunjuknya meraih kuping cangkir hitam berisi cairan mocca kesukaan, mencium pinggir cangkir Ares menyesap isinya. Bunyi dua benda terbuat dari kaca memecah hening dalam ruang kerja. Ares memijat dahi, seketika merasa pusing gara-gara ucapan sang Ibu.

Tentu saja pusing. Percayalah Ares pria normal sesekali menonton film dewasa, tanpa melihat adegan panas hot pop, hasrat seorang pria pasti terpancing. Semisal kala mata liar mereka melihat pakaian minim para pegawai atau gaun kurang bahan membelah dada atau paha saat dalam pesta sudah cukup membuat darah mereka bergolak.

Oh, shit!

Ares mengerang frustrasi. Pekerjaan masih menumpuk. Gairahnya tiba-tiba melonjak tak tahu diri. Papa tampan menutup mata. Menetralisir desir geli dalam darah. Nihil, desir asing menggelitik semakin naik merambat dalam otak. Memproduksi bayangan nakal dan tak mau berhenti. Ares mengerang kesal, dirinya panas. Beranjak dari ruang kerja langsung naik ke lantai atas menuju kamar.

Melihat sang Putra keluar dari ruang kerja Terry mencoba memanggil, "Ares ...."

Terry mengerjab, menatap punggung sang Putra bingung karena Ares  terlihat sangat terburu-buru. Wanita paruh baya itu berpikir mungkin ada dokumen tertinggal dalam kamar. Memilih tak peduli, Terry membawa cucu kesayangan masuk ke dalam kamar untuk minum susu dan tidur.

Jangan tanya Ares mau apa?!

🌟🌟🌟

Seseorang bisa bertahan dalam kesempatan. Jika luang itu nyata jangan biarkan kosong. Hari-hari milikmu mungkin terisi rasa sakit. Bangkitlah dan percaya bahagia masih ada menunggu kehadiran dirimu di lain tempat.

Sepenggal kalimat penyemangat diri, Cherry tulis sebelum  beranjak dari kamar. Hari sabtu masih pukul 05.08 am. Gadis manis itu terbiasa bangun pagi, menyiapkan hidangan untuk sarapan keluarga serta merapikan rumah. Bukan karena kekurangan maid. Ia dipaksa tapi tidak juga terpaksa, bukan begitu, hanya saja gadis manis senang bisa membantu, terlebih Cherry telah terbiasa saat kost dulu semua serba dilakukan sendiri.

Rumah mewah peninggalan sang Ayah terlihat dari luar bagai sangkar emas. Bagi Cherry sebutan tersebut lebih cocok untuk seorang putri manis yang mendapat kasih sayang dan perhatian melimpah.

Well, sebagai contoh nyata adalah adik perempuannya Early. Gadis cantik penuh keberuntungan sejak lahir karena telah mendapat kasih sayang utuh dari kedua orang tua. Early tidak sendiri ada satu lagi adik laki-laki kembarannya. Leon adik laki-laki yang sangat menghormati juga menyayangi Cherry.

Sang Ibu kerap kali berlaku culas pada Cherry. Wanita paruh baya itu tidak memberi hak Cherry jika tak ada sang Ayah. Kasih sayang selalu wanita itu curahkan selagi sang Ayah berada di rumah. Cherry sendiri harus tahu dan paham posisinya.

Apa yang bisa dipahami anak kecil? Saat diberi hadiah sebuah kalimat menusuk seperti kutukan tepat di telinga. 

Jadi apalagi yang harus Cherry kecil lakukan saat suara rendah sang Ibu terdengar sebagai ancaman dan membuatnya seluruh aliran dalam darahnya membeku. Siapapun gadis kecil itu pasti akan langsung diam, duduk dan tak banyak bicara. Hah, sudahlah semua sudah berlalu. Mengingatnya hanya menambah sesak serta mengiris hati.

Cherry merapikan meja makan. Lengkap dengan menu sehat juga buah segar.

"Pagi kak!" sapa Leon mencium pipi kiri Cherry.

Cherry terkejut, memukul main-main bahu sang adik. "Jangan seperti itu terutama depan umum, orang mengira aku berpacaran denganmu!" ujarnya melempar kalimat sebal.

Leon terkekeh. "Itu bagus, tidak ada yang bisa menyakiti kakakku." 

Cherry justru meringis. Adik macam apa dia? "Oh, bagus dan aku tidak laku alias jadi perawan tua." Cherry berdecak pinggang kemudian memasang raut kesal.

"Ada aku, kakak bisa jadi yang kedua," sahut si Adik tanpa merasa bersalah terus menggoda Cherry.

