LOGINYuze meletakkan sendok supnya dengan dentuman kecil, menatap Anli dengan sorot dingin.
“Ternyata, kau cukup pandai menahan diri. Tapi jangan salah sangka, di rumah ini, bukan berarti kau dihormati hanya karena bisa bicara tenang.”Ia menyibakkan koran, lalu menambahkan dengan nada menghina, "kalau aku bilang kau budak, maka bahkan pelayan pun di atasmu. Jadi, kalau mereka menertawakanmu, anggap saja itu tempatmu yang sebenarnya.”
Pelayan-pelayan di sekitarnya langsung tertawa lepas, kali ini tanpa perlu menutup mulut. Seorang pelayan pria berani menambahkan, “Benar, Nyonya… kalau ingin dihormati, paling tidak gunakan mata Anda dengan benar.”
Tawa meledak, menusuk telinga.
Namun Anli tidak goyah. Ia hanya mengangkat wajahnya sedikit, menoleh ke arah suara si pelayan pria, seolah matanya yang buram mampu menembus wajahnya. Senyum tipis muncul.
“Lucu. Seekor anjing pun bisa menggonggong keras kalau majikannya memberi izin. Tapi ujung-ujungnya, tetap saja anjing. Tidak lebih.”Tawa mendadak berhenti. Beberapa pelayan tercekat, saling melirik panik, sementara wajah si pelayan pria memerah karena murka.
Yuze terdiam sesaat, lalu tawa dingin lolos dari bibirnya.
“Berani juga lidahmu, ya. Hati-hati, Anli! Anjing bisa menggigit kalau dipancing terlalu jauh.”Anli meraih sendoknya kembali, mengaduk bubur hambar itu tanpa tergesa. Suaranya lembut, tapi menusuk.
“Saya tidak takut gigitan anjing, Tuan Qin. Yang kutakutkan hanya kehilangan diriku sendiri. Dan itu tidak akan pernah terjadi, bahkan di rumah ini.”
Sejenak ruangan jatuh hening. Para pelayan menunduk, tak tahu apakah harus kembali menertawakan atau justru gemetar karena keberanian Anli.
Yuze menyipitkan mata, jelas tidak terbiasa menghadapi lawan bicara yang tidak gentar, apalagi dari seorang gadis buta yang dianggapnya sampah. Namun alih-alih marah, ia hanya meneguk kopinya perlahan, bibirnya menyunggingkan senyum tipis penuh ancaman.
“Bagus. Pertahankan arogansimu itu… sampai aku hancurkan sendiri suatu hari nanti.”
Selesai sarapan hambar itu, Anli bangkit perlahan dari kursinya di ujung ruangan. Tanpa menoleh, ia meraba meja sebentar, lalu berjalan keluar dengan langkah tegap.
Ia berjalan pelan menyusuri halaman samping, menyentuh dinding-dinding rumah untuk menghafal letak ruang dan jalan setapak.
Walau buta, ia punya cara sendiri, menghitung langkah, mendengar gema, bahkan merasakan arah angin. Pelayan-pelayan yang mengintip hanya bisa mencibir, “Seperti kucing liar, mondar-mandir tanpa tujuan.”
Beberapa pelayan mengikuti dengan tatapan mengejek. Salah satunya, seorang pelayan muda berwajah licik, sengaja menjulurkan kaki di jalur Anli saat gadis itu melintas. Ia bahkan menahan tawa, membayangkan bagaimana “Nyonya Buta” itu akan jatuh tersungkur.
Namun sebelum kakinya benar-benar mengait gaun, Anli berhenti setengah langkah. Kepalanya sedikit menoleh, telinganya menangkap suara gesekan kain dan tarikan napas kecil yang tak biasa.
Tanpa ragu, ia menggeser langkahnya ke samping. Dalam sekali gerakan ia berbalik setengah lingkaran, melewati kaki yang terjulur dengan mulus, seolah sedang menari.
Pelayan itu membeku. Kakinya masih terjulur di lantai, tapi Anli berjalan melewati dengan kepala tegak, sama sekali tidak tersandung.
Yang lebih mengejutkan, Anli bahkan sempat menoleh samar ke arah suara, bibirnya melengkung tipis.
“Kalau kamu ingin menjatuhkan seseorang, sebaiknya jangan lakukan dengan langkah ceroboh. Suara napasmu terlalu jelas.”
Pelayan itu pucat, mulutnya terbuka tapi tak bisa berkata-kata. Teman-temannya yang ikut menonton buru-buru menahan tawa, antara kaget dan tak percaya.
Anli melangkah tenang menuju taman dalam, jemarinya sempat menyentuh pilar marmer sebagai penanda arah, lalu ia terus berjalan seakan mata butanya bukan kelemahan, melainkan senjata.
