“Thumbelina! Akhirnya kamu sampai juga. Aku sudah menunggu-nunggu kamu dari pagi, aku pikir kamu tidak jadi datang hari ini.”
Hanna lumayan terkejut saat salah satu adik Arsenio langsung berlari keluar rumah begitu Hanna sampai di kediaman Arsenio.Ketika Hanna perhatikan lebih lanjut, Hanna menebak bahwa wanita di hadapannya adalah Karina Tanya Ganendra, adik terakhir dari Arsenio yang memiliki wajah secantik mutiara.“Maaf, aku terlambat. Tadi jalanannya sangat macet,” kata Hanna seraya tersenyum, berusaha agar terlihat baik di hadapan Karina.Karina segera mengibaskan tangannya. “Jangan khawatir, kamu nggak perlu minta maaf. Aku cuman tidak sabar buat ketemu kamu! Kemarin kita tidak sempat ngobrol karena pestanya sangat ramai, bahkan aku susah mendekati kamu saat kamu selalu jadi pusat perhatian di pesta.”Hanna, “Ah, itu kesalahanku. Seharusnya aku lebih memperhatikan adik ipar di pesta daripada tamu yang lain.”“Eh? Aku tidak mengatakan itu untuk membuat kamu merasa tidak enak. Sudahlah, lupakan pesta kemarin. Ayo, cepat masuk, kami sudah menyiapkan makan siang untukmu.”Karina menarik tangan Hanna supaya cepat-cepat masuk ke rumah. Sesampainya mereka di ruang makan, Hanna melihat seorang wanita tengah duduk di kursi makan sembari membaca sebuah buku.Nama wanita itu adalah Vanessa Liora Ganendra, dia adalah adik pertama dari Arsenio.Tatkala Vanessa mengangkat kepalanya dari buku, Hanna seketika terkesima. Wajah Vanessa tampak begitu rupawan dan memanjakan mata, bahkan Hanna tak mampu melepaskan pandangannya dari wajah Vanessa.Jika diperhatikan lebih seksama, sesungguhnya Vanessa memiliki kesan yang sama seperti Arsenio. Keduanya memiliki temperamen tenang dan cenderung terlihat acuh terhadap orang lain.“Karina, tidak baik menyeret-nyeret orang seperti itu, kamu bisa membuatnya tidak nyaman,” suara Vanessa mengalun lembut di dalam ruangan.Hanna, “Ah, tidak. Aku baik-baik saja.”“Dengar itu, Kak! Thumbelina tidak keberatan!”Vanessa menghela napas, lalu kembali berbicara saat Hanna dan Karina sudah duduk di meja makan. “Maaf, Karina sudah menjadi penggemar Thumbelina sejak kamu debut. Jadi, dia begitu senang sampai tidak bisa menahan diri.”Hanna tersenyum lembut. “Aku tidak menyangka bisa digemari oleh adik Arsenio. Tapi kalau boleh, apa kalian bisa memanggil namaku saja daripada Thumbelina?”Thumbelina merupakan nama panggung yang digunakan oleh Hanna saat dia bernyanyi, dia bahkan lebih sering mendengar orang-orang memanggilnya dengan nama itu alih-alih Hanna. Akan tetapi, sering mendengar bukan berarti terbiasa.Walau sudah bertahun-tahun dipanggil sebagai Thumbelina, Hanna tetap saja tidak menyukai nama panggilan itu.Karina menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tertawa canggung. “Apa kamu tidak nyaman dipanggil Thumbelina?”Hanna menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Bukan begitu. Aku hanya ingin merasa lebih dekat dengan kalian, jadi lebih baik saling menyapa menggunakan nama asli.”Vanessa mengangguk, dia menyunggingkan senyuman tipis saat berkata, “Baiklah, kamu juga boleh memanggil kami dengan santai, Hanna.”Vanessa menambahkan, “Duduklah, mari makan siang bersama. Aku meminta koki untuk memasakkan banyak makanan yang enak hari ini, semoga makanannya sesuai dengan selera kamu.”Tampaknya, tinggal di kediaman Arsenio tidak seburuk yang Hanna duga.• • •Usai menyantap makan siang, Karina mengantar Hanna ke kamar tidurnya.Tatkala Hanna menginjakkan kaki di dalam kamar barunya, dia merasa kagum karena kamar tersebut tampak luas. Warna kamar Hanna didominasi oleh warna earth tone, sehingga menciptakan kesan lembut dan menenangkan.Terdapat pula sebuah jendela besar di dekat tempat tidur sehingga cahaya matahari bisa masuk dengan leluasa ke dalam kamar.