~Delima~ Aku sudah lama tidak membeli perabotan baru, apalagi ke tempat yang menyediakan barang mahal dan sangat bagus seperti ini. Karno mengantar aku ke pusat penjualan segala hal yang dibutuhkan di sebuah rumah yang menjadi langganan Ben. Aku meminta dia untuk pergi ke tempat lain, tetapi Ben menginstruksikannya untuk membawa aku ke tempat ini. Harga yang tertera pada setiap perabotan yang ingin aku beli sangatlah mahal. Walaupun aku memegang sebuah kartu yang nilainya pasti melebihi semua barang yang akan aku beli, aku tidak tega mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk perabotan saja. “Beli saja apa yang Anda butuhkan, Nyonya. Saya yakin Tuan tidak akan keberatan,” ucap Karno menghalangi aku untuk pergi dari meja makan yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku mendesah pelan. “Baiklah.” Aku meminta kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat untuk membuat kuitansi pembelian meja makan tersebut. Setelah membeli dua lemari, meja dan kursi santai untuk diletakkan di teras, aku
Agar suaraku tidak bergema di dalam toilet, aku menjawab panggilan tersebut di luar. Seorang wanita memperkenalkan dirinya kepadaku dan menyebut bahwa dia dan suaminya tertarik untuk membeli rumahku. Aku hampir saja berteriak senang mendengarnya. Mereka ingin bertemu denganku secepatnya karena tidak mau didahului oleh pembeli yang lain. Aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku untuk memerhatikan layarnya. Iya, ponsel itu masih terhubung dengan penelepon tersebut. Aku tidak sedang bermimpi. “Bila memungkinkan, kami ingin bertemu dengan Anda malam ini. Kami sedang melewati gang di mana rumah Anda berada dan kami tertarik dengan rumah itu. Kami memang mencari rumah kecil untuk bisa kami tempati. Kami baru saja menikah dan tidak berencana memiliki anak. Jadi, rumah ini sangat sempurna!” ucap wanita itu setengah mendesak. “Ah, tetapi ada yang perlu Ibu ketahui mengenai rumah tersebut,” kataku tidak mau merasa senang sebelum semuanya pasti. “Suami saya meninggal di rumah itu dan—” “Kami
~Benedict~ Delima bicara dengan antusias dengan pasangan suami istri yang terlihat begitu bahagia di depan rumahnya. Tangan kiri pria itu melingkari pinggang istrinya dan mereka terlihat sangat serasi. Tubuh pria itu sedikit lebih tinggi dari istrinya. Pemandangan yang ideal. Aku tidak akan bisa memberikan kesan yang sama kepada siapa pun bila aku berdiri di samping Delima. Karno bahkan terlihat lebih serasi berada di sisinya. Dengan tubuh pendekku, aku lebih cocok menjadi anaknya daripada suaminya. Lagi pula aku perlu menjaga perasaan pasangan itu. Mereka bisa saja membatalkan niat mereka untuk membeli rumah itu jika melihat keadaanku. Jadi, lebih baik aku menunggu di dalam mobil sampai urusan mereka selesai. Aku menoleh ke arah rumah yang telah membuat mereka jatuh cinta. Nelson memang tidak salah memilih orang untuk merenovasi rumah tersebut. Hanya dalam waktu satu hari mereka berhasil membuatnya sangat indah hingga membuat pembeli jatuh cinta pada pandangan pertama. Delima men
Mobil berhenti dengan kasar sampai tubuhku terdorong jauh ke depan, kemudian terhempas dengan keras ke sandaran jok. Aku mengerang kesakitan, begitu juga dengan Nelson dan Karno. Setelah bunyi ledakan yang memekakkan telinga dan mobil yang sempat kehilangan kendali, situasi di sekitar kami pun hening sejenak. Jantungku berdebar dengan liar di dadaku, membuat aku kesulitan bernapas. Dadaku terasa sakit sekali. Aku memeriksa badanku, tidak ada yang terluka. Kaca jendela mobil di sisiku ditutupi dengan kantong udara keselamatan, begitu juga dengan jendela di seluruh mobil. “Apa yang terjadi?” tanyaku heran. “Bunyi apa itu tadi?” “Bunyinya berasal dari luar mobil, Tuan. Saya akan periksa, Anda tunggu di dalam mobil saja.” Karno membuka pintu mobil di sisinya, lalu menutupnya kembali. “Temani Karno. Aku akan menunggu di dalam mobil. Bila dia butuh bantuan, kamu bisa menolong, sedangkan aku tidak.” Aku mengusap-usap kepalaku yang tadi terantuk keras di sandaran jok. “Baik, Pak.” Nelson
~Delima~ “Ahh … akhirnya aku bisa menarik napas sejenak.” Ayu mendesah lega saat kami makan siang di kantin bersama Adel. “Aku salut kepadamu bisa bertahan menghadapi Pak Luis selama lima tahun, Ima. Aku baru beberapa hari saja rasanya ingin menyerah.” “Ima adalah sekretaris terlama yang pernah bekerja untuk Pak Luis. Aku sudah katakan itu berkali-kali kepadamu. Sekretaris sebelum dia tidak ada yang bertahan sampai satu tahun, apalagi lima tahun.” Adel menggeleng pelan. “Sekarang kamu mengerti alasannya.” “Jika dia memberi aku gaji sepuluh juta sebulan, aku tidak keberatan dihina, dikritik keras, atau diamati setiap gerak langkahku. Tetapi gajiku bahkan tidak jauh berbeda dengan gaji sekretaris manajer. Apa aku bisa meminta dikembalikan ke posisi semula? Aku berjanji tidak akan pernah mengeluhkan pekerjaanku lagi.” Ayu memasang wajah memelas. “Kamu tahu bahwa itu tidak mungkin. Jika kamu menolak menjadi sekretaris Pak Luis, maka satu-satunya jalan untukmu adalah mengundurkan diri.
Teriakan wanita itu menarik perhatian petugas keamanan gedung. Mereka segera datang dan mencoba untuk melepas rambutku dari cengkeraman perempuan yang sedang marah itu. Tulus tidak melakukan apa pun untuk menolong aku. “Lepaskan dia!” ucap suara yang sudah sangat aku kenal. Aku tidak bisa menoleh karena khawatir rambutku akan semakin rontok bila aku menggerakkan kepalaku. “Lepaskan Ima, Tante!” “Perempuan sialan ini harus diberi pelajaran! Dia berani menghina aku dan mengadu domba aku dengan anakku!” Tarikan wanita itu semakin kuat. Aku memegang kedua tangannya agar dia tidak bisa menarik rambutku. Sebisa mungkin aku ikut mundur saat dia menjambaknya. “Aargh!!” Tiba-tiba wanita itu berteriak kesakitan dan pegangannya pada rambutku melonggar. Kali ini, dua petugas keamanan berhasil menjauhkan tangan wanita itu dari rambutku. Aku segera menjauh darinya. Ternyata Aurora melakukan hal yang sama padanya, menjambak rambutnya. Aku menarik napas terkejut. Dari mana sahabatku mendapat kebera
Bakti adalah pria yang setia kepada satu pasangan saja. Aku tidak pernah melihat gejala-gejala aneh yang dia tunjukkan setiap kali kami bersama. Dia tidak menyembunyikan ponselnya dariku, tidak pernah menerima telepon dengan menjauh dariku, juga tidak pernah pergi ke mana pun sepulang kerja. Sikapnya kepadaku juga tidak berubah. Meskipun kami punya masalah, dia sangat sayang dan peduli kepadaku. Mustahil dia punya selingkuhan. Namun mengenai hubungan dia dengan mantannya, aku memang tidak tahu banyak. Aku juga tahu bahwa dia sudah tidak perjaka lagi saat kami menikah. Hal yang tidak menjadi masalah bagiku, asalkan dia tidak bermain perempuan selama kami menikah. Dia menepati janjinya. Memiliki anak dengan perempuan lain adalah sebuah rahasia yang besar dan aku yakin Bakti tidak akan bisa menutup mulutnya dariku. Tetapi uang sebanyak itu cukup untuk menutup mulut seorang perempuan dan membesarkan seorang anak sampai tamat sekolah. “Tidak, Rora. Bakti tidak mungkin punya anak dengan p
Tanganku refleks menyentuh pipi depanku dan aku merasakan cairan. Aku tidak sadar bahwa aku menangis. Aku segera menyeka kedua pipiku dengan punggung tanganku. Memalukan sekali. Aku malah menangis di depan orang lain. Namun Ben kelihatannya baik-baik saja. Tidak ada luka yang terlihat oleh mata. Tidak ada benjol di kepala, jalannya juga normal dan tidak pincang, lalu kedua tangannya berfungsi dengan baik. Dia tidak mengerutkan kening yang menunjukkan dia sedang menahan sakit. “Ka-kamu tidak memeriksa keadaan ponselmu. A-aku tidak bisa menghubungi kamu dan Karno juga lupa membawa ponselnya bersamanya.” Aku menarik napas panjang menyadari suaraku terisak. “Aku pikir sesuatu yang buruk terjadi padamu.” “Oh.” Dia melihat ponselnya, lalu mengeluarkan ponsel yang kedua. “Maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa ponselku kehabisan daya. Maaf, aku sudah membuat kamu khawatir.” “Aku tidak punya nomor Nelson, jadi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa untuk mengetahui keadaanmu. Aku ingin bert