Share

shopping

Penulis: Naffa Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-10 16:05:44

Istri Bayaran Sang Opa Menawan

Part 3 : Shopping

 

"Kamu mau pesan apa, Istriku?" Opa Jhon sengaja menyaringkan suaranya saat pelayan restoran sudah bersiap mencatat pesanan kami.

 

Otomatis, Si Pelayan restoran yang wajahnya mirip Ayu Ting-ting--penyanyi dangdut idolaku langsung mesem-mesem dan menatap aneh kepadaku.

 

Ya elah, Si Kakek Tua ini, nggak perlu diproklamasikan gitu kali status pernikahan kami, bilang aja aku cucunya 'kan gak ribet. Ini sih alamat bakalan jadi artis dadakan dan benar saja, mata pelanggan lainnya tertuju kepada mejaku dan Opa Jhon.

 

"Hemm ... aku pesan soto aja deh," jawabku dengan grogi sebab kini sudah menjadi sorot perhatian. Yeah, biasalah, pastinya aku akan dighibahin cabe-cabean. Serah deh ah, aku harus tetap cool, cool dan cool.

 

"Maaf, Mbak, di sini tidak ada jual soto," jawab Si Pelayan sambil menahan senyum.

 

"Oohh ... gak ada, ya." Aku menggaruk kepala, yang sepertinya kutu-kutu di kepalaku ini mulai berdemo sebab tadi keracunan dengan shampo mahal Si Opa, biasanya kan dulu aku menggunakan sabun mandi sebagai shampo buat penghematan. Maklum aja, orang kismin.

 

"Loly, kenapa gak pesan pecel dan es cendol sekalian?" Dia--pria tua yang jutek itu melirikku tajam.

 

"Eh, Mbak Pelayan, samain aja pesanan saya ama suami saya ini." Aku langsung tertawa cuek sambil menepuk pundak Si Kakek Tua, dan tak lupa bergelayutan manja di pundaknya.

 

"Baik, sudah saya catat, silakan ditunggu pesanannya!" ujarnya dengan membungkukkan sedikit tubuhnya.

 

Setelah pelayan itu berlalu dari hadapan kami, Opa Jhon menepis tanganku dari bahunya. Aku langsung menegakkan tubuh sambil pasang wajah cuek walau kini ada beberapa orang yang menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik.

 

Taklama berselang, makanan kami pun sudah terhidang di atas meja.

 

"Ayo, makan!" ujarnya lirih.

 

Aku mengangguk sambil menatap sendok dan garpu di piring. Duh, ribet, jadi orang kaya memang banyak aturan. Aku tak terbiasa makan pakai sendok, kecuali kalau makan bakso.

 

Opa Jhon hanya geleng-geleng kepala kala melihatku menepikan sendok dan garpu, dan makan dengan menggunakan tangan saja. Apa gunanya tangan kalau makan pun harus pakai sendok? Teknik makan sepertiku sekarang ini adalah cara bersyukur atas nikmat masih punya tangan. Aku tertawa dalam hati dengan teori konyol ini, petuah karanganku sendiri.

 

***

 

“Setelah pulang dari sini, kita akan mampir ke sebuah salon lebih dulu, ya,” ajak pria tua ini sambil berjalan menuju mobilnya, aku hanya mengekor dari belakang saja. 

 

“Mau ngapain?” tanyaku ketika kami telah masuk ke dalam mobil. 

 

“Untuk mempercantik rambutmulah, apalagi? Soalnya saya risih melihat rambutmu yang lecek, kumel, ketombean dan bahkan berkutu juga. Saya ingin rambutmu terlihat lebih rapi sedikit, wangi dan terawat, bukan lepek begini,” sungutnya sambil duduk di sebelahku, nada bicaranya kali ini sedikit melunak. 

 

“Untuk apa?! Aku gak mau ah. Soalnya aku suka sama rambut panjangku yang sekarang. Malesin banget pakai ke salon segala, mendingan langsung pulang aja ke rumahlah. Di salon itu pasti bakalan berjam-jam ‘kan?” Aku mengerucutkan bibir, kalo perut udah kenyang gini, aku jadi ngantuk bawaannya. Pengen rebahan, walau cuma di lantai kamar. Hikkzz ... menyedihkan bukan jadi aku? Emang iya. Kuhembuskan napas kasar. 

 

Enak saja pria tua ini ingin mengajakku ke salon. Pasti nanti rambutku akan digunting jika dibawa ke salon. Memang sih selama ini aku jarang banget keramas karena tak punya uang untuk sekadar beli shampoo dan memang lagi benar-benar susah. Namun, bukan berarti dia seenaknya saja 'kan terhadap rambutku? 

