MasukPesta berakhir larut malam, setelah tamu terakhir pamit dan aula kembali sunyi. Lampu kristal dipadamkan satu per satu, meninggalkan bayangan panjang di dinding marmer.
Yuze berjalan lebih dulu, langkah cepat tanpa menoleh, seakan tak peduli apakah Anli bisa mengikutinya atau tidak. Gaun panjang itu hampir menyeret lantai, tapi Anli tetap berusaha menjaga tenang.
Di depan kamar pengantin, Yuze membuka pintu dan berdiri sebentar, tatapannya tajam seperti pisau.
“Dengar baik-baik,” katanya blak-blakan, suaranya menusuk. “Kau bukan istri bagiku. Kau hanya budak yang kebetulan dipaksa masuk ke rumah ini. Jadi jangan pernah bermimpi menyentuh hidupku, apalagi bertingkah seperti Nyonya Qin.”Ia menaruh kunci mobil di nakas, lalu menambahkan dengan senyum sinis, “Tempat tidur itu milikmu kalau kau mau, aku tidak peduli. Tapi ingat, satu langkah saja kau coba ikut campur dalam urusanku, aku pastikan kau menyesal pernah menginjak rumah ini.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membanting pintu hingga bergetar, meninggalkan udara berat di kamar yang terlalu luas untuk seorang gadis buta.
Anli terdiam sebentar, lalu mendengus kecil. Bibirnya melengkung tipis, bukan getir, melainkan geli.
“Huh, dasar manusia batu! Apa dia pikir aku akan merajuk minta perhatian? Ck ck…” Ia menepuk-nepuk bantal, lalu berbaring santai. “Kalau semua suami model begini, dunia ini sudah dipenuhi janda sejak lama.”
Senyum samar muncul. “Aku sudah terbiasa sendirian. Jadi silakan saja, Qin Yuze. Anggap aku budak kalau itu yang kau mau. Toh, aku tetap bisa tidur lebih nyenyak tanpa kehadiranmu.”
***
Matahari pagi menyelinap di balik tirai, mengiris ruangan dengan cahaya keemasan. Anli membuka mata, bukan untuk melihat, melainkan sekadar merasakan perbedaan gelap dan terang yang samar.
Dunia di matanya hanyalah kabut buram tanpa bentuk, tapi tubuhnya sudah terbiasa bergerak tanpa perlu tongkat. Ia berdiri perlahan, merapikan gaun tidur seadanya, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah ringan, menghitung setiap denting langkah di marmer seolah lantai itu sudah dipetak di dalam kepalanya.
Dua pelayan yang sedang menata bunga berhenti, menatapnya dengan sorot meremehkan.
“Itu istri muda keluarga Qin?” bisik salah satunya dengan nada geli.
“Hah, bahkan matanya tak berfungsi. Apa pantas tinggal di sini?”
“Lucu, dia berjalan seolah bisa melihat. Padahal tetap saja buta.”
Anli mendengar jelas setiap kata, namun tak menoleh. Kepalanya tegak, langkahnya stabil, membuat ejekan mereka seakan tak mempan.
Sesampainya di ruang makan, Yuze duduk di kursi utama, menyibak koran tebal di tangannya. Hidangan mewah tersusun di depannya. Sup abalone, daging asap impor, dan roti panas.
Anli mendekat dengan langkah pasti. Tapi belum sempat duduk, suara Yuze melayang, tajam dan dingin.
“Berhenti!"
Anli menoleh samar, keningnya sedikit berkerut.
Yuze menutup koran perlahan, matanya menyipit penuh penghinaan.
“Kursi di sampingku tidak untukmu. Itu kursi seorang istri yang pantas dipajang di depan orang banyak. Kau? Duduklah di ujung sana! Supaya aku tak kehilangan selera makan.”
Pelayan-pelayan menunduk, tapi tawa kecil nyaris tak bisa mereka tahan. Salah satunya buru-buru menarik kursi paling jauh, dekat dinding.
“Silakan di sini, Nyonya!”
Anli berjalan ke sana dengan kepala tegak, duduk tanpa tergesa. Ia menemukan sendok dan piring dengan sekali sentuhan, gerakannya terlalu anggun untuk disebut kikuk. Tapi di hadapannya, hanya sepiring bubur dingin tanpa lauk.
Yuze melirik sekilas, lalu menyeringai tipis.
“Itu cukup untukmu. Perempuan buta tak perlu makan banyak. Toh hidupmu di sini tidak untuk bekerja, hanya untuk diam.”Beberapa pelayan terbahak kecil, menutupi mulut mereka. Salah satunya bahkan berbisik terang-terangan, “Benar juga. Bahkan bubur itu terlalu mewah untuknya.”
Anli merasakan semua mata merendahkannya, tapi ia tidak menunjukkan sakit hati. Ia hanya menyuapkan bubur hambar itu dengan tenang, lalu tersenyum miring.
'Apa kalian pikir aku akan menangis karena dipermalukan seperti ini? Hah! Kalian bahkan belum tahu siapa yang benar-benar bisa bertahan.'
Saat Anli masih menyuap bubur dingin, seorang pelayan perempuan melangkah mendekat membawa teko teh. Tangannya tampak gemetar sengaja, hingga cangkir bergetar keras di tatakan.
“Maaf, Nyonya,” ucapnya dengan nada manis manis.
Tiba-tiba, percikan teh panas meluber, hampir mengenai punggung tangan Anli. Cairan itu jatuh tepat di meja, mengalir hingga menetes ke gaun putih sederhana yang ia kenakan.
Pelayan lain menahan tawa, pura-pura terkejut. “Astaga, Mei Mei! Kau ceroboh sekali!”
Namun tak ada satu pun yang berusaha membantu.
Anli berhenti mengunyah, meletakkan sendok dengan tenang. Matanya kosong menatap ke depan, atau setidaknya, terlihat begitu. Lalu tangannya meraba bergerak cepat, meraih serbet, dan dengan gerakan yang mengejutkan, ia mengusap noda teh di gaunnya sendiri.
“Tidak apa-apa,” ucapnya ringan, nada suaranya stabil. “Aku tidak terbakar. Kalian bisa kembali tertawa dengan lebih tenang.”
Ruangan hening sepersekian detik, beberapa pelayan jelas tak menyangka Anli akan menjawab setenang itu.
Dua hari sebelum keberangkatan Ling Yue. Ruang bawah tanah itu dipenuhi bau karat dan debu. Cahaya kuning redup lampu generator memantul di dinding beton yang retak, menambah kesan muram tempat persembunyian keluarga Zhao.Zhao Wenchang duduk di kursi besi tua, tongkat hitamnya mengetuk lantai ritmis, irama yang membuat semua orang tegang. Di hadapannya, Zhao Mingde berdiri kaku, tablet besar di tangannya menampilkan rekaman dari pos barat yang baru mereka peroleh lewat jalur gelap.Rekaman itu sempat diputar berulang-ulang.…Yifan muncul dari hutan, menggendong Putri Bai Ling di punggungnya. …Yifan mengangkat tangannya tanpa melawan pengawal Yancheng. …Yifan memberikan kontak pribadinya kepada sang putri. …Dan Putri Bai Ling memintanya dibebaskan.Rekaman berhenti.Keheningan hancur oleh suara tongkat yang menghantam lantai dengan keras.PRANG!“Anak itu…” ucap Wenchang dengan suara yang sangat pelan namun penuh ancaman. “Berani menyentuh garis keluarga.”Lihua, yang duduk di sudu
Yifan Berdiri Tepat di Depan Ling Yue. Hanya berjarak satu meter. Pemuda itu tidak berani mendekat lebih jauh… karena jantungnya terasa ingin meledak hanya dengan berdiri di sini.“Saya… mendengar Anda akan pulang besok,” katanya pelan.Ling Yue mengangguk. “Ya.”Ada jeda panjang. Yifan menelan ludah, lalu dengan suara yang hampir pecah, ia berkata."Jika saya belum pernah bilang ini dengan benar… maka izinkan saya mengatakannya sekarang.”Ling Yue menatapnya masih dengan mata bening yang sama. “Apa itu?”Yifan menarik napas panjang. “Saya… berterima kasih karena Anda tidak membiarkan mereka menangkap saya. Karena Anda begitu mempercayai saya.”Tatapan Yifan jatuh ke tanah sesaat.“Saya tidak punya apa pun untuk diberikan padam Anda. Tidak punya gelar, tidak punya kedudukan, tidak punya tempat untuk kembali. Tapi, kalau suatu hari nanti…”Ia mengangkat wajah, matanya bergetar.“Anda membutuhkan saya meski hanya sekali… saya akan datang.”Ling Yue tersenyum lembut. “Yifan.”Saat itu… Y
Siang hari di rung tamu utama. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela tinggi, memantulkan kilau lembut di lantai marmer. Para pelayan berdiri berjajar di luar, menjaga suasana formal karena seorang tamu kerajaan hendak bertemu Raja Muda.Ling Yue masuk dengan anggun, mengenakan pakaian sederhana namun tetap elegan. Ai Fen mengikuti di belakangnya seperti bayangan protektif.Zhenrui berdiri di dekat jendela besar, membelakangi mereka, tangan di belakang punggung seperti bi. Tenang, tegas, berwibawa.Tapi begitu Ling Yue mendekat, ia menoleh dan tersenyum tipis.“Yang Mulia Putri Bai Ling. Aku senang melihatmu kembali pulih.”Ling Yue membalas anggukannya. “Terima kasih atas perhatianmu, Yang Mulia Raja Muda.”Ai Fen membungkuk hormat… sementara matanya diam-diam mengamati Zhenrui, seakan menilai apakah pemimpin ini layak dipercaya.Zhenrui mengambil satu map holografik dari meja, menyerahkannya kepada Ling Yue.“Persiapan untuk kepulanganmu sudah selesai. Kapal udara diplomat
“Tidak apa,” ujarnya datar. Lalu ia memalingkan wajahnya sedikit. “Mengapa kau ada di sini?” tanyanya, suara turun hampir jadi bisikan.Meilin menggenggam kain dengan gugup. “Anda bilang, hari ini latihan diliburkan lagi, tapi saya tetap harus memastikan peralatan siap besok pagi,” katanya lembut. “Saya juga membawa salep baru dari Kakak An. Untuk memar-memar Yang Mulia yang… kadang tidak Anda sadari.”Zhenrui menggigit lidahnya agar tidak memaki dirinya sendiri.'Kenapa dia harus sebaik itu…?'“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” jawab Zhenrui sambil berusaha melewati Meilin.Namun…Meilin, yang awalnya ingin memberi jalan, bergerak ke arah yang sama.Zhenrui ke kiri. Meilin ikut ke kiri. Zhenrui ke kanan. Meilin ikut ke kanan. Keduanya berhenti. Keduanya menegang dan salah tingkah.Meilin menunduk cepat. “M—maaf!! Saya… saya tidak sengaja! Saya akan minggir!”Tapi karena terlalu gugup, Meilin malah mundur terlalu cepat dan tersandung sedikit oleh ujung karpet.Refleks, Zhenrui merai
Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela besar koridor timur, menciptakan garis-garis cahaya di sepanjang lantai marmer. Istana Yancheng terasa hidup kembali prajurit berpatroli, pelayan mondar-mandir, dan aroma bubur ayam dari dapur istana menyebar ke semua paviliun.Semua tampak normal, tenang. Tidak ada yang ganjil, kecuali satu hal:Raja Muda Yancheng secara mencurigakan terus mengubah rutenya agar tidak satu lorong pun berpapasan dengan Meilin.---Pagi di Paviliun Timur...Meilin mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Kakak An… saya masuk.”Anli yang sedang bersiap makan sarapan tersenyum.“Pagi, Meilin. Kamu datang terlambat lagi."Meilin langsung pucat. “M-maaf! Saya—”“Aku bercanda,” kata Anli sambil tertawa lembut. “Apa Kakak Rui sudah sarapan?”Meilin menggeleng cepat. “B-belum, saya belum menemui beliau sejak fajar menyingsing”Anli mengerutkan alis. “Tidak biasanya. Biasanya kamu ke ruang kerjanya dulu kan?”Meilin menunduk, pipinya memanas. “Ehm… hari ini saya… diminta un
Meja panjang dari kayu gelap itu biasanya digunakan untuk menjamu bangsawan tingkat tinggi. Tapi siang ini, hanya ada lima orang di ruangan.Zhenrui, duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Yuze, duduk di sisi kanan, tegang seperti prajurit yang salah baris. Anli, di sisi kiri, tersenyum manis meski buta dan mencium aroma kekacauan. Ling Yue, tamu kehormatan yang baru saja selamat dari pembunuhan. Dan di belakang mereka, dengan wajah merah padam dan tangan gemetar, Meilin, berdiri sebagai pelayan meja.Sebenarnya Anli sudah memaksa Meilin untuk duduk bersama. “Meilin, duduklah! Kamu juga bagian dari keluarga kami.”Namun gadis itu menggeleng cepat seperti burung kecil.“Tidak, Kakak An! Tugas saya… melayani. Itu posisi saya…”Zhenrui yang baru masuk ruangan lalu menambahkan singkat.“Biarkan saja dia berdiri.”Meilin hampir menjatuhkan nampan.Yuze menatap Zhenrui tajam. Anli terkekeh kecil, tahu persis kenapa kakaknya berkata begitu.Ling Yue yang baru duduk, menatap ketiganya dengan