“Apa kamar ini sesuai seleramu, Hanna?” Karina menambahkan, “Kamar Kakakku memang terlihat agak membosankan. Kalau kamu tidak suka, aku bisa bicara dengannya untuk mengatur ulang dekorasinya.”Hanna menggeleng cepat, “Tidak perlu mengatur ulang, begini saja sudah sangat bagus.”Jika dibandingkan dengan kamar Hanna yang ada di rumah Aditya, kamar yang disiapkan Karina jelas terasa lebih nyaman. Saat masih tinggal di rumah Aditya, Hanna bahkan tidak mampu melihat matahari dan memiliki privasi sebagus di sini.“Kalau begitu, aku akan membiarkan kamu istirahat sendirian di sini. Panggil pelayan aja jika kamu butuh sesuatu,” ujar Karina sambil tersenyum.Sepeninggalan Karina, Hanna buru-buru berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanan yang baru saja dia makan.Makan siang yang disiapkan oleh Vanessa memang enak, tapi semua makanan itu mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Setiap kali Hanna menghitung berapa banyak kalori yang sudah dia makan, ketakutan selalu menjalari hatinya, membuat dia merasa pusing dan juga mual. Biasanya, dia lebih memilih untuk tidak makan sama sekali, tapi kini dia tidak mungkin menolak saat sudah dijamu oleh Vanessa.Jika Vanessa atau Karina mengetahui Hanna memiliki eating disorder, mereka mungkin akan menganggap Hanna sebagai orang yang aneh dan melaporkannya kepada Arsenio.Jika sampai itu terjadi, bukanlah hal mustahil bagi Arsenio untuk membatalkan kontrak karena tidak mau menikah dengan wanita problematik sepertinya. Hal itu pasti akan menyebabkan Hanna dipulangkan kembali ke rumah Aditya.Setelah akhirnya bisa keluar dari rumah Aditya, Hanna tidak mau kembali ke cengkraman predator itu lagi.Hanna mengangguk dengan antusias. Dia berpikir kalau ajakan kencan itu adalah kesempatan mereka supaya menjadi lebih dekat, sehingga Hanna bisa memanfaatkan Arsenio dengan lebih mudah di masa depan.Ya, Hanna hanya ingin memanfaatkan pria itu, bukannya senang karena diajak kencan.Setidaknya itu yang dia pikirkan.Namun, entah mengapa jantung Hanna berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar ajakan Arsenio, seolah-olah dia memang sudah menantikan hal itu.“Bagaimana kalau kita pergi ke taman bermain?”Arsenio mengerutkan keningnya. “Kamu yakin? Tempat itu ramai dan mungkin aja ada banyak orang yang akan ngenalin kamu.”Sebagai artis yang wajahnya sering muncul di televisi, masyarakat pasti mampu mengenali Hanna dengan mudah dan pastinya akan berbondong-bodong ingin meminta foto serta tanda tangan.Hanna tampak berpikir sejenak, kemudian mengusulkan, “Kita bisa pakai masker dan topi untuk menyamarkan identitas kita.”Arsenio tertawa. “Bukannya kamu sering melakukan itu dan tetap terta
“Retno, aku ingin kamu caritahu semua hal tentang masa lalu istri saya. Mulai dari orang tua kandungnya sampai panti asuhan tempatnya tinggal dulu.”Arsenio menyandarkan punggungnya ke kursi sambil berkata, “Cepat hubungi saya kalau kamu nemuin sesuatu yang janggal."Setelah menutup sambungan telepon dengan orang kepercayaannya, Arsenio menghembuskan napas panjang. Bekas luka di punggung Hanna masih tercetak jelas di dalam ingatannya.Dia tidak ingin bertanya lebih jauh, karena tampaknya Hanna merasa sangat tidak nyaman saat Arsenio membawa topik tersebut. Karena itu, Arsenio lebih memilih untuk mencari tahu sendiri dan menunggu sampai Hanna siap untuk menceritakan semua masa lalunya kepada Arsenio.Usai mengetahui luka itu, akhirnya Arsenio mengerti alasan Hanna meminta perlindungan darinya. Namun, Arsenio tidak tahu apakah orang yang menyakiti Hanna masih berkeliaran atau tidak.“Arsen.” Hanna membuka pintu balkon dan langsung menghembuskan napas lega
