Bau obat-obatan dan disinfektan sungguh menyengat. Ica membuka pelan matanya dan merasa sangat silau dengan cahaya lampu yang terlalu terang. Tangannya yang tertancap jarum infus naik perlahan mengusap kening yang terasa berat.
"Alhamdulillah, lu udah sadar," suara lelaki di di sampingnya terdengar lega. Ica menoleh dan mendapati adik iparnya tengah duduk di kursi samping brangkarnya.
"Aku di mana, Mal?" tanya Ica lirih.
"Di rumah sakit," jawab Kamal singkat. Jantungnya lebih cepat berdetak dari biasanya. Entahlah, seakan dirinya yang kini harus bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami Ica. Padahal ada suami yang masih sehat dan banyak uang. Hanya saja memang tampak tidak mempunyai otak dalam memperlakukan istrinya.
"Mal, di mana Mas Alex?" Ica masih belum sadar, jika saat ini perutnya sudah rata.
"Mmm ... pergi beli obat," jawab Kamal berbohong. Kakak satu ayahnya itu tadi mengatakan ada meeting yang tak bisa ditinggal.
"Memangnya di apotik rumah sakit tidak ada?" tanya wanita itu lagi dengan wajah teramat sedih.
"Gue gak ngerti deh." Kamal mengangkat bahunya. Lelaki itu berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Padahal jantungnya serasa mau lepas saat ini. Kakinya bergerak gelisah, dengan ekor mata melirik Ica.
Tangan yang tidak tertancap jarum infus, kini naik ke atas perutnya. Matanya terbuka lebar dengan nafas memburu. Selimut itu ia buka kasar, membuat Kamal menatap kakak iparnya dan langsung berdiri mendekati wanita itu.
"Kenapa perutku rata Kamal?" tanyanya dengan suara parau dan bergetar.
"Mmm ... itu ...." Kamal tak sanggup untuk mengatakan hal buruk pada wanita lemah di depannya ini. Mulutnya ingin berucap, tetapi hatinya mengatakan tidak.
"Apakah dia sudah lahir, Mal? Aku mau melihat bayiku, Kamal," ujar Ica dengan air mata berlinang. Isi kepalanya terus saja menstumulus kabar baik perihal perutnya yang kempes.
"Ca, maaf banget. Duh, bayi kamu tidak bisa selamat dan sudah dikuburkan."
Duuuaarr!!
Wanita itu terdiam bagai patung. Air matanya tak berhenti mengalir dengan jantung yang terasa amat sakit saat ini. Benarkan bayinya sudah tidak ada? Masih tanpa mengeluarkan kata-kata, wanita itu kembali meraba perutnya yang rata dan ada bekas jahitan di sana.
"Ca, yang kuat ya," ujar Kamal yang bingung sendiri. Harusnya ada Alex di sini yang menenangkan istri dan menghiburnya. Bukannya malah ditinggal bekerja seperti ini. Wanita itu tidak menjawab. Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit kamar perawatan.
Dua orang perawat tengah berkeliling ke pasien lainnya di ruangan yang sama dengan Ica. Ia baru tahu, jika saat ini kamar yang ia tempati bukannya privasi, melainkan kamar yang terisi banyak brangkar. Mungkin saja kelas tiga.
Suaminya bukanlah karyawan biasa, tetapi manager sebuah hotel, merangkap guru lukis. Tabungannya tentulah takkan berkurang banyak, saat membayarkan sedikit saja untuk kamar perawatan istrinya.
"Maaf, Mas. Apa istrinya sudah buang angin?" tanya perawat pada Kamal. Tentu saja Kamal berwajah salah tingkah. Sudah berapa kali orang salah menebaknya sebagai suami dari Ica.
"Saya iparnya, Sus. Suaminya sedang keluar sebentar," jawab Kamal memberi tahu. Kakinya mundur beberapa langkah, agar para perawat dapat memeriksa Ica lebih leluasa. Perawat tersenyum paham, lalu mulai memeriksa tensi darah pasien.
"Mbak sudah buang angin?" tanya suster langsung pada Ica.
"Sudah," jawab Ica singkat dengan suara bergetar.
"Kuat dan sabar ya, Mbak. Bayi yang meninggal insya Allah akan menjadi tabungan kedua orang tuanya di akhirat kelak," ujar seorang perawat yang tampak lebih berumur, sambil tersenyum pada Ica. Tak ada sahutan lagi yang keluar dari bibir Ica. Wanita itu memilih menutup rapat mulutnya, sambil merasakan sesak yang membuatnya ingin mati saja.
