Share

Kecelakaan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-27 10:00:47

Nadira sebenarnya sudah tidak memiliki jadwal praktik malam itu. Namun entah kenapa, hatinya tidak tenang. Ia memilih untuk tetap tinggal, berdiri di balik jendela ruang tunggu sambil sesekali mencuri pandang ke arah ruangan Kania.

Setelah semua pasien Kania selesai, mereka akhirnya keluar bersama. Hujan masih turun, langit malam tampak muram seperti menahan sesuatu. Langkah keduanya menyusuri lorong rumah sakit, dan Nadira masih belum menyerah.

“Kania, tolong telepon dia. Setidaknya untuk tahu dia baik-baik saja.”

Kania menghembuskan napas berat, seolah lelah dengan desakan itu. “Sudahlah, Nadira. Aku yakin dia sudah menemui Kak Siska, kan dia tahu ke mana harus pulang kalau dia butuh tempat.”

Nadira menggigit bibir, ingin membantah tapi sudah kehabisan kata. Kania berjalan dengan tenang di sampingnya, seolah dunia tidak sedang runtuh.

Namun saat mereka berbelok dan melewati ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), langkah Kania terhenti. Lo
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Kehilangan

    Pak Haikal dan Pak Burhan menatap penuh kekhawatiran dari kejauhan. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Rafasya perlahan-lahan hancur, tenggelam dalam lautan keputusasaan. Wajahnya lusuh, matanya cekung, dan tubuhnya jauh dari pria tegar yang dulu mereka kenal. Rafasya bukan lagi ayah yang kuat atau suami penuh semangat. Ia kini hanyalah sosok yang nyaris patah, kehilangan arah karena kehilangan anak-anaknya.Pencarian Nayara dan Nazeera yang terus-menerus, tak henti-hentinya, bahkan hingga ke luar negeri, telah menguras segalanya—waktu, tenaga, bahkan dana perusahaan. Beberapa investor menarik diri. Perusahaan yang dibangun dari nol mulai retak. Dan itu membuat Pak Haikal, ayah tiri Rafasya, serta Pak Burhan, ayah mertua sekaligus ayah dari Kania, merasa cemas."Apa kamu nggak sadar, Raf?" tegur Pak Haikal, suaranya tajam tapi penuh kekhawatiran. "Kalau perusahaan ini runtuh, kalau kamu jatuh miskin, bagaimana kamu mau terus mencari Nayara dan Nazeera? Bagaimana kamu biayai sekolah

  • Istana Yang Ternoda   Kesakitan Keluarga

    Rafasya tiba di rumah ayahnya dengan langkah cepat. Namun sesampainya di sana, ia tertegun. Rumah besar yang biasanya ramai dengan suara tawa anak-anak dan suara langkah tante Vita kini tampak sunyi. Tirai tertutup rapat, pagar digembok dari dalam, dan tak ada satu pun mobil di garasi."Sepi, ke mana semuanya?" bisiknya lirih.Ia segera turun dari mobil dan memanggil-manggil. "Pa? Bu Vita?" Tidak ada jawaban. Hanya angin sore yang berdesir pelan.Rafasya mengeluarkan ponselnya dan segera menelpon ayahnya—namun nihil. Nomor tidak aktif. Ia pun mencoba menghubungi tante Vita—juga tidak aktif. Jantungnya mulai berdetak kencang. Perasaan tak nyaman mulai menjalar di dadanya.“Tidak mungkin, Jangan bilang ....”Dalam kepanikan yang terus membesar, ia menghubungi kantor tempat ayahnya bekerja. Setelah beberapa kali dialihkan, akhirnya seorang staf menjawab, "Maaf, Bapak Hengky sudah tidak masuk kantor sejak beberapa hari lalu. Beliau sudah mengajukan cuti panjang bahkan rumor terakhir belia