"Hah, jadi benar gosip yang aku dengar! Otak adikku terbawa air laut." Cherry menggeleng kepala pias.

Leon hanya tertawa. Ia memang sangat menyayangi kakak pertama. Perlakuan Leon pada Early berbeda, si aAik tampan tidak pernah sedekat itu untuk mencurahkan kasih sayang pada Early. Berbeda jika dengan Cherry, laki-laki remaja itu akan terbuka bahkan tentang masalah percintaannya.

"Hidangan sudah matang, kamu ingin sarapan?"

Leon menggeleng, "Berikan aku susu itu," iris hitam Leon melirik pada susu di atas meja makan. Cherry memberi segelas susu pada Leon, langsung dihabiskan menit itu juga.

"Aku mau latihan otot dulu," kata si Adik tampan selanjutnya berpamitan padanya.

Jari Cherry membentuk kata oke. Setelahnya Leon melangkah menjauh, belok ke arah ruang latihan kemudian memutar musik keras.

Cherry berlalu dari ruang makan. Ia masuk ke dapur, minum air putih melepas dahaga.

"Nona, anda tidak perlu lakukan ini setiap hari. Nyonya besar selalu bangun siang, beliau tidak akan tahu."

Seorang maid tiba-tiba mendekat juga memasang wajah muram.

Gelas dari tangan Cherry berpindah ke atas meja dapur. Gadis manis ramah memberi senyum, "Badanku bisa pegal-pegal jika tidak gerak. Terima kasih sudah peduli padaku."

Maid itu menunduk sedih. "Saya tidak bisa melihat Nona terus diperlakukan tak adil."

Cherry menepuk pundak maid. "Tidak juga, semua karena keinginan aku sendiri."

"Kalian terlihat akrab," suara lain di balik punggung mereka.

Terkekeh geli sangat mengejek sebelum kembali bersuara, "Hah, kalian memang cocok, derajat pembantu tempat kalian ya ... di sini!" seruan hina itu dari sang Adik perempuan pada pagi ini.

Cherry mengerut dahi dalam. Kalimat itu sangat tidak pantas dilontarkan oleh seorang yang duduk di bangku mahal. Cherry menarik napas menetralkan emosi. "Semua manusia tercipta dengan takdir yang telah ditentukan. Jika kamu merasa tinggi sebaiknya jaga lidah jangan memberi luka di hati orang lain."

Kalimat panjang Cherry mengalun tenang.

Early mengepalkan tangan tidak suka mendengar kalimat Cherry. Wajahnya merah, menahan malu merasa di bantah juga di permalukan oleh kakak tak berguna.

"Jangan mengajari aku tentang sikap. Seolah-olah kamu adalah contoh putri idaman."

Senyum Cherry mengembang. "Lalu kamu sendiri? Berkaca sebelum bicara atau kamu akan tersungkur dan menjilat liur yang sudah kamu buang."

Early semakin berang lantas maju menampar kuat pipi Cherry. Jari telunjuk si Adik mengacung memperingati.

"Kamu tidak berhak mengajariku juga membantahku, jalang sialan!"

Hati Cherry berdenyut nyeri. Cherry tak menyangka Early mengatakan hal hina untuknya. Menekan rahang kuat, Cherry mengepalkan tangan, hendak membela diri.

"Jaga lidahmu," Cherry mendorong dada Early sampai bokong adik perempuannya mencium marmer dingin.

Kejadian itu seharusnya lambat, namun kali ini waktu tak tepat. Kesialan lagi-lagi menyapa. Pada saat yang sama sang Ibu baru saja datang dibuat terkejut melihat kejadian secara sepihak seolah putri kesayangan tersakiti. "Anak kurang ajar," teriak Merlin sangat emosi.

Menampar cukup keras sampai sudut bibir Cherry sedikit berdarah.

"Aku sudah baik hati menerima anak tak tahu diri sepertimu dan ini balasan dari kamu. Dasar jalang!"

Jalang.

Pipi Cherry semakin pedih tertampar dua kali, bukan hanya pipi. Hati gadis manis seolah tertusuk belati tumpul membuatany kesulitan bernapas dan sakit. Air mata tidak lagi dapat ia tahan. Bukan karena perlakuan kasar yang ia terima. Lebih pada kata kasar tak bermoral menghancurkan harga diri Cherry.

Apa salahku sampai ibu juga memberi julukan hina itu?

"Dengar jalang sialan," desis Merlin penuh kemarahan. "Kemas semua barang-barang milikmu. Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali."

"I-bu ...."

"PERGI!" bentak Merlin sangat murka.

