Share

5. Wk wk wk

Penulis: Donat Mblondo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 06:38:11

Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.

“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.

Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”

Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.

Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menempel di wajahnya, senyum yang sulit dibaca.

“Ya… gadis ini menyimpan sesuatu,” gumamnya lirih, lalu melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan taman yang kembali sunyi.

Matahari siang menyelinap lewat jendela besar, membuat dapur keluarga Qin ramai dengan aktivitas. Aroma daging panggang, kaldu mendidih, dan roti baru matang bercampur jadi satu. Para pelayan sibuk menata piring untuk makan siang Yuze dan kedua orangtuanya, tak seorang pun menyangka kalau Anli tiba-tiba masuk tanpa suara.

Dengan langkah ringan, gadis itu meraba pintu, lalu menoleh pelan mengikuti bau roti yang baru saja diangkat dari tungku.

“Aromanya…” bisiknya lirih, senyum tipis muncul.

Seorang pelayan wanita hampir menjatuhkan sendok saat melihatnya. “Hah?! Dia masuk ke dapur?” gumamnya panik.

Pelayan lain menyeringai. “Biarin aja. Paling dia nyasar.”

Tapi dugaan itu salah. Anli berjalan dengan percaya diri, tangannya terulur pelan menyusuri meja panjang hingga menemukan keranjang roti hangat. Tanpa ragu, ia mengambil satu, meraba permukaannya, lalu menggigit dengan hati-hati.

“Hmm…” ia menutup mata, menikmati rasa gurih dan lembutnya roti yang masih mengepul. “Lebih enak daripada bubur dingin.”

Para pelayan saling pandang, wajah mereka mulai merah padam. Seorang pria berbisik sambil mendengus, “Gila! Dia bahkan tahu jalan ke sini? Mana bisa nemuin roti persis padahal matanya rusak begitu.”

Anli tidak menanggapi, seakan benar-benar tidak peduli dengan tatapan mereka. Ia hanya duduk di kursi kecil dekat tungku, menyobek roti perlahan dan menikmatinya dengan tenang. Sesekali ia meneguk segelas susu yang ia temukan di meja samping, sama sekali tidak terlihat seperti orang tersisih.

Pelayan wanita yang paling usil sampai mengepalkan tangan. “Astaga, lihat dia! Makan seenaknya, seolah rumah ini miliknya. Padahal tadi pagi cuma dapat bubur basi!”

Namun Anli tiba-tiba tersenyum miring, seakan mendengar bisikan itu. “Rasanya hidup ini aneh ya,” ucapnya lembut. “Kadang orang ingin melihat kita jatuh, tapi malah semakin kesal kalau kita tetap bisa berdiri.”

Pelayan yang tadi mengepalkan tangan mendengus keras, hampir melempar sendok yang ia pegang. “Huh, sombong sekali!”

Sementara itu, Anli berdiri perlahan, menepuk sisa remah dari tangannya. “Terima kasih untuk rotinya,” katanya sopan, meski wajahnya tetap menghadap ke arah lain. “Aku jadi lebih berenergi untuk melewati siang ini.”

Setelah itu, ia berjalan keluar dengan langkah mantap, meninggalkan dapur yang mendidih oleh amarah para pelayan yang makin tak tahan ingin mempermalukannya.

Siang menjelang sore, suasana rumah besar itu kembali tenang. Namun di balik tenangnya suara angin yang melewati taman, pelayan-pelayan muda sudah berkumpul di dapur belakang. Bisik-bisik mereka penuh rasa kesal.

“Kenapa sih gadis buta itu jalannya kayak orang normal? Padahal kalau dia jatuh sekali saja, pasti Tuan Muda langsung malu punya istri cacat kayak begitu!”

“Betul! Kalau dia kelihatan menyedihkan, kita gampang bikin alasan untuk menyingkirkannya dari rumah ini.”

“Kalau begitu… kita coba lagi. Kali ini pasti berhasil.”

Sore itu, Anli berjalan menyusuri lorong menuju ruang baca, mengikuti langkahnya sendiri dengan tenang. Di salah satu sudut, seorang pelayan sengaja menaruh ember air yang sengaja ditumpahkan, membuat lantai licin berkilat. Pelayan lain sudah menahan tawa, menunggu suara “gedebuk” dari tubuh Anli yang diperkirakan akan tergelincir.

Namun begitu kaki Anli menyentuh lantai basah, ia berhenti sejenak. Alisnya berkerut tipis, lalu bibirnya melengkung samar. Dengan langkah ringan, ia justru melewati bagian licin itu dengan gerakan lincah. Ujung sepatunya mendarat tepat di sisi kering yang nyaris tak terlihat.

