Jelita terbangun dari tidur nyenyaknya. Merasakan dalam pelukan suaminya, dia pun mulai mengerakkan tangannya untuk menyentuh wajah Royal yang masih memejamkan kedua matanya.
'Hidung mancung, wajah halus, tapi sedikit kasar di beberapa bagian. Rahangnya tegas... Jadi wajah Mas Royal seperti ini...?' gumam gadis itu dalam hati.Jari telunjuknya kini terhenti di bibir Royal yang sedikit tebal namun lembab. Bibir yang semalaman terus menciumnya. Tanpa sadar Jelita membelai lembut bibir itu."Sudah puas menyentuh wajahku?"Suara berat itu mengagetkan Jelita. Spontan saja gadis itu menjauhkan tubuhnya dan terduduk. Namun, punggungnya tiba-tiba terasa sakit."Ahhhh...." desahnya pelan sembari memegangi pinggangnya. Kini dia pun menyadari sudah memakai piyamanya kembali entah sejak kapan.Royal segera duduk di samping istrinya. "Ada apa?" tanya pria itu panik.Jelita menggeleng. Dia mencoba menegakkan punggungnya. Namun pinggangnya masih saja terasa sakit.Royal tak kandung menjawab. Terlihat jelas bahwa pria itu enggan menjawab pertanyaan dari istrinya."Mas?" Jelita kembali memanggil suaminya. Membuat pria itu tersadar dari lamunannya.Jelita menggenggam tangan Royal dengan lembut. "Mas? Ada apa? Kenapa diam? Apakah pertanyaanku ini menyinggung Mas Royal? Maaf...." cicitnya kemudian, merasa tidak enak hati pada suaminya sendiri.Mata Royal melembut, tapi kilatan tajamnya tetap ada. "Apa kamu mau mendengarkan ceritaku?" tanya pria itu kemudian.Jelita mengangguk. "Iya."Pria itu terlihat menghela napas panjang. "Baiklah... Aku akan menceritakannya. Ini juga merupakan satu rahasiaku yang lain."Jelita kembali mengangguk dengan antusias.Royal pun gemas melihat tingkah istrinya. "Dulu... Waktu aku kecil aku seoeng dihina dan disiksa oleh keluarga Om Edwin," ujarnya membuka cerita."Mereka kejam terhadapku dan ibuku yang berasal dari panti. Dulu, pernikahan Papah dan Mamah ditentang oleh keluarga Alexander. Tapi Papah begitu mencintai Mam
Langkah kaki Victor menggema di sepanjang koridor utama gedung Infinite Corporation. Wajahnya terlihat penuh kemenangan, senyumnya lebar, dan matanya bersinar penuh ambisi. Di tangan kanannya, dia menggenggam beberapa dokumen. Sementara surat wasiat palsunya tanpa dia ketahui sudah berada di tangan Royal."Pak Victor," sapa seorang resepsionis muda, agak gugup. "Ruangan Anda sudah disiapkan sesuai permintaan. Direksi juga akan bertemu dengan Anda jam dua siang nanti," lanjutnya.Victor mengangguk, "Bagus. Sudah saatnya aku mulai memimpin di sini. Aku akan meneruskan apa yang sepupuku tinggalkan."Dia masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan untuknya. Langkah tegapnya berhenti sejenak di depan pintu yang terbuka. Saat menatap ke dalam, dia melihat ruangan yang elegan, luas, dan berada di lantai tertinggi, ruangan itu biasanya digunakan untuk pertemuan internal Royal. Sekarang, semua itu akan menjadi ruangannya.Atau setidaknya, itulah yang dia kira."Bagus. Tapi, tunggu... Seharusny
Zain menunduk. Wajahnya terlihat tegang. Suaranya sempat tercekat sebelum akhirnya keluar dengan berat."Surat itu berisi pengalihan aset dan tanggung jawab penuh kepada seseorang yang mengklaim sebagai ahli waris Anda."Royal mengerutkan alisnya. Hawa di sekeliling mereka yang semula hangat karena canda tawa berubah dingin seketika. "Ahli waris?" gumam Royal dengan nada dingin.Dia memeluk Jelita lebih erat. "Aku bahkan belum memiliki anak dengan istriku," ucapnya tegas, penuh kemarahan yang ditekan.Jelita hanya mengangguk dalam pelukannya, berusaha memahami situasi. Ia sadar benar bahwa satu-satunya yang pantas menyandang gelar ahli waris adalah anak mereka yang belum lahir. Tidak ada orang lain.Royal mengangkat wajahnya, sorot matanya menusuk. "Siapa orangnya?" tanyanya dingin.Zain terlihat ragu. Tenggorokannya naik-turun, menunjukkan betapa berat nama yang akan ia sebutkan. Namun tak ada ruang untuk keraguan di depan Royal."Victor," jawabnya akhirnya, pelan, hampir tak terdeng
