Sore itu, Rafasya dan Kania menghadiri sebuah acara pertemuan alumni kampus yang diadakan di sebuah ballroom hotel mewah di pusat kota. Banyak teman lama mereka hadir, termasuk beberapa sahabat semasa kuliah yang sudah lama tak bersua.Kania tampil anggun dalam balutan gaun berwarna biru tua yang sederhana namun memancarkan keanggunan. Usianya memang bertambah, tapi pesonanya justru kian matang. Senyumnya masih sama hangatnya seperti dahulu, dan sorot matanya masih meneduhkan, seolah tak pernah berubah.Rafasya yang mendampingi dengan setelan jas abu gelap terlihat begitu elegan dan karismatik. Tubuhnya tegap, pembawaannya tenang, dan matanya selalu mencari keberadaan Kania di setiap kerumunan, seolah ia adalah pusat dunianya.Banyak yang memuji keduanya sebagai pasangan yang harmonis dan saling melengkapi. Beberapa bahkan diam-diam iri melihat bagaimana Rafasya selalu sigap membukakan pintu untuk Kania, atau sesekali menyentuh lembut punggung istrinya saat mereka berpindah tempat.Se
Di kediaman megah milik Rafasya, Narendra tampak begitu tekun mempersiapkan dirinya untuk latihan dan seleksi militer. Setiap pagi ia menjalani rutinitas olahraga ketat, menjaga pola makan, dan mengatur waktu dengan disiplin tinggi. Di salah satu sudut rumah, tersedia ruang gym lengkap yang memang sengaja dibuat Rafasya untuk menunjang gaya hidup sehat keluarga mereka.Pagi itu, suara hantaman dumbbell terdengar dari dalam gym. Narendra, dengan tubuh yang basah oleh keringat, terus melatih kekuatan ototnya tanpa kenal lelah.Dari pintu, Kania berdiri sambil membawa segelas jus mangga dingin—minuman favorit putranya sejak kecil. Wajahnya yang lembut menyiratkan kehangatan yang dalam, meski di matanya tetap terpantul kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang.“Mas Naren,” ucap Kania pelan, “minum dulu, Nak.”Narendra menoleh, tersenyum kecil, lalu mengusap peluh di dahinya sebelum menghampiri ibunya. Ia duduk di sebelah sang ibu, menerima segelas jus itu dengan hangat.“Terima kasih,
Di sebuah kota tua yang penuh sejarah dan dingin angin Bosphorus—di sanalah Pak Hengky dan Tante Vita menetap, jauh dari tanah air. Turki menjadi tempat persembunyian mereka yang baru, setelah bertahun-tahun berpindah dari satu negara ke negara lain, menghindari jejak dan bayang-bayang Rafasya serta Kania yang tak pernah berhenti mencari Nayara dan Nazeera.Kini, identitas mereka telah berganti. Nayara dan Nazeera bahkan tak mengenal nama asli mereka. Mereka dibesarkan dengan nama baru Risa dan Rosa. Dua gadis kembar yang tak pernah tahu siapa mereka sebenarnya, tumbuh besar di balik ilusi dan cerita-cerita palsu yang terus dijejalkan oleh kedua ‘orang tua’ mereka.Homeschooling menjadi pilihan. Bukan karena pendidikan terbaik, melainkan karena rasa takut. Dunia luar adalah ancaman, dan semakin besar si kembar, semakin sulit menjaga rahasia itu tetap terkunci rapat.Di sebuah sore yang mendung, Pak Hengky duduk di kursi reyot, menatap layar laptop yang memperlihatkan sebuah berita bes
Sebelum benar-benar berangkat ke pelatihan militernya, Narendra memilih untuk menghabiskan satu hari penuh bersama ibunya—Kania. Ia tahu betul, di balik senyum tenang yang selalu ditampilkan sang ibu, ada luka-luka lama yang belum benar-benar sembuh. Luka yang berasal dari kehilangan, pengkhianatan, dan kerinduan panjang pada Nayara dan Nazeera.Pagi itu, Narendra menyetir sendiri mobilnya menuju klinik psikolog langganan Kania. Tangan kirinya sesekali menggenggam tangan sang ibu yang duduk di sampingnya, sementara tangan kanan mengendalikan setir dengan tenang.“Mama kuat,” gumam Narendra pelan, namun tegas. Suaranya rendah tapi penuh keyakinan.Kania hanya tersenyum samar. Tak menjawab. Tapi genggaman tangan mereka saling menguatkan.Sesi terapi berlangsung cukup lama. Narendra duduk di ruang tunggu, sesekali melirik jam di dinding. Ia tak merasa bosan, karena bagi Narendra, waktu yang dihabiskan untuk sang ibu adalah waktu paling berharga.Saat sesi berakhir, Kania keluar dari ruan
Hasil tes masuk SMA Internasional baru akan diumumkan besok pagi. Tapi malam ini, Nayaka nyaris tak bisa memejamkan matanya. Gelisah, cemas, dan rasa takut bercampur jadi satu.Di dalam kamar yang ia tempati bersama Narendra, Nayaka beberapa kali membolak-balik badannya di ranjang. Tapi setiap kali ia melirik ke sisi lain, Narendra tampak tenang duduk di kursi dekat jendela, memegang kuas dan palet warna, melukis dalam diam.“Kenapa sih bisa tidur nyenyak banget, Kak? Aku ngerasa kayak mau ikut perang besok,” keluh Nayaka sambil menatap langit-langit.Narendra tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan kuasnya, lalu berbalik. Dengan ekspresi datar dan nada suara yang begitu datar pula, ia berkata, “Yang ikut tes kamu, yang panik malah Mama sama Papa. Kamu kebanyakan gaya kayak mau syuting FTV.”“Wah, Kakak tega,” Nayaka meringis, tapi cepat-cepat bangkit dan mendekat saat melihat lukisan yang dikerjakan kakaknya.Di atas kanvas, tampak dua gadis kecil berambut panjang berdiri berdam
Hari-hari di rumah Kania berubah menjadi ruang ujian tak resmi. Narendra, dengan keseriusan khas tentara muda, selalu menantang adiknya dengan soal-soal yang sulit—bahkan di luar standar ujian SMA internasional."Nayaka, ini soal logika numerik. Lima menit," ucap Narendra sambil meletakkan kertas di meja.Nayaka mendecak pelan, rambutnya sudah acak-acakkan, dan pensilnya pun hampir digigit-gigit karena frustrasi. "Mas, ini susah banget. Aku ini mau masuk SMA, bukan akademi militer!"Narendra hanya tertawa kecil. "Justru itu. Kalau kamu bisa ngelewatin soal dari aku, ujian apa pun bakal terasa seperti main game."Walau terkadang nyaris menyerah, Nayaka tetap bertahan. Karena baginya, bukan soal-soalnya yang jadi motivasi—melainkan kebersamaan. Sejak kecil ia selalu mengagumi sosok Mas Rendra yang tenang, cerdas, dan penuh wibawa. Kini, mereka dekat. Lebih dekat dari yang pernah ia bayangkan.Suatu malam, keluarga besar berkumpul di meja makan panjang rumah mereka. Aroma makanan rumahan