Malam itu terasa sunyi. Jelita terbaring lemas di atas ranjang besar yang empuk. Namun hatinya terombang-ambing dalam kegelisahan.
Tanpa dia sadari, dari sudut gelap ruangan, sepasang mata mengamatinya dalam diam. Royal duduk tenang di kursi panjang, memegang tablet dengan cahaya remang yang memantul pada wajahnya yang dingin. Namun perhatiannya tak benar-benar tertuju pada laporan di tangannya. Ia hanya menunggu. Menunggu saat gadis itu sadar. "Emmmhh ...." Jelita melenguh pelan, perlahan membuka matanya yang langsung disambut oleh kegelapan pekat. "Kenapa aku masih nggak bisa melihat dunia ini…?" bisiknya lirih, hampir seperti rintihan. Suara itu membuat Royal menoleh ke arah ranjang. "Kamu sudah bangun?" suara baritonnya memecah keheningan malam, membuat tubuh Jelita menegang seketika. "Tu-Tuan?" Suara Jelita bergetar, tubuhnya terduduk panik, mencoba menjauhi arah suara. Langkah Royal mendekat, tenang dan lambat. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Jelita. "Kenapa?" tanya pria itu dingin. Jelita menahan napas. Jantungnya berdetak seperti ingin melarikan diri dari dadanya. "To-tolong ... lepaskan saya, Tuan ...." Suara Jelita terdengar seperti bisikan angin malam yang dipenuhi ketakutan. "Tidak akan." Suara Royal tenang, tapi dinginnya menusuk. Jelita menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bergeser pelan, berusaha menjauh. Tapi karena tak bisa melihat, dia justru terjatuh dari tempat tidur. Tubuh ringkih itu mengaduh pelan sambil memegangi pinggulnya yang terbentur. "Dasar bodoh." Ejekan Royal terdengar sinis, tapi bukan kemarahan. Tanpa diminta, Royal berjongkok dan menyodorkan tangannya. "Bangun," ucapnya tegas seperti perintah. "Saya bisa sendiri," tolak Jelita cepat sembari memalingkan wajahnya. Namun, dia tak menyangka Royal akan langsung mengangkat tubuhnya begitu saja. Jelita meronta, menolak. "Tuan?! Apa yang Anda lakukan?!" "Diam." Kata itu menggelegar dingin. Hening mendadak menggantung di antara mereka. Seolah dunia pun tunduk pada perintah sang pria. Jelita terdiam. Tak berani melawan. Meski tubuhnya gemetar, ketakutannya lebih kuat dari keinginannya untuk bebas. Royal membawanya turun ke ruang makan yang megah dan hangat, namun tak mampu mengusir dingin yang menjalari hati Jelita. Ia didudukkan dengan hati-hati. Meja besar itu sepi, hanya mereka berdua di tengah kemewahan yang membungkam. "Makanlah," perintah Royal singkat. Jelita ragu. Tangannya meraba-raba peralatan makan. Namun dalam ketidaktahuannya, sendok dan garpu itu terjatuh ke lantai. "Ah! Maaf ...." ucapnya lirih, merasa bersalah. Dia menggigit bibir bawahnya, bersiap untuk mendengarkan cacian dan bentakan atas kebodohannya. Tanpa disangka, Royal memanggil seorang pelayan dan segera menggantikan peralatan makan Jelita. "Pindahkan kursiku ke sana," titahnya kemudian. Royal kini duduk tepat di samping Jelita. Ia menatap wajah istrinya tanpa banyak bicara. "Makanlah," ucapnya lagi, kali ini lebih pelan namun tetap dingin. Jelita terkejut dengan keberadaannya yang begitu dekat. Royal memberi isyarat agar para pelayan keluar. Dengan tenang dia mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Sementara Jelita malah bergeming di tempatnya. Jika diperhatikan lagi, tubuh Jelita semakin kurus karena pola makannya yang tidak teratur. Selama di rumah lamanya pun dia diabaikan oleh keluarganya dan tidak dibantu saat mengalami kesulitan seperti ini. "Tuan... Anda marah?" tanyanya, suara kecil yang nyaris tenggelam oleh degup jantungnya sendiri. Royal tak menjawab. Dia hanya mengambil garpu, lalu menuntun tangan Jelita ke arah piring. "Makanlah dan jangan banyak bicara." Jelita tak melawan. Dia hanya mengangguk kecil. Royal memotongkan steak dan kembali menuntun kedua tangan ramping itu ke piring. "Terima kasih .