Istri Bayaran Sang Opa Menawan
Bab 2 : Hinaan
[Lowongan kerja jadi istri kakek usia 60 tahun.
Dicari : Calon istri (usia 19 tahun - 25 tahun).Kriteria : wanita tulen (dibuktikan dengan KTP dan surat keterangan dari lurah setempat).Gaji : 5 juta - 10 juta / bulanAda bonus tambahan jika rajin.Ttd. Opa Jhon.]Bagaikan sedang di padang pasir yang gersang, aku seperti menemukan mata air untuk dahaga ini. Status akun f* dengan nama "Opa Jhon" benar-benar membuat mataku berbinar dan segera mengklik profil Si Aki-aki yang lagi nyari istri ini. Usianya udah 60an, otomatis sebentar lagi Si Doi bakalan koit dan aku akan mewarisi hartanya, seperti di film-film yang kutonton saat numpang wifi tetangga.
Yes, inilah namanya rezeki dan harus diperjuangkan. Semangat, Loly, pepet ampe dapat nih kakek tua! Aku tersenyum simpul dengan bayangan akan menjadi ratu dalam sekejab.
Dilihat dari syaratnya, gak muluk-muluk amat, cuma Surat Keterangan Lurah ama KTP aja. Itu sih gampang, apalagi gak ada kriteria harus cantik, aku pasti kepilih ini.
[Selamat sore, Kakek, perkenalkan saya Lolyta, 19 tahun, mau melamar lowongan jadi istri Kakek. Syaratnya akan saya lengkapi besok. Jadi ke mana saya harus membawa persyaratannya itu?]
Segera kukirimkan inbox pada foto profil pria tua berkaca mata hitam itu. Jangan ditanya lagi rupanya, sudah pasti tua renta tapi gak apa, inilah jalan ninjaku demi bisa mendaftar kuliah dan bisa jadi sarjana seperti pesan almarhum ibuku sebelum ia meninggal. Hikzz ... jadi kangen ibuku.
"Woyyy, Oma jelek, kok bengong aja!"
Sebuah teriakan juga tepukan di bahu ini membuat lamunanku segera buyar. Dia--siapa lagi kalau bukan Xeon--cucu kurang asem yang gak ada akhlak itu yang kini menatap dengan sinis ke arahku. Susah amat nyebut namanya, reader boleh nyebut dia Keong, aku juga keseleo nyebut nama pria songong itu.
"Xeon, jaga sikapmu, ya! Walau kalian seuumuran, tapi tetap hormati Loly sebagai Omamu! Jangan pernah bersikap kasar, membentak atau juga membullynya! Dia adalah Nyonya di rumah ini, dia istri Opamu. Kamu tidak apa-apa Loly Sayang .... " Kakek Jhon mendekat ke arahku, usai memarahi cucunya kini dia tersenyum kepadaku sambil merengkuh pinggang ceking ini.
Astaga, aku langsung merinding mendengar panggilan sayang darinya, juga tangannya yang kini berani menyentuhku.
"Terima kasih, Mas Jhon Sayang udah belain Loly, Loly terharu .... " Aku memaksakan senyum dan meraih tangan tak kekar Si Kakek tua dan berkata manja dengan tak lupa kedip-kedip manja. Dih, terpaksa jadi ular bulu, walau aslinya aku ini kalem, ya, gaes, jomlo sejak lahir dan belum pernah disentuh pria mana pun.
"Hoek, mendadak mual gue!" cibir Xeon dengan senyum melecehkan.
Taklama kemudian, datang lagi tiga orang dari arah pintu utama, dua pria yang gayanya mirip Xeon, juga wanita muda cantik yang mungkin seumuran denganku. Sepertinya mereka ini cucu-cucu Kakek Tua itu juga. Ck, aku nggak nyangka dia bisa punya cucu sebanyak itu. Ini sih aku nggak bakalan kebagian harganya.
"Xeon, jaga ucapanmu atau--" Opa Jhon kembali melototi pria yang wajahnya ala oppa-oppa Korea itu, sedangkan opa suamiku--hizzz ... Opa renta.
Aku meremas jemari tangan yang dingin sejak tadi, nggak nyangka banget bakalan masuk kandang para macan gini, habislah aku yang cuma serbukan rengginang ini.
"Loly sini, kenalin ini cucu-cucuku. Itu Morgan, Exel, Angel" ujar Opa Jhon sambil merangkul bahuku. "Cucu-cucuku, kenalin ini Oma Loly. Kalian harus hormat dan sayang kepadanya, ayo salim!"