Sementara di belakang, pelayan yang gagal menjebaknya hanya bisa menggertakkan gigi.
Udara pagi di taman dalam keluarga Qin terasa sejuk, dedaunan berkilau karena embun. Anli berjalan perlahan di jalur setapak berbatu, tangannya menyentuh lembut pagar tanaman rendah, kepalanya tegak seolah ia bisa melihat semua yang ada di sekeliling.
Dua pelayan muda mengikuti dari belakang, berbisik sambil menahan tawa.
“Ayo coba sekali lagi. Katanya dia lincah, kan?”
“Hah, gadis buta mana mungkin bisa menahan diri kalau digertak.”
Salah satu dari mereka mendahului, pura-pura menata pot bunga di jalur sempit. Saat Anli mendekat, pelayan itu mendadak mendorong pot besar agar meluncur ke arah kaki Anli.
Namun, detik terakhir sebelum pot itu menabrak, Anli berhenti. Tubuhnya sedikit miring, lalu ia melangkah ke samping dengan gerakan ringan. Pot itu lewat begitu saja, hanya menyentuh ujung kain gaunnya.
Pelayan-pelayan itu melongo. “A-apa tadi dia… mendengar suara pot?”
Anli tersenyum tipis, meski wajahnya tetap menghadap kosong. “Bau tanah basahnya tercium jauh sebelum aku sampai.”
Pelayan itu menelan ludah, sementara temannya melirik takut-takut.
Dari beranda lantai atas, Madam Qin berdiri diam sambil bertopang pada tongkat peraknya. Tatapan tuanya meneliti sosok Anli yang berjalan tenang, seperti gadis yang sudah terbiasa hidup dengan dunia tanpa bentuk, tapi tidak pernah kehilangan kendali.
Senyum samar muncul di wajah Madam Qin. Ia berbisik lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.
“Gadis ini… tidak selemah yang mereka kira.”Dua hari sebelum keberangkatan Ling Yue. Ruang bawah tanah itu dipenuhi bau karat dan debu. Cahaya kuning redup lampu generator memantul di dinding beton yang retak, menambah kesan muram tempat persembunyian keluarga Zhao.Zhao Wenchang duduk di kursi besi tua, tongkat hitamnya mengetuk lantai ritmis, irama yang membuat semua orang tegang. Di hadapannya, Zhao Mingde berdiri kaku, tablet besar di tangannya menampilkan rekaman dari pos barat yang baru mereka peroleh lewat jalur gelap.Rekaman itu sempat diputar berulang-ulang.…Yifan muncul dari hutan, menggendong Putri Bai Ling di punggungnya. …Yifan mengangkat tangannya tanpa melawan pengawal Yancheng. …Yifan memberikan kontak pribadinya kepada sang putri. …Dan Putri Bai Ling memintanya dibebaskan.Rekaman berhenti.Keheningan hancur oleh suara tongkat yang menghantam lantai dengan keras.PRANG!“Anak itu…” ucap Wenchang dengan suara yang sangat pelan namun penuh ancaman. “Berani menyentuh garis keluarga.”Lihua, yang duduk di sudu
Yifan Berdiri Tepat di Depan Ling Yue. Hanya berjarak satu meter. Pemuda itu tidak berani mendekat lebih jauh… karena jantungnya terasa ingin meledak hanya dengan berdiri di sini.“Saya… mendengar Anda akan pulang besok,” katanya pelan.Ling Yue mengangguk. “Ya.”Ada jeda panjang. Yifan menelan ludah, lalu dengan suara yang hampir pecah, ia berkata."Jika saya belum pernah bilang ini dengan benar… maka izinkan saya mengatakannya sekarang.”Ling Yue menatapnya masih dengan mata bening yang sama. “Apa itu?”Yifan menarik napas panjang. “Saya… berterima kasih karena Anda tidak membiarkan mereka menangkap saya. Karena Anda begitu mempercayai saya.”Tatapan Yifan jatuh ke tanah sesaat.“Saya tidak punya apa pun untuk diberikan padam Anda. Tidak punya gelar, tidak punya kedudukan, tidak punya tempat untuk kembali. Tapi, kalau suatu hari nanti…”Ia mengangkat wajah, matanya bergetar.“Anda membutuhkan saya meski hanya sekali… saya akan datang.”Ling Yue tersenyum lembut. “Yifan.”Saat itu… Y
