Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.
“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.
Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.
Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.
“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”
Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:
Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, membuat para pelayan tercengang.
“Apa?! Si buta itu?” “Kenapa Madam tiba-tiba mengundangnya?” “Jangan-jangan… Madam benar-benar ingin mengangkatnya jadi menantu sejati?”Bisikan iri beredar di dapur dan koridor. Tapi Anli hanya menatap hening, jemarinya menyentuh liontin di lehernya sebelum menjawab singkat, “Baiklah, aku akan datang.”
Di ruang teh yang penuh harum melati, Madam Qin sudah duduk menunggu. Senyumnya lembut, tapi matanya menyimpan ujian. “Mari, duduklah di hadapanku. Aku ingin melihat… bagaimana caramu menikmati teh.”
Ruang teh sore itu hening, hanya suara air mendidih dari ketel tanah liat. Aroma melati bercampur uap panas, memenuhi ruangan seperti tirai halus.
Anli masuk perlahan, langkahnya mantap meski matanya buram. Pelayan membantunya menarik kursi, tapi ia menolak halus. “Terima kasih, aku bisa sendiri,” ucapnya ringan sambil duduk rapi, gerakannya lebih anggun daripada yang diharapkan semua orang.
Madam Qin mengamati dalam-dalam. Tangannya bergetar sedikit saat mengangkat cangkir teh, namun sorot matanya penuh kewaspadaan. “Keluarga ini punya aturan… siapa pun yang menjadi bagian darinya, harus tahu tata cara menghormati teh. Mari kita lihat, apakah kamu bisa?”
Pelayan meletakkan satu set teh di depan Anli: cangkir, teko kecil, poci air panas. Mereka menahan senyum mengejek. Bagaimana bisa seorang gadis buta tahu cara meracik teh keluarga bangsawan?
Namun Anli hanya meraba perlahan permukaan meja, menemukan letak teko, lalu tersenyum samar. “Air ini… baru saja mendidih, ya? Sedikit terlalu panas untuk daun melati. Jika dituangkan langsung, aromanya akan hilang.”
Pelayan saling pandang, ekspresinya kaget.
Dengan tenang, Anli menuangkan air ke dalam wadah kosong lebih dulu, membiarkannya mendingin sebentar, lalu memindahkannya ke cangkir teh berisi daun kering. Gerakannya anggun, sama sekali tidak terlihat kikuk, seolah matanya bisa melihat jelas setiap tetes air.
“Teh melati,” katanya lirih sambil menutup teko, “selalu lebih harum bila airnya tak melewati sembilan puluh derajat.”
Hening. Bahkan pelayan yang biasa mengejeknya terdiam.
Madam Qin mendekatkan hidung pada uap teh, lalu menyesap pelan. Aroma lembut melati langsung memenuhi lidahnya. Senyumnya merekah kecil—senyum yang jarang ia tunjukkan.
“Menarik sekali…” gumamnya. “Kamu tahu lebih banyak daripada yang kukira.”
Anli hanya menunduk sopan, menyembunyikan senyum tipis. 'Kalau saja Anda tahu, Madam, bukan hanya teh. Seluruh tanaman di kebunmu pun, aku bisa ceritakan rahasia penyembuhannya.'
Di sudut ruangan, beberapa pelayan berdiri dengan nampan kosong, pura-pura sibuk membereskan cangkir. Padahal telinga mereka tegak, mendengarkan percakapan di meja.
“Apa kau lihat tadi?” bisik salah satu pelayan perempuan, matanya melirik tajam ke arah Anli. “Dia bahkan tahu suhu air teh. Jangan-jangan dia pura-pura buta?”
“Ah, mana mungkin,” sahut pelayan pria dengan suara sinis. “Kalau benar dia bisa melihat, tak mungkin terseret masuk rumah ini dengan cara memalukan begitu. Paling cuma kebetulan. Dasar gadis kampung, sok tahu.”
Pelayan lain terkekeh pelan. “Kupikir dia pasti belajar sedikit teori dari radio atau majikannya dulu. Itu saja sudah dipamerkan seakan-akan dia putri bangsawan. Lihat saja nanti, cepat atau lambat belangnya kelihatan.”
