{Benarkah pertemuan dan perpisahan hanya berjarak satu senti?}
"Cantik?" tanya Yava."Relatif," jawabnya singkat, namun pandangannya masih tertuju kearah wanita yang menari lincah di atas panggung itu."Lo kenal?" imbuhnya sambil meletakkan sisa rum di atas bar table."Mau tidur sama Dia mah, nggak perlu kenalan," pungkas Yava meremehkan."Trus?" desaknya masih dengan rasa penasaran yang mengganjal hati."Gampang..., tinggal booking aja. Bisa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, tapi Dia nggak mau ada ikatan," tutur Yava seolah tahu seluk beluk pelacur yang sedang dibahas malam itu."Ikatan, maksudnya?""Itulah istimewanya. Silakan cari tahu sendiri kenapa Dia nggak mau ada ikatan!""Satu lagi, Dia juga nggak mau ada yang ngontrak waktunya seumur hidup!" jelas Yava sebelum berjalan menuju pintu keluar, disusul dengan sahabatnya yang masih menyimpan sejuta pertanyaan itu.***Waktu itu malam pergantian tahun, pesta seakan tak pernah usai. Semua orang telah menikmati akhir tahun dengan gembira. Badai aphrodite berhamburan dimana-mana seiring dentuman musik yang menggema di seluruh ruangan yang hampir setiap sudut kepala dihinggapi libido tak terkendali.Tak lama kemudian sebuah pertunjukan sexy dancing dimulai.Mistha menjadi pemeran utama dalam pertunjukan itu, highills ungu yang terhentak-hentakan pada lantai panggung Brassery pun membuat jantung semua pria seolah meletup-letup. Ia menari lincah sekali menirukan gaya Beyonce mirip pada sebuah vidio clip single Love on Top.Semua mata binal pun tertuju kearah dada Mistha yang hanya tersintal renda lingeri selutut itu."Barang baru?" tanya Hans pelanggan setia Lugitha.Lugitha mengangguk tanda meng-iya'kan pertanyaan pria hidung belang satu itu."Berapa?" tanya Hans."Gratis, khusus buat lo!" jawab Lugitha sembari menatap sinis kearah Mistha.Hans, tersenyum simpul. Mengarahkan gelas berisi brandy itu kearah Lugitha, tanda membuat persetujuan. Cheers!Sementara di sisi lain, Vall Ankala menerima uluran sebotol absinth dari Mistha. Terlihat dari cara duduknya, pria itu nyaris seperti penguasa maha segalanya. Berada ditengah-tengah sekat pembatas sofa besar, tempat biasa orang-orang menumpahkan serotonin."Kerja bagus!" ucapnya sembari memicingkan sebelah matanya kearah Mistha.Menurut Vall, Tak ada yang mampu digunakan untuk melunasi hutang keluarganya selain menjual harga diri Mistha. Di samping itu, Mistha merupakan prospek bagus untuk dijadikan sumber kekayaan yang akan mengisi pundi-pundi uang di dalam rekening tabungannya.Keparat! Mistha mendengkus.Lalu kembali mengitari sofa melingkar yang seketika menjadi lautan hidroksil mendidih itu, sebab ia dituntut untuk membuat semua pria yang bergumul di sana harus menghabiskan malam pergantian tahun kali ini dengan senggama. Tentu, karena terpaksa!Bajingan! umpatnya lagi. Mistha mendecih melihat gelak tawa semua orang yang merasa tak berdosa.Tak lama kemudian dari arah kerumunan sofa berasap pekat itu, seorang pria tergelempar di lantai dengan mulut penuh busa. Seketika suasana berubah tegang, tak ada gelas berputar, canda tawa menggelak, ataupun kepulan asap rokok yang melebihi tungku kompor kebakaran lagi, yang ada hanya jeritan misterius, dan keadaan yang butuh pertolongan serius.Sementara Mistha sudah berada di tempat lain setelah melangkahi pria yang sepertinya sudah terbujur kaku di lantai itu. Menatap nyalang tanpa kasihan, menghisap rokok, menenggak sisa gin di tangan kirinya. Lalu kembali melangkah mantap menuju pintu keluar.“Mistha!”Langkahnya terjegal oleh panggilan seseorang dari arah belakang, Mistha menghentikan langkahnya tanpa menoleh.Lalu menghampiri wanita yang tengah bersedekap di belakangnya."Datangi tempat ini," perintahnya sembari menyodorkan secarik kertas berisi alamat dan nomor kamar hotel yang harus Mistha datangi untuk melampiaskan nafsu bejatnya."Ah... wangi sekali tubuhmu, Sayang," Hans Mendesah di dekat telinga Mistha begitu tiba di kamar hotel yang telah dipesan Lughita.
