"Tante Elya ngomong apa aja tadi?" Ardian menghampiri Alda yang sudah sibuk dengan ponselnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa, ucapan Elya padanya dianggap angin lalu."Kepo deh." Gadis itu berbalik. Terkikik geli ketika Ardian memasang wajah masam."Tapi, dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?" Di detik yang sama, raut Ardian berubah khawatir."Nggak kok. Jangan khawatir berlebihan gitu deh. Aku nggak apa-apa."Ardian menghela. Kini beralih mendekati istrinya dan duduk di sisi gadis itu. "Alda, mungkin setelah ini akan ada banyak penolakan dari keluarga saya untuk kamu. Beberapa dari mereka hanya memandang seseorang dari segi harta. Mereka juga suka blak-blakan dan nggak bisa menjaga perasaan orang lain." Ardian menjeda."Saya harap, sikap buruk dan penolakan itu nggak akan membuat kamu mencari-cari alasan untuk bisa segera lepas dari saya."Alda tertawa. "Sepertinya, Kakak terlalu takut aku tinggalkan, ya?""Saya serius!"Kontan gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Tatapan Ardi
"Udah sehat?" Ardian menyambut Alda di dapur dengan senyuman. Meja makan kini sudah penuh dengan makanan. Tentu saja pemuda itu yang memasaknya.Alda mengangguk. Ia lalu menarik kursi di hadapan Ardian. "Udah mendingan. Kan, dirawat sama dokter pribadi." Gadis itu terkikik geli. Sengaja mengerlingkan mata dengan tatapan genit.Ardian geleng kepala. Sudah tak heran dengan tingkah istrinya yang selalu di luar prediksi BMKG. Ia bahkan sampai berpikir jika sehari saja Alda berubah menjadi kalem, mungkin dunia akan segera kiamat."Kakak nggak masuk kantor?" tanya gadis itu heran. Jam digital di dinding dapur sudah menunjukkan pukul 07.35. Biasanya, di waktu seperti ini, Ardian sudah mengenakan setelan rapi dan siap berangkat. Tapi pagi ini, ia masih terlihat santai dengan celemek yang melekat di tubuhnya.Ardian menghela napas. Begitu saja tangannya terulur untuk mengecek suhu tubuh Alda. "Nih, ini aja masih panas. Mana bisa saya main pergi gitu aja?""Aku udah nggak apa-apa, kok. Bentar
"Hatchim!"Ardian mendekati Alda yang sudah meringkuk di balik selimut tebalnya usai melaksanakan shalat isya. Menerobos hujan ketika pulang kuliah sore tadi ternyata baru berefek sekarang. Gadis itu jadi bersin-bersin."Hatchim!""Lain kali, kalo kehujanan neduh dulu. Jangan diterobos aja itu hujan. Udah tau kamu gampang flu, gampang masuk angin, masih aja nekat!"Di balik selimut tebal itu, Alda mengelap hidungnya dengan tissue. Kali ini sudah tidak peduli lagi dengan omelan Ardian. Kepalanya yang pening dan badannya yang terasa lemas membuatnya tak berdaya untuk membalas omelan sang suami.Ardian menghela. Sorot matanya memperlihatkan kekhawatiran ketika tangannya menyentuh dahi Alda. "Panas banget."Ia segera beranjak. Masih sempat mengusap lembut rambut sang istri sebelum berlalu.Sekitar lima menit, Ardian akhirnya kembali dengan nampan berisi makanan. Kebetulan Alda belum makan. "Makan dulu. Habis itu istirahat," ujarnya usai memasang plester demam di dahi gadis itu."Aku nggak
Alda tak bergerak. Tatapannya terkunci pada mata Ardian yang bicara dengan nada pelan, tapi mengandung muatan berat. Kalimat terakhir pemuda itu masih bergema kuat di telinganya."Ada banyak hal yang mau saya omongin sama kamu."Ia menunggu. Tapi Ardian justru diam. Suasana kembali hening, hanya diisi oleh desahan napas yang saling bersahutan."Kakak mau ngomong apa?" Ia akhirnya memberanikan diri bertanya.Ardian bangkit dari kursi. Berjalan pelan ke arah jendela, lalu bersandar di sana, memandangi pekat malam yang menempel di kaca. Tangannya menyilang di dada, menandakan pikirannya belum tenang."Saya bingung mulainya dari mana," ujarnya.Alda memainkan jemarinya gelisah. Ia ingin mendengar tetapi juga takut dengan apa yang akan keluar dari mulut Ardian.Pemuda itu mendekat. Ia lalu duduk di samping Alda. "Seperti yang kamu tahu, kita menikah karena sama-sama punya kepentingan pribadi. Kamu yang waktu itu butuh banyak biaya untuk kemoterapi Ella dan saya butuh status pernikahan."Al
Keheningan menggantung lama setelah pintu kamar tertutup. Suara langkah Ardian yang menjauh masih membekas di telinga Alda, seolah lantai pun menyimpan jejak ego yang tadi sempat saling berbenturan. Alda berdiri terpaku di ruangan itu. Pandangannya menatap ke arah pintu, tapi pikirannya melayang ke banyak tempat. Ada yang sesak di dadanya, semacam nyeri tak kasat mata yang justru muncul saat seseorang tidak sedang memaki atau membentak. Ardian tidak marah. Tidak meninggikan suara. Bahkan tidak mencoba membantah keras-keras setiap argumennya. Alda menarik napas dalam-dalam. Ia ikut keluar kamar dan memilih duduk di sofa ruang tengah. Ia bukannya tak mengerti kenapa Ardian memilih pergi. Ardian hanya tak ingin perdebatan ini berbuntut panjang. Ardian ingin memberinya waktu untuk menenangkan diri agar mereka berdua bisa berbicara dengan kepala dingin. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri. Waktu terasa melambat, seakan ikut menahan napas menunggu langkah Ardian kembali dari ‘cari
Tak sampai 5 menit, Alda akhirnya kembali dari kamar mandi dengan wajah masih memerah. Sisa-sisa rasa malu belum sepenuhnya lenyap. Tapi saat melangkah masuk, matanya langsung tertumbuk pada satu paperbag putih elegan di atas ranjang. “Apa lagi ini?” gumamnya pelan. Baru saja ia mendekat dan hendak membuka isinya, Ardian tiba-tiba muncul dari belakang dan menyentuh bahunya. "Itu skincare yang saya belikan. Katanya bagus," ujarnya. Alda menoleh. Tangannya lalu membuka paperbag itu. "Kak Ardian... bukannya ini merek skincare mahal?" Ardian menggaruk pelipis, seperti berusaha mencari-cari alasan. "Tadi Kakak udah beliin sepatu mahal loh, sekarang skincare lagi?" Ardian mendudukkan Alda di pinggiran ranjang. "Ini nggak seberapa kok. Lagian, ini kan cuma skincare. Saya bukan orang pelit." Alda terdiam. Ia menatap Ardian lama. "Kakak nggak minta balasan besar kan buat hadiah semahal ini?" Ardian mengangkat alisnya. "Balasan besar?" Alda mengangguk. "Jangan-jangan Kakak m