Beranda / Rumah Tangga / Istri Bayangan Tuan Arogan / Bab 4 Seseorang Dari Masa Lalu

Share

Bab 4 Seseorang Dari Masa Lalu

Penulis: Miss han
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-10 14:12:00

Bab 4 Seseorang Dari Masa Lalu

Setelah insiden pagi itu, Rania baru keluar kamar menjelang sore. Itu pun terpaksa karena perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Rumah itu terasa sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aidan, apalagi Larissa. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara keduanya setelah ia berlari ke kamar karena mendengar ucapan Larissa yang sangat klise dan berhasil membuatnya cekikikan di kamar.

Rania menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam. Ia berencana akan membuat steak ayam crispy kesukaannya. Makanan mudah dan simpel yang sering ia buat saat di rumah bibi. Saat membuka kulkas, ia mendesah kecewa. Tidak banyak bahan tersisa di kulkas itu. Hanya ada beberapa telur, seikat sayuran, dan kornet. Mau tak mau ia pun akhirnya memutuskan membuat nasi goreng lagi.

“Besok harus belanja, biar aku ga mati kelaparan di rumah ini,” gumamnya dengan nada kesal.

Saat hidangan sudah siap, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah. Rania sudah bisa menebak, itu pasti Aidan.

“Oh dia pulang, pantes sepi dari tadi,” celetuk Rania sambil menuangkan nasi goreng ke piringnya.

Rania berusaha menikmati makanannya dengan tenang, meski telinganya melebar untuk menangkap suara langkah kaki yang kian mendekat. Sebuah kotak kopi dan makanan diletakkan seseorang di hadapannya.

Tanpa bertanya Rania menatap Aidan yang kini sudah duduk di hadapannya.

“Kopi untukmu,” jawab Aidan.

Dahi Rania mengernyit. Mimpi apa ia semalam, pria yang beberapa malam lalu menyuruhnya tanda tangan kontrak pernikahan, kini berbuat baik.

“Gak ada racunnya!” ucap Aidan kesal melihat ekspresi wajah Rania yang ragu.

Hal yang mengejutkannya lagi adalah sebuah kartu tipis berwarna hitam diangsurkan Aidan di depan Rania.

“Pakailah sesukamu. Meski pernikahan ini tidak aku kehendaki, tapi aku tidak mau membuatmu kesulitan apalagi kelaparan dengan makan nasi goreng terus-terusan.” Mata Aidan melirik ke piring Rania yang makan dengan menu yang sama dengan sarapan pagi tadi.

Setelah mengucapkan hal itu, Aidan beranjak pergi ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Rania.

“Siapa dia? Dia pikir aku bisa disogok kopi dan kartu ATM kayak gini. Gini-gini aku juga punya penghasilan, meski enggak sebesar dia. Jadi laki-laki, kok, sombong banget!”

***

Keesokan harinya Aidan sudah siap berangkat kerja saat ia baru keluar kamar pintu kamar sebelahnya pun terbuka. Rania dengan stelan kerjanya juga sudah siap untuk memulai hari.

“Mau kemana?” tanya Aidan.

“Bukannya kita tidak boleh kepo sama urusan masing-masing, ya?” cibir Rania.

Aidan mendengkus kesal dan Rania tertawa bahagia dalam hati. Ia pun melewati Aidan turun ke bawah terlebih dahulu membuat pria itu makin kesal.

Saat Rania memakai sepatu, Aidan terlebih dahulu masuk ke dalam mobil. Rania yang hendak masuk ke mobil tersebut, kesulitan saat pintunya masih terkunci. Ia pun mengetuk pintu mobil Aidan dan pemiliknya menurunkan kaca mobil.

“Bukannya kita harus mengurus urusan masing-masing, ya?” Aidan terkekeh, lalu meninggalkan Rania yang bengong dibalas bagitu.

“Jangan lupa kunci pintu pagar,” imbuh Aidan sebelum mobil melaju pergi.

“Menyebalkan,” sungut Rania. Ia pun segera memesan ojek online agar tidak terlambat.