  • Istana Yang Ternoda   Badai

    Sesampainya di rumah, Kania tidak bisa menahan tangisnya. Ia langsung berlari ke kamar si kembar yang kini terasa kosong, dingin, dan sunyi. Tangannya menyentuh boks bayi yang masih tertata rapi, bantal kecil berwarna merah muda dan biru itu masih tertinggal wangi lembut anak-anaknya.Walau Rafasya telah meyakinkan bahwa ini hanya sementara, hati seorang ibu tak pernah bisa dibohongi. Ada firasat yang mencubit tajam relung hatinya—firasat yang membuat dadanya sesak, pikirannya kalut, dan tangisnya tak terbendung.“Kenapa rasanya seperti aku kehilangan mereka, Syasya? Ini hanya sementara, tapi kenapa perasaanku buruk sekali?” ucapnya di antara isak, tubuhnya terjatuh di tepi ranjang.Rafasya langsung merengkuh istrinya dalam pelukan erat. Ia sendiri nyaris tak kuat, namun harus tampak kokoh di hadapan perempuan yang paling ia cintai.“Ssstt … Kan, dengar aku. Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji. Kita pasti akan segera menjemput mereka kembali, saat kondisi tante Vita membaik. Ini h

  • Istana Yang Ternoda   Penyerahan

    Mengingat Rosa dan Risa yang telah tiada, luka dalam hati Tante Vita kian menganga. Hari-harinya hampa, tak ada lagi suara tawa anak-anak, tak ada panggilan “Mama” yang menyapa pagi. Dalam keterpurukan yang makin dalam, ia menetapkan satu tekad: ia harus memiliki Nazeera dan Nayyara, apapun caranya.Di tengah pertemuan keluarga, Tante Vita kembali bersuara dengan nada yang getir namun penuh kekuatan.“Aku sudah memutuskan,” katanya sambil memandang Rafasya dan Kania tajam. “Kalau kalian sungguh ingin dimaafkan serahkan si kembar padaku. Biar mereka jadi anakku. Dan kalian, jangan pernah mendekati mereka lagi.”Kania sontak terisak, memeluk kedua anaknya yang tengah berada di gendongan pengasuh. Nafasnya tercekat."Bu, mohon jangan begitu," ucapnya lirih.Rafasya berdiri, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dadanya."Itu tidak masuk akal, Ibu. Kami memang salah karena memberikan tiket itu kami menyesal, tapi kami tidak pernah bermaksud mencelakakan siapa pun!" katanya

  • Istana Yang Ternoda   Permintaan Gila

    Akhirnya, setelah melewati hari-hari penuh emosi, luka, dan kesedihan yang mendalam, keluarga besar itu memutuskan untuk duduk bersama. Bu Ria sebagai orang tertua di keluarga menawarkan rumahnya sebagai tempat diskusi, berharap dengan pertemuan ini, luka bisa perlahan disembuhkan, dan kesalahpahaman bisa diurai.Tante Vita, yang kini sudah keluar dari rumah sakit, datang dengan raut wajah dingin dan tatapan kosong. Ia tampak lebih kurus, lebih pucat dari terakhir kali mereka melihatnya. Pak Hengky ikut mendampingi, duduk di sampingnya dengan wajah yang tak kalah muram.Kania menggenggam tangan Rafasya dengan gugup. Hatinya berdebar, berharap semua ini akan berakhir damai. Namun, yang terjadi kemudian justru membuat semua orang terdiam.Dengan suara pelan namun tajam, Tante Vita berkata,“Kalau kalian benar-benar ingin menebus semuanya, kalau kalian benar-benar menyesal atas kematian Rosa dan Risa maka berikan Nazeera dan Nayyara kepadaku.”Semua yang hadir terdiam. Napas Kania tercek

  • Istana Yang Ternoda   Kesabaran

    Bu Susi—ibu dari Kania—berusaha menenangkan putrinya yang terus menangis dalam pelukan. “Sabar, Kan jangan terlalu disalahkan. Ini bukan salahmu, bukan salah siapa pun ini takdir dari Allah .…”Sementara itu, Rafasya duduk di teras rumah dengan tatapan kosong. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat, pikirannya dipenuhi penyesalan. Berkali-kali ia mencoba meminta maaf kepada Tante Vita, tapi setiap kali ia datang, yang ia dapat hanya caci maki, tudingan, bahkan hinaan yang menyayat harga dirinya sebagai anak.Keluarga mereka yang dulu begitu hangat, penuh canda tawa dan keakraban, kini porak-poranda. Sejak kejadian itu, suasana berubah. Rumah yang dulu menjadi tempat bersandar kini terasa asing.Nayaka yang masih polos bahkan terus menanyakan keberadaan neneknya, Tante Vita.“Papa … kenapa Uti Vita nggak ke sini lagi? Nayaka kangen pelukannya .…”Pertanyaan itu menampar batin Rafasya. Ia tak mampu menjawab. Tapi akhirnya, dengan harapan besar dan keinginan untuk menyatukan kembali ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status