Jelita membulatkan kedua matanya saat mendengar panggilan baru yang meluncur dari bibir suaminya. Panggilan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Panggilan yang membuat dadanya mendadak sesak oleh emosi yang tak bisa ia kenali."Jelly... Istriku...."Suara Royal terdengar begitu hangat, dalam, dan penuh kelembutan yang menelusup langsung ke jantung Jelita. Pria itu meraih tangan Jelita dengan lembut, lalu mengecup telapak tangannya dengan perlahan, seolah menyematkan janji abadi lewat sentuhan itu.Jelita terdiam, tubuhnya membeku sesaat. Namun rona merah perlahan menjalar dari pipinya hingga ke kedua telinganya. Panggilan itu begitu lembut, manis, dan membuat hatinya bergetar."Jelly... Aku akan memanggilmu begitu mulai sekarang," ucap Royal lagi, kali ini lebih pelan, seperti bisikan yang hanya ingin ia bagikan pada Jelita seorang.Wajah Jelita semakin memerah. Wanita itu menarik tangannya secara refleks dan memalingkan muka ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegugupan yang men
Setibanya Victor di rumah besar keluarga Alexander, kabar kecelakaan itu tidak ada yang tahu kecuali sang adik. Luis sama sekali tak mengetahui berita kecelakaan tersebut. Pria tua itu masih tenang-tenang saja kembali pada rutinitasnya. "Apa kamu yakin, Kak?" tanya Regina berbisik pada sang kakak. "Buktinya ada di situ semua," jawab Victor datar sembari menyerahkan ponselnya pada sang adik. Mereka berdua berbicara di taman belakang, di mana tak ada orang yang melihat dan mendengar. Regina segera melihat isi di ponsel sang kakak. Kedua matanya membola saat menonton video. Meski tak terlalu jelas dan bahkan mobil sudah hancur, tapi ada satu ciri khas yang meyakinkannya bahwa benar itu mobil Royal, yaitu robekan gaun yang dipakai Jelita saat pesta ulang tahun kakek mereka. Regina menatap sang kakak. "Kalau Royal benar-benar mati, bukankah warisan itu… tidak berlaku lagi?" Victor memotong dengan nada sinis, "Warisan tetap berlaku. Tapi kita harus merebutnya dulu sebelum Kakek tah
Bunyi decitan rem mendadak dan benturan keras mengguncang jalanan yang sepi. Mobil hitam Royal menyerempet pohon besar di sisi kiri jalan, menimbulkan dentuman logam yang memekakkan telinga. Kaca jendela sebelah kanan pecah menghujani bagian dalam mobil, menyisakan suara kaca berjatuhan dan aroma logam yang tajam menyusup ke udara.Jelita menjerit tertahan, tubuhnya refleks menegang. Namun sebelum ia benar-benar panik, lengan Royal sudah melingkari tubuhnya erat dan melindungi wanita itu dari serpihan kaca. Dada Royal seolah menjadi tameng hangat yang menahan tubuh Jelita agar tak terbentur ke bangku depan. Napas Royal terengah, pundaknya terasa sakit, dan tangannya terluka terkena pecahan kaca."Kamu baik-baik saja?" suaranya parau, bergetar karena emosi yang ditahan.Jelita membuka perlahan kedua matanya yang spontan tertutup karena refleks. Tangannya terangkat, meraba wajah Royal dengan cemas. "Mas... Mas Royal, kamu nggak apa-apa? Apa ada yang luka?" tanya wanita itu panik."Aku b