Share

shopping

Istri Bayaran Sang Opa Menawan

Part 3 : Shopping

 

"Kamu mau pesan apa, Istriku?" Opa Jhon sengaja menyaringkan suaranya saat pelayan restoran sudah bersiap mencatat pesanan kami.

 

Otomatis, Si Pelayan restoran yang wajahnya mirip Ayu Ting-ting--penyanyi dangdut idolaku langsung mesem-mesem dan menatap aneh kepadaku.

 

Ya elah, Si Kakek Tua ini, nggak perlu diproklamasikan gitu kali status pernikahan kami, bilang aja aku cucunya 'kan gak ribet. Ini sih alamat bakalan jadi artis dadakan dan benar saja, mata pelanggan lainnya tertuju kepada mejaku dan Opa Jhon.

 

"Hemm ... aku pesan soto aja deh," jawabku dengan grogi sebab kini sudah menjadi sorot perhatian. Yeah, biasalah, pastinya aku akan dighibahin cabe-cabean. Serah deh ah, aku harus tetap cool, cool dan cool.

 

"Maaf, Mbak, di sini tidak ada jual soto," jawab Si Pelayan sambil menahan senyum.

 

"Oohh ... gak ada, ya." Aku menggaruk kepala, yang sepertinya kutu-kutu di kepalaku ini mulai berdemo sebab tadi keracunan dengan shampo mahal Si Opa, biasanya kan dulu aku menggunakan sabun mandi sebagai shampo buat penghematan. Maklum aja, orang kismin.

 

"Loly, kenapa gak pesan pecel dan es cendol sekalian?" Dia--pria tua yang jutek itu melirikku tajam.

 

"Eh, Mbak Pelayan, samain aja pesanan saya ama suami saya ini." Aku langsung tertawa cuek sambil menepuk pundak Si Kakek Tua, dan tak lupa bergelayutan manja di pundaknya.

 

"Baik, sudah saya catat, silakan ditunggu pesanannya!" ujarnya dengan membungkukkan sedikit tubuhnya.

 

Setelah pelayan itu berlalu dari hadapan kami, Opa Jhon menepis tanganku dari bahunya. Aku langsung menegakkan tubuh sambil pasang wajah cuek walau kini ada beberapa orang yang menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik.

 

Taklama berselang, makanan kami pun sudah terhidang di atas meja.

 

"Ayo, makan!" ujarnya lirih.

 

Aku mengangguk sambil menatap sendok dan garpu di piring. Duh, ribet, jadi orang kaya memang banyak aturan. Aku tak terbiasa makan pakai sendok, kecuali kalau makan bakso.

 

Opa Jhon hanya geleng-geleng kepala kala melihatku menepikan sendok dan garpu, dan makan dengan menggunakan tangan saja. Apa gunanya tangan kalau makan pun harus pakai sendok? Teknik makan sepertiku sekarang ini adalah cara bersyukur atas nikmat masih punya tangan. Aku tertawa dalam hati dengan teori konyol ini, petuah karanganku sendiri.

 

***

 

“Setelah pulang dari sini, kita akan mampir ke sebuah salon lebih dulu, ya,” ajak pria tua ini sambil berjalan menuju mobilnya, aku hanya mengekor dari belakang saja. 

 

“Mau ngapain?” tanyaku ketika kami telah masuk ke dalam mobil. 

 

“Untuk mempercantik rambutmulah, apalagi? Soalnya saya risih melihat rambutmu yang lecek, kumel, ketombean dan bahkan berkutu juga. Saya ingin rambutmu terlihat lebih rapi sedikit, wangi dan terawat, bukan lepek begini,” sungutnya sambil duduk di sebelahku, nada bicaranya kali ini sedikit melunak. 

 

“Untuk apa?! Aku gak mau ah. Soalnya aku suka sama rambut panjangku yang sekarang. Malesin banget pakai ke salon segala, mendingan langsung pulang aja ke rumahlah. Di salon itu pasti bakalan berjam-jam ‘kan?” Aku mengerucutkan bibir, kalo perut udah kenyang gini, aku jadi ngantuk bawaannya. Pengen rebahan, walau cuma di lantai kamar. Hikkzz ... menyedihkan bukan jadi aku? Emang iya. Kuhembuskan napas kasar. 

 

Enak saja pria tua ini ingin mengajakku ke salon. Pasti nanti rambutku akan digunting jika dibawa ke salon. Memang sih selama ini aku jarang banget keramas karena tak punya uang untuk sekadar beli shampoo dan memang lagi benar-benar susah. Namun, bukan berarti dia seenaknya saja 'kan terhadap rambutku? 

 

“Jangan membantah saya! Jika saya katakan harus ke salon, berarti kamu memang benar-benar perlu ke salon untuk merawat rambutmu yang sudah benar-benar kumal seperti itu. Saya tidak suka diprotes atau dibantah apa pun!” Opa Jhon berkata dengan ketus. 

 

Aku mendengkus kesal. Enak sekali dia berkata aku tidak boleh membantah perkataannya. Padahal rambutku tidak bersalah padanya, tapi dia sibuk saja ingin tetap membawaku ke salon. Apa aku tidak terlihat cantik ketika berambut panjang begini? Dasar! 

 

Aku tak menyahut apa pun. Tidak menjawab ‘iya’ atau pun mengatakan ‘tidak’. Aku hanya berani bersungut kesal dan pasrah saja melihat rambut kebanggaanku akan dipangkas sesuai dengan perintahnya. 

 

Mobil pun berhenti di salah satu salon yang di area parkirannya sudah berjejer beberapa kendaraan motor dan mobil. 

 

“Ayo turun!” Opa Jhon berucap sambil menekan tombol di pintu mobil aneh ini. 

 

Dia pun menekan tombol di pintu mobil sebelahku, dan aku mengingatnya. Pintu langsung terbuka dan aku akan mengingat warna tombolnya ini biar nggak bego-bego amat.

 

Aku mengekor di belakangnya, sedangkan dia berjalan santai menuju bangunan megah yang ternyata hanyalah sebuah salon. 

 

Sesampainya di dalam, Opa Jhon bercakap-cakap oleh salah seorang karyawan. Aku mendengar bahwa dia menyuruh wanita itu untuk merapikan dan membersihkan rambut kumalku dan melakukan perawatan juga. 

 

Aku mulai duduk di kursi hitam yang empuk dan di depannya ada sebuah cermin besar. Ruangan ini bersih, rapi dan wangi. Sangat nyaman pokoknya berada di sini. 

 

Aku dipasangkan handuk yang kecil di bawah leher untuk menutupi bahu agar tidak ada rambut-rambut halus yang menempel di baju. Lalu rambutku mulai disisir dan dijepit dengan ikat rambut secara terpisah. Kemudian barulah rambutku mulai dipotong sesuai arahan dan permintaan Opa Jhon. 

 

Usai memangkas rambut hingga sebahu, wanita berseragam khas salon itu mengajakku ke tempat khusus mencuci rambut dan aku berbaring di kursi panjang itu. Lalu dia mulai membasahi rambut baruku dan memberikan krim ke kepala. Kemudian sambil dipijat pelan. Rasanya enak sekali. 

 

Hingga setelah beberapa menit lamanya kepala dipijat, kini saatnya untuk keramas. Rambutku dibilas dan dibersihkan dari krim tadi. Kemudian dilap menggunakan handuk kecil. Aku dan karyawan itu kembali ke kursi awal. Rambutku dikeringkan dengan hairdryer, lalu setelah itu barulah disisir. 

 

Memang terasa berbeda ketika rambutku dipangkas pendek begini. Aku merasa wajahku tampak lebih cantik, kepala juga terasa ringan dan segar. Kini rambut lurusku sudah bersih dan wangi. 

 

“Sudah selesai, Mbak?” tanyaku ketika handuk kecil yang melilit di bawah leher telah dibuka. 

 

“Sudah, Kak,” sahutnya dengan ramah. Aku bangkit dari kursi mendekati Opa Jhon yang sedang menunggu di sofa. 

 

Opa Jhon tidak mengatakan apa pun, dia hanya diam dan memindaiku dari atas sampai bawah. Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan  menuju kasir, mungkin untuk membayar biaya salonku. Sudah kewajibannya bukan? 

 

“Loly, setelah dari sini, kita akan singgah ke mall terlebih dahulu untuk membeli beberapa bajumu yang bagus.” 

 

“Iya.” Aku tak menolak tawarannya kali ini, karena aku memang suka berbelanja. Namun, jika potong rambut seperti tadi memang aku tidak terlalu suka karena aku susah memanjangkan rambutku ini. 

 

Aku menurut saja sambil kedip-kedip manja, biar Si Oppa bahagia dan terus menguras isi dompetnya demi aku. Jiaahh ....

 

Bersambung .....

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status