Memikirkannya, hati wanita itu semakin sakit. Hingga langit gelap, Ica tak mau makan apapun. Suaminya juga belum juga kembali dari siang. Kamal tak tahu harus bagaimana, karena sedari wanita itu tersadar dan mengetahui bayinya tidak terselamatkan, Ica sama sekali tak mengeluarkan suara. Matanya tertutup, tetapi air bening terus saja mengalir di sana.
Tak ada seorang ibu yang siap kehilangan anak, apalagi bayi itu belum sempat ia lihat wajahnya. Hanya bisa merasakan tendangan lincah di dalam perut yang kini sudah tidak ada lagi. Wanita terlihat sedih dan tertekan. Tiada siapapun yang menangkannya, termasuk suami dan juga kedua orang tuanya. Kehidupan pernikahan seperti apa yang dijalankan Ica dengan abangnya?
Ica cantik dan pintar. Terlihat dari keluarga terpandang, tetapi kenapa masih disia-siakan suaminya?
"Mama ...," gumamnya dengan mata terpejam.
"Mama ...," gumamnya lagi.
Kamal begitu sedih melihat wanita seperti ini. Kenapa tak ada keluarganya yang datang menjenguk? Apakah mereka tidak tahu? Ataukah Alex yang belum mengabari kedua mertuanya? Kamal mendekat ragu, di tepuk-tepuknya pelan pundak wanita itu, seakan memberi dukungan dan kekuatan.
"Gue minta nomor telepon orang tua lu. Mungkin Mas Alex lupa ngabarin mereka, sehingga belum ada yang ke sini," ujar Kamal sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ica bergeming, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya selain gumaman memanggil mama tadi.
Kamal menghela napas. Ia kembali duduk di kursi dengan wajah bosan. Lekas ia memencet kontak Alex untuk menanyakan Alex ada di mana dan kapan akan ke rumah sakit. Namun sayang, sampai sekarang juga tidak diangkat.
"Laki lu sarap kayaknya, Ca. Istri keguguran bukannya ditunggui, malah ngayap gak balik-balik," umpat Kamal dengan wajah masam.
"Pensiun aja sudah jadi laki kalau begini. Dinikahi untuk dicueki dan dizolimi, dasar semprul! Anak siapa sih itu orang?" umpat Kamal dengan kesal.
"Menyesal gue punya sodara otaknya di ubin. Tampang doang tampan, duit banyak, tapi gak bersyukur. Nanti juga kena balasannya si Alex, Ca, lu yang sabar ya, yang kuat. Lu baru aja kehilangan bayi, gue tahu itu gak mudah, tapi Allah masih menyelamatkan lu, itu tandanya Allah pasti punya rencana lebih indah untuk lu, Ca. Biarin si Alex begitu kelakuannya, Allah gak tidur. Duh, gemes gue sama kakak sendiri, pengen gue jitak kepalanya pake obor!"
Ica akhirnya membuka mata. Ia menoleh pada Kamal yang kini tengah menunduk salah tingkah. Ica tahu, mungkin Kamal merasa tak enak dengan umpatan yang baru saja ia ucapkan untuk Alex.
"Dia memasukiku tanpa ampun malam itu, Mal. Padahal aku sedang sakit. Alex pembunuh anakku. Dialah pelakunya," ujar Ica pedih. Bahunya kembali bergetar hebat. Merasakan jahit bekas cesar dan sakit mendapati suami yang zolim padanya.
"Kenapa cuma anakku saja yang Allah ambil? Kenapa tidak aku juga ikut bersama anakku? Hidup di dunia ini begitu keras, Mal. Aku hanya ingin bahagia, tapi sepertinya tidak ada kebahagiaan di dunia ini untukku."