Dalam sekali rengkuh, Mistha hampir tak mampu berkutik dari dekapan tubuh bidang pria binal yang ada di belakangnya saat ini.
Mistha membalikkan tubuhnya.
"Tunggu. Ada yang terlupakan, Pak!" Mistha menjeda birahi Hans yang mulai meranggas.
"Apa lagi Sayang?" goda Hans sembari tetap menggerayangi tubuh, serta menciumi wajah oriental Mistha tanpa jeda, tentu pria binal semacam Hans sudah tak tahan melihat isi dada yang ada di balik lingeri merahnya.
Mistha menunjuk kearah tas yang telah disiapkan sebelum mendatangi alamat yang diberikan Lugitha, kemudian Mistha memborgol tangan Hans, menutup matanya dengan kain silk, serta mengikat leher Hans dengan kumparan simpul gantung. Hans menyerah, saat Mistha mulai menumpukan kedua tangan yang siap diborgol itu di atas dadanya. Mistha menyeringai puas, saat melihat Hans mulai menciut, dengan posisi setengah duduk. Mistha terbahak sembari memainkan pecut cosplayer di leher Hans, lalu mendorong punggung Hans dengan menginjakan Hils merahnya.
"Lepaskan Aku, bajingan!" Hans naik pitam. Namun, upaya Hans untuk memberontak semakin membuat Mistha ingin segera menghabisi nyawanya.
"Mission Completed!" Mistha mendengkus, lalu meninggalkan kamar panas itu tanpa jejak.
Demi apapun, semua keparat itu harus mati! Satu per satu.
Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat muncul di toggle notifikasinya.
Khatila: Gue ada clien buat lo.
Mistha: Gede nggak? Balas Mistha.
Khatila: Lo yang mau nyobain kok pakai nanya, lo kira semua clien udah pernah gue coba. Ejek Khatila
Mistha: Duitnya fuck! Bukan Anu-nya! Pungkas Mistha.
Khatila: Tebel, tenang aja!
Mistha: Lo udah tahu semua ketentuan-ketentuan dari gue, ‘kan?
Khatila: Valid! Gue kasih Short aja, soalnya banyak yang nunggu lo.
Mistha: Siapa namanya? tanya Mistha, namun Khatila tidak merespon pesan terakhir yang dikirim Mistha.
Ghara menghela napas panjang, memejamkan mata sebentar, sembari melonggarkan kancing atas krah, seraya menyandarkan diri ke kursi kantor. Ekor matanya merambat kearah atap berusaha melepas penat yang terasa sangat melelahkan sekali. Sebab kasus yang kini harus ia tangani nyatanya tak semudah menangkap komunitas mucikari.Selang beberapa saat terdengar daun pintu kantornya terketuk. Pria bermanik mata spektrum blue itu menilik ke sumber suara, kemudian berdiri dan membuka pintu."Rapatnya akan dimulai sepuluh menit lagi, jangan buang waktu Bu Dea buat nungguin lo," ucap Dimas salah satu rekan kerjanya."Duluan Dim, bentar lagi gue nyusul," balasnya sambil menatap rekannya itu tanpa minat.Terdengar ketukan pantofel beradu dengan granit, semakin lama bunyinya kian nyaring. Pertanda sebuah kaki mendekat, sosok tampan yang terlihat dari manik mata tajamnya membuat Ghara pria dewasa yang sudah berkepala tiga itu masih saja terlihat manis.Malam yang hampir larut nyatanya tidak membuat sebua
