Share

Bab 4

Author: Rav
last update Last Updated: 2024-11-04 17:20:16

Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. 

Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. 

“Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. 

Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. 

Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak tinggal diam, ia segera ke kamar menghubungi seseorang. 

“Halo, Nyonya, ada kabar buruk dengan Den Semesta dan istrinya.”

“Kabar apa, Bik?” tanya Dewi dari seberang telepon dengan panik. 

“Den Semesta bertengkar sama Humaira karena Den Semesta membawa kekasihnya ke rumah.”

“Apa….” Dewi merasa terkejut dengan ulah anaknya padahal sedari tadi sikapnya sangat manis seolah pasangan yang bahagia. 

Dewi memikirkan cara agar anaknya dan juga Humaira bisa bersatu seperti pasangan lainnya. Tak lama kemudian Dewi segera bertandang menuju ke rumah Semesta setelah menelpon seseorang. 

***

Humaira memandangi makanan yang masih utuh dan tidak tersentuh sedikitpun. Dia mendengus kesal, sayang juga kalau di buang lebih baik ia memakannya meski sudah tidak mood untuk makan. 

Karena tidak ingin makan sendirian akhirnya Humaira memanggil Bik Sumi untuk menemaninya makan. 

“Tapi, Non—”

“Nggak apa Bik, kan mubazir juga kalau nggak ada yang makan.” Humaira mulai menyendokkan nasi ke dalam piringnya dan juga piring Bik Sumi. 

“Jadi ini istri sholehah dari mama, makan tanpa menunggu suaminya?” Semesta menatap tajam ke arah Humaira membuat Bik Sumi takut. Semesta dengan tiba-tiba muncul di hadapan mereka. 

“Saya ijin ke belakang, Non.”

Humaira hanya mengangguk dan melihat ke arah suaminya. “Kamu mau makan, Mas?”

“Menurutmu ….”

“Aku kira sudah kenyang tadi habis ketemu sama pacar,” sindir Humaira membuat Semesta melotot tajam ke arahnya. 

“Kamu—”

“Ssttt, sudah Mas, nggak baik berdebat di depan makanan.” Humaira bersikap tenang dan tidak takut sedikitpun meski sedari tadi Semesta terus menatapnya dengan tajam. 

Meski kesal, Semesta menerima makanan yang sudah disiapkan untuknya. Sekali dia menyendokkan makanan, rasanya memang beda dari yang ia makan sebelumnya meski sama-sama masakan dari udang. Bahkan Semesta menyendok beberapa kali makanannya hingga tak sadar kalau di piringnya sudah habis. 

Humaira hanya tersenyum tipis melihat suaminya begitu menikmati masakannya. 

“Gimana Mas, enak ‘kan?” 

Semesta tampak malas untuk menjawabnya dan terus melahap makanan yang ada di piringnya, sesekali ia mengambil udang goreng tepung yang tersaji di meja. 

“Mas suka, itu semua aku yang memasaknya lho.”

Mendengar wanita itu yang memasak, Semesta langsung tersedak, meski masakannya enak tapi gengsi bagi Semesta untuk mengakuinya. Humaira dengan segera mengambil air dan menyerahkan kepada suaminya. 

“Pelan-pelan, Mas. Nggak ada yang minta.” 

Suara lembut Humaira membuat Semesta merasakan sesuatu. Apalagi istrinya kini membantu mengusap punggungnya membuat hal aneh dalam diri Semesta. Hal yang tak biasa ia rasakan saat dekat dengan kekasihnya. 

Semesta segera meneguk minumannya hingga habis. “Kamu sengaja membuat saya celaka?”

“Apaan sih, Mas. Celaka bagaimana coba, salah sendiri makan tidak pelan-pelan, rakus begitu.”

“Kamu bilang aku rakus, aku—”

Humaira langsung menyahut, “apa kalau bukan rakus, tuh satu piring udang bahkan kamu habiskan.” Tunjuk Humaira dengan dagunya. 

Brak.. 

Semesta memukul meja membuat Humaira berjingkat kaget. Semesta tak terima jika ada yang melawan dirinya terlebih wanita kampung yang ada di depannya. 

“Dengar ya wanita kampung, jangan pernah melawanku atau ….”

“Atau apa Mas, saya tidak melawan suamiku yang tampan, saya hanya bilang kalau Anda itu rakus. Kenapa marah?

Keduanya kini saling berdiri menatap nyalang masing-masing. Humaira sosok pembangkang, ia akan melawan siapa pun jika dirinya tidak bersalah. Hingga keduanya lama beradu tatap. 

“Ehem.” Suara deheman Dewi membuyarkan keduanya. 

“Mama,” ucap keduanya terkejut saat Dewi berada di rumah mereka. 