Belum juga selesai kalimat Cherry, suara sang ibu kembali terdengar lantang.

Gadis itu tersentak, mencoba meraih tangan sang Ibu namun sia-sia, Merlin membantu Early pergi dari sana, memberi usapan penuh kasih sayang pada Surai panjang putri kesayangan. Adegan manis itu menambah getir pada hati Cherry semakin mendalam. Ia yang tersakiti di sini, batinnya tidak terima.

"Non ...."

"Aku ...,"

Cherry menggantung kalimat mendapati maid di sana ikut menangis, "Terima kasih, sudah perhatian padaku. Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi."

Memberi pelukan hangat sebelum akhirnya melepaskan, berlalu dari sana karena harus menyiapkan diri untuk angkat kaki.

🌟🌟🌟

Langkah kecil membawa sang Pemilik kaki berjalan tak tentu arah. Koper hitam besar berserta tas kecil setia menemani perjalanan menyedihkan gadis manis hari ini. Isi kepala gadis manis masih tampak samar. Tak bisa berpikir jernih. Tatapan Cherry kosong penuh isyarat luka pada jalan sedikit ramai sisi kota.

"Hari yang sepi," gumamnya melihat jalanan besar tidak seramai hari biasanya. "Aneh sekali," tambahnya membuyarkan lamunan. Cherry angkat bahu acuh, kembali mengayun kaki tanpa tujuan.

Gadis manis menarik napas dalam. Menghembuskan karbondioksida perlahan. Sesaat kala sesak hadir tanpa tahu waktu. Aku harus kuat bisik Cherry dalam hati.

Tak boleh ada tangis, tak boleh ada air mata. Jika itu terjadi dirinya akan malu. Ditatap aneh oleh orang-orang sekitar pasti sangat tidak nyaman.

Cherry menarik dua sudut bibir mengukir senyum indah tercetak di wajah ayu miliknya. 

Hebat, bukan?

Cherry merasa bagai Candala yang tidak akan ada akhir. Yah, istilah itu sangat pantas untuk keadaannya saat ini. Gambaran kondisi seseorang di mana merasa sangat rendah.

Langkah Cherry kembali terhenti. Berteduh di bawah pohon tidak begitu besar. Tangan kecilnya merogoh kantong blazer hitam panjang. Mengeluarkan ponsel, dan ia harus kalah saat setitik air bening menetes basahi pipi, tidak kurang dari enam puluh delapan panggilan telepon tidak terjawab tertera pada layar.

Siapa yang peduli padanya?

Tentu saja, adik bontot nan tampan Leon. Satu jam setelah dirinya keluar rumah nomor Leon selalu muncul pada layar ponsel, bukan niat hati mengabaikan sang Adik. Justru Cherry sedang menyelamatkan adik laki-lakinya. Cherry sangat mengerti sifat buruk sang Ibu dan dirinya tidak ingin melibatkan sang Adik. Menyeret Leon masuk ke dalam daftar kebencian sang Ibu. Cherry tidak mau lakukan hal tersebut.

Kepala gadis manis menengadah, mendapati langit semakin gelap dan Cherry belum mendapatkan tempat sewa untuk berteduh. Beberapa tempat Cherry datangi, semua harga telah naik dan sangat mahal. Tabungan Cherry tidak cukup untuk menyewa tempat tersebut baik secara bulanan apalagi tahunan, sangat jauh dari kata cukup.

"Ya Tuhan," Cherry memekik terkejut sampai menyentuh dada yang kini berdebar kencang.

Guntur di langit sangat keras. Cherry kembali memandang ke atas sana warna hitam abu-abu semakin tak bersahabat.

"Gelap sekali!" gumamnya rendah.

Memaksa langkah  gadis manis terburu-buru menyeret koper besar mencari tempat berlindung. Kaki Cherry terus melangkah gelisah. Manik cokelat indah Cherry mengedar meraih segala arah. Ia menemukannya, di seberang sana. Sebuah toko dengan sebuah gantungan kata closed juga bangku kayu cukup untuk dua orang.

Hujan deras seketika turun tanpa adanya gerimis. Cherry berlari cepat menutupi kepala dengan telapak tangan. Menyeberang hati-hati mengingat jalanan cukup luas. Sampai depan toko napasnya tersengal berat. Meneguk liur kering menepuk celana serta baju sudah sangat basah, juga meremas rambut hitam panjang telah lepek. Tangan Cherry menarik koper sampai merapat dekat dinding bangunan toko. Tangan Cherry merapatkan blazer pada tubuh. Duduk pada bangku kayu, Cherry berharap hujan segera reda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status