Rania tiba di kantor dengan selamat ia berjalan menuju lift dengan ringan. Di dalam lift, iamenatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih segar setelah beberapa hari menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya sebagai istri Aidan atau lebih tepatnya, rekan kontrak Aidan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mulai hari ini ia akan menerima pernikahan ini meski nanti pada akhirnya harus menjadi janda.

Hari ini, Rania kembali bekerja setelah cuti menikah. Perusahaan tempatnya bekerja adalah salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan, khususnya produksi bahan-bahan organik dan olahan sehat. Rania bekerja sebagai analis produk, bertanggung jawab dalam riset dan pengembangan. Dunia kuliner selalu menjadi minatnya, dan pekerjaan ini memberinya kesempatan untuk tetap dekat dengan hal yang ia cintai yaitu makanan.

Saat tiba di lantai tujuh, pintu lift terbuka, memperlihatkan ruangan kantor yang familiar. Beberapa rekan kerja menoleh ke arahnya dan tersenyum ramah.

“Cie, pengantin baru, akhirnya masuk juga,” celetuk Tia, rekan sekantornya yang langsung menyambut dengan antusias. “Gimana-gimana bulan madunya?”

Rania terkekeh kecil, meski dalam hati ia merasa getir. “Bulan madu? Enggak ada, aku langsung balik ke rumah.”

“Ya ampun, serius?” Tia mengerutkan kening. “Kamu nikah diam-diam, nggak ngundang siapa pun, terus langsung pulang ke rumah? Kok, terdengar aneh?”

Rania hanya tersenyum tipis, “Enggak ada yang aneh. Daripada buat honeymoon mending buat biaya hidup, kan?” jawab Rania sekenanya.

Sebenarnya tidak ada yang sulit bagi Aidan untuk membawanya berbulan madu, jika mereka menikah karena cinta. Kenyataannya tidak seperti itu, Rania cukup sadar diri, jadi ia pun tidak akan berharap banyak. Untungnya, percakapan mereka terhenti saat seorang staf HRD datang dan mengumumkan bahwa ada perkenalan dengan bos baru pagi itu.

Rania duduk di ruang konferensi bersama rekan-rekannya. Ia mengedarkan pandangan, merasa agak penasaran dengan sosok yang akan memimpin perusahaan itu. CEO yang dulu baru saja pensiun dan posisi itu diganti oleh seseorang yang baru direkrut perusahaan induk. Saat pintu terbuka, semua orang refleks menoleh ke satu sumber.

Seorang pria tinggi dengan jas rapi melangkah masuk penuh percaya diri. Rambutnya hitam pekat, ditata rapi, dan matanya tajam, tapi terasa sangat ramah. Senyumnya mencerminkan kehangatan juga wibawa. Rania terkejut bukan main.

“Perkenalkan, saya Reza. Mulai hari ini, saya akan memimpin tim di sini.”

Dunia seperti berputar lebih lambat bagi Rania. Reza? Seseorang yang ia kenal dua tahun lalu dan menghilang tiba-tiba.

Reza menatap sekilas ke arah Rania dan sedikit terkejut, tetapi ia segera menguasai ekspresinya.

“Senang bisa bekerja ditempatkan bersama kalian semua,” lanjutnya. “Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik.”

Rania merasakan jantungnya berdebar. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Reza lagi dalam situasi seperti ini.

Seusai pertemuan, Rania masih termenung di meja kerjanya saat suara berat menyapanya.

“Loe kenapa, Ran?”tanya Tia yang penasaran melihat Rania terdiam bukan bekerja. “Jangan bilang loe kangen suami?”

Rania melempar Tia dengan tisu yang dibentuk seperti bola.” Gak ada begituan, Tia.”

“Tapi biasanya, kan gitu, ya, Bu Ana. Kan, pengantin baru,” goda Tia dan berhasil menimbulkan gelak tawa ruangan itu yang hanya berisi beberapa orang. Rania hanya menggeleng, ia sudah terbiasa dengan tingkah Tia dan rekan-rekannya di kantor.

