Tak sampai 5 menit, Alda akhirnya kembali dari kamar mandi dengan wajah masih memerah. Sisa-sisa rasa malu belum sepenuhnya lenyap. Tapi saat melangkah masuk, matanya langsung tertumbuk pada satu paperbag putih elegan di atas ranjang. “Apa lagi ini?” gumamnya pelan. Baru saja ia mendekat dan hendak membuka isinya, Ardian tiba-tiba muncul dari belakang dan menyentuh bahunya. "Itu skincare yang saya belikan. Katanya bagus," ujarnya. Alda menoleh. Tangannya lalu membuka paperbag itu. "Kak Ardian... bukannya ini merek skincare mahal?" Ardian menggaruk pelipis, seperti berusaha mencari-cari alasan. "Tadi Kakak udah beliin sepatu mahal loh, sekarang skincare lagi?" Ardian mendudukkan Alda di pinggiran ranjang. "Ini nggak seberapa kok. Lagian, ini kan cuma skincare. Saya bukan orang pelit." Alda terdiam. Ia menatap Ardian lama. "Kakak nggak minta balasan besar kan buat hadiah semahal ini?" Ardian mengangkat alisnya. "Balasan besar?" Alda mengangguk. "Jangan-jangan Kakak m
"Ini hadiah kamu."Alda yang semula sibuk dengan drakor di laptopnya spontan menoleh ketika Ardian menghampiri. Pemuda itu baru saja pulang dari kantor."Apa nih?" Fokusnya langsung pindah ke sebuah paper bag berlogo butik mahal yang dibawa Ardian."Liat aja."Alda buru-buru bangkit dari sofa dan menerima paper bag tersebut. Dengan antusias, ia menggeledah isinya. "Saya nggak tau kamu sukanya apa. Yaudah, saya beliin itu aja," ujar Ardian ketika Alda sudah mengeluarkan isi paper bag tersebut.Ketika kotak di dalam paper bag itu dibuka, mata Alda membulat. Di dalamnya ada sepasang sepatu berwarna soft pink yang sangat menawan.Alda menatap Ardian. “Serius ini buat aku?”“Bukan, buat tetangga sebelah,” sahut Ardian menyebalkan. Tangannya sibuk melepas dasi dari lehernya.Alda mencebik. "Serius dong, Kak!"Ardian menoleh. Sifat jahilnya kambuh lagi. "Lah saya serius kok. Makanya saya nikahin kamu."Alda berdecak. "Kak Ardian nggak asik!"Pemuda itu terkekeh. Menjahili Alda memang selalu
Ardian duduk di salah satu sofa butik, tubuhnya sedikit bersandar, tangannya bersilang di dada. Wajahnya datar. Rautnya seakan mengatakan 'tolong cepetin dikit!'Di hadapannya, Erna—sekretaris yang biasanya cepat, tegas, dan seefisien spreadsheet Excel kali ini berubah total. Alih-alih segera membantu Ardian memilih, ia malah berdiri di depan rak sepatu, matanya berbinar seperti pelanggan pertama saat sale akhir tahun.“Menurut Bapak, lebih bagus yang ada pitanya atau yang polos gini?” tanyanya sambil mengangkat sepatu berpita, sementara yang polos sudah terpasang di kakinya.Ardian mengangkat bahu. "Saya nggak tahu," balasnya datar.Erna menahan helaan napas. Bosnya memang tipe manusia yang sulit sekali diajak bicara. Memang salah dia meminta pendapat kepada Ardian.Erna bergumam sangat pelan, “Kalau sepatu ini dipakai kencan sama Mas Dipta bagus nggak, ya?”Tapi telinga Ardian sangatlah tajam. Dengan jelas ia bisa menangkap gumaman wanita itu.“Erna.” Ardian menatap wanita itu denga
Ardian dan Alda sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ardian kembali tenggelam dalam urusan kantor, sementara Alda fokus menjalani perkuliahan. Meski begitu, pengawasan terhadap Alda diperketat. Dua pengawal berjaga bergantian, memantau dari jarak yang tak mencolok. Tetap dalam radar, tapi tidak mengganggu privasinya. Siang itu, Ardian tengah menelaah laporan keuangan ketika ponselnya bergetar. Reza menelepon.“Pak, ada informasi tambahan. Salah satu pemilik unit di lantai 16 memasang kamera pribadi di depan pintu yang menghadap ke lorong dekat tangga darurat. Dari rekaman, ada seseorang yang mencurigakan pada hari yang sama dengan kejadian pengiriman ular. Videonya sudah saya kirimkan ke Bapak.” Ardian langsung membuka file video yang dikirimkan Reza. Rekaman malam itu cukup gelap, tapi tetap terbaca. Dari tangga darurat, muncul sosok berpakaian gelap. Jaket tebal dengan hoodie menutupi kepala. Tubuhnya mungil, dan gerakannya cekatan. Nyaris tanpa suara. “Pelaku?” tanya Ardian, m
"Hantu!" "Tolong, ada hantu!" Ardian yang baru saja keluar dari kamar mandi usai mengambil air wudhu berjalan mendekati Alda yang kini bergerak tak karuan di atas ranjang. Sebelum ke kamar mandi tadi, ia sudah membangunkan gadis itu tetapi Alda yang pada dasarnya kebo sangat sulit dibangunkan. "Tolong, ada mbak kunti!" Ardian memijat pelipisnya pelan. Ia sudah menduga jika ini adalah dampak dari dirinya yang subuh tadi mengajak Alda menonton film horor. Istrinya itu jadi ketakutan hingga terbawa ke alam mimpi. "Alda, bangun." Ia akhirnya menggoyangkan lengan gadis itu pelan. "Ada hantu!" "Alda, udah adzan. Bangun," bisiknya lembut. Tak tega juga membangunkan gadis itu keras-keras. Apalagi dia sedang mimpi buruk. "Kuyang!" Akhirnya Alda bangun dari tidurnya. Wajahnya penuh dengan keringat. "Sampai keringetan gini." Ardian geleng kepala. Kini beralih mengelap wajah istrinya dengan tangan. Alda yang belum tersadar sepenuhnya beringsut mundur. Berteriak histeris ketika melihat
"Alda, ayo pulang." "Kak, ini masih subuh loh. Nanti aja pulangnya. Pas udah siangan dikit." Alda geleng-geleng kepala. Sejak Aksa datang, sejak itu pula suaminya tak henti membujuknya untuk pulang. "Saya udah nggak betah di sini. Ayo pulang." Ardian betulan frustasi. Saking frustasinya, ia sampai berguling-guling di atas ranjang. "Iya, nanti kita pulang. Tapi, bukan sekarang. Ini masih subuh. Adzan aja masih lama." "Daripada Kakak ngerengek minta pulang kayak anak kecil, mending cerita dulu. Kakak sebenarnya ada masalah apa sama kak Aksa? Kok jadi sensi gitu tiap liat dia?" Ardian menghela. Kini beralih menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Alda yang sudah siap mendengar ceritanya ikut menegakkan badan. "Nanti aja ceritanya. Saya lagi nggak mood bahas Aksa." Alda berdecak. "Kirain mau cerita!" kesalnya. "Padahal, aku udah nungguin." Ardian terkikik geli. Terlebih saat wajah Alda tertekuk masam. "Tapi, tunggu!" Alda tiba-tiba mendekat. Menatap wajah Ardian de