***
~Bersambung~"Ca, lu belum makan. Nanti malah sakit. Makan dulu ya. Dua puluh suap juga gak papa," ujar Kamal berusaha menghibur kakak iparnya yang masih saja memejamkan mata, tetapi tidak tidur."Ca, kuping lu dengarkan?" tanya Kamal lagi. Namun Ica bergeming. Wanita itu enggan membuka matanya. Walau napasnya masih teratur, tetapi bola mata di dalam sana nampak bergerak gelisah. Kamal tahu, Ica tidak tidur, hanya melamun, atau menyesali diri.Satu hari sudah Ica berada di rumah sakit. Ruangannya sudah dipindah, karena ia tidak memiliki bayi. Kemarin, pasien yang di rawat di sebelahnya baru saja melahirkan bayi kembar. Suara tangisan bayi membuat Ica semakin frustasi dan minta pindah kamar.Alex belum juga datang. Kamal sampai lelah menghubungi kakaknya. Namun, operatorlah yang menjawab panggilannya."Ca, lu kalau gak mau makan, gue tinggal nih!" ancam Kamal dengan suara terdengar serius. Wanita itu membuka mata, lalu menoleh pada Kamal dengan pandangan sayu."Pergi aja, Mal. Gue gak papa. Emang u
Malam itu juga, Alex membawa Susan ke rumah sakit untuk melakukan operasi pengangkatan kutil sebesar telur ayam negeri. Lelaki itu begitu jengah dengan tampilan daging melambai di paha istri keduanya. Sehingga ia memutuskan untuk segera mengoperasinya.Pantas saja Susan tidak pernah mengenakan celana jeans. Wanita itu selalu memakai rok tutu yang kembang, untuk menutupi benjolan di pahanya."Mas marah ya?" tanya Susan takut-takut. Wanita itu tak berani menatap wajah suaminya yang nampak garang."Harusnya hal seperti ini jangan ditutupi. Sebelum menikah jadi bisa dioperasi terlebih dahulu. Gak repot kayak sekarang," jawab Alex dengan suara datar.Lelaki itu harus melemparkan jauh hasrat yang sudah naik ke ubun-ubun, saat melihat kutil istri mudanya. Bayangkan betapa kecewa dan kagetnya ia. Namun, ini bagian dari konsekuensi. Dia sudah terlanjur mencintai Susan. Lalu bagaimana dengan Annisa? Alex meremas rambutnya kasar. Ia benar-benar bingung."Maaf, Mas." Hanya itu yang dapat dikataka
Pagi hari, di luar cuaca kembali gerimis. Padahal hari ini, Kamal ada panggilan interview di sebuah kantor ekspedisi yang cukup ternama. Acara wawancara memang jam sembilan, tetapi ia tak mungkin terlambatkan? Jika ingin naik taksi online, sangat sayang dengan uangnya. Jika naik ojek online maka dia kebasahan. Mau naik naik sepeda juga pasti kebasahan. Terus sekarang bagaimana?Kamal menoleh pada pintu kamar kakak iparnya yang masih saja tertutup. Padahal sudah pukul enam tiga puluh pagi, harusnya wanita itu sudah bangun dan sedang menonton upin dan ipin di ruang tengah."Sarapan dulu sebelum berangkat, Mal," ucap Bu Rani membuyarkan lamunan Kamal. Lelaki itu tersenyum, lalu mengekori ibunya berjalan ke ruang makan."Bu, Ica belum keluar kamar juga?" tanya Kamal sambil menyendokkan nasi ke dalam piringnya."Masih santai-santai kali. Namanya juga baru sembuh," sahut Bu Rani yang ikut menarik kursi makan persis di depan Kamal."Kamal takut Teh Ica khilaf Bu.""Maksudnya?" kening Bu Rani
Plak!"Alex, hentikan! Istrimu baru kehilangan bayinya, tetapi sudah Kau kasari lagi. Suami macam apa Kau?!" Kemarahan Bu Rani memuncak, saat melihat Ica kembali ditampar di ruang makan. Di depan mata kepalanya sendiri.Alex begitu kasar. Sangat mirip dengan almarhum suaminya. Persis, tak ada bedanya sama sekali. Untuk itu, ia tak sanggup lama untuk menjadi istri kedua;papa Alex.Braak!"Ya Allah, Ibu. Teh Ica!" Kamal datang tepat waktu. Mata lelaki itu terbelalak, saat mendapati Ica tengah duduk di lantai dengan pipi sangat merah."Ada apa ini, Mas?" Kamal memandang Alex dengan tak suka."Bukan urusanmu dan ibumu! Cepat kalian angkat kaki dari sini!" Alex menekan suaranya."Jangan, Mas. Kalau gak ada ibu dan Kamal, saya sepi," ujar Ica dengan derai air mata. Tangannya memegang kuat celana panjang yang tengah dikenakan suaminya. Wanita itu memohon dengan iba, belas kasihan suaminya."Oh, jadi kamu mau ikut mereka? Hm? Pergi sana, kalau kamu mau pergi! Tapi ingat, kamu takkan pernah me
