Pagi itu, saat sarapan, Jelita kembali duduk sendirian. Tak ada yang membantu meski dia jelas kesulitan. Bahkan para asisten rumah tangga dilarang mendekat.
"Aku bantu ya, Kak?" ucap Jeni dengan senyum palsunya. "Biarkan saja. Dia buta, bukan lumpuh," sahut Reno dingin. Jelita hanya menarik napas pelan. Tapi suasana berubah saat seorang ART masuk tergesa-gesa. "Maaf, Pak. Ada tamu." "Siapa?" tanya Reno. "Namanya Pak Zain. Katanya ingin membicarakan urusan penting dengan Anda," jawab ART itu. Reno langsung beranjak ke ruang tamu. Di sana, seorang pria muda berjas rapi sudah duduk menunggunya. "Selamat pagi, Pak Reno," sapa Zain sopan. "Langsung saja pada intinya, saya datang mewakili atasan saya untuk menyampaikan bahwa beliau setuju ingin membantu menyelesaikan krisis keuangan perusahaan Anda." Mata Reno membulat. "A-Anda serius?" Zain mengangguk. Dia adalah salah satu utusan dari seseorang yang paling berpengaruh dan disegani di kota tersebut. "Tuan kami bersedia menutup semua kerugian perusahaan Anda. Tapi... ada satu syarat," kata Zain datar. Reno meneguk ludahnya. "Syarat apa?" "Beliau tertarik pada putri Anda, Jelita. Setelah melihat fotonya, beliau ingin membawanya tinggal bersama dan menikahinya." Reno terdiam. Nilam yang baru saja mendengar percakapan itu langsung menghampiri. "Apa maksudnya ini?" tanya sang istri dengan cemas. "Beliau adalah utusan Pak Royal, yang akan membantu kita, Mah," jawab Reno. Zain mengeluarkan dokumen dari map. "Ini kontraknya. Setelah Jelita menjadi istri Tuan kami, keluarga Anda tidak bisa mengambilnya kembali, dengan konsekuensi hukum jika dilanggar. Sebagai gantinya, keluarga Anda akan menerima sejumlah besar uang sesuai keinginan Anda yang akan diberikan hari ini juga." Reno tentu saja merasa senang. Masalahnya sebentar lagi akan segera teratasi. Sementara Jelita yang mendengar semuanya dari balik dinding langsung terkejut. "Kudengar, Pak Royal ini sudah tua dan juga sangat kejam." Jeni tiba-tiba berbisik di sebelahnya. "Ini pasti idemu, Jeni. Sebenarnya apa maumu?" tanya Jelita geram, bahkan, rahangnya tampak mengeras. Jeni hanya menyeringai. Lalu gadis itu membuang tongkat kakaknya dan menarik lengannya. Dia segera membawanya ke hadapan Zain. "Jeni! Apa yang kamu lakukan? Lepas!" ronta Jelita. Kini semua mata tertuju pada kemunculan kedua gadis cantik itu. "Pak Zain, ini kakak saya, Kak Jelita," ucap Jeni memperkenalkan kakaknya sendiri dengan sikap ramah yang dibuat-buat. Zain mengamati gadis cantik berambut hitam panjang dan sedikit bergelombang tersebut. Kulitnya putih mulus bak porselen, wajahnya cantik alami dengan bibir merah muda ranum yang begitu manis. Bahkan kedua matanya bulat seperti boneka. Reno segera berdiri menghampiri putrinya. "Iya, Pak Zain. Ini Jelita, putri sulung saya." Nilam kembali terpaksa bungkam karena ancaman dari tatapan tajam suaminya. "Kalau begitu silakan tanda tangani kontrak ini. Maka kami akan segera mengirimkan uangnya dan membawa Jelita," ucap Zain dengan tenang. "Tidak! Aku tidak mau menikah, Pah!" tolak Jelita dengan panik. Dia sendiri juga pernah mendengar rumor yang beredar mengenai pria misterius bernama Royal ini. Zain memandangi Jelita sebentar. "Tuan kami sudah memutuskannya, jadi Anda tidak bisa menolak." "Tapi saya bu–" "Terima kasih, Pak Zain. Saya akan segera menandatanganinya," potong Reno dengan sengaja. Pria itu lalu berbisik pada Jelita, "Diamlah dan jangan katakan kamu buta sampai kamu berada di rumah Tuan Royal." Kedua mata Jelita membulat mendengar ucapan ayahnya. Namun, dia kembali dibungkam dengan ucapan sang ayah lagi. "Kamu harus bertanggung jawab mengganti kerugian besar perusahaan. Jadi terimalah ini," bisik Reno lagi sebelum pria itu akhirnya menandatangani surat perjanjian tersebut. "Pah, bukankah ini seperti menjual anakmu sendiri?" lirih Nilam, namun suaranya tak cukup kuat menghentikan suaminya yang gelap mata. "Bi, kemasi barang-barang Jelita!" teriak Reno tanpa ragu. "Jangan! Jangan jual aku, Pah!" jerit Jelita sambil menangis. Zain mendekat dan meraih lengan Jelita. "Kita pergi sekarang, Nona." "Jangan sentuh aku! Aku nggak mau dijual!" isak Jelita putus asa. Namun tak ada yang membela. Bahkan ibunya hanya bisa menangis di sudut ruangan sembari memeluk Jeni yang kembali memasang seringaian liciknya. "Setelah ini, Jelita bukan lagi tanggung jawab keluarga ini," ucap Zain sambil membawa gadis itu keluar dari rumah yang seharusnya melindunginya. Mobil mewah sudah menanti di depan. Tangisan Jelita memudar seiring pintu yang ditutup rapat dan mobil melaju membawa hidupnya yang tak lagi sama. Dengan tubuh yang masih gemetar dan air mata yang belum kering di pipinya, Jelita terdiam sepanjang perjalanan. Ia duduk di kursi belakang mobil mewah, ditemani Zain yang hanya sesekali meliriknya lewat kaca spion kecil. Di sisi lain, sopir pribadi mereka menyetir dengan tenang, seakan tidak terjadi apa pun. Setibanya di sebuah gerbang besar berwarna hitam legam, mobil itu melambat. Gerbang terbuka otomatis, memperlihatkan rumah bergaya modern yang luas dan mewah—tapi bagi Jelita, tempat itu akan menjadi penjara untuknya. Mobil berhenti di depan pintu utama. Zain turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Jelita. Gadis itu tidak bergerak. "Ayo, Nona," ucap Zain dengan nada lembut tapi tegas. Jelita masih diam. Dia tak bisa melihat apa pun. "Nona?" ulang Zain lagi sembari mengulurkan tangannya. "Saya buta," jawab Jelita lirih. Zain menaikkan kedua alisnya. Dia tentu saja terkejut mendengar pengakuan tersebut. Pria itu tetap tenang sembari menarik napas panjang. Dia kemudian meraih tangan Jelita dengan hati-hati. "Saya akan membimbing Anda." Dengan langkah berat, Jelita akhirnya turun dari mobil. Hatinya penuh dengan ketakutan akan apa yang menantinya di dalam. Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa terlalu sunyi dan dingin. Langkah mereka bergema di lantai marmer, melewati lorong panjang menuju sebuah ruang kerja besar. Di sanalah pria yang dikabarkan sudah tua dan kejam itu menunggu. Pria misterius yang akan menjadi suami Jelita. "Permisi, Tuan. Nona Jelita sudah tiba," ucap Zain dengan sopan. Pria itu menuntun Jelita masuk. Tubuh Jelita pun menegang saat genggaman baru saja dilepas. Atmosfer di dalam sana terasa lebih dingin dan menekan dibandingkan sebelumnya. ***Malam itu terasa sunyi. Jelita terbaring lemas di atas ranjang besar yang empuk. Namun hatinya terombang-ambing dalam kegelisahan.Tanpa dia sadari, dari sudut gelap ruangan, sepasang mata mengamatinya dalam diam. Royal duduk tenang di kursi panjang, memegang tablet dengan cahaya remang yang memantul pada wajahnya yang dingin. Namun perhatiannya tak benar-benar tertuju pada laporan di tangannya. Ia hanya menunggu. Menunggu saat gadis itu sadar."Emmmhh ...." Jelita melenguh pelan, perlahan membuka matanya yang langsung disambut oleh kegelapan pekat."Kenapa aku masih nggak bisa melihat dunia ini…?" bisiknya lirih, hampir seperti rintihan.Suara itu membuat Royal menoleh ke arah ranjang."Kamu sudah bangun?" suara baritonnya memecah keheningan malam, membuat tubuh Jelita menegang seketika."Tu-Tuan?" Suara Jelita bergetar, tubuhnya terduduk panik, mencoba menjauhi arah suara.Langkah Royal mendekat, tenang dan lambat. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Jelita."Kena
Suasana ruangan itu sunyi, mencekam, hanya terdengar deru pelan dari mesin pendingin udara yang menghembuskan udara dingin ke seluruh ruangan. Lampu gantung besar menggantung dari langit-langit menyinari ruang kerja dengan cahaya temaram, menciptakan kesan yang elegan dan juga mewah. Sementara lantai ruangan itu sama seperti ruangan yang lainnya yang terbuat dari marmer hitam mengkilap.Di tengah ruangan itu, seorang pria duduk tenang di kursi kulit hitam megah, membelakangi jendela tinggi yang tertutup tirai tebal. Siluetnya tampak tegas, dingin, memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Setelan jas hitam yang membalut tubuh tingginya berpadu sempurna dengan kemeja abu-abu, membuatnya terlihat semakin misterius."Nona, silakan melangkah dua langkah ke depan." Suara Zain terdengar jelas namun pelan, membimbing Jelita dengan nada hati-hati.Jelita menelan ludah. Ia meremas roknya lebih erat. Tanpa tongkat bantunya, dia tentu saja kesulitan. Kemudian dia melangkah seperti yang d
Pagi itu, saat sarapan, Jelita kembali duduk sendirian. Tak ada yang membantu meski dia jelas kesulitan. Bahkan para asisten rumah tangga dilarang mendekat."Aku bantu ya, Kak?" ucap Jeni dengan senyum palsunya."Biarkan saja. Dia buta, bukan lumpuh," sahut Reno dingin.Jelita hanya menarik napas pelan. Tapi suasana berubah saat seorang ART masuk tergesa-gesa. "Maaf, Pak. Ada tamu.""Siapa?" tanya Reno."Namanya Pak Zain. Katanya ingin membicarakan urusan penting dengan Anda," jawab ART itu.Reno langsung beranjak ke ruang tamu. Di sana, seorang pria muda berjas rapi sudah duduk menunggunya."Selamat pagi, Pak Reno," sapa Zain sopan. "Langsung saja pada intinya, saya datang mewakili atasan saya untuk menyampaikan bahwa beliau setuju ingin membantu menyelesaikan krisis keuangan perusahaan Anda."Mata Reno membulat. "A-Anda serius?"Zain mengangguk. Dia adalah salah satu utusan dari seseorang yang paling berpengaruh dan disegani di kota tersebut."Tuan kami bersedia menutup semua kerugi
Satu minggu berlalu, Jelita masih memejamkan matanya di ruang ICU. Selama itu, hanya Nilam, sang ibu, yang selalu menemaninya. Sementara ayah, adik, dan calon suaminya, entah ke mana. "Eumhh…," lenguh Jelita pelan ketika akhirnya kesadarannya kembali, tetapi dia belum bisa membuka matanya dengan lebar. "Lita, anakku sayang, akhirnya kamu sadar!" seru Nilam yang saat itu sedang duduk di samping ranjang Jelita. Dia tampak begitu gembira melihat anaknya kembali membuka mata. "Mamah … Mamah di mana, kenapa ini gelap?" tanya Jelita lirih tangannya meraba-raba ke udara, sementara tubuhnya masih terbaring lemah. "Lita...." kata Nilam dengan isak tangis. Dia menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Lita kamu yang sabar ya, Nak. Dokter bilang, benturan di kepala kamu merusak saraf penglihatan kamu dan membuat kamu tidak bisa melihat lagi." Jelita terdiam, semua ini benar-benar terjadi bersamaan dalam waktu singkat. Masalah perselingkuhan itu belum selesai diurus, lalu timbul fitnah tent
"Kalian benar-benar keterlaluan!" bentak seorang gadis cantik dengan kedua mata berkaca-kaca. Dia baru saja memergoki dan berhasil merekam calon suaminya yang sedang bercinta dengan adik kandungnya sendiri. "Kak… ini nggak seperti yang Kak Lita pikirkan…," ucap Jeni gelagapan. "Kamu keterlaluan, Jen! Aku nggak nyangka kamu rebut calon suami kakakmu sendiri!" hardik Jelita Maharani Wijaya. Niko Herlambang, yang disebut sebagai tunangan Jelita, segera turun dari tempat tidur, sementara Jeni buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Jelita memalingkan wajah, jijik melihat keduanya. "Lita, aku bisa jelasin ini semua…," kata Niko tergesa. Namun, Jelita sudah kepalang muak, dan langsung berkata, "Sudahlah, sekarang kita putus. Pernikahan kita batal!" Niko semakin panik, dia segera mendekati Jelita dan memohon, "Nggak, jangan batalin pernikahan kita. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kali ini aku khilaf. Maafin aku, Lita." Perkataan itu membuat Jeni mengernyitkan dahi. Dia