“Mbak Rania, Pak Reza minta berkas produk makanan yang akan kita lauching bulan depan. Mbak juga diminta untuk mempresentasikan. Bos kita belum paham katanya.” Suara Bu Reni, sekertaris Reza, menyelamatkan dari rekan-rekannya.

“Baik Bu, aku ke sana.”

Rania segera mengambil tumpukan kertas dan membawa ke ruangan Reza. Ia mengetuk pintu perlahan dan masuk setelah terdengar suara seseorang mempersilakan dari dalam.

“Kata, Bu Ana, Bapak minta saya untuk mempresentasikan produk baru kita?” tanya Rania gugup.

Pria di hadapannya menggeleng sambil tersenyum. “Apa kabar kamu, Ran?”

“Ya, Pak?” Rania terkejut ketika Reza berubah santai padanya.

“Saya hanya mau menyapamu. Produk ini saya sudah paham.”

“Oh, maaf, Pak. Kabar saya baik,” jawab Rania sambil berusaha tersenyum.

“Kalau sedang berdua, enggak usah pakai Pak. Kamu apa kabar?” Ulang Reza.

“Saya baik, Mas. Mas Reza apa kabar?” Rania berusaha bersikap senormal mungkin.

“Baik.” Suasana berubah canggung. “Lama nggak ketemu.”

Rania tersenyum kecil. “Iya, sudah dua tahun.”

“Aku senang kamu masih ingat aku.” Reza terkekeh. “Aku hampir nggak percaya tadi kalau itu kamu.”

Rania mengangguk. “Sama, aku juga nggak nyangka, Mas.”

Reza menyandarkan tangannya ke meja. “Gimana rasanya kerja di sini? Aku ingat kamu suka masak, waktu itu kamu sangat antusias di kelas.”

Rania tersenyum, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, aku memang suka dunia kuliner, Mas.”

Mereka berbincang sejenak sebelum Reza mendapat telepon dan meminta Rania kembali ke ruangannya. Namun, perasaan Rania masih tidak menentu. Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Reza adalah bosnya sekarang. Kini, ia juga harus bisa mengabaikan rasa nyaman yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Rasa yang sama dengan dua tahun lalu.

**

Malam harinya, Rania sedang merapikan bahan masakan di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Aidan pulang. Tanpa menoleh, Rania tetap fokus pada pekerjaannya. Ia mengaduk adonan di dalam mangkuk, mencium aroma vanila yang menguar dari bahan-bahan yang ia campurkan.

Aidan berjalan melewati dapur tanpa mengucapkan apapun, tetapi tiba-tiba ia berhenti.

“Kamu buat apa?” tanyanya akhirnya.

“Kue,” jawab Rania singkat.

Aidan mengernyit. “Malam-malam begini?”

Rania menoleh dan menatap Aidan dengan santai. “Memangnya ada peraturan dalam kontrak yang melarangku memasak malam-malam?”

Aidan mendecak pelan, lalu berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol air.

Tiba-tiba ponsel Aidan berdering. Nama “Larissa” terpampang di layar.

Rania menunduk, berpura-pura sibuk dengan adonannya, meski telinganya menangkap setiap nada dalam percakapan Aidan.

“Aku di rumah,” ucap Aidan datar.

“Kamu nggak mau ketemu aku?” Suara Larissa terdengar samar oleh Rania.

Rania menggigit bibirnya, mencoba tidak peduli. Dalam hati ia bergumam, “Gatel!”

“Aku sibuk, Larissa,” balas Aidan, lalu menutup panggilan tanpa banyak basa-basi.

Rania berpura-pura tidak mendengar, tetapi perasaan aneh menyelusup ke dalam dadanya. Bibirnya mulai mengikuti ucapan Aidan barusan dan berhasil ditangkap mata pria itu.

“Kamu mencibirku?” tanya Aidan tiba-tiba.

“Siapa? Aku? Enggak!” elak Rania.

“Itu tadi bibirmu kenapa miring-miring begitu? Bilang saja kamu mengejekku!” Aidan tidak mau kalah.

