"SAH!!"
Alda terkesiap. Gema sah dari seluruh hadirin mengejutkannya yang sejak tadi diam dalam lamunan panjang. Ia mengerjap. Hampir tak percaya bila dirinya sudah menjadi istri orang. Namun, dengan adanya Ardian yang kini berada di hadapannya membuat ia meyakini bila ini semua bukan mimpi. Di detik itu juga, pemuda itu memasangkan cincin ke jari manisnya. Disusul ia yang balas memasangkan cincin ke jari Ardian. "Why?" Ardian mengangkat sebelah alisnya saat sadar Alda memberinya kode. "Tangan," bisik gadis itu. "Buat?" "Buat aku cincang-cincang!" Seketika Ardian melotot. "Yang bener aja! Kita baru sah. Sudah mau KDRT!" Alda berdecak. "Ck, tangannya siniin! Mau salim biar berkah!" Ardian memutar bola mata. Begitu saja menyodorkan tangannya ketika gadis itu sudah sewot. "Nggak ada adegan cium dahi?" tanya Alda begitu polos. Ardian menggeleng. "Ingat sama perjanjian nomor lima. Sebelum ada cinta, dilarang modus! No cium-cium. No peluk-peluk. Bagi pihak yang melanggar akan dikenakan denda sebesar satu juta rupiah." "A-apa? Satu juta?!" Mata gadis itu membola. Jelas saja ia syok bukan main. Satu juta baginya adalah nominal yang sangat besar. Bahkan ia harus kerja keras dulu untuk mendapatkannya. Tapi, dengan entengnya Ardian malah menjadikannya sebagai denda untuk jenis pelanggaran yang menurutnya remeh temeh. "Kamu udah tanda tangan." Alda mengusap wajahnya kasar. Mendadak menyesal karena langsung bertanda tangan tanpa membaca baik-baik perjanjian yang Ardian buat. "Ya Rabbi, sebenarnya perjanjian gila seperti apa yang sudah aku tandatangani?" 🍃 Ardian menatap pintu kamar mandi yang telah tertutup. Beberapa menit lalu, Alda masuk ke dalam untuk berganti gaun pengantin yang ia kenakan. "Jangan ngintip!" Itu adalah ultimatum Alda sebelum menutup pintu kamar mandi dengan barbar. Ardian menghela. Tak pernah ia duga jika alur hidupnya akan sekonyol dan se-drama ini. Awal mula semuanya adalah saat ia baru saja pulang dari rumah sakit. Saat itu, ayahnya mendadak memintanya menikah tak peduli dengan dirinya yang baru saja patah hati akibat ditinggal nikah oleh Netta. "Ar, ayah katanya mau ngomong penting sama kamu. Dia udah nunggu di ruang keluarga." Erlin menepuk pelan bahu Ardian. "Samperin gih!" Mengangguk, Ardian lantas berjalan menuju ruangan dimana ayahnya berada. "Kenapa, Yah?" tanyanya langsung usai tiba di sana. "Langsung ke intinya saja. Kapan kamu akan menikah?" Ardian menghela. Jangankan punya pikiran untuk menikah, ia saja masih patah hati karena ditinggal Netta. Dan lagi pula, ia juga sedang tidak dekat dengan perempuan manapun. "Kamu sudah punya calon?" "Nggak ada." "Kalau gitu, ayah mau kamu segera cari calon istri," ujar Prakarsa Erfandi Adiwijaya, begitu orang-orang mengenalnya. Sosok tegas yang kalimatnya tidak bisa dibantah. Jelas Ardian tidak terima. "Loh, kok gitu? Aku belum---" Namun, kalimatnya tak jadi rampung saat Erfan menyela. "Kalau kamu nggak mau nurutin kemauan ayah, terpaksa seluruh hak waris akan jatuh ke tangan Aksa!" "Loh, Ayah nggak bisa gitu dong! Anak Ayah bukan cuma Aksa. Anna juga anak Ayah. Okelah kalo aku nggak dapat apa-apa. Tapi, tolong dong ingat sama Anna. Dia juga punya hak atas warisan Ayah!" "Kamu lupa? Anna udah nggak ada." "Bukan nggak ada, tapi belum ketemu!!" Dan terjadilah perdebatan sengit itu. Ardian sepenuhnya belum bisa menerima kenyataan tentang Anna. Sementara Erfan nampaknya sudah menyerah. "Apapun itu, keputusan ayah sudah bulat. Pilihan kamu cuma ada dua. Segera cari calon istri lalu menikah atau seluruh harta kekayaan ayah sepenuhnya jatuh ke tangan Aksa!" Ardian mengacak rambutnya frustasi. Keadaan ini benar-benar memaksanya. Andai bukan karena ingin memperjuangkan hak-hak Anna, jelas ia tetap bertahan pada pilihannya untuk tidak segera menikah. "Jadi, gimana? Tetap mau bertahan sama pilihan kamu?" Erfan menaikkan sebelah alisnya. Cowok itu menghela kasar. Mau tidak mau ia harus mengalah. "Oke, Ardian ngalah," ujarnya yang membuat Erfan tersenyum penuh kemenangan. "Kalau nggak ada hal yang penting lagi, Ardian mau istirahat." Erfan mengangguk. Sepenuhnya memberi jalan untuk putranya melangkah meninggalkannya. Namun, sebelum itu, ia masih