"Kalau mimpi, jangan ketinggian. Kamu harus sadar diri, Seruni. Dunia ini bukan dongeng karanganmu!" suara kemarahan Ibu masih terngiang jelas di telinga Seruni.
Padahal, sudah lebih dari tujuh jam sejak ia meninggalkan rumah. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan pantulan keemasan di permukaan kolam besar yang dulu jadi tempat favorit ayahnya bercerita. Tapi hari ini, segalanya terasa hampa. Bahkan angin pun menusuk kulit.
Dengan hoodie pink kebesaran, celana training lusuh, dan sandal jepit, Seruni duduk termenung. Rambut panjangnya kusut, seolah tak bersentuhan dengan sisir. Di pangkuannya, sebuah buku dongeng satu-satunya peninggalan ayahnya.
Seruni memandangi batu-batu alam di tepi kolam yang dingin, lalu melemparkan pelet ikan satu per satu. Air beriak. Ikan-ikan bermunculan, berebut, lalu lenyap ke kedalaman. Saat hendak melemparkan pelet lagi, tangannya mendadak terhenti. Tubuhnya menggigil. Bahunya bergetar perlahan. Ia terduduk memeluk kedua lututnya erat-erat, air mata menetes satu-satu di atas batu.
Tadi pagi, saat matahari masih muda, ia berada di dapur sempit, dikelilingi aroma cucian dan bunyi serutan wortel. Seruni terlihat sibuk membilas tumpukan alat dapur. Lalu, ia mendengar perkataan ibunya yang membuat batinya tertekan.
"Lihat kamu. Usia segini, kerja nggak jelas. Nulis-nulis terus, tapi nggak pernah ada hasil. Kamu pikir kamu siapa? Penulis terkenal?" ucap ibunya dengan ketus.
“Aku cuma butuh sedikit waktu, Bu ...,” suara Seruni, tercekat di antara napas.
“Waktu?" ucap ibunya dengan tatapan tajam, "kamu sudah buang waktu bertahun-tahun! Mau sampai kapan jadi pengangguran dan terus bermimpi ...."
Mira mengatupkan bibir, menahan sesuatu yang tampak ingin meledak dari dadanya. Setelah itu, semuanya terasa kabur. Ia hanya ingat bunyi pintu kamar dibanting, suara teriakan, dan bunyi pecahan laptopnya sendiri.
Dan kini, Seruni di sini. Tanpa rumah. Tanpa uang. Tanpa naskah. Email penolakan terus berdatangan dan yang terakhir, dari lomba menulis yang sangat ia harapkan, hanya berisi satu kalimat datar: "Maaf, karya Anda belum terpilih untuk program tahun ini."
"Seru banget hidup gue," gumamnya datar.
Ia menatap buku dongeng di pangkuannya. Di halaman pembuka, tulisan tangan ayahnya masih ada, meski tinta birunya mulai luntur oleh genangan air mata.
"Untuk Seruni, penulis hebat masa depan. Jangan berhenti bermimpi, meski dunia berkata sebaliknya."
Seruni tak tahu berapa lama ia terdiam, hingga ponselnya bergetar pelan, di layarnya menampilkan panggilan dari sahabatnya, Mira. Dengan ragu, Seruni mengangkatnya.
"Halo, Mira." ucap Seruni dengan malas.
"Seruniii! Kamu di mana? Dengerin aku baik-baik. CEO tempat aku kerja mau nikahin kamu!"
Seruni terdiam. Butuh beberapa detik untuk memproses kalimat itu.
"Mir, kalau kamu lagi bercanda, aku lagi nggak punya energi buat ketawa ...." ucapnya dengan nada datar.
"Ini serius! Nikah kontrak. Kamu harus ke kafe deket kantorku sekarang juga. Darurat!"
Namun, tiba-tiba panggilan dari Mira terputus. Ikon baterai terlihat kosong. Seruni menatap ponselnya yang layarnya telah redup. Namun, kalimat Mira masih terngiang, "Nikah kontrak. CEO. Kamu!"
Seketika, Seruni bangkit. Sandalnya sempat terlepas. Ia meraup tisu bekas di pangkuannya, membuang ke tempat sampah, lalu berjalan cepat. Tak tahu pasti ke mana. Tapi hatinya berkata, ini mungkin satu-satunya jalan. Dengan dua angkot dan satu ojol pakai akun Mira, Seruni tiba di sebuah kafe modern. Desain industrial, jendela besar, dan tulisan neon “Girl's Story” menyala terang.
