Share

3. Direndahkan

Author: Donat Mblondo
last update Last Updated: 2025-08-18 03:38:36

Pesta berakhir larut malam, setelah tamu terakhir pamit dan aula kembali sunyi. Lampu kristal dipadamkan satu per satu, meninggalkan bayangan panjang di dinding marmer.

Yuze berjalan lebih dulu, langkah cepat tanpa menoleh, seakan tak peduli apakah Anli bisa mengikutinya atau tidak. Gaun panjang itu hampir menyeret lantai, tapi Anli tetap berusaha menjaga tenang.

Di depan kamar pengantin, Yuze membuka pintu dan berdiri sebentar, tatapannya tajam seperti pisau.

“Dengar baik-baik,” katanya blak-blakan, suaranya menusuk. “Kau bukan istri bagiku. Kau hanya budak yang kebetulan dipaksa masuk ke rumah ini. Jadi jangan pernah bermimpi menyentuh hidupku, apalagi bertingkah seperti Nyonya Qin.”

Ia menaruh kunci mobil di nakas, lalu menambahkan dengan senyum sinis, “Tempat tidur itu milikmu kalau kau mau, aku tidak peduli. Tapi ingat, satu langkah saja kau coba ikut campur dalam urusanku, aku pastikan kau menyesal pernah menginjak rumah ini.”

Tanpa menunggu jawaban, ia membanting pintu hingga bergetar, meninggalkan udara berat di kamar yang terlalu luas untuk seorang gadis buta.

Anli terdiam sebentar, lalu mendengus kecil. Bibirnya melengkung tipis, bukan getir, melainkan geli.

“Huh, dasar manusia batu! Apa dia pikir aku akan merajuk minta perhatian? Ck ck…” Ia menepuk-nepuk bantal, lalu berbaring santai. “Kalau semua suami model begini, dunia ini sudah dipenuhi janda sejak lama.”

Tangannya meraba liontin di leher, menemukan sedikit ketenangan. Senyum samar muncul. “Aku sudah terbiasa sendirian. Jadi silakan saja, Qin Yuze. Anggap aku budak kalau itu yang kau mau. Toh, aku tetap bisa tidur lebih nyenyak tanpa kehadiranmu.”

***

Matahari pagi menyelinap di balik tirai, mengiris ruangan dengan cahaya keemasan. Anli membuka mata, bukan untuk melihat, melainkan sekadar merasakan perbedaan gelap dan terang yang samar. Dunia di matanya hanyalah kabut buram tanpa bentuk, tapi tubuhnya sudah terbiasa bergerak tanpa perlu tongkat. Ia berdiri perlahan, merapikan gaun tidur seadanya, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah ringan, menghitung setiap denting langkah di marmer seolah lantai itu sudah dipetak di dalam kepalanya.

Dua pelayan yang sedang menata bunga berhenti, menatapnya dengan sorot meremehkan.

“Itu istri muda keluarga Qin?” bisik salah satunya dengan nada geli.

“Hah, bahkan matanya tak berfungsi. Apa pantas tinggal di sini?”

“Lucu, dia berjalan seolah bisa melihat. Padahal tetap saja buta.”

Anli mendengar jelas setiap kata, namun tak menoleh. Kepalanya tegak, langkahnya stabil, membuat ejekan mereka seakan tak mempan.

Sesampainya di ruang makan, Yuze duduk di kursi utama, menyibak koran tebal di tangannya. Hidangan mewah tersusun di depannya: sup abalone, daging asap impor, dan roti panas.

Anli mendekat dengan langkah pasti. Tapi belum sempat duduk, suara Yuze melayang, tajam dan dingin.

“Berhenti!"

Anli menoleh samar, keningnya sedikit berkerut.

Yuze menutup koran perlahan, matanya menyipit penuh penghinaan.

“Kursi di sampingku tidak untukmu. Itu kursi seorang istri yang pantas dipajang di depan orang banyak. Kau? Duduklah di ujung sana! Supaya aku tak kehilangan selera makan.”

Pelayan-pelayan menunduk, tapi tawa kecil nyaris tak bisa mereka tahan. Salah satunya buru-buru menarik kursi paling jauh, dekat dinding.

“Silakan di sini, Nyonya!”

Anli berjalan ke sana dengan kepala tegak, duduk tanpa tergesa. Ia menemukan sendok dan piring dengan sekali sentuhan, gerakannya terlalu anggun untuk disebut kikuk. Tapi di hadapannya, hanya sepiring bubur dingin tanpa lauk.

Yuze melirik sekilas, lalu menyeringai tipis.

“Itu cukup untukmu. Perempuan buta tak perlu makan banyak. Toh hidupmu di sini tidak untuk bekerja, hanya untuk diam.”

Beberapa pelayan terbahak kecil, menutupi mulut mereka. Salah satunya bahkan berbisik terang-terangan, “Benar juga. Bahkan bubur itu terlalu mewah untuknya.”

Anli merasakan semua mata merendahkannya, tapi ia tidak menunjukkan sakit hati. Ia hanya menyuapkan bubur hambar itu dengan tenang, lalu tersenyum miring.

