Sabtu sore yang mendung itu membawa angin malas ke kota.
Awan menggantung kelabu, tapi di sebuah tempat billiard di tengah Jakarta, suasana justru hangat—dipenuhi tawa, denting bola saling beradu, dan harumnya kopi memenuhi ruangan.
Di salah satu meja, empat pria duduk santai.
Brian, sang inisiator, tampak lebih banyak diam, sementara tiga temannya—Nico, Dexter, dan Rio—tak henti-hentinya berceloteh.
"Weekend bukannya ajak istri jalan-jalan, malah ngajak kita-kita ketemuan. Kayak masih bujang aja lo," ledek Nico sambil memutar stik billiard di tangannya.
Brian hanya mengangkat bahu. "Lita lagi gak di rumah..." jawabnya dengan nada lesu, tatapan kosongnya bahkan menembus meja hijau di depan.
"Hoooo... pertengkaran rumah tangga?" tanya Dexter, menaikkan sebelah alisnya.
"Entah..." sahut Brian malas.
"Udah pasti berantem itu mah," Nico kembali menyambar, kali ini dengan suara lebih nyaring sambil menyodo
"Nah! Gimana lo? Rela gak kalo Lita jadi sama gue misalnya?" tanya Dex tiba-tiba, nada suaranya santai tapi matanya menyipit nakal.Brian langsung meledak, tak perlu jeda. "Gak lah! Ngapain Lita sama buaya darat kayak lo?!"Tawa Dex pecah, dan disusul oleh senyum jahil dari Nico dan Rio. Mereka seperti sengaja menyulut emosi Brian."Sayangnya gue udah punya istri," ucap Rio, mengangkat bahu seolah menyesal. "Tapi kalau belum... bisa aja Lita jadi sama gue."Nico menimpali dengan nada serupa, menggoda dengan gaya bercanda yang sudah jadi kebiasaan mereka sejak lama.Brian mengatupkan rahangnya, napasnya mulai memburu, amarahnya memuncak."Bisa diem gak sih?!" teriak Brian, suaranya menggema di ruang tempat mereka nongkrong. Udara mendadak terasa panas.Dex tertawa kecil. "Sekarang lo tahu kan jawabannya? Lo cinta sama Lita, bro."Semua mendadak diam. Kalimat itu menggantung di udara seperti kenyataan yang tak bisa dibantah.
Sabtu sore yang mendung itu membawa angin malas ke kota.Awan menggantung kelabu, tapi di sebuah tempat billiard di tengah Jakarta, suasana justru hangat—dipenuhi tawa, denting bola saling beradu, dan harumnya kopi memenuhi ruangan.Di salah satu meja, empat pria duduk santai.Brian, sang inisiator, tampak lebih banyak diam, sementara tiga temannya—Nico, Dexter, dan Rio—tak henti-hentinya berceloteh."Weekend bukannya ajak istri jalan-jalan, malah ngajak kita-kita ketemuan. Kayak masih bujang aja lo," ledek Nico sambil memutar stik billiard di tangannya.Brian hanya mengangkat bahu. "Lita lagi gak di rumah..." jawabnya dengan nada lesu, tatapan kosongnya bahkan menembus meja hijau di depan."Hoooo... pertengkaran rumah tangga?" tanya Dexter, menaikkan sebelah alisnya."Entah..." sahut Brian malas."Udah pasti berantem itu mah," Nico kembali menyambar, kali ini dengan suara lebih nyaring sambil menyodo
