"Ca, lu belum makan. Nanti malah sakit. Makan dulu ya. Dua puluh suap juga gak papa," ujar Kamal berusaha menghibur kakak iparnya yang masih saja memejamkan mata, tetapi tidak tidur.
"Ca, kuping lu dengarkan?" tanya Kamal lagi. Namun Ica bergeming. Wanita itu enggan membuka matanya. Walau napasnya masih teratur, tetapi bola mata di dalam sana nampak bergerak gelisah. Kamal tahu, Ica tidak tidur, hanya melamun, atau menyesali diri.
Satu hari sudah Ica berada di rumah sakit. Ruangannya sudah dipindah, karena ia tidak memiliki bayi. Kemarin, pasien yang di rawat di sebelahnya baru saja melahirkan bayi kembar. Suara tangisan bayi membuat Ica semakin frustasi dan minta pindah kamar.
Alex belum juga datang. Kamal sampai lelah menghubungi kakaknya. Namun, operatorlah yang menjawab panggilannya.
"Ca, lu kalau gak mau makan, gue tinggal nih!" ancam Kamal dengan suara terdengar serius. Wanita itu membuka mata, lalu menoleh pada Kamal dengan pandangan sayu.
"Pergi aja, Mal. Gue gak papa. Emang udah gak ada yang peduli sama gue," ujar Ica lirih dengan air mata membasahi pipinya. Kamal menjadi serba salah. Lelaki itu hanya bisa menghela napas kasar, sembari melemparkan bokongnya di kursi.
Benar-benar pusing menghadapi wanita. Untuk itulah ia lebih memilih jomlo. Selain memang tak laku, ia khawatir wanita yang jalan bersamanya malah tersiksa.
Suara langkah kaki mendekat. Jauh di dalam lubuk hatinya, Ica berharap suaminya yang datang. Walau ia sakit hati dan sangat kecewa pada suaminya, tetapi ia akan memaafkan, jika suaminya itu meminta maaf.
"Neng," suara Bu Rani menggeser gorden bilik perawatan Ica.
"Eh, Bu. Terima masih sudah datang," ucap Ica dengan suara bergetar. Bukan suaminya yang datang, tetapi ibu tiri dari suaminya.
Kamal mencium punggung tangan Bu Rani, lalu memberikan kursi yang ia duduki pada ibunya. Wanita paruh baya itu memandang Ica dengan begitu sedih. Ia tak tahu harus berkata apa. Karena pasti saat ini Ica sedang merasakan kesedihan yang amat dalam.
"Ibu buatkan kolak pisang. Kamu maukan?" tawar Bu Rani sambil mengeluarkan kotak bekal di dalam totte bag yang ia pakai.
"Ica gak mau makan, Bu," jawabnya lirih sambil menggelengkan kepala. Bu Rani menghela napas, lalu mengambil tangan menantunya. Dipijatnya lembut jari-jemari lentik itu hingga Ica merasakan sedikit rileks pada tubuhnya. Wanita itu memejamkan mata menikmati pijatan Bu Rani.
"Bu, kolak buat Kamal ada gak?" tanya Kamal sambil memyeringai. Karena jujur, ia pun mulai merasa lapar.
"Gak ada. Ibu lupa kalau ada kamu di rumah sakit," jawab Bu Rani sambil tergelak.
"Ya Allah, teganya Bu. Jadi, buat Kamal gak ada nih?" tanya Kamal sembari memeriksa isi totte bag yang dibawa ibunya.
"Gak ada. Orang ibu cuma bawain sempak kamu doang, yang sekarang dipake udah basahkan? Dah, ganti sana. Nanti jamuran repot! Mending jamurnya bisa dimasak! Kalau pun bisa dimasak, pasti yang makan, mati di tempat," oceh Bu Rani panjang lebar.
"Hhep ... heep ... ha ha ha ...." Ica tergelak, sambil menahan sakit akibat jahitan cesar di perutnya.
Kamal dan Bu Rani menoleh pada Ica yang terbahak. Saraf tegang di wajahnya mulai mengendur saat tawa itu begitu lepas menggema di kamar perawatan kelas satu.