 

“Jangan membantah saya! Jika saya katakan harus ke salon, berarti kamu memang benar-benar perlu ke salon untuk merawat rambutmu yang sudah benar-benar kumal seperti itu. Saya tidak suka diprotes atau dibantah apa pun!” Opa Jhon berkata dengan ketus. 

 

Aku mendengkus kesal. Enak sekali dia berkata aku tidak boleh membantah perkataannya. Padahal rambutku tidak bersalah padanya, tapi dia sibuk saja ingin tetap membawaku ke salon. Apa aku tidak terlihat cantik ketika berambut panjang begini? Dasar! 

 

Aku tak menyahut apa pun. Tidak menjawab ‘iya’ atau pun mengatakan ‘tidak’. Aku hanya berani bersungut kesal dan pasrah saja melihat rambut kebanggaanku akan dipangkas sesuai dengan perintahnya. 

 

Mobil pun berhenti di salah satu salon yang di area parkirannya sudah berjejer beberapa kendaraan motor dan mobil. 

 

“Ayo turun!” Opa Jhon berucap sambil menekan tombol di pintu mobil aneh ini. 

 

Dia pun menekan tombol di pintu mobil sebelahku, dan aku mengingatnya. Pintu langsung terbuka dan aku akan mengingat warna tombolnya ini biar nggak bego-bego amat.

 

Aku mengekor di belakangnya, sedangkan dia berjalan santai menuju bangunan megah yang ternyata hanyalah sebuah salon. 

 

Sesampainya di dalam, Opa Jhon bercakap-cakap oleh salah seorang karyawan. Aku mendengar bahwa dia menyuruh wanita itu untuk merapikan dan membersihkan rambut kumalku dan melakukan perawatan juga. 

 

Aku mulai duduk di kursi hitam yang empuk dan di depannya ada sebuah cermin besar. Ruangan ini bersih, rapi dan wangi. Sangat nyaman pokoknya berada di sini. 

 

Aku dipasangkan handuk yang kecil di bawah leher untuk menutupi bahu agar tidak ada rambut-rambut halus yang menempel di baju. Lalu rambutku mulai disisir dan dijepit dengan ikat rambut secara terpisah. Kemudian barulah rambutku mulai dipotong sesuai arahan dan permintaan Opa Jhon. 

 

Usai memangkas rambut hingga sebahu, wanita berseragam khas salon itu mengajakku ke tempat khusus mencuci rambut dan aku berbaring di kursi panjang itu. Lalu dia mulai membasahi rambut baruku dan memberikan krim ke kepala. Kemudian sambil dipijat pelan. Rasanya enak sekali. 

 

Hingga setelah beberapa menit lamanya kepala dipijat, kini saatnya untuk keramas. Rambutku dibilas dan dibersihkan dari krim tadi. Kemudian dilap menggunakan handuk kecil. Aku dan karyawan itu kembali ke kursi awal. Rambutku dikeringkan dengan hairdryer, lalu setelah itu barulah disisir. 

 

Memang terasa berbeda ketika rambutku dipangkas pendek begini. Aku merasa wajahku tampak lebih cantik, kepala juga terasa ringan dan segar. Kini rambut lurusku sudah bersih dan wangi. 

 

“Sudah selesai, Mbak?” tanyaku ketika handuk kecil yang melilit di bawah leher telah dibuka. 

 

“Sudah, Kak,” sahutnya dengan ramah. Aku bangkit dari kursi mendekati Opa Jhon yang sedang menunggu di sofa. 

 

Opa Jhon tidak mengatakan apa pun, dia hanya diam dan memindaiku dari atas sampai bawah. Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan  menuju kasir, mungkin untuk membayar biaya salonku. Sudah kewajibannya bukan? 

 

“Loly, setelah dari sini, kita akan singgah ke mall terlebih dahulu untuk membeli beberapa bajumu yang bagus.” 

 

“Iya.” Aku tak menolak tawarannya kali ini, karena aku memang suka berbelanja. Namun, jika potong rambut seperti tadi memang aku tidak terlalu suka karena aku susah memanjangkan rambutku ini. 

 

Aku menurut saja sambil kedip-kedip manja, biar Si Oppa bahagia dan terus menguras isi dompetnya demi aku. Jiaahh ....

 

Bersambung .....

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Selamat

    Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Dia Demam

    Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Masih di sini

    Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Disekap

    Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Disekap

    Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa

  • Istri Bayaran Sang Opa Menawan   Telepon Misterius

    Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status