“Mau sampai sejauh mana lagi lo bikin gue malu, Brian?”Suara Lalita pecah. Getarannya menggema di ruangan sunyi itu.Mata beningnya kini penuh air, nyaris tumpah, namun ia mencoba bertahan.“Gue gak ngelarang lo mau berumah tangga sama Diana habis kita cerai. Mau lo umumin ke semua orang kalau dia cinta sejati lo juga gak masalah...” Ia berhenti sejenak, menarik napas, “...Tapi bisa gak, jangan bikin gue jadi badut? Bisa gak lo respect temen lo ini, sedikit aja, Brian?”Tangis yang ditahannya sejak tadi akhirnya pecah. Air mata mengalir deras di pipi Lalita.Suara tangis Lalita benar-benar pilu.“Dan lagi, lo perintahin gue buat temenin Diana. Gue bukan karyawan lo, ya! Gue pertegas sekali lagi, gue bukan karyawan lo di rumah! Kita partner! Partner yang bersatu karena kebutuhan. Kita sama-sama butuh satu sama lain, Brian!”Brian tak bisa berkata apa p
Benar saja, begitu jam pulang kerja tiba, Lalita langsung melangkah cepat, hampir seperti berlari kecil, meninggalkan kantor tanpa banyak bicara.Dari kejauhan, Moris—yang ditugaskan Brian untuk mengawasi Lalita secara diam-diam—sudah sigap mengambil foto. Dalam waktu singkat, pesan masuk ke ponsel Brian, disertai gambar.Lalita terlihat berjalan bersama seorang perempuan.Brian menatap layar ponselnya. Fauza.“Ahh... dia beneran pergi sama Fauza,” gumam Brian, separuh lega, separuh kesal.Ponselnya kembali bergetar.[ Yan... Kamu pulang jam berapa? Ayo pulang bareng. ]Pesan dari Diana.Brian mengetik cepat.[Kamu duluan aja tunggu di rumah. Aku perlu lembur.]Tanpa pikir panjang, ia langsung bergegas meninggalkan kantor dan menyetir menuju apartemen Lalita.Moris kembali mengirim pesan. Kali ini dengan foto baru: Lalita dan Fauza duduk santai bersama s
Hadi tersenyum.“Masih... Papa masih sayang sama mama tiri kamu. Hubungan kita adem dan bahagia. Papa gak nyangka semua ini bakal jadi begini.”Restoran yang ramai itu entah mengapa terasa hening, seperti ikut mendengarkan.“Jangan bilang papa ada niat maafin dia,” ucap Lalita, suaranya meninggi, “Anaknya udah fitnah aku loh, Pa!”Hadi menunduk sesaat, lalu tersenyum getir. Meratapi nasib dan tindakannya yang miris ini.“Justru karena itu papa gak akan bisa maafin dia,” ucapnya pelan. “Selama ini dia bohongin papa. Dan bisa-bisanya anaknya fitnah kamu. Padahal papa udah anggap Citra anak papa juga. Gak pernah papa bedain dia sama kamu.”Lalita mendengus pelan. Ada segurat amarah dan kepedihan di sana.Ia ingat betul bagaimana dulu Hadi seringkali lebih melindungi Citra, seolah Lalita hanya peran pendukung dalam hidup baru ayahnya.“Maafin papa…” kata
Sesampainya di kantin, wajah Lalita kembali tertekuk.Ivan hanya menghela napas kasar. Jujur saja, ia bingung harus bereaksi bagaimana.Dari sorot mata Lalita, jelas sekali bahwa yang sedang ia hadapi bukan cuma soal luka fisik atau perasaan dikhianati.Ada sesuatu yang lebih dalam, mengganjal… dan belum ia ceritakan.Di sisi lain meja, Olivia menyikut pelan lengan Fina, mengarahkan dagunya ke satu titik. Fina mengikuti arah pandangannya—dan langsung menegang.Diana baru saja masuk ke kantin… bersama Brian.Lalita menegang di tempat duduknya. Mulutnya terkatup rapat, napasnya tertahan.“Dari sekian banyak tempat, kenapa harus ke sini sih?!” teriaknya dalam hati.“Cewek cakep dateng, guys!” bisik Ivan setengah bercanda, mencoba meringankan suasana, padahal wajahnya sendiri penuh rasa canggung.“Hai! Kita ketemu lagi…” sapa Diana ramah, suaranya terdengar terla