Keesokan paginya, setelah Kania membantu menggantikan pakaian Rafasya, lelaki itu untuk pertama kalinya berani melangkah keluar kamar. Tubuhnya masih lemah, tangan kirinya yang terluka masih digips, tapi ia memaksakan diri berjalan-jalan menyusuri lorong rumah yang tampak asing baginya.
Mereka akhirnya tiba di halaman belakang, di mana taman kecil dengan bangku kayu tampak terawat rapi. Bunga-bunga yang sedang mekar seolah jadi saksi bisu betapa asingnya lelaki ini terhadap rumahnya sendiri.Rafasya berhenti melangkah. Matanya menatap bingung ke arah rumah besar itu, ke dinding-dinding yang penuh bingkai foto masa lalu yang tak lagi ia kenali.“Kania,” katanya pelan, suaranya penuh heran, “apa aku anak tunggal kaya raya dari pasangan itu?”Kania menoleh, tatapannya tetap dingin. “Ya,” jawabnya singkat. “Kamu anak tunggal dari Papa Hengky dan Mama Ria. Keluarga kalian punya cukup banyak harta.”Rafasya mengangguk kecil. “Pantas rumahnya beSetelah Rafasya sedikit tenang, mereka perlahan kembali ke kamar rawat. Langkah mereka pelan, Kania masih menggenggam tangan Rafasya yang sesekali meringis menahan nyeri.Pak Hengky, yang sejak tadi menunggu dengan wajah penuh cemas, segera berdiri. Ia langsung menghubungi dokter Bagas yang selama ini menangani kondisi Rafasya. Tak lama kemudian, Nadira pun datang, membawa tasnya—siap membantu menangani dari sisi psikologi.Namun Rafasya benar-benar tak mau berpisah dari Kania. Tangannya mencengkeram erat lengan Kania, napasnya masih tersengal. Bahkan ketika dokter Bagas memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya, Rafasya tetap memeluk tubuh Kania erat-erat, seolah ia akan kehilangan jika melepasnya barang sedetik.“Bagaimana, Rafa? Apakah kepalamu masih sangat sakit?” tanya dokter Bagas, suaranya tenang dan sabar.Rafasya hanya mengangguk lemah, matanya masih basah. “Sakit, sakit sekali, Dok … seperti ditusuk,” suaranya parau, gemetar.D
Hening.Kania memejamkan mata, sejenak merasakan degup jantung lelaki itu di punggungnya. Dulu, degup itu yang membuatnya yakin. Dulu, pelukan itu rumah paling aman baginya.Tapi sekarang pelukan itu justru terasa seperti rantai yang tak pernah ia minta.Perlahan, ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di cermin: seorang wanita yang dulu penuh harapan kini hanya ada sisa-sisa ketabahan yang dipaksa tetap berdiri.“Kamu nggak ingat apa pun, Rafa,” bisik Kania pelan, suaranya serak.“Tapi aku, aku masih mengingat semuanya. Setiap kata. Setiap penghinaan. Setiap luka.”Pelukan Rafasya sedikit mengerat, tapi Kania tetap kaku di tempatnya.“Biarkan aku memperbaiki semuanya,” pinta Rafasya, suaranya penuh putus asa.Kania menarik napas, lalu perlahan berkata—dingin, tajam, nyaris tanpa perasaan.“Cinta itu, nggak seperti barang pecah belah, Rafa. Yang bisa direkatkan lagi lalu kembali utuh.”Ia meraih tangan Rafasya yang memeluknya, perlahan melepaskannya dari pinggangnya.“Apa pun yang
Setelah memeriksa Baskoro, Kania kembali ke ruang kerjanya. Baru saja ia duduk, ponselnya bergetar—pesan dari ibunya.“Kania, ibu butuh obat asma. Stok di rumah habis.”Kania menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya membalas pendek:“Iya.”Hanya tiga huruf, dingin dan tanpa basa-basi. Ia kemudian menaruh kembali ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya.Tak berselang lama, ponselnya kembali berdering—kali ini bertubi-tubi. Pesan-pesan pendek dari Rafasya:“Kania, kamu udah makan?”“Jangan kecapekan, ya.”“Kamu pulang jam berapa? Aku nungguin.”Kania membaca pesan-pesan itu tanpa ekspresi. Tangannya sempat mengetik, lalu menghapus, sebelum akhirnya hanya membalas singkat:“Iya.”Hingga akhirnya, waktu praktiknya selesai. Kania pun berjalan menuju farmasi rumah sakit untuk menebus resep obat asma untuk ibunya. Setelah itu, ia langsung menyetir menuju rumah ibunya.Sampai di rumah itu—rumah mas
Tiga minggu telah berlalu. Tubuh Rafasya kini jauh lebih pulih. Luka-lukanya mengering, dan tangannya yang sempat digips sudah bisa digerakkan meski kadang masih terasa nyeri. Ia tampak lebih segar, bahkan mulai menampakkan gestur lelaki dewasa yang dulu pernah ia miliki.Tapi pagi itu, suasana kamar sempat memanas. Kania yang sudah rapi dengan jas dokternya menyiapkan tas kerjanya, sementara Rafasya berdiri di samping ranjang, menatapnya dengan wajah cemas, hampir seperti anak kecil yang tak mau ditinggal.“Kania kamu nggak bisa nggak kerja dulu? Temenin aku di rumah?” pintanya, suaranya berat, nyaris memohon.Kania menoleh, sorot matanya datar, meski di baliknya ada kesabaran yang ia kumpulkan setiap hari.“Kita jalani hari seperti biasa, Rafa. Aku seorang dokter, dan kamu direktur utama kereta api, ya? Nanti juga setelah kamu pulih, kamu akan bekerja,” ucapnya. Nadanya tenang, tapi keras, seperti garis tegas yang tak bisa dinegosiasi.Rafas
Keesokan paginya, setelah Kania membantu menggantikan pakaian Rafasya, lelaki itu untuk pertama kalinya berani melangkah keluar kamar. Tubuhnya masih lemah, tangan kirinya yang terluka masih digips, tapi ia memaksakan diri berjalan-jalan menyusuri lorong rumah yang tampak asing baginya.Mereka akhirnya tiba di halaman belakang, di mana taman kecil dengan bangku kayu tampak terawat rapi. Bunga-bunga yang sedang mekar seolah jadi saksi bisu betapa asingnya lelaki ini terhadap rumahnya sendiri.Rafasya berhenti melangkah. Matanya menatap bingung ke arah rumah besar itu, ke dinding-dinding yang penuh bingkai foto masa lalu yang tak lagi ia kenali.“Kania,” katanya pelan, suaranya penuh heran, “apa aku anak tunggal kaya raya dari pasangan itu?”Kania menoleh, tatapannya tetap dingin. “Ya,” jawabnya singkat. “Kamu anak tunggal dari Papa Hengky dan Mama Ria. Keluarga kalian punya cukup banyak harta.”Rafasya mengangguk kecil. “Pantas rumahnya be
Pak Hengky berdiri di ujung koridor, matanya menangkap sosok Kania yang bersandar di dinding. Bahu Kania terlihat gemetar, tangannya menutupi wajah—tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.Perlahan, Pak Hengky melangkah mendekat. Suaranya parau saat berkata, “Kania maukah kamu tetap bertahan? Demi kesembuhan Rafasya?”Kania mengusap air matanya cepat, mencoba kembali memasang wajah dinginnya. Tapi suaranya retak, matanya sembab. “Bertahan? Untuk apa? Setelah dia sembuh apa aku akan dibuang lagi? Dicampakkan seperti sampah, dilupakan, tidak dianggap—seperti dulu?”Kata-kata itu mengguncang hati Pak Hengky. Bahunya menurun, matanya memerah. Selama ini ia hanya melihat—tidak benar-benar melihat—dan hanya mendengar apa yang ia mau dengar.“Saya saya merasa malu, Kania,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Selama ini saya menutup mata, menutup telinga atas semua yang sudah Rafasya lakukan padamu.”Kania memejamkan mata, air matanya kembal