Ica telah sadar dari pingsannya. Namun, ia memilih tetap menutup mata. Rasa sakit jahitan bekas cesar yang kembali menganga, membuatnya tak cukup bertenaga untuk mengeluarkan kata-kata. Kesedihan jelas terlihat di raut wajah putih pucat miliknya. Kamal dan Bu Rani hanya bisa memandang Ica dengan iba. Ruang perawatan kelas tiga, terpaksa mereka berikan pada Ica. Itu pun dari hasil menjual kalung peninggalan suami Bu Rani, yang merupakan ayah Alex juga."Ca, makan ya, Nak?" ujar Bu Rani sangat pelan. Suaranya pun bergetar menahan sedih. Tak ada sahutan yang keluar dari bibir kakak iparnya Kamal itu. Membuka matanya pun enggan.Bu Rani meletakkan piring kembali di atas meja samping brangkar. Ia berdiri dari duduknya, lalu menarik tangan Kamal untuk keluar dari sana."Ada apa, Bu?" tanya Kamal keheranan."Kamu pulang ke rumah Alex. Cari ponsel Ica dan juga bawa beberapa helai bajunya. Sekalian baju kita juga. Kita udah diusir Alex. Jangan sampai, lelaki itu kembali ke rumah dan mengambil
Kamal berjalan masuk ke lorong perawatan Ica. Dari kejauhan, ia melihat ibunya sedang termenung melihat pemandangan di luar gedung rumah sakit. Semakin lebar langkahnya mendekat pada wanita paruh baya itu."Bu, kok di luar?" tanya Kamal heran. Kepalanya sedikit menyembul dari balik pintu ruang perawatan yang tidak tertutup rapat."Ada orang tua Ica," jawab Bu Rani setengah berbisik. Punggung tangan yang mulai keriput itu menarik Kamal sedikit menjauh dari kamar."Ada apa, Bu?" tanya Kamal semakin terheran."Nanya mulu! Nih, dengerin. Kita harus jujur sama keluarga Ica, soal Alex yang menyiksanya lahir dan batin," ujar Bu Rani semangat."Setuju!" jawab Kamal mantap."Kita gak boleh takut sama Alex karena memang perbuatan Alex itu tak bisa ditolerir sama sekali.""Setuju!" jawab Kamal lagi."Guru bahasa indonesia lu waktu SD siapa sih, Mal? Kosa kata lu irit amat. Setuju-setuju terus dari tadi," omel Bu Rani dengan bibir mencebik.Kamal hanya bisa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sem
Kamal sudah berada di alamat yang diberikan oleh satpam Imron. Sebuah kontrakan tiga petakan tidak terlalu kecil. Ruangan tengahnya juga sedikit lega dengan dapur dan kamar mandi cukup terawat. Hanya ruang depan saja tak terlalu besar. Cukuplah untuk ditinggali olehnya dan juga ibunya."Gak kurang lagi, Bu?" tanya Bu Rani pada ibu asisten pemilik kontrakan. Si ibu bertubuh tambun itu hanya tersenyum, lalu menggeleng tipis."Dikit, Bu. Masa gak bisa goyang dikit sih," tambah Bu Rani lagi. Wanita paruh baya itu terus merayu agar harga kontrakan bulanan itu sedikit dikurangi."Kata siapa saya gak bisa goyang?" suara si ibu tampak sewot. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepalanya."Maksud ibu saya, harga kontrakannya gak bisa didiskon gitu, Bu?" terang Kamal yang kini sudah ikut duduk di samping ibunya."Bisa sih dikurangin, tapi gak pake kamar mandi. Mau?""Kalau gak ada kamar mandi, saya mau jongkok di mana, Bu? Masa di teras, ha ha ha ...." gelak-tawa Bu Rani begitu me
Kamal sudah berada di rumah sakit tempat Ica dirawat. Sengaja ia tidak lewat lobi IGD, karena dikhawatirkan bersitegang lagi dengan Imron. Kamal memilih lewat pintu samping, tempat biasa taksi menurunkan penumpangnya. Dengan jantung berdebar tak karuan, Kamal masuk ke dalam rumah sakit, tetapi tidak langsung naik ke lantai dua. Ruang perawatan kelas tiga, tempat Ica dirawat waktu itu. Kamal memilih masuk kamar mandi, karena perutnya mendadak mulas."Eh, ketemu di sini," sapa Imron yang baru saja keluar dari bilik toilet. Kamal terlonjak kaget, lalu menyeringai tipis pada Imron."Jodoh kita ya, Mal. Nama kamu Kamal'kan?" tanya satpam Imron."Iya, Bang. Terima kasih udah diberitahu kontrakan. Alhamdulillah dari semalam saya sudah tempati.""Oh, sukur deh. Semoga betah ya. Nih, gue kasih tahu. Empat tahun lalu, rumah kontrakan itu ditempati oleh Anwar. Bujang tua yang akhirnya menikahi janda kaya. Nah, setahun lalu, itu kontrakan yang tinggali teman saya juga. Beh, janda kaya lagi dapat