Share

Istri Bayangan Sang Miliarder
Istri Bayangan Sang Miliarder
Penulis: Xǐn Rose

Tawaran Gila

Penulis: Xǐn Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 11:34:59

"Kalau mimpi, jangan ketinggian. Kamu harus sadar diri, Seruni. Dunia ini bukan dongeng karanganmu!" suara kemarahan Ibu masih terngiang jelas di telinga Seruni.

Padahal, sudah lebih dari tujuh jam sejak ia meninggalkan rumah. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan pantulan keemasan di permukaan kolam besar yang dulu jadi tempat favorit ayahnya bercerita. Tapi hari ini, segalanya terasa hampa. Bahkan angin pun menusuk kulit.

Dengan hoodie pink kebesaran, celana training lusuh, dan sandal jepit, Seruni duduk termenung. Rambut panjangnya kusut, seolah tak bersentuhan dengan sisir. Di pangkuannya, sebuah buku dongeng satu-satunya peninggalan ayahnya.

Seruni memandangi batu-batu alam di tepi kolam yang dingin, lalu melemparkan pelet ikan satu per satu. Air beriak. Ikan-ikan bermunculan, berebut, lalu lenyap ke kedalaman. Saat hendak melemparkan pelet lagi, tangannya mendadak terhenti. Tubuhnya menggigil. Bahunya bergetar perlahan. Ia terduduk memeluk kedua lututnya erat-erat, air mata menetes satu-satu di atas batu.

Tadi pagi, saat matahari masih muda, ia berada di dapur sempit, dikelilingi aroma cucian dan bunyi serutan wortel. Seruni terlihat sibuk membilas tumpukan alat dapur. Lalu, ia mendengar perkataan ibunya yang membuat batinya tertekan.

"Lihat kamu. Usia segini, kerja nggak jelas. Nulis-nulis terus, tapi nggak pernah ada hasil. Kamu pikir kamu siapa? Penulis terkenal?" ucap ibunya dengan ketus.

“Aku cuma butuh sedikit waktu, Bu ...,” suara Seruni, tercekat di antara napas.

“Waktu?" ucap ibunya dengan tatapan tajam, "kamu sudah buang waktu bertahun-tahun! Mau sampai kapan jadi pengangguran dan terus bermimpi ...."

Mira mengatupkan bibir, menahan sesuatu yang tampak ingin meledak dari dadanya. Setelah itu, semuanya terasa kabur. Ia hanya ingat bunyi pintu kamar dibanting, suara teriakan, dan bunyi pecahan laptopnya sendiri.

Dan kini, Seruni di sini. Tanpa rumah. Tanpa uang. Tanpa naskah. Email penolakan terus berdatangan dan yang terakhir, dari lomba menulis yang sangat ia harapkan, hanya berisi satu kalimat datar: "Maaf, karya Anda belum terpilih untuk program tahun ini."

"Seru banget hidup gue," gumamnya datar.

Ia menatap buku dongeng di pangkuannya. Di halaman pembuka, tulisan tangan ayahnya masih ada, meski tinta birunya mulai luntur oleh genangan air mata.

"Untuk Seruni, penulis hebat masa depan. Jangan berhenti bermimpi, meski dunia berkata sebaliknya."

Seruni tak tahu berapa lama ia terdiam, hingga ponselnya bergetar pelan, di layarnya menampilkan panggilan dari sahabatnya, Mira. Dengan ragu, Seruni mengangkatnya.

"Halo, Mira." ucap Seruni dengan malas.

"Seruniii! Kamu di mana? Dengerin aku baik-baik. CEO tempat aku kerja mau nikahin kamu!"

Seruni terdiam. Butuh beberapa detik untuk memproses kalimat itu.

"Mir, kalau kamu lagi bercanda, aku lagi nggak punya energi buat ketawa ...." ucapnya dengan nada datar.

"Ini serius! Nikah kontrak. Kamu harus ke kafe deket kantorku sekarang juga. Darurat!"

Namun, tiba-tiba panggilan dari Mira terputus. Ikon baterai terlihat kosong. Seruni menatap ponselnya yang layarnya telah redup. Namun, kalimat Mira masih terngiang, "Nikah kontrak. CEO. Kamu!"