Siang hari di rung tamu utama. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela tinggi, memantulkan kilau lembut di lantai marmer. Para pelayan berdiri berjajar di luar, menjaga suasana formal karena seorang tamu kerajaan hendak bertemu Raja Muda.Ling Yue masuk dengan anggun, mengenakan pakaian sederhana namun tetap elegan. Ai Fen mengikuti di belakangnya seperti bayangan protektif.Zhenrui berdiri di dekat jendela besar, membelakangi mereka, tangan di belakang punggung seperti bi. Tenang, tegas, berwibawa.Tapi begitu Ling Yue mendekat, ia menoleh dan tersenyum tipis.“Yang Mulia Putri Bai Ling. Aku senang melihatmu kembali pulih.”Ling Yue membalas anggukannya. “Terima kasih atas perhatianmu, Yang Mulia Raja Muda.”Ai Fen membungkuk hormat… sementara matanya diam-diam mengamati Zhenrui, seakan menilai apakah pemimpin ini layak dipercaya.Zhenrui mengambil satu map holografik dari meja, menyerahkannya kepada Ling Yue.“Persiapan untuk kepulanganmu sudah selesai. Kapal udara diplomat
“Tidak apa,” ujarnya datar. Lalu ia memalingkan wajahnya sedikit. “Mengapa kau ada di sini?” tanyanya, suara turun hampir jadi bisikan.Meilin menggenggam kain dengan gugup. “Anda bilang, hari ini latihan diliburkan lagi, tapi saya tetap harus memastikan peralatan siap besok pagi,” katanya lembut. “Saya juga membawa salep baru dari Kakak An. Untuk memar-memar Yang Mulia yang… kadang tidak Anda sadari.”Zhenrui menggigit lidahnya agar tidak memaki dirinya sendiri.'Kenapa dia harus sebaik itu…?'“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” jawab Zhenrui sambil berusaha melewati Meilin.Namun…Meilin, yang awalnya ingin memberi jalan, bergerak ke arah yang sama.Zhenrui ke kiri. Meilin ikut ke kiri. Zhenrui ke kanan. Meilin ikut ke kanan. Keduanya berhenti. Keduanya menegang dan salah tingkah.Meilin menunduk cepat. “M—maaf!! Saya… saya tidak sengaja! Saya akan minggir!”Tapi karena terlalu gugup, Meilin malah mundur terlalu cepat dan tersandung sedikit oleh ujung karpet.Refleks, Zhenrui merai
Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela besar koridor timur, menciptakan garis-garis cahaya di sepanjang lantai marmer. Istana Yancheng terasa hidup kembali prajurit berpatroli, pelayan mondar-mandir, dan aroma bubur ayam dari dapur istana menyebar ke semua paviliun.Semua tampak normal, tenang. Tidak ada yang ganjil, kecuali satu hal:Raja Muda Yancheng secara mencurigakan terus mengubah rutenya agar tidak satu lorong pun berpapasan dengan Meilin.---Pagi di Paviliun Timur...Meilin mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Kakak An… saya masuk.”Anli yang sedang bersiap makan sarapan tersenyum.“Pagi, Meilin. Kamu datang terlambat lagi."Meilin langsung pucat. “M-maaf! Saya—”“Aku bercanda,” kata Anli sambil tertawa lembut. “Apa Kakak Rui sudah sarapan?”Meilin menggeleng cepat. “B-belum, saya belum menemui beliau sejak fajar menyingsing”Anli mengerutkan alis. “Tidak biasanya. Biasanya kamu ke ruang kerjanya dulu kan?”Meilin menunduk, pipinya memanas. “Ehm… hari ini saya… diminta un
Meja panjang dari kayu gelap itu biasanya digunakan untuk menjamu bangsawan tingkat tinggi. Tapi siang ini, hanya ada lima orang di ruangan.Zhenrui, duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Yuze, duduk di sisi kanan, tegang seperti prajurit yang salah baris. Anli, di sisi kiri, tersenyum manis meski buta dan mencium aroma kekacauan. Ling Yue, tamu kehormatan yang baru saja selamat dari pembunuhan. Dan di belakang mereka, dengan wajah merah padam dan tangan gemetar, Meilin, berdiri sebagai pelayan meja.Sebenarnya Anli sudah memaksa Meilin untuk duduk bersama. “Meilin, duduklah! Kamu juga bagian dari keluarga kami.”Namun gadis itu menggeleng cepat seperti burung kecil.“Tidak, Kakak An! Tugas saya… melayani. Itu posisi saya…”Zhenrui yang baru masuk ruangan lalu menambahkan singkat.“Biarkan saja dia berdiri.”Meilin hampir menjatuhkan nampan.Yuze menatap Zhenrui tajam. Anli terkekeh kecil, tahu persis kenapa kakaknya berkata begitu.Ling Yue yang baru duduk, menatap ketiganya dengan







