Share

Buat Bayi?

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-28 10:47:51

Pak Hengky berdiri di ujung koridor, matanya menangkap sosok Kania yang bersandar di dinding. Bahu Kania terlihat gemetar, tangannya menutupi wajah—tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.

Perlahan, Pak Hengky melangkah mendekat. Suaranya parau saat berkata, “Kania maukah kamu tetap bertahan? Demi kesembuhan Rafasya?”

Kania mengusap air matanya cepat, mencoba kembali memasang wajah dinginnya. Tapi suaranya retak, matanya sembab. “Bertahan? Untuk apa? Setelah dia sembuh apa aku akan dibuang lagi? Dicampakkan seperti sampah, dilupakan, tidak dianggap—seperti dulu?”

Kata-kata itu mengguncang hati Pak Hengky. Bahunya menurun, matanya memerah. Selama ini ia hanya melihat—tidak benar-benar melihat—dan hanya mendengar apa yang ia mau dengar.

“Saya saya merasa malu, Kania,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Selama ini saya menutup mata, menutup telinga atas semua yang sudah Rafasya lakukan padamu.”

Kania memejamkan mata, air matanya kembal
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Bohong Lagi

    Setelah kejadian itu, Rafasya mengantarkan Kania ke rumah sakit tempatnya bekerja sebelum ia sendiri kembali ke kantor.Sesampainya di parkiran, Rafasya menahan langkah Kania dengan lembut. Ia menggenggam tangan Kania, lalu mengecup kening istrinya.“Semangat kerjanya, istriku,” bisiknya pelan.Kania hanya diam. Sorot matanya tetap dingin, tak berubah sedikit pun. Ia melepas tangan Rafasya pelan tanpa berkata apa-apa, kemudian turun dari mobil dan berjalan masuk.Saat menyusuri lorong rumah sakit, tiba-tiba saja suara familiar memanggilnya.“Dokter Kania, sebentar,” ujar Dokter Bagas, salah satu dokter rehabilitasi saraf yang menangani Rafasya sejak kecelakaan.Kania menoleh. “Iya, Dok. Ada apa?”Dokter Bagas menatap Kania dengan raut sedikit khawatir. “Bagaimana keadaan suamimu? Sepertinya dia sudah lebih stabil, ya?”“Iya, kelihatan begitu,” jawab Kania singkat.“Tapi, Kania, Rafasya sudah dua kali mangkir dari

  • Istana Yang Ternoda   Bukti

    Tanpa membuang waktu, Rafasya segera pergi. Ia tahu tak bisa hanya diam. Ia harus mencari bukti soal Siska. Ia tak mau rumah tangganya dengan Kania hancur karena fitnah.Sampai di kantor, ia melihat ayahnya, Pak Hengky, sedang berdiri di dekat meja kerjanya. Begitu melihat wajah Rafasya yang kusut, Pak Hengky langsung menegur.“Kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu baru saja bertengkar dengan Kania?” tanyanya.Rafasya menghela napas panjang. Ia pun menceritakan semuanya: tentang tuduhan Baskoro, tentang Siska yang mengaku hamil, juga tentang niatnya mencari bukti bahwa itu bukan anaknya.Pak Hengky terdiam beberapa saat, memerhatikan anaknya dengan tatapan dalam. “Kenapa kamu begitu yakin kalau Siska tidak mengandung anakmu, Rafa?”Rafasya menoleh, sorot matanya tajam. “Apa menurut Papa seleraku serendah itu? Melihat wajah Siska saja aku sudah tahu dia perempuan seperti apa!”Pak Hengky terkejut. Ia tahu persis, dulu Rafasya pern

  • Istana Yang Ternoda   Anak Siapa?

    Keesokan paginya, Kania bangun lebih awal meski hari itu ia tak ada jadwal praktek.Ia duduk di balkon apartemen, memandangi langit pagi yang perlahan berubah warna. Memiliki tempat tinggal sendiri, jauh dari caci maki dan tekanan, sejujurnya adalah impiannya sejak lama.Namun sikapnya masih tetap dingin. Hatinya belum siap untuk langsung berubah. Bahkan sebagai seorang istri, hari itu Kania tak melakukan apa pun—tak menyiapkan sarapan, tak menyiapkan baju untuk suaminya. Tapi Rafasya sama sekali tak mengeluh.Sebaliknya, Rafasya justru sibuk sendiri: membereskan rumah, menyapu, dan bahkan memasak sarapan sederhana. Suara sendok dan piring beradu terdengar dari dapur. Sesekali, Kania melirik ke arahnya, diam-diam menahan gejolak aneh di dadanya.Tak lama kemudian, Rafasya menghampiri balkon sambil membawa dua cangkir teh hangat.Ia duduk di samping Kania, lalu berkata dengan nada pelan, “Apa kita sewa asisten rumah tangga saja?”Kania meno

  • Istana Yang Ternoda   Bu Ria

    Setelah acara selesai, Rafasya dan Kania berjalan menghampiri Pak Hengky dan Bu Ria.Pak Hengky menepuk bahu Rafasya sambil tersenyum bangga. "Selamat, Nak. Tahun ini kamu benar-benar membuktikan kerja kerasmu. Papa bangga.""Terima kasih, Pa," jawab Rafasya sambil menunduk hormat.Tak lama, Siska dan ibunya, yang tak lain adalah ibu kandung Kania sendiri, juga ikut mendekat. Wajah mereka menyiratkan senyum yang sulit ditebak-antara pura-pura ramah dan penuh perhitungan."Selamat, Rafa," ucapnya, suaranya terdengar manis tapi dingin. "Acara malam ini bagus sekali meski ada satu yang agak berlebihan."Rafasya mengerutkan kening. "Apa maksud Ibu?"Bu Tari langsung menoleh ke arah Kania, lalu menatapnya dengan sinis. "Memuji Kania sampai seperti itu bisa-bisa dia jadi besar kepala dan lupa diri. Seharusnya kamu lebih hati-hati, Rafasya."Kania hanya terdiam, menahan perih di dadanya. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Rafa

  • Istana Yang Ternoda   Siska Berulah

    Kania sudah tampil dengan gaun elegan yang mereka pesan bersama Rafasya—warna dan detailnya tampak senada.Sudah tujuh tahun menikah, tapi ini pertama kalinya ia melihat Rafasya benar-benar mau mengenakan pakaian yang serasi dengannya.Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?Mengapa Rafasya yang penuh perhatian ini tak pernah muncul saat cintanya dulu masih bermekaran?Sekarang, cintanya sudah layu—dan yang tersisa hanyalah sisa-sisa luka.Pak Hengky dan Bu Ria pun hadir di acara tersebut. Seperti biasa, mereka datang dengan mobil berbeda, lalu bertemu langsung di tempat acara yang sudah ramai dengan para tamu. Malam itu adalah acara tahunan—perayaan atas kesuksesan Rafasya, sesuatu yang selalu dihadiri keluarga.Kania memilih pamit sejenak ke kamar mandi. Rasanya terlalu sesak jika terus berhadapan dengan banyak orang; pikirannya sendiri saja sudah membuatnya pusing.Namun, ternyata Siska diam-diam mengikutinya.Di depan cermin, Kania baru selesai membasuh wajah ketika mendengar

  • Istana Yang Ternoda   Sikap Rafasya

    Setelah Rafasya sedikit tenang, mereka perlahan kembali ke kamar rawat. Langkah mereka pelan, Kania masih menggenggam tangan Rafasya yang sesekali meringis menahan nyeri.Pak Hengky, yang sejak tadi menunggu dengan wajah penuh cemas, segera berdiri. Ia langsung menghubungi dokter Bagas yang selama ini menangani kondisi Rafasya. Tak lama kemudian, Nadira pun datang, membawa tasnya—siap membantu menangani dari sisi psikologi.Namun Rafasya benar-benar tak mau berpisah dari Kania. Tangannya mencengkeram erat lengan Kania, napasnya masih tersengal. Bahkan ketika dokter Bagas memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya, Rafasya tetap memeluk tubuh Kania erat-erat, seolah ia akan kehilangan jika melepasnya barang sedetik.“Bagaimana, Rafa? Apakah kepalamu masih sangat sakit?” tanya dokter Bagas, suaranya tenang dan sabar.Rafasya hanya mengangguk lemah, matanya masih basah. “Sakit, sakit sekali, Dok … seperti ditusuk,” suaranya parau, gemetar.D

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status