Masuk kamarnya dan Alda, Ardian langsung menutup pintu. Pemuda itu duduk di sofa dengan tatapan kosong. Di kamar ini, ada banyak sekali kenangan mereka bersama. Setiap pagi selalu ada Alda yang berisik karena bukunya ditaruh entah di mana. Tapi sekarang, yang ada hanya sepi. Jujur saja, Ardian merindukan semuanya. Bagi Ardian, Alda adalah segalanya. Dia adalah sosok ceria yang membuatnya merasakan bagaimana rasanya dicintai dengan tulus. "Aku sayang kamu, Zia Miralda." Begitu pengakuannya selalu pada sang istri. "Seperti yang Kakak tau, aku juga sayang Kakak. Pake banget." "Aku juga sayang kamu pake banget." "Seberapa besar?" "Nggak bisa diukur." Ardian menunduk dalam. Tanpa kehadiran Alda, kamar ini rasanya sangat sunyi. Suasana yang biasanya rusuh karena ulah Alda mendadak sepi. "Aku janji, Kakak adalah laki-laki pertama dan terakhir di hidup aku." "Meski bukan kamu yang pertama, tapi aku janji akan menjadikan kamu perempuan terakhir di hidup aku." Ardian terse
Alda sepertinya telah lelah berjuang membuat beberapa orang yang masih menunggunya bangun dari tidur panjangnya terpaksa harus belajar merelakan. Ini sudah empat bulan lewat namun tak pernah ada tanda-tanda gadis itu akan segera sehat seperti dahulu. Kenyataannya, meski ribuan kali pun coba disangkal kemungkinan untuk Alda bertahan hidup hanya sekitar sepuluh persen. Selebihnya keajaibanlah yang bisa diharapkan. Pagi ini, Meira duduk termenung di taman rumah sakit dengan tatapan kosong. Ucapan dokter bahwa kondisi Alda semakin memburuk membuatnya khawatir luar biasa. Nyatanya, ia belum siap kehilangan. Gadis itu menghela untuk yang ke sekian kalinya. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia dapat melihat sahabat-sahabat Alda yang berjalan mendekat ke arahnya. Tampak gadis yang Meira ketahui bernama Vivi sedang melambaikan tangan ke arahnya. Meira tersenyum samar. Ia ikut mengangkat tangannya guna membalas lambaian itu. “Ada perkembangan sama kondisi Alda?” tanyanya langsung usai ketiga
Beberapa orang dokter dengan wajah sama paniknya buru-buru ke ruangan Alda saat mengetahui jika gadis itu kembali mengejang. Sementara keluarga dan sahabat Alda saat ini berada di luar ruangan menanti detik demi detik yang terasa semakin mencekam. Di dalam ruangan, petugas medis berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Alda. Segala cara masih mereka coba untuk menyelamatkan nyawa gadis itu. “Kondisi pasien menurun drastis.” “Detak jantungnya semakin melemah!” “Lakukan apapun yang bisa menyelamatkan pasien!” Ruangan Alda kini diliputi ketegangan. Semua petugas medis yang ada di sana berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan Alda. Sementara itu, di luar ruangan masih banyak yang menanti kabar dari dokter dengan harap-harap cemas. Kekhawatiran besar kini menyelusup ke relung hati masing-masing mengingat betapa kondisi Alda sudah sangat mengkhawatirkan. Di kursi tunggu, Netta dan Diana menangis sesenggukan. Keduanya berpelukan dengan derai air mata. “Clarissa pasti baik-baik aja
Usai dikabarkan jika Clarissa sudah ketemu, Diana dan sang suami langsung ke rumah sakit tempat di mana Netta sekarang berada. “Clarissa, ini mama sayang.” Air mata Diana luruh seketika. Putri kecilnya yang selama ini ia nanti-nantikan perjumpaannya dengannya malah harus berada di sini. Berjuang antara hidup dan juga mati. “Mama kangen sama Clarissa. Bangun sayang, peluk mama di sini.” Wanita itu terisak hebat. Tangisannya terdengar memilukan. Betapa sakit hatinya melihat putrinya seperti ini. “Putri kita Pa, dia belum mau bangun,” adunya pada sang suami. Arland mengusap sudut matanya yang berair. Ia memeluk istrinya yang kini menangis sesenggukan di dalam dekapannya. “Clarissa kuat, Ma. Dia pasti bisa melewati masa komanya.” Pria itu coba menguatkan istrinya termasuk juga dirinya sendiri. “Tapi kata dokter... kemungkinan untuk Clarissa selamat kecil sekali.” Arland menggeleng. “Nyawa seseorang ada di tangan Allah. Doakan yang terbaik untuk putri kita. Jangan ngomong
Netta menatap Ardian lurus. Mereka berdiri di taman rumah sakit, setelah Netta tiba-tiba menyeretnya ke sana. “Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?!” serangnya tanpa basa-basi. Ardian yang ditodong dengan pertanyaan tersebut lantas mengernyit. “Bilang apa?” tanyanya dengan emosi yang sudah lebih terkontrol. “Alda adik kandung aku.” Ardian mematung di antara lontaran kalimat Netta yang terus berdengung di telinganya. Kenyataan apa lagi ini? Seketika, percakapan mereka saat masih pacaran waktu kuliah dulu terputar begitu saja di ingatan. “Anna sudah ketemu?” Netta menepuk bahu Ardian. Pemuda itu saat ini sedang makan sendirian di kantin kampus. Ardian menggeleng. “Belum.” Netta menghela. “Sama, Clarissa juga belum ketemu. Aku kasian liat mama. Tiap hari dia murung terus. Mama masih berharap Clarissa suatu hari nanti bisa pulang ke rumah.” “Menurut kamu, Clarissa sama Anna masih hidup, nggak?” tanya Ardian pada Netta yang sedang duduk di sampingnya. Netta mengan
Waktu terus berjalan. Terhitung sudah sebulan lamanya tapi Alda masih koma. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu akan segera membuka mata. Beberapa kali bahkan semua orang dibuat panik saat ia tiba-tiba mengejang.Seperti prediksi Meira, komanya gadis itu membuka banyak kesempatan untuk orang-orang yang ingin melenyapkannya menyusup ke ruang di mana ia dirawat.Seperti pagi ini, Netta tiba-tiba saja nekat ingin membunuh Alda usai gagal meyakinkan Ardian agar mereka bisa balikan. Gagal mendapatkan hati pemuda itu kembali membuat Netta seperti kehilangan akal sehatnya. “Jangan gila. Alda masih koma!!” Di luar ruangan, Ardian masih mengejar Netta yang ingin menerobos masuk ke ruangan Alda. Nasehat Meira beberapa waktu lalu ternyata tidak cukup ampuh untuk membuat seorang Netta serta merta mau mengikutinya. Netta berbalik. Ia menatap Ardian sembari tersenyum miring. “Kalo aku nggak bisa dapetin kamu, itu artinya Alda juga nggak boleh!” ujarnya. “Nggak waras!!!” maki Ardian. “T