Selesai mandi. Terlihat dari pantulan cermin, Mistha sedang mengenakan dalaman warna merah yang dipadukan dengan maxi dress tipe bonnie belahan selutut. Lengkap dengan jam tangan yang sedang diikatkan di pergelangannya, serta tas merk senada. Setelah menyisir rambut, Mistha mengintip sebuah ponsel yang bergetar di atas kasur. Sebuah pesan masuk dari nomer yang tersimpan dikontak, “Bajingan Tua". Bajingan Tua: Bersiap-siaplah untuk segera membusuk di penjara wanita gila. Anda berani bermain-main dengan Saya, silakan terima resikonya. Saya rasa Anda perlu menyiapkan dana untuk menebus mucikari baru dan hutang-hutang Anda sekarang juga! Shit! Mistha mengumpat kasar setelah membaca pesan yang baru saja dikirim Vall Ankala. Persetan! Gerutunya sekali lagi. Rupanya Vall Ankala berhasil membuat darah Mistha berdesir hebat dari ujung kaki hingga kepala. Terlihat dari gelagat Mistha yang mulai merasa amarahnya sudah memuncak sampai ubun-ubunnya, mengacak-acak rambut, mengusap wajah tegangn
Setelah mengantar Mistha ke apartement, Ghara langsung menuju ke kantor demi memenuhi panggilan dari Bos besarnya. "Pak, Ghara," Panggil Laurent sekretaris Erick Choii, begitu melihat Ghara melintasi bilik ruang kerja. Ghara mendongak tanpa bicara. Menyayangkan langkahnya yang separo sudah di ambang pintu ruang kerja. Sementara Laurent hanya berisyarat kecil dengan memiringkan jempol kanannya kearah ruangan Erick Choii. Ghara mengangguk tanda mengerti. Selang beberapa saat, karena tidak ingin terlalu lama mengacuhkan permintaan Bos besarnya itu, akhirnya Ghara bersiap untuk menuju ruangan Erick. Ghara berdehem sebelum mengetuk pintu, lalu disambut hangat oleh Laurent yang setia membukakan pintu setiap tamu yang berkepentingan dengan Erick. "Silakan duduk," sambut Erick sembari tersenyum lebar. Tentu hal ini sangat aneh, aneh sekali. Belum pernah sekalipun Ghara melihat Erick sehangat ini saat bicara dengan semua bawahan di kantor Biro Investigasinya. "Buka," Perintah Erick setela
Sesuai kesepakatan yang telah disetujui kemarin, akhirnya hari ini Ghara dan Mistha terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara reuni keluarganya. Melihat Mistha yang tampak masih belum terlalu fokus dengan apa yang telah direncanakan Ghara. Dalam perjalanan itu, Mistha masih tampak belum begitu yakin dengan semua hal yang akan terjadi di luar ekspektasinya, gelagat anehnya pun mengundang rasa penasaran Ghara. "Mistha..." "Hmm..." Ghara mengulurkan segelas coffe yang baru saja dibeli sebelum masuk ke dalam bandara. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha menerima uluran gelas itu tanpa mengindahkan kehadirannya. Mistha diam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sekarang. "Cerita aja kalau memang lagi ada masalah, siapa tahu Saya bisa bantu," tukas Ghara setelah mencecap coffe yang ada di tangan kirinya. Mistha menghela napas panjang, sembari memandangi gelas coffe yang ada di tangannya. "Setiap orang pasti punya masalah masing-masing. Saya tahu, dikontrak memang Anda
Sorenya semua keluarga Ghara sudah berkumpul di rumahnya. Termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari bapaknya, karena memang kebetulan acara reuni yang dihadiri semua keluarga besar hari ini bertepatan dengan acara arisan yang kebetulan bapak dan ibu Ghara yang menjadi tuan rumahnya. "Dek, kata Ibu. Kamu tadi siang janji sama Bapak?" tanya kakak perempuan Ghara. Ghara tak menjawab, masih menimbang-nimbang jika ia disuruh menepati janji itu hari ini. "Kamu sudah tahu kondisi, Bapak kayak gimana, 'kan?" imbuh kakaknya begitu tidak mendapat jawaban dari Ghara. "Kak-" "Dek," sergah kakanya cepat. "Nunggu apa lagi, Mistha udah sesuai dengan harapan Ibu sama Bapak. Lihat semua saudara juga udah mendukung kalian, mau nunda sampai umur berapa lagi. Kurang apa lagi, Mistha cantik, sholeh, rajin." ucap kakaknya sembari menoleh kearah Mistha yang tengah membenarkan posisi jilbabnya. "Tapi nggak harus sekarang, Kak!" bantah Ghara. "Masmu sudah menyiapkan semuanya, Bapak yang nyuruh. Aca