Tiga mata anak muda itu melotot, mungkin hampir mau copot biji mata dari kelopaknya, persis seperti tingkah Xeon tadi, kini mereka mengamatiku dari ujung poni ampe ujung jempol kaki.
"What, Opa? Masa Omanya seperti ini? Yang benar saja?! Kok kayak kucing kecebur got gini penampilannya, mana cemong lagi?!" Cucunya yang bernama Angel itu cekikikan dengan tatapan melecehkan.
Ya Tuhan, sudah dua orang yang menghinaku hari ini. Tahan, Loly, jangan keluarkan cakaran setanmu sekarang! Cool, cool, cool! Aku berusaha bersikap santai dan tak mati kutu karena ejekannya.
"Angel jaga mulutmu!" bentak Opa Jhon. "Mulut kalian ini nggak ada yang beres, bikin bad mood saja. Ayo, Sayang, kita sarapan ke luar saja. Inilah alasanku buka lowongan nyari istri, soalnya cucu-cucuku nggak ada yang beres. Hartaku yang banyak ini, harus jatuh kepada orang yang tepat!" Kakek Tua itu merangkul bahuku.
Sebagai sosok istri sholehah, aku menurut saja sebab tak ada pilihan lainnya lagi. Namun hati ini terasa bersorak penuh harap saat mendengar kata-kata terakhir Si Kakek, semoga saja aku orang yang tepat ini. Siap-siap para cucu durhaka, aku akan membalas kalian!
"Duh ... kamu sih Ngel, marah dah tuh Si Opa!"
"Tuh mulut direm dong, mau lu dicoret dari daftar penerima warisan?!"
"Wajar sih tuh Opa marah, istrinya kalian hina! Makanya sebelum bicara itu, mikir dulu!"
"Jelas aja Si Opa bela istri barunya, wong baru aja habis malam pertama. Jadi, wajar aja kalo rambut istrinya melepek gitu, 'kan habis mandi basah."
"Duuhh ... gimana dong, masa aku harus minta maaf? Gak sudi, cih!"
Sepertinya para cucu Si Kakek Tua ini sengaja memperbesar volume suara, walau kini aku dan Opa Jhon telah sampai di depan pintu, suara mereka masih kedengaran saja. Dasar, mereka ghibahin aku! Awas saja!
Setibanya di dalam mobil, Kakek Tua itu langsung melepaskan rangkulan tangannya padaku.
"Sana, jauh-jauh! Jangan dempet-dempetan begini duduknya!" Si Kakek Tua yang sedari tadi bertingkah manis khas pengantin baru, kini kembali keluar taringnya.
Ya elah, sok suci banget ini Kakek Tua, tadi aja ngerangkul-rangkul, lah sekarang kayak alergi gitu ama aku.
"Kek, tadi cucu-cucu Kakek menghina aku habis-habisan loh, aku sedih banget, serasa pengen resign aja dari kerjaan yang baru sehari ini. Huhuuuuu .... " Aku sengaja mengapit lengan Si Kakek, dan merebahkan kepalaku di bahunya.
"Hey, sudah saya bilang jangan dekat-dekat!" Dia semakin kelabakan.
"Aku istri sah Kakek loh, masa gak boleh peyuk-peyuk?! Huhuuuu .... " Irama tangis semakin kubuat mendayu-dayu hingga akhirnya Si Kakek berhenti berontak.
Yes, berhasil! Rasain, kukerjai dia. Sok jual mahal dan ngatain aku bau ingus, nih kuingusin sekalian dia. Tak mau melewatkan kesempatan, sengaja kutempelkan iler ke bahunya.
"Loly, kamu nggak ngajakin unboxing di mobil 'kan?"
Sontak, aku segera menegakkan badan dan beringsut menjauh. Dia terlihat jengkel sambil menatap jijik bekas ingusku di bahunya.
"Hehe ... peace!" Aku mengacungkan dua jari di hadapannya dan pasang cengiran termanis.
"Kamu mau bersihin ini iler sendiri atau saya balikin sendiri ini ilermu ke mulutmu?!" Dia melotot kepadaku.
Aku menahan tawa sambil garuk-garuk kepala yang memang sering gatal, maklum saja, dulu itu aku ini ternakan kutu, soalnya kagak mampu beli sampho sebungkus pun karena saking kisminnya. Kalian sedih gak ama ceritaku? Sedihlah, sedih dung. Isshh.
Bersambung ....
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan