Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,
Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut
Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se
Aku diam sejenak dan tidak tergesa-gesa menanggapi kalimatnya itu. Seingatku, tidak ada satu poin pun dalam surat perjanjian pranikah kami yang membahas tentang pekerjaanku. Lagi pula aku terikat kontrak kerja, tidak mungkin bisa meninggalkan posisiku sembarangan. Selama aku menikah dengan Ben, dia akan memberi aku uang bulanan yang cukup besar. Jumlah uang itu jauh lebih besar dari gajiku sebagai sekretaris Pak Luis. Bila aku tidak bekerja, maka aku tidak akan kekurangan uang. Aku yakin uang pemberiannya itu tidak akan habis aku gunakan. Aku akan tinggal bersamanya, makan di rumahnya, tidak ada yang perlu aku beli dengan uangku sendiri. Tetapi ketika kami bercerai nanti, bagaimana aku membiayai hidupku? Meskipun dia akan memberi aku banyak uang saat kami berpisah, uang itu hanya akan aku terima apabila kami genap menikah selama satu tahun. Usia manusia tidak ada yang tahu, bagaimana kalau kakeknya meninggal dalam waktu dekat? Aku tidak akan mendapat uang satu miliar yang tertera pad
Dia tertawa kecil. “Apa kamu tidak membaca detail properti yang aku miliki? Ini bukan satu-satunya apartemen di gedung ini yang aku punya, Ima.” Wow. Dia tidak membeli sebuah penthouse melainkan beberapa apartemen? Itu di luar dugaanku. “Ben, daftar harta yang kamu miliki ada banyak dan aku tidak tertarik membacanya. Semua itu milikmu, untuk apa aku menghafal semuanya?” Dia berjalan menuju ruang tengah, aku mengikutinya. “Karno tinggal di apartemen nomor tiga, sedangkan Gayuh dan Mara di apartemen nomor dua. Mereka adalah pengurus apartemenku. Mara juga bertugas sebagai koki. Tetapi sebulan sekali aku meminta mereka untuk memanggil jasa untuk membersihkan ketiga apartemen secara menyeluruh.” Dia duduk di sofa. “Apartemen dua dan tiga yang ada di lantai ini juga?” tanyaku mengonfirmasi. “Iya. Gayuh dan Mara sudah menyusun barang-barang pribadi kamu di kamar utama. Aku akan tidur di kamar kedua. Kita hanya tinggal di sini pada hari kerja agar kita tidak perlu berangkat terlalu pagi k
~Benedict~ Pernikahanku dengan Delima hanya sementara, jadi aku tidak mau kami terlalu akrab. Setiap kali dia mengarahkan percakapan kami ke area pribadi, aku memilih untuk diam atau tersenyum. Dia tidak bersikap seperti perempuan manja dan kekanak-kanakan. Begitu dia melihat bahwa aku tidak akan membicarakan hal pribadi, dia tidak marah atau protes. Sebaliknya, dia mencari topik aman sampai aku mau meresponsi pertanyaan atau pernyataannya. Kali ini aku tidak salah memilih istri. Dia bukan sekadar perempuan depresi yang ingin lepas dari utang besar yang melilitnya. Namun dia juga adalah wanita yang memegang kata-katanya. Dia tidak lari dari pernikahan kami dan sepertinya dia adalah istri yang baik yang suka melayani suami. Selama suaminya masih hidup, dia pasti sering membuatkan makanan atau minuman untuknya. Aku terbiasa menerima tatapan jijik, kasihan, atau mengejek dari perempuan, bahkan laki-laki, yang melihat keadaanku. Tetapi dia tidak pernah melihat aku seperti itu. Dia bersi