Suasana ruangan itu sunyi, mencekam, hanya terdengar deru pelan dari mesin pendingin udara yang menghembuskan udara dingin ke seluruh ruangan. Lampu gantung besar menggantung dari langit-langit menyinari ruang kerja dengan cahaya temaram, menciptakan kesan yang elegan dan juga mewah. Sementara lantai ruangan itu sama seperti ruangan yang lainnya yang terbuat dari marmer hitam mengkilap.
Di tengah ruangan itu, seorang pria duduk tenang di kursi kulit hitam megah, membelakangi jendela tinggi yang tertutup tirai tebal. Siluetnya tampak tegas, dingin, memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Setelan jas hitam yang membalut tubuh tingginya berpadu sempurna dengan kemeja abu-abu, membuatnya terlihat semakin misterius. "Nona, silakan melangkah dua langkah ke depan." Suara Zain terdengar jelas namun pelan, membimbing Jelita dengan nada hati-hati. Jelita menelan ludah. Ia meremas roknya lebih erat. Tanpa tongkat bantunya, dia tentu saja kesulitan. Kemudian dia melangkah seperti yang diperintahkan. Suara langkah sepatunya bergema pelan di lantai, langkah yang berat, ragu, dan perlahan. Kini gadis itu berdiri hanya dua meter dari sang pria misterius. Pria itu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Jelita. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sinar lampu menyinari kedua matanya yang tajam seperti belati. "Ini... dia?" tanya pria itu dengan suara dalam, berat, dan dingin. Zain mengangguk. "Ya, Tuan. Ini Nona Jelita Maharani Wijaya, putri sulung dari keluarga Wijaya." Jelita tertegun. Ia mengenali suara itu. Bukan karena mengenal siapa pemiliknya, tapi karena suara itu terlalu muda untuk menjadi pria tua yang dirumorkan. Dan justru itulah yang membuat segalanya makin mengintimidasi. 'Mengapa suaranya tidak terdengar seperti kakek-kakek?' batinnya bergolak. Tapi aura yang dipancarkan sang pria begitu dingin, tajam, menusuk, seperti seorang pemimpin kelompok rahasia. "Nona, di hadapan Anda adalah Tuan Royaldio Chao Alexander, pemilik rumah ini," jelas Zain kemudian. Namun Jelita memilih diam dengan wajah yang menghadap lurus ke depan. Royal bangkit perlahan dari kursinya. Posturnya tegak, langkahnya mantap, dan setiap langkahnya menciptakan tekanan udara yang semakin berat dirasakan Jelita. "Apa kamu tahu mengapa kamu ada di sini?" tanyanya datar, namun begitu dingin. "S-sa-saya...." suara Jelita patah-patah. Dia menggigit bibirnya, gemetar ketakutan berhadapan langsung dengan pria yang kini menggenggam nasibnya. Royal menyipitkan mata. "Bagaimana kamu tidak tahu?" Tatapannya lalu beralih cepat ke arah Zain. "Maaf, Tuan... tapi saya tidak setuju dijual...." lirih Jelita akhirnya, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk berbicara. Suaranya bahkan nyaris tak terdengar. "Bukan dijual. Akulah yang membelimu," potong Royal tajam. "Jadi jiwa dan tubuhmu adalah milikku." Kata-kata itu seolah menghantam dada Jelita seperti palu. Ia ingin membantah, tapi suara Royal lebih kuat dari pikirannya. "Ta-tapi saya bukan barang ...."cicit Jelita. Royal berjalan makin dekat. Tubuhnya kini hanya berjarak beberapa jengkal. Udara di antara mereka menjadi semakin tipis. Tatapannya menusuk tajam ke wajah Jelita yang pucat, sama sekali tak menatapnya atau pun menunduk. "Aku tidak akan memperlakukanmu seperti barang selama kamu tidak melawan." Gadis itu mengeratkan gigi. Kedua tangannya saling menggenggam erat. "Kenapa... kenapa Anda membeli saya? Saya tak punya apa-apa.... Dan saya... saya buta." Seketika, suasana menegang. Royal terdiam. Matanya menatap Jelita lebih tajam, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Buta?" bisiknya lirih, seperti tak percaya. Ia menoleh cepat ke arah Zain. "Bagaimana bisa dia buta?" Zain menunduk dalam. "Saya juga baru mengetahuinya saat menjemputnya, Tuan. Mohon maafkan