Share

Bab 8. Ancaman Edwin

Edwin mengamati Herlin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuh Herlin sangat kecil untuk ukuran anak SMA. Ditambah dengan sikap Herlin yang manja, dia langsung beranggapan kalau Herlin adalah anak sekolah dasar.

"Siapa bocah ini?" tanya Edwin dengan muka datar.

"Siapa yang …."

Karina segera menghentikan Herlin. Sebelum Herlin protes tidak terima dibilang bocah. Daripada nanti bermasalah.

"Ini keponakan saya. Jadi kalau boleh saya tahu, apa maksud Tuan datang ke sini?" tanya Karina dengan sopan.

Karina tidak mau dicap buruk. Harus terlihat baik di keluarga suaminya yang belum pernah ditemui. Sekaligus sebagai tamunya.

Edwin menyuruh salah satu bodyguard membuka koper yang mereka bawa. Dalam dia bodyguard membuka koper di atas meja. Setelah itu dia berdiri tegak kembali di belakang Edwin.

Edwin kemudian mengambil satu bungkus uang dengan jumlah yang besar. Lalu melempar dengan kasar ke atas meja.

"Ambil ini dan jauhi anak saya!" perintah Edwin.

"Anak Tuan? Wisnu?" tanya Karina balik.

"Kamu jangan pura-pura bodoh," sindir Edwin.

"Maaf Tuan, sepertinya Tuan salah orang. Memang suami saya bernama Wisnu. Tapi Wisnu yang saya kenal tidak mempunyai keluarga. Dia hanya buruh bangunan di sekitar sini" sahut Karina dengan hati-hati.

"Saya tidak datang ke rumah yang salah. Anak saya sudah pergi dari rumah bertahun-tahun. Saya sudah mencari ke semua tempat. Tapi apa yang saya temukan setelah bertahun-tahun, dia menikahi perempuan kampungan seperti kamu. Dia juga berpura-pura menjadi seorang buruh kasar. Kamu membawa pengaruh buruk untuk anak saya. Mulai detik ini, kamu jauhi anak saya," kata Edwin dengan tatapan tajam.

Herlin sangat marah mendengar orang asing di depannya menghina tantenya. Jika saja Kirana tidak menahan Herlin, maka Herlin sudah mengusir mereka semua dari rumah. Tidak akan membiarkan satu orang pun untuk menghina mereka. 

"Tapi maaf Tuan, saya tidak bisa melakukan itu. Wisnu adalah suami saya. Apalagi sekarang saat ini kami …."

"Kamu jangan membantah perkataan aku. Saya tidak sedang meminta sama kamu, tapi saya sedang memerintah. Kalau kamu membantah, jangan salah saya jika saya berbuat nekat. Saya bisa saja menghancurkan rumah ini dan melenyapkan kalian berdua," ancam Edwin memotong perkataan Karina.

Setelah memperingati Karina, Edwin langsung pergi dari sana. Dia tidak ingin anaknya menikah dengan perempuan tidak jelas.

Karina sangat terkejut mendengar ancaman Edwin. Belum pernah dia bertemu dengan orang seperti Edwin yang sangat arogan.

"Tante, siapa mereka. Kenapa kakek tua itu bicara kasar. Apa dia beneran keluarga om Wisnu. Tapi om Wisnu itu sangat baik, beda sama kakek tua bangka itu. Dia pasti hanya mengaku-ngaku," kaya Herlin mendengus kasar.

"Herlin, kamu tidak boleh berbicara kasar seperti itu kepada orang yang lebih tua. Tante tidak suka," tegur Karina tidak suka. 

"Tapi Tante, mereka sudah …."

"Tetap saja mereka lebih tua dari kamu. Kamu yang sabar dulu ya. Nanti Tante akan tanya om Wisnu."

"Baiklah, Herlin mengaku Bersalah. Tapi Tante, apa selama ini om Wisnu tidak pernah cerita kalau om Wisnu masih ada keluarganya?"

"Entahlah Lin, selama ini Tante menganggap om Wisnu hanya anak sebatang kara. Om Wisnu sering menghindar saat lagi bahas tentang keluarga. Tante pikir selama ini om Wisnu sedih jika membahas keluarga," sahut Karina.

"Ini aneh deh, Tante," kata Herin dengan penuh kecurigaan. 

"Apanya yang aneh?"

"Bagaimana jika itu beneran papanya om Wisnu? Berarti selama ini om Wisnu bohong sama kita," tebak Herlin.

Karina jadi kepikiran dengan perkataan Herlin. Perkataan Herlin ada benar juga. Satu sisi dua masih ingin percaya kepada sang suaminya. Suaminya selama ini sangat baik kepada dirinya. Tidak pernah menyakiti dia sedikitpun.