Bisikan mereka semakin seru, tapi wajah mereka tetap menunduk patuh seolah sibuk bekerja. Hanya saja, tatapan iri jelas terpancar dari sudut mata mereka.
Sementara itu, Madam Qin masih menyesap teh dengan tenang. Ia tidak buta pada bisikan pelayannya, bahkan sempat melirik sekilas. Senyumnya makin samar, hampir tak terlihat. 'Hmm… rupanya gadis ini bisa menimbulkan badai hanya dengan secangkir teh. Menarik…'
Anli sendiri mendengar sayup-sayup bisikan itu. Namun alih-alih marah, ia hanya tersenyum kecil, meneguk tehnya dengan santai. 'Biar saja mereka meremehkan. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa dengan kata-kata.'
Pagi itu, udara di rumah Qin terasa berat. Di ruang makan besar, aroma teh melati bercampur dengan bisik-bisik pelayan. Semua tampak sibuk, tapi tatapan mereka sesekali melirik kursi kosong di samping Madam Qin, kursi yang kini diperuntukkan bagi Anli.“Dia gadis buta, tapi Madam memperlakukannya seperti putri sendiri,” bisik seorang pelayan dengan nada iri.“Kalau terus begini, kita bisa tersingkir,” sahut yang lain.Cuihua, pelayan muda yang licik, menyeringai tipis. ‘Kalau Madam begitu menyukainya, aku hanya perlu menunjukkan kelemahannya. Setelah itu, Madam akan sadar kalau si buta ini tak pantas tinggal di rumah besar ini.’Tak lama, Anli masuk dengan langkah ringan. Gaun sederhana warna biru pucat membalut tubuhnya, rambut hitamnya digelung rapi. Meski matanya kosong, gerakannya tidak canggung. Ia menunduk hormat pada Madam Qin.“Selamat pagi, Nenek.”Madam Qin tersenyum, menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah, Anli. Sarapanlah bersamaku.”Ucapan itu membuat udara di ruang makan
Madam Qin menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang tak mudah ditebak.“Anli, kau tahu? Banyak orang di rumah ini memandangmu sebelah mata. Tapi malam ini… kau justru membuatku penasaran.”Anli menunduk sopan, jemarinya terlipat rapi di pangkuan.“Saya hanya berusaha sebatas kemampuan saya, Nenek. Tidak lebih dari itu.”Madam Qin menyipitkan mata, senyumnya penuh arti. Dalam hati ia bergumam, "bukan sekadar gadis buta yang dijodohkan demi kepentingan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik dirinya."Sementara itu, dari kejauhan di lorong, Haoran dan Xiumei masih berdiri sejenak. Keduanya bertukar pandang, masing-masing dengan pikiran berbeda. Haoran mengerutkan kening, Xiumei menggertakkan gigi halus.“Kalau ibumu makin terikat pada gadis itu,” bisik Xiumei dengan lirih, “bisa jadi justru kita yang kesulitan nanti.”Haoran hanya menatap pintu tertutup itu dengan mata tajam.Ruang samping itu sunyi, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya kekuningan yang lembut. Aroma herbal
Malam itu, ruang makan utama keluarga Qin diterangi cahaya lampu kristal yang hangat. Aroma masakan tradisional bercampur wangi herbal memenuhi udara. Madam Qin duduk di kursi utamanya, sementara Anli berada di sisi kanan, tenang meski sorot mata para pelayan menusuk penuh iri.Tak lama, langkah berat terdengar dari koridor. Qin Haoran, ayah Yuze, memasuki ruangan dengan jubah pejabat berwarna gelap. Wajahnya penuh wibawa, sorot matanya tajam seperti sedang menilai keadaan. Di sampingnya, Li Xiumei berjalan anggun dengan gaun elegan berwarna ungu gelap, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok.Yuze berdiri kaku menyambut, tapi Anli hanya menunduk sopan.Haoran duduk dengan gerakan penuh percaya diri, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Ibu tampak lebih segar hari ini. Rupanya ada yang membuat sore Anda menyenangkan.” Tatapannya sekilas mengarah ke Anli, meneliti tanpa ekspresi.Madam Qin tersenyum samar. “Benar. Anli menuntunku berjalan-jalan di taman. Dia jauh lebih bisa d
Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan. “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?” “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.” “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kec
Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, me
Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menem