"Tadi mama chat bilang mau video call tapi agak malem, sambil nunggu aku cuma kepikiran nonton."
Jantung Lalita hampir saja copot. Ia sudah kaget mendengar Brian ingin menonton. Lalita terlalu percaya diri bahwa Brian belum ingin berpisah darinya.
"Ooohhhh, okeee."
Lalita merasa malu dan lega di saat bersamaan.
"O iyaa, makanannya jangan dihabisin. Aku masih mau!" ucap Lalita persis dari pintu kamar mandi.
"Aku gak mampu habisin ini sendirian, sana-sana mandi..." usir Brian.
Lalita mengutuk dirinya sendiri dalam diam di kamar mandi. Ia terus berjalan mengelilingi kamar mandi hingga rasa malunya hilang.
Kemudian, Lalita mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya berminyak, rambut berantakan, baju gombrang, celana lebar.
"Kalo kayak gini mah, mana ada cowok yang mikir macem-macem. Kepedean amat," batin Lalita miris.
Saat selesai mandi, Sabrina ternyata sudah video call dengan Brian.
[ Nih, ma! Lita udah seles
Sesampainya di kantin, wajah Lalita kembali tertekuk.Ivan hanya menghela napas kasar. Jujur saja, ia bingung harus bereaksi bagaimana.Dari sorot mata Lalita, jelas sekali bahwa yang sedang ia hadapi bukan cuma soal luka fisik atau perasaan dikhianati.Ada sesuatu yang lebih dalam, mengganjal… dan belum ia ceritakan.Di sisi lain meja, Olivia menyikut pelan lengan Fina, mengarahkan dagunya ke satu titik. Fina mengikuti arah pandangannya—dan langsung menegang.Diana baru saja masuk ke kantin… bersama Brian.Lalita menegang di tempat duduknya. Mulutnya terkatup rapat, napasnya tertahan.“Dari sekian banyak tempat, kenapa harus ke sini sih?!” teriaknya dalam hati.“Cewek cakep dateng, guys!” bisik Ivan setengah bercanda, mencoba meringankan suasana, padahal wajahnya sendiri penuh rasa canggung.“Hai! Kita ketemu lagi…” sapa Diana ramah, suaranya terdengar terla
“Kurang lebih Vivi ngerti banget posisi lo sekarang,” ucap Fauza pelan.Tatapannya tertuju pada Lalita yang kini tampak lebih tenang meski raut wajahnya masih menyimpan luka.“Dan karena itu juga kita gak pergi ke reuni,” tambah Nancy sambil menyeruput minumannya.Lalita mengerutkan dahi. Baru sekarang ia sadar bahwa Vivi dan Nancy itu memang tak tampak saat reuni kemarin.“Gue juga sebenernya males dateng,” celetuk Fauza ringan. “Cuma karena Lita bilang mau pergi aja makanya gue dateng. Kalo enggak ya udah, ogah banget ketemu orang-orang itu.”Nancy mengangguk sambil memutar gelas. “Dan hasilnya ya itu kan… yang kemarin lo ceritain. Lita dibikin malu di depan temen-temen. Memang bener gak usah dateng…”“Iya… males banget liatnya,” sahut Fauza getir.“Seinget gue Diana juga pernah godain suami lo kan ya?” tanya Fauza pada Nancy.