saya...." Royal mengepalkan kedua tangannya. Otot di rahangnya mengeras. Tak ada yang tahu, apakah itu kemarahan atau kekecewaan. Namun Zain tak berani menatapnya. Sementara itu, Jelita merasakan hawa panas dari kemarahan pria itu. Tubuhnya menegang, seolah kapan saja Royal bisa menerkamnya. Namun tiba-tiba ... "Ah!" pekik Jelita saat tubuhnya diangkat begitu saja dari lantai marmer. "Tu-Tuan?" napasnya memburu. Dia mencoba meronta, tapi cengkeraman Royal begitu kuat, mengangkatnya hanya dengan satu tangan. Royal tidak berkata apa-apa. Dia membawa Jelita keluar dari ruang kerja. Setiap langkahnya menggema. Gadis itu terus meronta-ronta minta dilepaskan. Namun sayangnya Royal tidak mau menurutinya dan membawanya naik ke lantai dua. Ting! Suara dentingan logam mengejutkan Jelita. Dia cukup familiar dengan suara tersebut. 'Lift?' gumam Jelita dalam hati. Saat dentingan kedua terdengar, Jelita kembali merasakan tubuhnya bergerak. Jelita sudah diam, namun dia mencoba menganalisis sekitar dengan inderanya yang lain. Aroma logam, udara dingin, dan bau parfum pria itu bercampur menjadi satu dalam hidung Jelita. Ia merasakan aroma maskulin yang samar-samar seperti familiar. 'Tunggu, aroma ini sepertinya tidak asing, tapi …' gumamnya lagi. Namun, pikirannya langsung buyar ketika tubuhnya dilempar begitu saja ke atas kasur yang empuk. "Tu-Tuan...?" Jelita mencoba duduk, namun tubuhnya segera ditekan kembali. "Kenapa kamu buta?" tanya Royal dingin. Pertanyaannya terdengar seperti tuduhan, menyalahkan, dan mengintimidasi. Hal ini membuat Jelita nyaris menangis. "Maaf ... Jika Anda menyesal, Anda bisa mengembalikan saya. Atau ... tolong kirimkan saja saya ke yayasan ...." cicit gadis itu terdengar putus asa, tanpa menjawab pertanyaan Royal dengan semestinya. Suaranya bergetar ketakutan. "Kamu pikir uang yang aku keluarkan untuk membelimu itu sedikit?" sinis Royal tajam. Membuat nyali Jelita semakin ciut. "Jawab, kenapa kamu bisa buta?" "Sa–saya kecelakaan," jawab Jelita terbata. "Ja–jadi, apa Tuan akan mengembalikan saya?" Royal menunduk menatap wajahnya. Lalu kedua matanya menangkap dua tahi lalat yang mencolok pada leher jenjang Jelita. Matanya menyipit tajam. "Tidak. Aku sudah membelimu. Maka kamu harus menjadi istriku dan lahirkan anak untukku," bisiknya seperti perintah. Jelita menahan napas. Kata-kata itu tentu saja tak bisa ia terima. Namun dia tak bisa menjawab dan hanya bisa menggigit bibir bawahnya. "Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini. Jangan coba-coba kabur. Sekali saja kamu mencoba... aku akan patahkan kakimu," bisik Royal sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Pintu ditutup. Dengan Jelita yang tampak syok. Dan di balik pintu itu, Royal mengambil ponsel lalu menelepon seseorang, "Siapkan pernikahan untukku. Segera!" ***Hari berikutnya, Jelita meminta pada suaminya untuk membawanya bertemu dengan ayah sekaligus 'adiknya'. Wanita itu duduk dengan gelisah di dalam mobilnya, sementara Royal menggenggam tangannya dengan lembut."Tenanglah, Jelly. Mereka tidak akan bisa menyakitimu," ujar Royal."Bukan karena itu, Mas. Tapi... Bagaimana dengan Mamah nanti?" tanya wanita itu.Di sisi lain, ternyata pikiran Jelita tak bisa lepas dari ibunya. Wanita itu sudah terlalu banyak menanggung beban. Kehilangan kepercayaan suami yang nyatanya berkhianat, dikhianati anak bungsu yang ia sayangi, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa anak yang selama ini ia besarkan bukanlah darah dagingnya dan kabarnya anak bungsunya telah tiada."Aku takut Mamah nggak sanggup menerimanya," lirih Jelita. "Mamah sudah disakiti sejak lama. Jika kebenaran ini terbuka, aku takut itu akan menghancurkan perasaan Mamah selama ini. Padahal, selama ini Mamah sangat menyayangi Jeni. Bahkan saat Jeni bermasalah pun Mamah masih menyayanginya..