Setibanya, di lokasi pertemuannya dengan Mira degup jantung Seruni belum juga berhenti. Entah karena ia berjalan kaki cukup jauh, atau karena tawaran dari Mira di telepon tadi.
Seruni menghela napas panjang dan perlahan mendorong pintu kaca. Suara tawa dan denting sendok menyambut. Di pojok ruangan, Mira melambaikan tangan penuh semangat.
Seruni mendekat. Duduk hati-hati seolah kursinya bisa meledak.
Mira menyodorkan susu leci, "Minum dulu. Aku mau kamu dengerin baik-baik, tanpa panik."
"Mir, kamu sadar nggak kamu baru ngomong kalimat paling absurd di dunia?"
Mira menunjukkan layar ponsel. Di situ, foto seorang pria terpampang jelas. Setelan jas hitam, mata tajam, rahang kokoh. Di belakangnya, papan bertuliskan:
CEO Z-Gensitex.Corp – Digitex Gala 2025.
"Siapa dia?" Seruni mengernyitkan dahinya.
"Aruna Mahadewa. CEO paling tertutup di Asia Tenggara. Kaya, cerdas, dingin. Dia butuh ghostwriter buat proyek biografi dan Istri palsu." Mira menggenggam tangan Seruni. "Kamu orang yang tepat, Seruni."
Seruni mengangkat alis, "Aku ... Kenapa nggak Miss Universe sekalian?"
Mira mencondongkan tubuh, "Dia butuh seseorang yang bisa jaga rahasia, bisa nulis, dan bukan orang terkenal."
Seruni tertawa hambar. Ia berpikir ini lebih mengerikan dari adegan putri yang bertemu raksasa buruk rupa.
Mira mengangkat enam jarinya. "Ser, kamu cuma perlu jadi istrinya selama enam bulan. Dapat bayaran, bisa beli laptop baru, kasih uang ke Ibumu, dan biayai impian kamu itu."
Seruni tertawa kecil, "Mir, kamu pasti sedang mengerjaiku, kan seperti konten-konten prank yang sedang viral kemarin?"
Mira menggeleng. Lalu menunjukkan nominal di layar ponsel.
Honor: Rp 750.000.000,-
Seruni membeku. Mulutnya terbuka, tak percaya.
"Aku cuma mau nulis, bukan nikah sama alien ... Mira." ucap Seruni mengelus dada.
Mira meletakkan telapak tangannya di meja depan mata Seruni, "Tapi alien ini bisa menyelamatkan hidup kamu ...."
Seruni menatap lurus ke arah Mira, "Terus kalau gagal?"
"Nggak dapat uang sepeser pun. Mira menghela napas dalam-dalam. "Dan kamu harus tinggal jauh dari Jakarta. Tanpa internet."
Seruni menelan ludah, "Ini kayak perjanjian Faust versi startup."
"Ser, kamu butuh biaya hidup. Perlu mengejar mimpi. Kadang, pintu ke dunia impian itu ... bentuknya absurd." tegas Mira.
Seruni menatap jendela. Langit keunguan seperti kisah dongeng yang menunggu ditulis ulang. Dan keputusan besar pun digantungkan pada satu kata: YA atau TIDAK.
Di cafe Seruni sedang mengalami perang batin. Sementara, di lantai teratas Aruna Mahadewa Tower, seorang pria bersetelan hitam menatap layar laptop. Foto Seruni terpampang jelas. Di tangannya, secarik kertas tertulis kalimat
"Istri Ghostwriter ... jangan buatku jatuh cinta. Jangan pernah!"
Tangan Aruna meremas kertas itu. Tapi matanya tetap dingin. Kosong. Tak tersentuh dunia.
--- To Be Continued.
Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj
Ada kalanya mencintai seseorang ... berarti siap kapan pun harus melepaskannya. Karena hati bukan sekadar tempat singgah, tapi juga ladang perang. Di sana, harapan dan ego saling bertarung. Kadang kita menang, lebih sering kita patah. Dan ketika cinta diuji oleh kenyataan, bukan rasa yang paling menyakitkan. Tapi pilihan yang menguras air mata.Detik itu, pintu utama Z-Gensitex terbuka perlahan. Seruni, dengan langkah ragu dan napas tertahan, hendak melangkah masuk. Namun, suara Aruna menggema di seluruh lobi lewat siaran langsung, menahan langkahnya.“Katakan pada dunia ...,” Aruna menatap tegas ke arah kamera. “Aku memilih dia!"Langkah Seruni terhenti. Matanya membulat, dadanya tercekat. Dan ketika ia menoleh ke sumber suara, ia melihatnya—Varla, dengan senyum manis yang tak pernah ia percaya, melingkarkan tangan ke bahu Aruna. Rapat, penuh kepemilikan.