Semesta dan Humaira saling tatap lagi. Semesta berpikir kalau Humaira yang telah mengundang mamanya kemari. Humaira menghentikan bahunya seolah tahu apa yang Semesta maksud. 

“Ada apa? Nggak senang ya kalau Mama main kesini?” ucap Dewi dengan nada sedih. “Baiklah, kalau begitu Mama pulang ya.”

“Bu-bukan seperti itu, Ma. Aku senang kalau Mama main kesini,” bohong Semesta. Dia hanya berpura-pura agar mamanya tidak curiga dengan rumah tangga mereka. 

“I-iya, Ma. Kita sedang makan, Mama mau ikut makan juga?”

“Terima kasih ya Humaira. Mama sudah kenyang, Mama hanya ingin main kesini habis di rumah sepi. Kenapa kalian nggak tinggal di rumah Mama saja sih, kan Mama bisa ada temennya.”

“Kapan-kapan saja ya, Ma. Aku dan Humaira pasti akan menginap di rumah Mama. Sekarang Mama ke depan dulu ya, kita selesaikan makan dulu,” kata Semesta membuat Dewi menurut begitu saja perintah anaknya. 

“Kamu yang menyuruh Mama datang?”

Humaira menggeleng. “Nggak.” 

“Awas saja kalau kamu ngadu ke Mama,” ancam Semesta kepada Humaira lalu meninggalkan sendirian. 

Humaira mengelus dadanya. “Ya, Allah berilah hambamu kesabaran untuk menghadapi suami macam dia ya Allah.”

Humaira menarik nafasnya dalam-dalam, setelah agak tenang ia memutuskan menemui Mama mertuanya di ruang tengah. 

“Humaira, sini.” Dewi menepuk sofa agar Humaira duduk di sebelahnya. 

Humaira pun menurut dengan perintah mertuanya. Gadis berhijab itu menunduk saat Semesta menatap tajam ke arahnya. Tak habis pikir mamanya begitu baik kepada gadis kampung itu. 

“Kalian sudah menikah, jika ada masalah diselesaikan dengan baik. Meski kalian menikah dadakan tetap saja kalian sudah berstatus suami istri dan kamu Ata, kamu sebagai suami harus bisa mendidik istri kamu bukannya malah terbalik.” 

Nasehat Dewi panjang lebar yang membuat Semesta hanya diam memperhatikan keduanya, ia yakin jika Humaira telah mengadu kepada mamanya. 

“Sekarang kalian minum teh ini agar rileks, Mama sengaja membuatnya untuk kalian,” perintah Dewi lagi. 

Tanpa curiga keduanya langsung minum teh buatan Dewi, mereka tak mau membuat mamanya tersinggung. Dewi hanya tersenyum tipis melihat keduanya meminum sampai habis. 

‘Akan Mama pastikan kalian akan menjadi pasangan suami istri sesungguhnya.’ 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 21

    [Kamu pikir masalah ini selesai? Aku akan pastikan semuanya hancur] Humaira merasakan darahnya berdesir. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan bingung. “Masalah apa lagi ini?” bisiknya pelan. Ia menggigit bibirnya, jari-jarinya gemetar saat ia menekan tombol untuk membaca lebih lanjut pesan tersebut. Tapi tidak ada apa-apa. Itu hanya satu pesan singkat, tetapi cukup untuk membuatnya merasa seolah-olah udara di sekitarnya menjadi lebih berat. Gagang pintu kamarnya berdecit pelan. Humaira langsung mendongak. Semesta berdiri di ambang pintu, alisnya bertaut melihat ekspresi Humaira yang tampak panik. “Ada apa, Mai?” tanyanya, suaranya dingin seperti biasa, tetapi ada nada curiga yang tidak bisa disembunyikan. Humaira buru-buru mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. “Nggak ada apa-apa, Mas.” Semesta berjalan mendekat, tatapannya tajam. Ia menyilangkan tangan di dada. “Kamu nggak bisa bohong sama aku. Wajahm

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 20

    “Siapa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya mengetik balasan. Humaira: Maaf, ini siapa? Balasan datang dengan cepat. Pengirim: Kamu akan tahu segera. Pastikan kamu siap. Jantung Humaira berdegup kencang. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat pikirannya kacau. Ia mencoba menebak-nebak siapa yang mengirimkan pesan itu. Apakah ini ada hubungannya dengan Semesta? Atau mungkin Alena? Pikirannya terus berputar, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas lagi. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membaca buku, tetapi tetap saja pikirannya terganggu. Ketika malam semakin larut, ia berdoa agar siapapun pengirim pesan itu tidak membawa masalah besar ke dalam hidupnya. Ia sudah cukup lelah dengan semua drama yang terjadi akhir-akhir ini. Keesokan harinya, Humaira sedang merapikan ruang kelasnya ketika seseorang mengetuk pintu. Ia menoleh dan mendapati Semesta berdiri di sana, mengenakan kemeja biru polos. “Mas?” tanya