“Bisnis orang tua kan…” ucap Nancy dengan nada bercanda, tapi Fauza hanya mencibir ringan.Saat obrolan ringan mereka berlanjut, wajah Fauza tiba-tiba berubah kesal. Ia baru saja melihat sesuatu di ponselnya.Matanya menyipit, rahangnya menegang sebentar.“Lo kenapa?” tanya Vivi sambil meliriknya dengan penasaran.“Gak, gak penting.” Fauza cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berusaha menormalkan wajahnya. “Yuk, lanjut main.”Permainan kembali dimulai.Smash satu dari Vivi—tajam dan cepat.Smash dua—masih dari Vivi, kini diarahkan ke Fauza.Smash ketiga datang dari Fauza sendiri—dengan kekuatan penuh, hampir membuat shuttlecock mental ke dinding.Vivi dan Fauza benar-benar mendominasi lapangan.Gerakan mereka lincah, penuh semangat. Nancy pun tak kalah gesit, selalu bisa mengembalikan smash dengan presisi yang membuat La
Brian terdiam. Ruang tamu yang tadinya hanya dipenuhi suara napas mereka kini terasa jauh lebih sunyi dan berat.Pria itu mendadak tersadar—kata-katanya barusan benar-benar keterlaluan."Jawab gue, Brian! Menurut lo gue, yang satu badan penuh lebam ini, baik-baik aja? Iya?!" bentak Lalita dengan suara yang naik satu oktaf, diseret emosi yang meledak-ledak.Mata Brian terpejam, suaranya lirih dan tersendat. "E... Enggak gitu maksud aku, Lit..."Sebelum Lalita bisa membalas lagi, terdengar suara lembut dari sofa."Yan... Kamu udah pulang?" Ternyata Diana terbangun. Rambutnya kusut, dan suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Brian menoleh, wajahnya memancarkan frustasi. Tapi ketika bicara pada Diana, nadanya berubah menjadi lembut."Iya, Di. Aku udah pulang. Kamu pindah tidur di kamar aja ya, jangan di sini. Nanti masuk angin..." katanya sambil mencoba tersenyum."Gak mau... Aku mau ngobrol sama kamu," gumam Diana se
"Aku sempet kira yang nyanyi tadi... beneran Taylor Swift," ucap David, matanya masih tak lepas dari Lalita yang baru saja duduk kembali.Fauza tertawa terbahak, menyikut David ringan."Sayangnya dia gak mau ikut Indonesian Idol."…It's cool," that's what I tell 'emNo rules in breakable heaven...But ooh, whoa-oh...It's a cruel summer with you (yeah, yeah)...Lagu terus mengalun, dan David lagi-lagi dibuat terpana. Entah sudah berapa kali rasa takjub muncul sejak mereka masuk ke ruang karaoke ini."Wow!" serunya lagi, nyaris refleks."Yeeaaayyy! Bagus banget emang suara temen gue!" Fauza bersorak sambil bertepuk tangan. "Ikut Indonesian Idol sono!"Lalita tertawa kecil, kemudian menjawab setengah bercanda, "Gak mau... nanti gue terkenal.""Okeee, kalau gitu giliran gue yang nyanyi..." sahut Fauza sambil merebut mikrofon, wajahnya cerah seperti anak ke
Brian memandang Ivan dengan dahi sedikit berkerut. Ia heran sekaligus geli mendengar komentar Ivan."Lo kayaknya kebanyakan nemenin istri lo nonton drama deh," ucap Brian sambil menyeringai.Tawa Fina dan Olivia meledak. Mereka memang sudah terbiasa dengan imajinasi Ivan yang kadang liar.Ivan sendiri hanya bisa menggelengkan kepala."Gue hidup di dunia nyata, bukan fiksiii. Jelas lah Lita tahu gue siapa. Kecuali bokap gue gak pernah masuk berita, baru bisa tuh disembunyiin. Masalahnya bokap gue tuh... terkenal. Jadi susah lah. Selama ini gak ketahuan di media aja udah ajaib banget,” ujar Brian.Mata Ivan menyipit, menatap Brian dengan penuh selidik."Pasti lo bayar mahal, kan? Biar informasi lo gak bocor ke mana-mana?"Brian mengangguk ringan, seolah hal itu sudah jadi rutinitas biasa."Banget. Dan kalau masih ada yang nekat nyebar, ya gue tuntut. Biar kapok."Seketika ruangan terasa hening sejenak. Ivan, Fina, dan Olivia saling berpandangan.Ada semacam jarak tak kasat mata yang mun