Seketika, Seruni bangkit. Sandalnya sempat terlepas. Ia meraup tisu bekas di pangkuannya, membuang ke tempat sampah, lalu berjalan cepat. Tak tahu pasti ke mana. Tapi hatinya berkata, ini mungkin satu-satunya jalan. Dengan dua angkot dan satu ojol pakai akun Mira, Seruni tiba di sebuah kafe modern. Desain industrial, jendela besar, dan tulisan neon “Girl's Story” menyala terang.

Setibanya, di lokasi pertemuannya dengan Mira degup jantung Seruni belum juga berhenti. Entah karena ia berjalan kaki cukup jauh, atau karena tawaran dari Mira di telepon tadi.

Seruni menghela napas panjang dan perlahan mendorong pintu kaca. Suara tawa dan denting sendok menyambut. Di pojok ruangan, Mira melambaikan tangan penuh semangat.

Seruni mendekat. Duduk hati-hati seolah kursinya bisa meledak.

Mira menyodorkan susu leci, "Minum dulu. Aku mau kamu dengerin baik-baik, tanpa panik."

"Mir, kamu sadar nggak kamu baru ngomong kalimat paling absurd di dunia?"

Mira menunjukkan layar ponsel. Di situ, foto seorang pria terpampang jelas. Setelan jas hitam, mata tajam, rahang kokoh. Di belakangnya, papan bertuliskan:

CEO Z-Gensitex.Corp – Digitex Gala 2025.

"Siapa dia?" Seruni mengernyitkan dahinya.

"Aruna Mahadewa. CEO paling tertutup di Asia Tenggara. Kaya, cerdas, dingin. Dia butuh ghostwriter buat proyek biografi dan Istri palsu." Mira menggenggam tangan Seruni. "Kamu orang yang tepat, Seruni."

Seruni mengangkat alis, "Aku ... Kenapa nggak Miss Universe sekalian?"

Mira mencondongkan tubuh, "Dia butuh seseorang yang bisa jaga rahasia, bisa nulis, dan bukan orang terkenal."

Seruni tertawa hambar. Ia berpikir ini lebih mengerikan dari adegan putri yang bertemu raksasa buruk rupa.

Mira mengangkat enam jarinya. "Ser, kamu cuma perlu jadi istrinya selama enam bulan. Dapat bayaran, bisa beli laptop baru, kasih uang ke Ibumu, dan biayai impian kamu itu."

Seruni tertawa kecil, "Mir, kamu pasti sedang mengerjaiku, kan seperti konten-konten prank yang sedang viral kemarin?"

Mira menggeleng. Lalu menunjukkan nominal di layar ponsel.

Honor: Rp 750.000.000,-

Seruni membeku. Mulutnya terbuka, tak percaya. 

"Aku cuma mau nulis, bukan nikah sama alien ... Mira." ucap Seruni mengelus dada.

Mira meletakkan telapak tangannya di meja depan mata Seruni, "Tapi alien ini bisa menyelamatkan hidup kamu ...."

Seruni menatap lurus ke arah Mira, "Terus kalau gagal?"

"Nggak dapat uang sepeser pun. Mira menghela napas dalam-dalam. "Dan kamu harus tinggal jauh dari Jakarta. Tanpa internet."

Seruni menelan ludah, "Ini kayak perjanjian Faust versi startup."

"Ser, kamu butuh biaya hidup. Perlu mengejar mimpi. Kadang, pintu ke dunia impian itu ... bentuknya absurd." tegas Mira.

Seruni menatap jendela. Langit keunguan seperti kisah dongeng yang menunggu ditulis ulang. Dan keputusan besar pun digantungkan pada satu kata: YA atau TIDAK.

Di cafe Seruni sedang mengalami perang batin. Sementara, di lantai teratas Aruna Mahadewa Tower, seorang pria bersetelan hitam menatap layar laptop. Foto Seruni terpampang jelas. Di tangannya, secarik kertas tertulis kalimat

"Istri Ghostwriter ... jangan buatku jatuh cinta. Jangan pernah!"

Tangan Aruna meremas kertas itu. Tapi matanya tetap dingin. Kosong. Tak tersentuh dunia.

--- To Be Continued.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Istri Kontrak Tercinta ...?