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 19

    “Mas, apa yang sebenarnya Mas inginkan?” suara Humaira terdengar pelan, tetapi tegas. Matanya menatap Semesta dengan penuh perhatian, menunggu jawaban yang mungkin akan menentukan arah hubungan mereka. Semesta terdiam sejenak, ponselnya masih bergetar di saku. Ia tahu siapa yang menelepon. Alena. Tapi kali ini, suara Humaira lebih penting daripada apa pun yang ada di dunia ini. “Aku…” kata-katanya menggantung di udara. Matanya tak lepas dari wajah Humaira. Ia bisa melihat rasa lelah yang terpendam, tetapi juga ada kekuatan besar di baliknya. Humaira tak seperti wanita lain yang pernah ia kenal. Ia tahu, perempuan ini tidak bisa dengan mudah ditundukkan oleh kata-kata manis atau janji kosong. “Mas, kalau hanya ingin mempermainkan aku, lebih baik kita sudahi saja semuanya sekarang,” ujar Humaira lagi, dengan nada yang sedikit bergetar. Ia mencoba terlihat tegar, tetapi hatinya terasa seperti dihujam ribuan jarum. Semesta menghela napas panjang. “Aku nggak mau mempermainkan kamu,

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 18

    "Sebentar saja," potong Semesta, tanpa memedulikan keberadaan Raka.Humaira menghela napas dalam. Ia tahu nada suara Semesta kali ini bukan sesuatu yang bisa ditolak. Dengan berat hati, ia memandang Raka yang masih berdiri di depan ruang guru. "Maaf ya, Pak Raka. Aku harus pergi sebentar," katanya singkat sebelum melangkah mengikuti Semesta.Raka hanya mengangguk, meski jelas ada kebingungan di wajahnya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa lagi.Semesta berjalan cepat menuju sisi gedung sekolah yang sepi, sementara Humaira harus mempercepat langkahnya agar bisa mengimbanginya. Ketika akhirnya Semesta berhenti, Humaira langsung menatapnya dengan tatapan tidak sabar."Mas, apa sebenarnya yang mau Mas bicarakan?" tanyanya, mencoba menahan nada kesalnya. Semesta tidak langsung menjawab. Ia menatap Humaira cukup lama, seolah sedang menyusun kata-kata di kepalanya. Namun, alih-alih menjelaskan, ia justru bertanya, "Kamu selalu dekat sama dia?"Humaira mengerutkan kening. "Mas maksud siapa?

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 17

    "Kenapa nggak kamu angkat, Mas?" suara Humaira memecah keheningan di ruang tamu kecil itu. Suaranya datar, tetapi ada nada yang tak bisa disembunyikan. Tegang, mungkin. Semesta menunduk sejenak, menatap layar ponselnya yang masih bergetar di atas meja."Ini urusanku," jawab Semesta dingin tanpa menoleh. Ia membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja, lalu menghembuskan napas panjang. Tangannya yang besar meraih ponsel itu dan mematikannya tanpa basa-basi.Humaira menghela napas. Ia mencoba tetap tenang, meski pikirannya sudah penuh tanda tanya. Alena lagi. Nama itu terus muncul di antara mereka seperti duri yang tak bisa dicabut. Ia sudah lelah membicarakan ini, tetapi setiap kali Alena muncul, tak bisa dimungkiri, hatinya tetap terusik.“Mas, aku cuma tanya. Kenapa harus marah?” Suara Humaira terdengar pelan, hampir seperti berbisik. Ia tahu, jika ia menaikkan nada suaranya sedikit saja, percakapan ini akan berubah menjadi perang dingin yang lebih besar.Semesta akhirnya menatapnya

  • Istri Bayaran Semesta   Bab 16

    “Kamu yakin bisa hidup tanpa aku?” Humaira terdiam, menatap Semesta tanpa ekspresi. Pertanyaannya menggantung di udara, seperti menunggu jawaban yang tidak pernah ingin benar-benar didengar. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara klakson motor dari luar memecah kesunyian.“Aku berangkat dulu, Mas.” Humaira akhirnya berkata, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Tanpa menunggu balasan, ia mengambil tasnya lalu berjalan keluar.Semesta hanya berdiri mematung, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, tetapi ia tidak tahu apa. Ia meneguk ludah, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.“Kenapa dia makin aneh?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Hubungan semakin dinginHari-hari berikutnya terasa semakin hampa di rumah itu. Humaira dan Semesta hampir tidak pernah berbicara. Jika mereka kebetulan berada di ruangan yang sama, suasananya selalu sunyi.Semesta sering pulang larut malam, dan ketika ia pulang, Humaira sudah berada di kamar. Tidak ada sapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status