Royal menarik napas dalam-dalam. Kenyataan yang selanjutnya akan lebih berat dari sebelumnya. Pria itu tak langsung menjawab, dan hal ini membuat Jelita gelisah."Mas...." panggil Jelita mencoba menarik kembali perhatian suaminya.Royal tersadar. Lalu pria itu kembali berlutut di hadapan Jelita. Lagi-lagi menggenggam tangan wanita itu dengan erat. Jelita merasakan bahwa suaminya pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mas... Tolong beri aku jawaban yang jujur. Aku ingin tahu semuanya...." pinta wanita itu dengan lembut.Royal mendongak, kembali menatap wajah sang istri yang penuh harap akan kebenaran. Royal menarik napas lagi dan mengembuskannya secara perlahan."Adik kandungmu, sekaligus anak kedua dari Mamah dan Reno... Dia sudah tiada...." Jawaban Royal menggetarkan hati Jelita. Wanita itu kini tak dapat membendung air matanya."Ya Tuhan...."Jelita menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya jatuh deras, membasahi kedua belah pipinya. "Berarti selama ini... Selama ini aku
Malam itu, Royal duduk berhadapan dengan istrinya. Kali ini mereka akan duduk saling berhadapan ketika makan. Hal ini karena Royal ingin selalu memandangi wajah istrinya."Mas...." panggil Jelita dengan kedua alis saling bertaut."Ya?" sahut Royal sembari tersenyum penuh arti."Jangan usil. Mas kan janji mau memberi tahu aku sesuatu," ucap Jelita tampak sedikit kesal.Bagaimana tidak? Sejak tadi kak Royal terus menggesek kakinya, membuat dirinya merasa geli sendiri. "Aku hanya sedang menandai punyaku," jawab pria itu dengan santainya."Dasar. Mau ditandai sampai sebanyak apa, Mas?" keluh Jelita. Pasalnya hampir setiap kali bercinta, suaminya itu selalu memberikan tanda kepemilikannya di tubuhnya yang mulus."Sebanyak yang aku mau," jawab pria itu lagi."Hm. Apa Mas mau membuatku lelah dan tak berdaya?" tanya Jelita.Royal terkejut. "Tidak. Bukan begitu, Sayang." Pria itu menarik kakinya, menjauhi kaki Jelita.Royal kemudian meraih tangan kanan istrinya dan menggenggamnya dengan lembu
Saat Royal sedang berlari meraih puncak bersama istrinya, ponsel pria itu tiba-tiba berdering. Membuat wajahnya langsung masam."Mas... ahhh. Ada telepon...." ucap Jelita di sela-sela desahannya.Royal menghentikan sejenak aktivitasnya kemudian menilik layar ponselnya. "Sebentar," ujar pria itu sembari menyambar ponsel dan menerima panggilan dari sang asisten."Tuan–""Kalau tidak penting awas kamu!" geramnya. Sementara tubuhnya masih menyatu dengan Jelita. Dan Jelita menutup mulutnya agar tidak menimbulkan suara aneh."Begini, Tuan. Saya mau melaporkan soal Jeni dan ibu kandungnya. Jeni menuntut agar ayahnya, Reno, juga diadili seberat mungkin," papar Zain.Royal mengeraskan rahangnya. Jelita pun memilih diam sembari menggigit bibir bawahnya."Kamu kan bisa mengatakannya nanti. Sudahlah. Sekarang jangan ganggu aku!" tegas Royal dingin."Ba-baik, Tuan...." Zain pun hanya bisa menurut saja.Royal melempar pelan ponselnya ke sisi ranjang. Ia lalu menatap wajah Jelita yang memerah di ba
Royal membawa istrinya naik ke lantai dua dengan menggendongnya. Jelita hanya diam sembari memeluk erat bahu lebar suaminya. Dirinya gugup.Pintu lift terbuka dengan suara 'ting' yang khas. Royal melangkah keluar, masih menggendong Jelita di pelukannya. Langkah kakinya mantap, aroma parfum di tubuhnya yang maskulin terasa begitu dekat dan lembut, membuat detak jantung Jelita semakin tak karuan. Tangan wanita itu memeluk erat bahu lebar sang suami, takut terjatuh meski ia tahu Royal tak akan membiarkan hal itu terjadi."Ada apa, hm?" tanya Royal sambil menundukkan kepala sedikit, suaranya berat namun hangat. Ia bertanya karena sedari tadi Jelita terus memandangi wajahnya.Jelita lalu menggeleng cepat, wajahnya menunduk dengan pipi yang mulai memanas. "Nggak... nggak apa-apa...." bisiknya tersipu malu.Royal hanya tersenyum tipis, tatapannya sulit dibaca. Baiklah...." Senyuman pria itu penuh arti.Sayangnya Jelita tak menyadarinya karena masih menunduk. Sementara langkah kaki Royal suda
"Jadi... Waktu itu Mas memang sengaja pergi tanpa menemuiku?" tanya Jelita. Kembali lagi ke masa kini dan Royal menjawab dengan anggukan."Ya. Aku tidak ingin kamu tahu siapa aku dan membuatmu dalam bahaya."Jelita menatap wajah suaminya. Royal begitu perhatian padanya. Lalu ia tiba-tiba merasa sedih."Mas...." panggilnya kemudian."Hm?""Apakah...." Jelita tampak ragu-ragu hendak menyampaikan apa yang ada di benaknya. Royal pun meraih tangan wanitanya dengan lembut."Ada apa?""Mas... Apakah Mas menikahiku karena balas budi padaku?" tanyanya dengan menahan perasaan sedih di dalam hatinya.Dahi Royal mengernyit. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Tentu saja bukan. Yah... tapi aku memang berutang nyawa padamu. Hanya saja...." Pria itu mendekatkan wajahnya dan kini mengunci kedua mata Jelita.Sebuah senyuman lembut pun terukir di wajahnya. "...sejak saat itu aku memang sudah menyukaimu. Kamu begitu ceria, indah, dan berhati lembut. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Sayangnya, waktu