    "Aku ... Ingin membawamu, tapi kamu hanya pinjaman." Seruni meletakkan boneka Olaf di atas bantal. "Selamat tinggal."Malam itu, Seruni melangkah perlahan keluar kamar, pintu otomatis telah terbuka. Tapi, Seruni masih berdiri di ambang pintu."Besok aja perginya." Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Ngantuk banget."Seruni meletakkan ranselnya di lantai, dekat ranjang mewahnya. Lalu, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur level premium. Seruni memejamkan matanya sambil memeluk Olaf.Pagi itu, langit masih gelap. Burung pun belum sempat bernyanyi. Tapi, suara langkah sepatu kulit terdengar berderap cepat di sepanjang lorong mansion. Aruna berlari menuruni anak tangga. Napasnya terputus-putus. Satu tangan menggenggam gagang tangga, tangan lainnya memegang ponsel yang semalam tak kunjung berdering. Semalaman matanya terjaga 24 jam. Ia bahkan, belum mengganti pakaian semalam. Kemeja putih yang lengannya di gulung. Suasana mansion pagi itu begitu sunyi. Bahkan, suara detik jam di lorong te

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Ledakan Emosi Pertama

    Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip s

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pertengkaran Kecil yang Manis

    Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bah

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Satu Atap. Dua Dunia

    Langkah-langkah panjang Aruna yang tanpa jeda membuat Seruni harus setengah berlari kecil mengejar di belakangnya, seperti anak ayam nyasar di lorong istana yang terlalu luas untuk kaki mungil Seruni.“Kamarmu, biar kutunjukkan.” Aruna melirik Seruni tanpa menoleh. Tiba-tiba tanpa sadar Aruna tersenyum, meski hanya setipis helai benang terbagi tujuh saat melihat wanita imut di belakangnya salah tingkah. Seruni menepuk-nepuk pelan jidatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan dengan wajah tertunduk. Saat itu rasanya Seruni ingin menutup mukanya pakai gulungan karpet Persia yang mereka lewati barusan,. Seketika, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus dan itu bukan sekedar metafora, tapi realita. Seruni berusaha keras menyembunyikan rasa malu yang merasuk hingga ke tulang ekor."Ya, ampun!" Seruni mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya.Dalam suhu udara yang super dingin, Seruni merasa kulit mukanya seperti terbakar. Pikirannya baru saja mengimajinasikan hal bodoh tent

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Janji dibalik Tanda Tangan

    Gaun itu menggantung seperti beban yang memberatkan di tubuh Seruni. Seperti ujian penuh air mata. Tapi, bukan karena bahannya tidak terbuat dari sutra lembut atau satin yang berkilau seperti di dongeng. Bukan juga karena bajunya hanya kain putih murahan yang gatal di pinggang dan terlalu sempit di dada atau bahkan, bukan juga karena resleting belakangnya sempat macet hingga Mira harus menariknya paksa dengan gigi terkatup dan mulut mengumpat pelan. Namun, karena pernikahan seindah Pangeran dan Putri Salju yang penuh cinta tidak terjadi dalam kisah Seruni hari ini.“Silakan tanda tangan di sini.” notaris mendorong dokumen ke hadapan Seruni dan Aruna. Suara notaris itu terdengar kaku dan lelah seperti sudah menikahkan terlalu banyak pasangan tanpa cinta. Seruni menatap kolom kosong di atas kertas. Nama panjang Aruna sudah tercetak rapi, tanda tangannya lurus, tegas dan mantap. Seperti kontrak kerja jangka pendek sangat berbeda dengan dirinya yang memegang pulpen saja tangannya sudah b

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Bertemu CEO Berhati Es Batu

    Gedung Z-Gensitex milik Mahadewa Group berdiri menjulang laksana istana kaca di tengah hutan beton. Pilar-pilar ramping menopang bangunan dengan gaya industrial yang artistik, sementara pahatan logam menghiasi lobi seperti lukisan diam yang menegaskan satu hal: tempat ini bukan untuk orang biasa.Seruni berdiri terpaku di depan lobi, telapak tangannya dingin seperti baru tercelup salju. Napasnya sesak, dan jantungnya berdugup hebat seperti tabuhan drum marching band saat grand final.“Jangan bengong, jalan!" Mira mendekap tangan kiri Seruni di ketiaknya. "Sebelum nyali kamu, keburu kabur naik ojek online."Seruni menelan ludah, Mira menyeret langkah Seruni memasuki lift yang bergerak begitu cepat hingga telinganya berdenging. Lantai demi lantai terlewati tanpa suara, seolah dunia di luar terbekukan waktu. Suasana hening menemani mereka menuju lantai tertinggi. Mira berdiri di sebelah Seruni, menatap sahabatnya prihatin."Kenapa gue ikut ke sini? Seruni bergumam lirih, matanya menatap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status