Tak ada suara jatuh. Tak ada jeritan.

Hanya suara langkahnya yang stabil, semakin menjauh.

Pelayan yang menunggu langsung melongo. Ember yang mereka sembunyikan di balik kursi pun malah terguling karena mereka sendiri yang panik.

“Bagaimana mungkin?!” bisik salah satunya, wajahnya merah padam.

“Dia… dia pasti pura-pura buta! Tidak mungkin orang buta bisa tahu lantai licin begitu!”

Tapi dari jauh, suara Anli terdengar datar, tenang, namun menusuk telinga mereka.

“Cara kalian, terlalu murahan!”

Pelayan-pelayan itu sontak membeku, wajah mereka pucat pasi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   10. Jebakan pertama

    Pagi itu, udara di rumah Qin terasa berat. Di ruang makan besar, aroma teh melati bercampur dengan bisik-bisik pelayan. Semua tampak sibuk, tapi tatapan mereka sesekali melirik kursi kosong di samping Madam Qin, kursi yang kini diperuntukkan bagi Anli.“Dia gadis buta, tapi Madam memperlakukannya seperti putri sendiri,” bisik seorang pelayan dengan nada iri.“Kalau terus begini, kita bisa tersingkir,” sahut yang lain.Cuihua, pelayan muda yang licik, menyeringai tipis. ‘Kalau Madam begitu menyukainya, aku hanya perlu menunjukkan kelemahannya. Setelah itu, Madam akan sadar kalau si buta ini tak pantas tinggal di rumah besar ini.’Tak lama, Anli masuk dengan langkah ringan. Gaun sederhana warna biru pucat membalut tubuhnya, rambut hitamnya digelung rapi. Meski matanya kosong, gerakannya tidak canggung. Ia menunduk hormat pada Madam Qin.“Selamat pagi, Nenek.”Madam Qin tersenyum, menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah, Anli. Sarapanlah bersamaku.”Ucapan itu membuat udara di ruang makan

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   9. Mengobrol dengan nenek

    Madam Qin menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang tak mudah ditebak.“Anli, kau tahu? Banyak orang di rumah ini memandangmu sebelah mata. Tapi malam ini… kau justru membuatku penasaran.”Anli menunduk sopan, jemarinya terlipat rapi di pangkuan.“Saya hanya berusaha sebatas kemampuan saya, Nenek. Tidak lebih dari itu.”Madam Qin menyipitkan mata, senyumnya penuh arti. Dalam hati ia bergumam, "bukan sekadar gadis buta yang dijodohkan demi kepentingan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik dirinya."Sementara itu, dari kejauhan di lorong, Haoran dan Xiumei masih berdiri sejenak. Keduanya bertukar pandang, masing-masing dengan pikiran berbeda. Haoran mengerutkan kening, Xiumei menggertakkan gigi halus.“Kalau ibumu makin terikat pada gadis itu,” bisik Xiumei dengan lirih, “bisa jadi justru kita yang kesulitan nanti.”Haoran hanya menatap pintu tertutup itu dengan mata tajam.Ruang samping itu sunyi, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya kekuningan yang lembut. Aroma herbal

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   8. Makan malam

    Malam itu, ruang makan utama keluarga Qin diterangi cahaya lampu kristal yang hangat. Aroma masakan tradisional bercampur wangi herbal memenuhi udara. Madam Qin duduk di kursi utamanya, sementara Anli berada di sisi kanan, tenang meski sorot mata para pelayan menusuk penuh iri.Tak lama, langkah berat terdengar dari koridor. Qin Haoran, ayah Yuze, memasuki ruangan dengan jubah pejabat berwarna gelap. Wajahnya penuh wibawa, sorot matanya tajam seperti sedang menilai keadaan. Di sampingnya, Li Xiumei berjalan anggun dengan gaun elegan berwarna ungu gelap, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok.Yuze berdiri kaku menyambut, tapi Anli hanya menunduk sopan.Haoran duduk dengan gerakan penuh percaya diri, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Ibu tampak lebih segar hari ini. Rupanya ada yang membuat sore Anda menyenangkan.” Tatapannya sekilas mengarah ke Anli, meneliti tanpa ekspresi.Madam Qin tersenyum samar. “Benar. Anli menuntunku berjalan-jalan di taman. Dia jauh lebih bisa d

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   7. Kepulangan Yuze

    Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan. “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?” “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.” “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kec

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   6. Ujian Madam Qin

    Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, me

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   5. Wk wk wk

    Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status