“Jangan kepedean, Aidan! Orang aku lagi nyanyi, kok!” Rania berusaha mendelik agar terlihat garang.

Aidan yang tidak terima mencoba mendekati Rania untuk memberi pelajaran. Namun naas, kakinya tersandung keset yang tadi digunakan Rania mengelap air yang tumpah. Aidan terjatuh dan menubruk Rania yang membuat adonan di tangannya terlepas.

Keduanya terdiam saat sesuatu yang kenyal beradu. Mata Rania mendelik, ia ingin mendorong Aidan, tetapi tangannya seperti ditahan sesuatu. Dari bawah ia bisa melihat jelas mata Aidan. Pria di atasnya juga diam tidak ada pergerakan.

“Kalian!” Suara terkejut seseorang membuat Rania mendorong Aidan kuat hingga tubuh pria itu terbentur meja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 45 Kakutan Kalina

    Rania yang telah tidur tiba-tiba terbangun karena mimpi buruk. Rania duduk di ujung ranjang dengan pandangan kosong. Tangannya gemetar, dan untuk sesaat ia merasa seperti kembali menjadi gadis remaja yang hanya bisa menahan air mata di pojok kamar, saat Kalina kembali memanggilnya “anak titipan,” “si yatim,” atau “anak pengganti” yang katanya telah mencuri kasih sayang tantenya.Aidan yang belum tidur segera bangkit dan memberikan segelas air pada istrinya. “Yang … are you okey?”Rania mengangguk pelan, tetapi air matanya mulai jatuh tanpa bisa dicegah. “Dulu aku pikir semua itu udah selesai, Mas. Tapi ternyata … dia masih marah. Padahal itu bukan mauku.”“Hey, kamu kenapa?” Aidan mendekat dan memeluk bahunya, membiarkannya menangis sejenak.“Akiu mimpi Kalian, Mas.”“Okey, itu hanya mimpi, Yang. Ada yang mau kamu ceritain biar lega?”Rania terdiam sejenak, ia mencoba mengatur napasnya dan bersandar pada dada Aidan.“Ak

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 44 Gosip

    Hubungan Aidan dan Rania terus membaik, bahkan keduanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu berdua. Meskipun terkadang Aidan tampak melamun, tetapi kehadirannya dan pengakuan Aidan yang mulai mencintai Rania, membuat gadis itu berbunga-bunga. Keduanya mulai bisa menerima satu sama lain.Seperti hari ini, suasana ruang tamu rumah Aidan dan Rania pagi itu cukup tenang. Rania menata bunga di vas kaca kecil di meja, sementara Aidan duduk di sofa membaca laporan kerja dari tablet.“Mas, bisa enggak kalau lagi libur itu enggak usah sambil kerja?” tanya Rania saat melihat Aidan yang terlalu fokus pada benda tipis di pangkuannya. “Sedikit lagi, Yang,” ucap Aidan lembut.Namun, ketenangan itu buyar saat suara bel rumah terdengar dipencet berulang kali.Rania bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Kalina berdiri di depan rumah, mengenakan blazer krem dan celana panjang hitam, wajahnya merah pa

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 43 Ancaman

    Rania masih duduk di sudut kafe bersama Reza setelah pertemuan dengan klien selesai. Suasana kafe yang semula tenang, mulai terlihat ramai dengan pengunjung yang berdatangan. Jam pulang kantor kafe-kafe mulai penuh dengan karyawan yang ingin melepas penat sebelum pulang. Reza meletakkan cangkir kopinya yang tinggal setengah. Tatapannya kembali menyelidik ke arah Rania.“Ran,” ucapnya pelan. “Aku cuma mau pastikan. Kalina yang kamu maksud tadi itu, Kalina yang dulu sering kamu ceritain. Sepupu yang sering ngebully kamu di rumah?”Rania mengangguk pelan, sambil memainkan sendok kecil di piring dessert-nya.“Iya. Dia, cukup bikin hari-hariku berat waktu SMA bahkan hingga sekarang, Mas.”Reza mengernyit, wajahnya terlihat bersalah. “Ya ampun, Ran. Aku enggak tahu kalau kamu pernah sesulit itu karena sahabatku. Aku minta maaf.”“Kenapa Mas Reza minta maaf? Kan, Kalina yang salah!”“Iya, aku sebagai sahabatnya enggak nyangka aja Kalina yang lembut bisa sebar-barb itu. Nanti aku bilangin d

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 42 Hamil

    Pagi datang lebih cepat dari yang Rania harapkan. Setelah kemarin dihabiskan dengan suasana hangat bersama Aidan. Saling mengenal dan membangun hubungan keduanya yang mulai berwarna, meskipun Aidan masih terlihat cuek. Kini ia kembali harus menghadapi dunia kerja. Dunia di mana segala ketegangan bisa terjadi, termasuk bertemu Reza, sosok yang kini dicurigai Aidan.Rania menyiapkan dirinya dengan lebih hati-hati pagi itu. Ia mengenakan blouse putih gading, rok hitam selutut, dan syal tipis berwarna biru muda. Make up-nya sederhana, hanya polesan tipis agar tampak segar. Saat berangkat, Aidan hanya menatapnya singkat dari meja makan, tapi dari sorot matanya, ada kekhawatiran dan sedikit cemburu.“Mas, aku berangkat ya. Doain lancar.”Aidan mengangguk. “Ya.”Rania mengecup punggung tangan Aidan, mulai pagi itu ia akan diantar jemput oleh sopir pribadi Aidan.Di kantor, semuanya terlihat seperti biasa. Reza yang biasanya santai, pagi ini sudah duduk di ruang meeting sambil menatap laptop.

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 41 Kerjasama

    “Oke kalau itu keputusan kamu,” jawab Aidan dengan wajah terlihat lebih bersahabat. “Kaarena kamu hari ini sudah aku buat bete, jadi aku akan kasih kamu treatment sebelum tidur.”“Treatment?” tanya Aidan sambil mengerutkan dahi.“Iya, Treatment. Malam ini aku pastikan kamu relaks dan tidur cepat,” ucap Rania sambil mengeringkan mata.Aidan menahan senyumnya. Ia sudah tidak marah, tetapi gengsi mengakuinya jadi ia hanya terdiam pasrah ketika Rania mulai melakukan treatment. Rania berdiri dan menarik tangan Aidan untuk ikut berdiri. “Ganti baju dulu, nanti aku siapin air hangat buat pijat. Badan kamu pasti pegal karena selama ini jagain aku.”Aidan mengikutinya ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan kaos santai. Rania sudah menunggu di tepi ranjang, memegang minyak pijat dan handuk hangat.Rania mulai memijat perlahan pundak dan punggung Aidan. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. Sesekali ia meniup pelan kulit leher Aidan, membuat pria itu memejamkan mata dan menghe

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 40 Salah Paham

    “Reza?” gumam Rania pelan, seolah tak percaya dengan sosok yang baru saja lewat.Pria bertubuh tegap itu menoleh cepat, lalu tersenyum dengan mata berbinar saat melihat Rania. “Ran!” sapanya sambil berjalan mendekat. Tatapannya hangat, tetapi sedikit terkejut saat melihat Aidan duduk di hadapan Rania.“Hai, Pak Reza.” Rania menyambut dengan senyum ramah.Aidan hanya menatap Reza sekilas, kemudian kembali ke makanannya tanpa memberi sapaan. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan, dagu yang mengeras dan jemari mencengkeram garpu sedikit lebih kuat dari biasanya.Reza berdiri di samping meja, lalu melirik ke arah tangan Rania yang kini tanpa perban. “Oh, hari ini kamu lepas perban. Gimana tangannya kata Dokter?”“Masih agak nyeri sih, tapi udah jauh lebih baik,” jawab Rania.Reza mengangguk. “Baguslah. Padahal tadinya aku mau nemenin kamu ke dokter, tapi maaf, ada meeting hari ini. Tuh, anak-anak ada di sana mau makan siang.” Rania hendak menjawab, tetapi Aidan memotong lebih dul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status