“Kamu yakin tidak berlebihan untukmu?” tanya Arsenio memastikan.Hanna mengangguk. “Mmm … aku tidak apa-apa.”Lagipula, dia sudah biasa bermain keras dengan Arsenio, sehingga permainan lembut akan susah membuatnya mencapai puncak.Setelah mendapatkan persetujuan Hanna, Arsenio mulai menggerakan pinggulnya dengan cepat. Setiap hentakannya mampu menyentuh titik terdalam Hanna, membuat wanita itu hampir berteriak karena dilanda kenikmatan.Arsenio menekukkan kaki Hanna sampai menyentuh dada wanita itu, sehingga kini dia mampu melihat bagian inti istrinya dengan lebih jelas.Setelah Arsenio terus memompa kejantanannya dalam posisi seperti itu. Keduanya sama-sama merasa hampir mencapai puncak. Arsenio mempercepat gerakannya, sementara Hanna melingkarkan kakinya di belakang pinggul Arsenio, memaksa pria itu memperdalam penyatuan mereka.“Ahh!”Hanna mendesah keras, bersamaan dengan geraman rendah Arsenio. Mereka saling berpelu
Brak!Arsenio menutup pintu kamar hotel menggunakan kakinya, sementara kedua tangannya mengangkat tubuh Hanna dan melumat bibir wanita itu.Mereka bahkan belum melepaskan sepatu mereka, tapi keduanya sama-sama merasa tidak sabar untuk mengecap bibir satu sama lain. Ciuman yang awalnya ringan itu membawa candu dan terasa memabukkan, sehingga lama kelamaan berubah menjadi penuh lumatan penuh nafsu yang menggebu-gebu.“Kamu yakin pintunya sudah terkunci?” tanya Hanna di sela-sela ciuman mereka. Napas wanita itu masih terengah-engah, tapi dia masih memikirkan hal lain.“Ini adalah kamar suite. Walau tidak dikunci, tidak akan ada orang yang berani masuk sembarangan,” jawab Arsenio.Ketika Arsenio ingin mencium bibir Hanna lagi, wanita itu menahan kepala suaminya. “Tetap saja, lebih baik pastikan sudah terkunci. Aku tidak mau kena skandal.”Arsenio akhirnya menjawab dengan serius, “Tenanglah, pintunya otomatis terkunci saat tertutup. J
“Bersama siapa biasanya kamu pergi ke pantai?” tanya Arsenio, memecahkan keheningan di antara mereka.“Sendiri.” Hembusan angin laut menerpa rambut panjang Hanna, membuat Arsenio mampu melihat ekspresi sedih istrinya dengan jelas. “Tidak ada yang bisa kuajak pergi, jadi aku selalu pergi sendiri.”Ekspresi sedih itu entah mengapa membuat Arsenio merasa tidak nyaman, seolah-olah kesedihan Hanna merupakan hal yang tabu untuknya.Dia seharusnya tidak memperdulikan hal itu, mengingat kontrak pernikahan mereka melarang keduanya untuk bermain-main dengan perasaan.Namun, malam ini, rasanya Arsenio sudah melupakan isi dari kontrak tersebut dan ingin menggali kehidupan Hanna lebih dalam lagi.Tampaknya, lepasnya topeng bahagia yang selalu dikenakan Hanna telah berhasil mendobrak dinding yang ada di hati Arsenio.“Jika aku sedang tidak sibuk, mungkin aku bisa menemanimu pergi ke pantai,” kata Arsenio.Perkataan Arsenio sontak membuat Hanna terkejut, wanita itu bahkan diam-diam mencubit tanganny
“Maaf, aku membuat bajumu kotor,” kata Hanna seraya berusaha menghapus air mata di wajahnya.“Maaf, sudah membuatmu repot malam-malam begini, Arsen.”Arsen berdecak. “Sekali lagi kata maaf keluar dari mulutmu, aku akan menyuruhmu pulang jalan kaki.”Dengan wajah cemberut, Hanna membalas pelan, “Tapi nanti kakiku sakit.”Arsenio membeku. Hanna sepertinya masih agak mabuk, sehingga membalas dengan jawaban polos. Namun, sikap mabuknya itu malah terlihat menggemaskan di mata Arsenio, sampai-sampai membuat pria itu salah tingkah.“Aku tidak serius Hanna,” Arsenio berkata, “Tapi sungguh, tolong berhenti minta maaf, karena kamu sama sekali tidak salah.”Hanna, “Maaf, aku akan berhenti.”Arsenio meringis saat mendengar Hanna masih menggunakan kata maaf. “Hanna ….”Hanna akhirnya tidak membalas lagi, karena merasa takut akan mengucapka