Ada saat dalam hidup ketika sebuah pilihan tak lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang apa yang masih bisa diselamatkan … dan siapa yang rela dikorbankan. Pagi itu, dalam ruang rapat yang lebih dingin dari musim dingin Eropa, Aruna duduk membatu. Dasi di lehernya seperti jerat, napasnya berat—seperti tengah menahan runtuhnya dunia dari balik jas mahal yang tak lagi memberinya kuasa. Di balik mata tenangnya, badai berkecamuk. Ini bukan sekadar rapat. Ini adalah pertaruhan terakhir antara cinta … dan kehancuran.Ponsel Seruni tak henti berdering dari Mira dan Juan sejak kemarin. Mereka berusaha menyakinkan Seruni. Tapi, ia mengabaikannya—pesan kemarin dari Mira yang memintanya datang ke Z-Gensitex, tempat pertama kali ia bertemu Aruna. Hingga, sebuah pesan teks Mira membuat Seruni meresponnya.“Percaya hati Aruna cuma mencintai kamu, Seruni!” suara Mira yakin, “s
Ada malam-malam yang begitu sunyi hingga suara napas sendiri terasa mengganggu. Ada luka-luka yang tak berdarah tapi membuat dada terasa berlubang. Dan malam ini, Seruni tinggal di dalam kedua hal itu—sunyi dan luka—yang saling memeluk erat, menelannya hidup-hidup.Suara tawa netizen menggema dari layar-layar kecil yang tak bisa dikendalikan siapa pun. Komentar-komentar tajam membanjiri lini masa, menghantam nama Seruni seperti gelombang tanpa ampun: “Plot twist tahun ini!" tulis satu akun gosip; “Ghostwriter-nya patah hati duluan!” ejek yang lain. Hashtag #VarlaxAruna merajalela di trending topic, seperti parade kemenangan yang menyayat di depan matanya sendiri.Ponsel di atas nakas bergetar, notifikasi dari media sosial tak berhenti berdatangan. Seruni mengulurkan tangan malas, membuka layar ponselnya, lalu... jari-jarinya berhenti. Matanya tertumbuk pada satu cuplikan video yang baru saja diunggah oleh akun g
Hati Seruni terasa sakit melihat fakta itu. Pintu maaf yang selangkah lagi terbuka, kini retak. Hingga ia terjebak dalam perasaannya sendiri. Tanpa ingin berpikir ... atau melakukan apa pun sekarang. Hanya ingin diam dan menangis seharian ....Di sebuah ruangan, foto itu masih menyala di layar ponsel Aruna. Ia menatapnya tanpa berkedip. Bukan karena ia baru melihatnya—tapi karena ia baru sadar dari mana foto itu diambil. Restoran Kyato Prime. Meja sudut. Hari ini, tiga jam lalu ... tepat sebelum rapat besar Z-Gensitex. Aruna ingat detiknya. Varla datang tanpa diundang, duduk seenaknya di depannya. Senyum tipua di bibir perempuan itu sama seperti di foto—seolah kamera tak pernah mengkhianatinya.“Aku cuma mau bilang ...,” jemari Varla menggenggam tangan Aruna. “Kita berdua masih bisa jadi berita besar. Tinggal kau mau atau tidak?”Aruna menepis
Tak ada yang lebih bising dari dunia yang jatuh cinta pada kisah patah hati. Hari itu, ribuan notifikasi berdentang di ponsel netizen, seolah jagat maya menari di atas luka seorang pria. Video pengakuan Aruna yang tayang semalam mendadak jadi trending topic nomor satu di berbagai platform. Timeline penuh cuplikan, potongan kata, dan air mata—semuanya mengarah pada satu kalimat:Aruna menatap kamera. “Aku mencintainya ... dan aku kalah.”Wajah dingin sang CEO, yang selama ini disangka tak punya hati, kini tampak begitu rapuh di layar. Tak ada kemewahan. Tak ada jas abu-abu. Hanya Aruna dengan suara bergetar, dan mata yang tak bisa menutupi rindu yang membusuk dalam diam. Seruni duduk di taman kota yang sepi, angin menyapu rambut Seruni pelan. Ia duduk sendiri di bangku kayu tua, dikelilingi guguran daun kering.Ponsel di tangannya bergetar, notifikasi tak henti berdatangan. Tapi hanya