"Tante tidak tahu Herlin. Nanti kita tanyakan sama Wisnu."

"Misalkan om Wisnu bohong bagaimana Tante," prediksi Herlin.

"Om Wisnu tidak pernah berbohong sama Tante. Semoga saja kali ini juga masih sama," harap Karina mengelus perutnya yang masih datar.

***

Karina menunggu kepulangan Wisnu dengan perasaan campur aduk. Dia terus mondar mandir di ruang depan. Sesekali mengintip ke arah luar rumah yang sedang hujan deras. Setelah capek berdiri akhirnya dia memilih duduk.

"Sayang! Aku pulang!" teriak Wisnu di depan rumah.

Kirana langsung berdiri dan segera berjalan ke arah pintu saat mendengar teriakan Wisnu. Dengan cepat tangannya membuka pintu. Di depan Wisnu pulang dengan tubuh yang basah kuyup.

"Sayang, aku sangat rindu sama kamu. Andai saja aku bisa membawa kamu ke tempat kerja. Aku ingin selalu memeluk kamu," ujar Wisnu dengan tertawa ringan.

"Sayang, tubuh kamu sudah sangat basah. Ayo cepat masuk ke dalam. Nanti kamu bisa masuk angin," ajak Karina.

Karina yang baru saja keluar rumah langsung terasa kedinginan. Apalagi Wisnu yang sudah basah kuyup. 

"Iya iya, aku lepaskan dulu bajunya. Kasihan lantainya jadi kotor. Kamu sudah capek di rumah membersihkan rumah," sahut Wisnu.

"Tidak apa, kamu langsung saja masuk. Lain tau bisa dipel lagi. Asalkan kamu jangan sakit. Ayo, biar aku siapkan air panas buat kamu mandi."

"Kamu memang istriku yang paling baik sedunia," ujar Wisnu masih sempat memuji Karina. 

Karina segera menyeret Wisnu ke dalam kamar mandi. Rumahnya tidak memiliki air panas otomatis, jadi Kirana harus memasak air panas secara manual.

Sambil menunggu selesai memanaskan air hangat, Wisnu melepaskan baju yang sudah basah dan kotor ke keranjang cucian.

***

Sekarang Wisnu sudah selesai mandi dan berganti pakaian dengan santai di samping Karina. Karina duduk di atas kasur memperhatikan dari tadi. Menunggu Wisnu selesai ganti baju.

"Ada apa sayang? Kenapa kamu dari tadi menatap aku seperti itu. Apa kamu juga kangen sama aku?" tanya Wisnu dengan terkekeh kecil.

"Sayang, ada yang ingin aku katakan sama kamu," balas Karina menatap Wisnu dengan serius. 

"Ada apa? Apa ini tentang calon bayi kita. Apa terjadi sesuatu sama kalian?" tanya Wisnu dengan cemas. 

Wisnu sudah duduk di samping Karina. Tidak bisa tenang seperti beberapa detik yang lalu. Karina adalah segalanya baginya. Jadi, jika terjadi sesuatu sama Karina dia tidak bisa memaafkan diri sendiri.

"Bukan sayang. Kami baik-baik saja. Ada hal lain yang mau aku katakan."

"Syukurlah kalian baik-baik saja. Jadi mau bahas tentang apa?" tanya Wisnu dengan tersenyum kembali.

"Apa kamu mengenal orang yang bernama Edwin?" tanya Karina.

Senyuman Wisnu seketika hilang. Perasaannya langsung berubah. Selama ini dia sudah pergi jauh dari keluarganya.

'Kenapa Karina bisa mengetahui tentang papa.'

Karina tidak melepaskan pandangan dari Wisnu. Dia bisa melihat raut wajah Wisnu yang berubah drastis. Artinya Wisnu memang mengenal Edwin. 

"Sayang dari mana kamu tahu tentang Edwin?" tanya Wisnu balik.

"Jadi beneran, orang yang bernama Edwin adalah papa kamu?" 

"Apa yang dilakukan papa di sini. Dari mana dia tahu tempat ini. Dia tidak macam-macam sama kamu kan?" tanya Wisnu cemas.

Karina tidak menjawab pertanyaan Wisnu. Dia mengeluarkan uang yang diberikan oleh Edwin dari dalam laci.

"Lihatlah!" suruh Karina.

"Apa ini sayang?"

"Kamu periksa sendiri isinya."

Wisnu membuka bungkus itu dengan tangan bergetar. Papanya bisa melakukan apapun yang dia mau. Setelah amplop itu terbuka, dia melihat sejumlah uang yang cukup banyak jika dilihat dari gajinya sekarang. Namun tidak sebanding dengan uang jajan dia dulu selama sebulan.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status