sempat memperingatkan, "Ingat, dalam bulan ini bawa calon istri kamu ke hadapan ayah!" Ardian di sana berhenti sejenak. Berdehem pelan sebagai jawaban. "Kalau kamu ingkar, ancaman ayah tadi tidak main-main. Ayah harap, kamu bisa mempertimbangkannya." Cowok itu tercekat. Berdecak kesal untuk kalimat berisi ancaman dari ayahnya. "Iya, terserah Ayah!" "DOR!" Tepukan pelan pada bahunya berhasil menarik Ardian dari lamunan panjang. "Kakak ngelamunin apa?" Di depannya sudah berdiri Alda yang telah berganti pakaian. "Nggak ada." Ardian menyahut cuek. Ia masih duduk di pinggiran ranjang. "Aku penasaran, kenapa di antara semua perempuan yang ada di muka bumi, Kak Ardian malah pilih aku?" Alda beralih ke meja rias. Gadis itu menoleh sekilas. Menatap Ardian yang juga menoleh ke arahnya. "Kalau bunda maunya cuma kamu, saya bisa apa?" Ardian teringat kembali dengan Erlin yang sempat menyanjung-nyanjung Alda sebelum dan sesudah ia putus dengan Netta. "Tuh kan, bener kata bunda? Netta itu emang nggak baik buat kamu. Ah, kalau gini bunda jadi oleng ke gadis yang kita temui di rumah sakit pas jenguk tante Elis," begitu kata Erlin kala itu. "Alasannya?" Ardian mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. Alda sendiri sudah sibuk menghapus make up di wajahnya. "So, pernikahan ini berlaku sampai kapan?" Ardian mengerutkan dahi. Alda yang kebetulan menangkap reaksi itu lanjut bertanya, "Ini semacam nikah kontrak, kan? Biasanya sih di film-film ada tenggat waktunya. Bisa setahun, dua tahun, tiga tahun, atau tergantung kesepakatan awal. Kayaknya Kakak belum bahas soal itu deh." "Saya nggak ada bilang ini nikah kontrak." "Lah? Jadi?" "Kita nikah beneran. Lagian, nikah kontrak haram hukumnya." "WHAT?!" "Kamu nggak baca isi perjanjian itu?" Alda menepuk dahinya. Mampus, ia tak membaca apapun dari surat perjanjian itu. "Itu perjanjian pranikah. Berisi larangan dan perintah yang menjadi dasar pernikahan ini. Anggap saja itu juga sebagian dari jaminan bahwa kamu maupun saya tidak akan pernah dirugikan di dalam pernikahan ini." "Jadi..." Alda tidak sanggup meneruskan kata-katanya. "Kita beneran suami istri. Bukan kontrak, bukan bohongan."Sore itu, di tengah langit yang mulai memerah, Meira, Irwan, dan Netta akhirnya tiba di kediaman Alda dan Ardian. Ketiganya datang bersamaan. Suasana sore yang hangat seakan menyambut kedatangan mereka. Pintu rumah dibuka oleh Bi Sumi, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Senyum ramah Bi Sumi mengembang. "Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam," ujarnya hangat. Meira balas tersenyum. "Terima kasih, Bi." Disusul Netta dan Irwan yang ikut tersenyum ke arah Bi Sumi. Bi Sumi balas mengangguk. Setelahnya, ia mengantar ketiganya menemui sang majikan. "Selamat sore!" Meira langsung menyapa ketika mendapati Alda, Ardian dan si kembar sedang berbincang di ruang tamu. "Barusan kalian nongol. Sini gabung!" ujar Alda yang membuat ketiga orang yang berada di sana kompak mengangguk. "Mentang-mentang udah nikah jadi jarang ke sini, ya," ledek Alda pada Meira. Wanita itu terkekeh. Ia menatap Irwan yang kini sudah menjadi suaminya. "Biasa, kami akhir-akhir ini banyak kasus y
Malam itu, Ardian dan keluarga kecilnya mengunjungi pasar malam. Udara malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma sate, bakso bakar, dan jajanan lainnya yang berbaur di udara. Suara riuh pengunjung, tawa anak-anak dan musik dari wahana permainan menciptakan melodi khas yang membuat suasana semakin meriah. "Papa, nanti kita beli bakso bakar, ya," Ezzel mendongak, tangannya masih erat menggandeng Ardian. Matanya berbinar penuh harap. Ngomong-ngomong, Ezzel sudah lebih bisa ngomong 'r' meski lidahnya masih sering terpeleset. Laki-laki itu mengangguk. "Boleh, tapi belinya jangan banyak-banyak, ya." Sontak Ezzel mengerucutkan bibirnya. "Papa pelit!" katanya sebal. Ardian hanya bisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. "Sayang, bukannya papa pelit. Tapi jajan terlalu banyak itu juga nggak baik buat kesehatan," ujarnya lembut. Alda yang berjalan di sisi Ardian ikut mengangguk setuju. "Nah, bener tuh kata papa. Jajan secukupnya aja, jangan berlebihan," peringatnya.