"Ibu lucu ih!" kata Ica masih terus tertawa.
"Dari kemarin diam saja. Giliran dengar sempak berjamur langsung ngakak! Duh, wanita!" Kamal mencebik. Kakinya melangkah lebar masuk ke dalam kamar mandi, mengganti sempak basah yang baunya, ah ... tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ica menetralkan napas dan juga menghapus air matanya yang datang di sudut mata. Wanita itu menarik tangan Bu Rani yang masih terus memijatnya, lalu membawanya ke bibir, untuk menciumnya dengan takzim.
"Terima kasih sudah menghibur Ica ya, Bu. Untung ada Kamal dan Ibu, kalau nggak, Ica pasti kesepian."
"Iya, sama-sama." Bu Rani mengusap lengan Ica, sambil melengkungkan garis bibirnya.
"Makan ya? Biar ada tenaga buat gebukin Alex," bisik Bu Rani diikuti seringainya.
"Dosa gak, Bu? Kalau Ica kasih racun tikus aja?"
"Ha ha ha ...." kali ini Bu Rani yang tergelak, hingga menetes air matanya.
"Jangan, Ca. Gak boleh. Bagaimanapun kita berumah tangga, cobalah untuk bersabar dan rajin mendoakan suami kita agar berubah."
"Iya, Bu. Ica akan sabar," sahut Ica sambil mencium kembali punggung tangan Bu Rani.
Sementara itu, Alex tengah berada di apartemennya bersama seorang wanita yang kini sedang berada di dalam kamar mandi. Wanita itu adalah teman semasa SMP-nya. Mereka bertemu kembali, setelah belasan tahun tak berjumpa.
Ada kisah cinta yang tak usai di masa itu, hingga keduanya merajut kembali kasih di masa kini. Alex melonggarkan kemejanya dengan membuka kancing kemeja yang paling atas. Lengan panjang kemeja dilipat hingga siku. Pandangannya beralih pada sepasang kebaya dan kain batik yang tergeletak manis di ranjang apartemen.
Ya, Alex baru saja melakukan pernikahan siri dengan wanita yang bernama Susan. Wanita dewasa yang seumuran dengannya, tetapi masih bergaransi orisinil, alias masih perawan. Alex tak mampu menutupi kekagumannya pada Susan, karena berhasil memperhatahankan kegadisan hingga usia tiga puluh enam tahun.
Suara keran air dimatikan. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka.
"Mas, tolong ambilkan handuk. Saya lupa," ujar Susan dengan suara manja.
Inilah enaknya, kalau punya istri pembaca setia w*****d. Selalu saja ada adegan yang dicontoh dari sana, salah satunya lupa membawa handuk. Alex bersorak dalam hati.
"Sudah halal ini, Yank. Gak usah pakai handuk saja keluarnya. Gak papa kok. Suami kamu ini akan memperhatikan dengan senang hati," jawab Alex dengan dada berdebar. Sungguh beruntung dirinya menjadi pria yang beberapa kali membobol gawang keperawanan.
"Gak boleh kesal loh ya. Susan malu," ujar wanita itu lagi dari dalam kamar mandi.
"Kok kesal. Dah, mau keluar sendiri atau Mas jemput?" tantang Alex.
Akhirnya Susan yang berwajah cantik dan berkulit putih mulus itu keluar dari kamar mandi, tanpa menutupi tubuhnya. Ia menunduk malu di hadapan suaminya, saat berjalan miring hendak mengambil handuk bersih di dalam lemari.
"Yank, tunggu! Itu apa di paha kamu?" tunjuk Alex dengan sedikit kaget.
"Mmm ... ini Mas. Mmm ... ini." Susan gugup. Ia tak sanggup mengangkat wajahnya untuk melihat suaminya.
Alex yang penasaran, akhirnya bangun dari atas ranjang, lalu berjalan mendekat pada Susan.
"Ya Allah, ini daging apa? Kamu bisulan?" tanya Alex memandang kaget daging sebesar telur tumbuh di paha istri sirinya.
"Ini kutil, Mas."
"Hah? Apa?! Kutil?!
*****

"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak