MasukSetelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.
“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.
Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”
Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.
Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menempel di wajahnya, senyum yang sulit dibaca.
“Ya… gadis ini menyimpan sesuatu,” gumamnya lirih, lalu melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan taman yang kembali sunyi.Matahari siang menyelinap lewat jendela besar, membuat dapur keluarga Qin ramai dengan aktivitas. Aroma daging panggang, kaldu mendidih, dan roti baru matang bercampur jadi satu. Para pelayan sibuk menata piring untuk makan siang Yuze dan kedua orangtuanya, tak seorang pun menyangka kalau Anli tiba-tiba masuk tanpa suara.
Dengan langkah ringan, gadis itu meraba pintu, lalu menoleh pelan mengikuti bau roti yang baru saja diangkat dari tungku.
“Aromanya…” bisiknya lirih, senyum tipis muncul.
Seorang pelayan wanita hampir menjatuhkan sendok saat melihatnya. “Hah?! Dia masuk ke dapur?” gumamnya panik.
Pelayan lain menyeringai. “Biarin aja. Paling dia nyasar.”
Tapi dugaan itu salah. Anli berjalan dengan percaya diri, tangannya terulur pelan menyusuri meja panjang hingga menemukan keranjang roti hangat. Tanpa ragu, ia mengambil satu, meraba permukaannya, lalu menggigit dengan hati-hati.
“Hmm…” ia menutup mata, menikmati rasa gurih dan lembutnya roti yang masih mengepul. “Lebih enak daripada bubur dingin.”
Para pelayan saling pandang, wajah mereka mulai merah padam. Seorang pria berbisik sambil mendengus, “Gila! Dia bahkan tahu jalan ke sini? Mana bisa menemukan roti persis, padahal matanya rusak begitu.”
Anli tidak menanggapi, seakan benar-benar tidak peduli dengan tatapan mereka. Ia hanya duduk di kursi kecil dekat tungku, menyobek roti perlahan dan menikmatinya dengan tenang. Sesekali ia meneguk segelas susu yang ia temukan di meja samping, sama sekali tidak terlihat seperti orang tersisih.
Pelayan wanita yang paling usil sampai mengepalkan tangan. “Astaga, lihat dia! Makan seenaknya, seolah rumah ini miliknya. Padahal tadi pagi cuma dapat bubur basi!”
Namun Anli tiba-tiba tersenyum miring, seakan mendengar bisikan itu. “Rasanya hidup ini aneh ya,” ucapnya lembut. “Kadang orang ingin melihat kita jatuh, tapi malah semakin kesal kalau kita tetap bisa berdiri.”
Pelayan yang tadi mengepalkan tangan mendengus keras, hampir melempar sendok yang ia pegang. “Huh, sombong sekali!”
Sementara itu, Anli berdiri perlahan, menepuk sisa remah dari tangannya. “Terima kasih untuk rotinya,” katanya sopan, meski wajahnya tetap menghadap ke arah lain. “Aku jadi lebih berenergi untuk melewati siang ini.”
Setelah itu, ia berjalan keluar dengan langkah mantap, meninggalkan dapur yang mendidih oleh amarah para pelayan yang makin tak tahan ingin mempermalukannya.
Siang menjelang sore, suasana rumah besar itu kembali tenang. Namun di balik tenangnya suara angin yang melewati taman, pelayan-pelayan muda sudah berkumpul di dapur belakang. Bisik-bisik mereka penuh rasa kesal.
“Kenapa sih gadis buta itu jalannya seperti orang normal? Padahal kalau dia jatuh sekali saja, pasti Tuan Muda langsung malu punya istri cacat kayak begitu!”
“Betul! Kalau dia kelihatan menyedihkan, kita gampang bikin alasan untuk menyingkirkannya dari rumah ini.”
“Kalau begitu… kita coba lagi. Kali ini pasti berhasil.”
Sore itu, Anli berjalan menyusuri lorong menuju ruang baca, mengikuti langkahnya sendiri dengan tenang. Di salah satu sudut, seorang pelayan sengaja menaruh ember air yang sengaja ditumpahkan, membuat lantai licin berkilat.
Pelayan lain sudah menahan tawa, menunggu tubuh Anli yang diperkirakan akan tergelincir.
Namun begitu kaki Anli menyentuh lantai basah, ia berhenti sejenak. Alisnya berkerut tipis, lalu bibirnya melengkung samar.
Dengan langkah ringan, ia justru melewati bagian licin itu dengan gerakan lincah. Ujung sepatunya mendarat tepat di sisi kering yang nyaris tak terlihat.
Tak ada suara jatuh. Tak ada jeritan. Hanya suara langkahnya yang stabil, semakin menjauh.
Pelayan yang menunggu langsung melongo. Ember yang mereka sembunyikan di balik kursi pun malah terguling karena mereka sendiri yang panik.
“Bagaimana mungkin?!” bisik salah satunya, wajahnya merah padam.
“Dia… dia pasti pura-pura buta! Tidak mungkin orang buta bisa tahu lantai licin begitu!”
Tapi dari jauh, suara Anli terdengar datar, tenang, namun menusuk telinga mereka. “Cara kalian, terlalu murahan!”
Pelayan-pelayan itu sontak membeku, wajah mereka pucat pasi.
Dua hari sebelum keberangkatan Ling Yue. Ruang bawah tanah itu dipenuhi bau karat dan debu. Cahaya kuning redup lampu generator memantul di dinding beton yang retak, menambah kesan muram tempat persembunyian keluarga Zhao.Zhao Wenchang duduk di kursi besi tua, tongkat hitamnya mengetuk lantai ritmis, irama yang membuat semua orang tegang. Di hadapannya, Zhao Mingde berdiri kaku, tablet besar di tangannya menampilkan rekaman dari pos barat yang baru mereka peroleh lewat jalur gelap.Rekaman itu sempat diputar berulang-ulang.…Yifan muncul dari hutan, menggendong Putri Bai Ling di punggungnya. …Yifan mengangkat tangannya tanpa melawan pengawal Yancheng. …Yifan memberikan kontak pribadinya kepada sang putri. …Dan Putri Bai Ling memintanya dibebaskan.Rekaman berhenti.Keheningan hancur oleh suara tongkat yang menghantam lantai dengan keras.PRANG!“Anak itu…” ucap Wenchang dengan suara yang sangat pelan namun penuh ancaman. “Berani menyentuh garis keluarga.”Lihua, yang duduk di sudu
Yifan Berdiri Tepat di Depan Ling Yue. Hanya berjarak satu meter. Pemuda itu tidak berani mendekat lebih jauh… karena jantungnya terasa ingin meledak hanya dengan berdiri di sini.“Saya… mendengar Anda akan pulang besok,” katanya pelan.Ling Yue mengangguk. “Ya.”Ada jeda panjang. Yifan menelan ludah, lalu dengan suara yang hampir pecah, ia berkata."Jika saya belum pernah bilang ini dengan benar… maka izinkan saya mengatakannya sekarang.”Ling Yue menatapnya masih dengan mata bening yang sama. “Apa itu?”Yifan menarik napas panjang. “Saya… berterima kasih karena Anda tidak membiarkan mereka menangkap saya. Karena Anda begitu mempercayai saya.”Tatapan Yifan jatuh ke tanah sesaat.“Saya tidak punya apa pun untuk diberikan padam Anda. Tidak punya gelar, tidak punya kedudukan, tidak punya tempat untuk kembali. Tapi, kalau suatu hari nanti…”Ia mengangkat wajah, matanya bergetar.“Anda membutuhkan saya meski hanya sekali… saya akan datang.”Ling Yue tersenyum lembut. “Yifan.”Saat itu… Y
Siang hari di rung tamu utama. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela tinggi, memantulkan kilau lembut di lantai marmer. Para pelayan berdiri berjajar di luar, menjaga suasana formal karena seorang tamu kerajaan hendak bertemu Raja Muda.Ling Yue masuk dengan anggun, mengenakan pakaian sederhana namun tetap elegan. Ai Fen mengikuti di belakangnya seperti bayangan protektif.Zhenrui berdiri di dekat jendela besar, membelakangi mereka, tangan di belakang punggung seperti bi. Tenang, tegas, berwibawa.Tapi begitu Ling Yue mendekat, ia menoleh dan tersenyum tipis.“Yang Mulia Putri Bai Ling. Aku senang melihatmu kembali pulih.”Ling Yue membalas anggukannya. “Terima kasih atas perhatianmu, Yang Mulia Raja Muda.”Ai Fen membungkuk hormat… sementara matanya diam-diam mengamati Zhenrui, seakan menilai apakah pemimpin ini layak dipercaya.Zhenrui mengambil satu map holografik dari meja, menyerahkannya kepada Ling Yue.“Persiapan untuk kepulanganmu sudah selesai. Kapal udara diplomat
“Tidak apa,” ujarnya datar. Lalu ia memalingkan wajahnya sedikit. “Mengapa kau ada di sini?” tanyanya, suara turun hampir jadi bisikan.Meilin menggenggam kain dengan gugup. “Anda bilang, hari ini latihan diliburkan lagi, tapi saya tetap harus memastikan peralatan siap besok pagi,” katanya lembut. “Saya juga membawa salep baru dari Kakak An. Untuk memar-memar Yang Mulia yang… kadang tidak Anda sadari.”Zhenrui menggigit lidahnya agar tidak memaki dirinya sendiri.'Kenapa dia harus sebaik itu…?'“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” jawab Zhenrui sambil berusaha melewati Meilin.Namun…Meilin, yang awalnya ingin memberi jalan, bergerak ke arah yang sama.Zhenrui ke kiri. Meilin ikut ke kiri. Zhenrui ke kanan. Meilin ikut ke kanan. Keduanya berhenti. Keduanya menegang dan salah tingkah.Meilin menunduk cepat. “M—maaf!! Saya… saya tidak sengaja! Saya akan minggir!”Tapi karena terlalu gugup, Meilin malah mundur terlalu cepat dan tersandung sedikit oleh ujung karpet.Refleks, Zhenrui merai
Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela besar koridor timur, menciptakan garis-garis cahaya di sepanjang lantai marmer. Istana Yancheng terasa hidup kembali prajurit berpatroli, pelayan mondar-mandir, dan aroma bubur ayam dari dapur istana menyebar ke semua paviliun.Semua tampak normal, tenang. Tidak ada yang ganjil, kecuali satu hal:Raja Muda Yancheng secara mencurigakan terus mengubah rutenya agar tidak satu lorong pun berpapasan dengan Meilin.---Pagi di Paviliun Timur...Meilin mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Kakak An… saya masuk.”Anli yang sedang bersiap makan sarapan tersenyum.“Pagi, Meilin. Kamu datang terlambat lagi."Meilin langsung pucat. “M-maaf! Saya—”“Aku bercanda,” kata Anli sambil tertawa lembut. “Apa Kakak Rui sudah sarapan?”Meilin menggeleng cepat. “B-belum, saya belum menemui beliau sejak fajar menyingsing”Anli mengerutkan alis. “Tidak biasanya. Biasanya kamu ke ruang kerjanya dulu kan?”Meilin menunduk, pipinya memanas. “Ehm… hari ini saya… diminta un
Meja panjang dari kayu gelap itu biasanya digunakan untuk menjamu bangsawan tingkat tinggi. Tapi siang ini, hanya ada lima orang di ruangan.Zhenrui, duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Yuze, duduk di sisi kanan, tegang seperti prajurit yang salah baris. Anli, di sisi kiri, tersenyum manis meski buta dan mencium aroma kekacauan. Ling Yue, tamu kehormatan yang baru saja selamat dari pembunuhan. Dan di belakang mereka, dengan wajah merah padam dan tangan gemetar, Meilin, berdiri sebagai pelayan meja.Sebenarnya Anli sudah memaksa Meilin untuk duduk bersama. “Meilin, duduklah! Kamu juga bagian dari keluarga kami.”Namun gadis itu menggeleng cepat seperti burung kecil.“Tidak, Kakak An! Tugas saya… melayani. Itu posisi saya…”Zhenrui yang baru masuk ruangan lalu menambahkan singkat.“Biarkan saja dia berdiri.”Meilin hampir menjatuhkan nampan.Yuze menatap Zhenrui tajam. Anli terkekeh kecil, tahu persis kenapa kakaknya berkata begitu.Ling Yue yang baru duduk, menatap ketiganya dengan