Mistha beranjak ke kamar mandi pagi itu. Membasahi wajah, sikat gigit, lalu mengganti pakaian yang masih digunakan semalam. Sejenak langkahnya terhenti begitu melihat Ghara yang masih tertidur pulas di atas sofa. Mistha memandangi wajah oval Ghara, ternyata Ghara termasuk hasil pahatan Tuhan yang sempurna, gumamnya. Alis tebal, jambang tipis disekeliling rahang tegasnya, serta anak rambut yang memenuhi kening, membuat Ghara tidur saja masih terlihat memesona. Apalagi jika Mistha menatap manik mata spectrum Ghara. Satu hal yang sangat dihindari Mistha adalah jatuh cinta, terlebih jatuh cinta kepada pria yang saat ini tengah dipandangi. Hati dan pikiran Mistha benar-benar berperang! Saat hati ingin berperan, namun pikiran berkata tinggalkan. "Sudah bangun, Nduk," sapa ibu Ghara mengagetkan Mistha. Mistha membalas senyum ucapan wanita yang sedang memakai mukena. "Mau ikut Sholat di Masjid?" imbuhnya. Mistha gelagapan, lalu menggaruk-garuk kepala yang benar-benar gatal karena jilbab y
Ghara mengetuk pintu kamar Mistha. Tidak ada sahutan dari sana, lalu Ghara menyeruak masuk begitu tidak mendapat respon apa-apa. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha seperti dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Mistha," tanya Ghara sekali lagi, begitu melihat Mistha hanya duduk sembari memegangi kedua tungkai. "Hei, ada apa?" tanya Ghara lagi sembari mendekati Mistha yang sudah merubah posisi dan menggigit jari jemari. "Kita balik ke Jakarta sekarang!" jawab Mistha lirih. "Iya, balik. Cerita dulu ada apa?" desak Ghara masih penasaran. "Nggak usah ikut campur masalah gue. Ngerti!" bentak Mistha dengan sebutan yang sudah berbeda. "Saya masih Suamimu, jadi sudah seharusnya tahu masalahmu!" tukas Ghara sedikit meninggi. "Ghara! Lo-" Mistha mendelik, sembari mengarahkan satu jari tepat di depan wajah Ghara, lalu Mistha mendengkus memukul agin berusaha membuang kekesalannya."Sttt..., tenang dulu. Nggak perlu emosi kayak gitu, iya oke, fine. Saya nggak akan cari tahu dan
"Mistha," sapa Ghara saat mendapati Mistha yang tengah duduk termenung di kursi ayunan taman samping rumah Ghara. Mistha merubah posisi yang semula menyangga dagu dengan kedua tangan di atas paha begitu melihat Ghara berdiri di hadapannya dan membawa shoping bag, lalu Ghara menyodorkan benda tersebut kearah Mistha. Sebuah explosion box warna pink. "Buka," perintah Ghara. "Apa?" tanya Mistha sembari memandangi Ghara yang tangan kanannya masih di dalam satu saku celana, berdiri diam dengan seringai wajah handsomenya. "Buka," perintah Ghara lagi. Mistha menerima uluran explosion box dari tangan Ghara, lalu menarik ujung pita benda tersebut. Terbelah menjadi empat bagian sama rata, namun di dalam box itu masih ada box kecil terbungkus rapi kain berwana pink muda. "Box yang satunya jangan dibuka dulu kalau Kamu belum benar-benar membutuhkannya," ucap Ghara, sementara Mistha masih sibuk membaca setiap sisi yang tertuliskan, Blessed, House, Happyness, dan Help. Tentu Mistha sangat penas