'Apa kalian pikir aku akan menangis karena dipermalukan seperti ini? Hah! Kalian bahkan belum tahu siapa yang benar-benar bisa bertahan.

Saat Anli masih menyuap bubur dingin, seorang pelayan perempuan melangkah mendekat membawa teko teh. Tangannya tampak gemetar sengaja, hingga cangkir bergetar keras di tatakan.

“Maaf, Nyonya,” ucapnya dengan nada manis manis.

Tiba-tiba, percikan teh panas meluber, hampir mengenai punggung tangan Anli. Cairan itu jatuh tepat di meja, mengalir hingga menetes ke gaun putih sederhana yang ia kenakan.

Pelayan lain menahan tawa, pura-pura terkejut. “Astaga, Mei Mei! Kau ceroboh sekali!”

Namun tak ada satu pun yang berusaha membantu.

Anli berhenti mengunyah, meletakkan sendok dengan tenang. Matanya kosong menatap ke depan, atau setidaknya, terlihat begitu. Lalu tangannya bergerak cepat, meraih serbet, dan dengan gerakan yang mengejutkan rapi, ia mengusap noda teh di gaunnya sendiri.

“Tidak apa-apa,” ucapnya ringan, nada suaranya stabil. “Aku tidak terbakar. Kalian bisa kembali tertawa dengan lebih tenang.”

Ruangan hening sepersekian detik, beberapa pelayan jelas tak menyangka Anli akan menjawab setenang itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   10. Jebakan pertama

    Pagi itu, udara di rumah Qin terasa berat. Di ruang makan besar, aroma teh melati bercampur dengan bisik-bisik pelayan. Semua tampak sibuk, tapi tatapan mereka sesekali melirik kursi kosong di samping Madam Qin, kursi yang kini diperuntukkan bagi Anli.“Dia gadis buta, tapi Madam memperlakukannya seperti putri sendiri,” bisik seorang pelayan dengan nada iri.“Kalau terus begini, kita bisa tersingkir,” sahut yang lain.Cuihua, pelayan muda yang licik, menyeringai tipis. ‘Kalau Madam begitu menyukainya, aku hanya perlu menunjukkan kelemahannya. Setelah itu, Madam akan sadar kalau si buta ini tak pantas tinggal di rumah besar ini.’Tak lama, Anli masuk dengan langkah ringan. Gaun sederhana warna biru pucat membalut tubuhnya, rambut hitamnya digelung rapi. Meski matanya kosong, gerakannya tidak canggung. Ia menunduk hormat pada Madam Qin.“Selamat pagi, Nenek.”Madam Qin tersenyum, menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah, Anli. Sarapanlah bersamaku.”Ucapan itu membuat udara di ruang makan

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   9. Mengobrol dengan nenek

    Madam Qin menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang tak mudah ditebak.“Anli, kau tahu? Banyak orang di rumah ini memandangmu sebelah mata. Tapi malam ini… kau justru membuatku penasaran.”Anli menunduk sopan, jemarinya terlipat rapi di pangkuan.“Saya hanya berusaha sebatas kemampuan saya, Nenek. Tidak lebih dari itu.”Madam Qin menyipitkan mata, senyumnya penuh arti. Dalam hati ia bergumam, "bukan sekadar gadis buta yang dijodohkan demi kepentingan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik dirinya."Sementara itu, dari kejauhan di lorong, Haoran dan Xiumei masih berdiri sejenak. Keduanya bertukar pandang, masing-masing dengan pikiran berbeda. Haoran mengerutkan kening, Xiumei menggertakkan gigi halus.“Kalau ibumu makin terikat pada gadis itu,” bisik Xiumei dengan lirih, “bisa jadi justru kita yang kesulitan nanti.”Haoran hanya menatap pintu tertutup itu dengan mata tajam.Ruang samping itu sunyi, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya kekuningan yang lembut. Aroma herbal

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   8. Makan malam

    Malam itu, ruang makan utama keluarga Qin diterangi cahaya lampu kristal yang hangat. Aroma masakan tradisional bercampur wangi herbal memenuhi udara. Madam Qin duduk di kursi utamanya, sementara Anli berada di sisi kanan, tenang meski sorot mata para pelayan menusuk penuh iri.Tak lama, langkah berat terdengar dari koridor. Qin Haoran, ayah Yuze, memasuki ruangan dengan jubah pejabat berwarna gelap. Wajahnya penuh wibawa, sorot matanya tajam seperti sedang menilai keadaan. Di sampingnya, Li Xiumei berjalan anggun dengan gaun elegan berwarna ungu gelap, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok.Yuze berdiri kaku menyambut, tapi Anli hanya menunduk sopan.Haoran duduk dengan gerakan penuh percaya diri, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Ibu tampak lebih segar hari ini. Rupanya ada yang membuat sore Anda menyenangkan.” Tatapannya sekilas mengarah ke Anli, meneliti tanpa ekspresi.Madam Qin tersenyum samar. “Benar. Anli menuntunku berjalan-jalan di taman. Dia jauh lebih bisa d

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   7. Kepulangan Yuze

    Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan. “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?” “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.” “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kec

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   6. Ujian Madam Qin

    Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, me

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   5. Wk wk wk

    Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status