TING TONG! "Kayaknya ada tamu, Kak. Buka pintunya dulu ya, aku pake kerudung bentar." Ardian yang semula menyuapi Alda mengangguk. Selanjutnya laki-laki itu bergerak ke arah pintu utama. "Barusan lo mampir ke rumah gue." Ardian mencibir pada sosok laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. "Gue kira lo udah lupa sama gue." "Gue orang sibuk. Makanya baru sempat ke sini." Laki-laki yang tak lain adalah Aksa itu menuntun putranya masuk ke rumah Ardian tanpa dipersilahkan. "Nggak berubah sejak dulu. Suka nyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan." Ardian lagi-lagi mencibir. "Bikinin minum. Anak sama bini gue kehausan," perintah Aksa tak tahu malu. "Kamu haus kan, sayang?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Chio. "Mas!" Ini teguran langsung dari Nada. "Anggap aja rumah sendiri, sayang." Aksa mengusap kepala istrinya. "Nggak ada adab lo!" Ardian berdecak namun tetap ke dapur untuk meminta bi Sumi membuat minuman. Alda yang sudah memakai hijabnya lantas beralih
"Dua garis?" Ardian menatap Alda serius. Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Ini beneran?" tanya Ardian lagi. Raut wajahnya berubah cerah. Alda mengangguk. "Kakak senang?" tanyanya ragu. Laki-laki itu berdecak. "Iyalah, ya kali sedih." Setelahnya ia memeluk Alda. Dikecupnya dahi wanita itu lama menyampaikan betapa ia sangat mencintai ibu dari anak-anaknya ini. Alda tersenyum. Ia tatap Ardian yang masih diam menatap perutnya. "So, Kakak nggak ada niatan gitu buat nyapa calon baby-nya?" Ardian lantas berjongkok di depan Alda. Setelahnya tangannya terangkat untuk mengusap perut itu. "Sehat-sehat ya di sana. Papa nggak sabar ketemu kamu," bisiknya lalu mengecup lembut perut sang istri. "Aku pikir Kakak nggak bakal senang dengar kabar ini." Alda terkekeh. Ia usap rambut Ardian yang masih berjongkok di depan perutnya. "Kamu ya, suka banget mikir macem-macem!" decak laki-laki itu. "Mama kenapa, Pa?" tanya Ezzel langsung usai tiba di depan orang tuanya. Ardian sudah ber
Di dalam kamar, Ardian terlihat duduk santai di sofa sambil bermain ponsel sementara Alda yang sibuk menonton drama Korea di laptop. BRAK!! "MAMA, PAPA!!!" Tanpa aba-aba, pintu kamar dibuka secara bar-bar dari luar.Alda dan Ardian terlonjak bersamaan. Seharusnya, tak perlu mereka tebak-tebak lagi siapa itu. Ezzel si bungsu. "Bagus ya, masuk kamar mama papa caranya kayak gitu!!" Alda yang menegur. Wanita itu kini berkacak pinggang. "Bukannya ngetuk pintu dulu atau ucap salam, pintunya malah didorong keras kayak tadi!!" Ardian yang menyaksikan tingkah sang istri terkekeh sendiri. Bukannya menakutkan, perempuan itu malah kelihatan lucu. Lihat saja, Alda bahkan seperti tak punya keahlian marah sama sekali. "Maaf, Ma." Tapi, ternyata itu cukup ampuh untuk membuat Ezzel menundukkan kepala. Terlihat bocah itu sedang memainkan jari-jari kakinya. "Maafin adek. Nggak akan diulangi lagi kok. Janji," ujarnya sembari mengangkat dua jarinya. "Awas ya, kedapatan mama lagi kayak tadi
Sore hari, Alda terlihat sibuk pada beberapa model rancangan gaun yang baru saja dikirimkan oleh beberapa desainer. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba Ezzel datang menghampirinya. "Mama, ayo masak-masak!" ajak bocah itu antusias. Ia bahkan sudah menarik tangan Alda untuk ke dapur. "Loh, mama nggak pinter masak, sayang." Rasanya malu mengakui hal ini. Namun, bagaimana pun fakta tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya, meski Alda sudah belajar masak mati-matian tetap saja hasil masakannya tak pernah memuaskan. Jika masakannya tidak asin ya hambar. Jika tidak hambar pasti gosong atau berantakan. Wanita itu menghela napas. Mungkin memang selamanya hanya Ardian yang bisa menguasai dapur seutuhnya. Dirinya tidak. "Nanti minta ajarin papa aja, ya?" ujarnya meminta pengertian. Memilih pasrah pada satu kekurangannya, Alda membiarkan struktur keluarganya terbalik. Ardian si suami yang ahli memasak dan Alda si istri yang tak tahu apa-apa tentang dapur. "Assalamualaikum, papa pulan