…" kata gadis itu lirih, tulus tapi penuh luka. Royal diam sejenak sebelum membalas, "Makanlah sampai kenyang. Kamu harus sehat supaya bisa melahirkan anak-anakku dengan baik." Kalimat itu menusuk jauh ke dasar hati Jelita. Seolah mengingatkan bahwa dirinya hanya sebatas wadah. Seorang istri yang dibeli dan dinikahi secara paksa. Setelah makan, mereka dibawa ke ruangan lain yang penuh dengan gaun pernikahan. Royal segera menariknya kembali dan memaksa Jelita menyentuh kain-kain berenda itu. "Ini apa, Tuan?" tanya Jelita pelan. "Gaun pengantin," jawab Royal singkat. "A-apa?" "Cepat pakai beberapa!" titah Royal. "A-Anda serius mau menikahi orang buta seperti saya?" tanya Jelita tak percaya. Royal tidak menjawab. Hanya mendorongnya pelan ke ruang ganti. Pria itu lalu menunggu. Mengamati dari jauh. Memandang tubuh rapuh itu dibalut putihnya gaun pernikahan. Setelah Royal memilih gaun berenda yang tertutup namun elegan, pria itu lagi-lagi menarik lengan Jelita dan membawanya pergi. Saat mereka masuk ke dalam lift, Jelita memberanikan diri bertanya pada pria misterius itu. "Tuan... Anda belum menjawab pertanyaan saya. Apa Anda yakin mau menikahi orang seperti saya? Saya hanya akan menjadi beban...." cicitnya. Royal tiba-tiba mengurung tubuh Jelita di antara dinding lift, suara napas mereka saling bersahutan. "Diamlah. Kamu cukup jadi istriku dan lahirkan anak-anakku," jawabnya dingin. Jelita terdiam. Tangannya gemetar. Lalu, seolah tak kuat menahan, ia berkata pelan dengan wajah tertunduk. "Tuan... Saya mau berkata jujur, sebenarnya saya ... saya sudah tidak perawan ...." Kalimat itu menggantung di udara. "Beberapa waktu lalu, saya dijebak dan saya berakhir melakukannya dengan seorang pria yang bahkan tidak saya kenal ...." Suara Jelita bergetar, penuh luka. Air mata kemudian jatuh membasahi pipinya. ***Malam itu terasa sunyi. Jelita terbaring lemas di atas ranjang besar yang empuk. Namun hatinya terombang-ambing dalam kegelisahan.Tanpa dia sadari, dari sudut gelap ruangan, sepasang mata mengamatinya dalam diam. Royal duduk tenang di kursi panjang, memegang tablet dengan cahaya remang yang memantul pada wajahnya yang dingin. Namun perhatiannya tak benar-benar tertuju pada laporan di tangannya. Ia hanya menunggu. Menunggu saat gadis itu sadar."Emmmhh ...." Jelita melenguh pelan, perlahan membuka matanya yang langsung disambut oleh kegelapan pekat."Kenapa aku masih nggak bisa melihat dunia ini…?" bisiknya lirih, hampir seperti rintihan.Suara itu membuat Royal menoleh ke arah ranjang."Kamu sudah bangun?" suara baritonnya memecah keheningan malam, membuat tubuh Jelita menegang seketika."Tu-Tuan?" Suara Jelita bergetar, tubuhnya terduduk panik, mencoba menjauhi arah suara.Langkah Royal mendekat, tenang dan lambat. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Jelita."Kena
Suasana ruangan itu sunyi, mencekam, hanya terdengar deru pelan dari mesin pendingin udara yang menghembuskan udara dingin ke seluruh ruangan. Lampu gantung besar menggantung dari langit-langit menyinari ruang kerja dengan cahaya temaram, menciptakan kesan yang elegan dan juga mewah. Sementara lantai ruangan itu sama seperti ruangan yang lainnya yang terbuat dari marmer hitam mengkilap.Di tengah ruangan itu, seorang pria duduk tenang di kursi kulit hitam megah, membelakangi jendela tinggi yang tertutup tirai tebal. Siluetnya tampak tegas, dingin, memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Setelan jas hitam yang membalut tubuh tingginya berpadu sempurna dengan kemeja abu-abu, membuatnya terlihat semakin misterius."Nona, silakan melangkah dua langkah ke depan." Suara Zain terdengar jelas namun pelan, membimbing Jelita dengan nada hati-hati.Jelita menelan ludah. Ia meremas roknya lebih erat. Tanpa tongkat bantunya, dia tentu saja kesulitan. Kemudian dia melangkah seperti yang d
Pagi itu, saat sarapan, Jelita kembali duduk sendirian. Tak ada yang membantu meski dia jelas kesulitan. Bahkan para asisten rumah tangga dilarang mendekat."Aku bantu ya, Kak?" ucap Jeni dengan senyum palsunya."Biarkan saja. Dia buta, bukan lumpuh," sahut Reno dingin.Jelita hanya menarik napas pelan. Tapi suasana berubah saat seorang ART masuk tergesa-gesa. "Maaf, Pak. Ada tamu.""Siapa?" tanya Reno."Namanya Pak Zain. Katanya ingin membicarakan urusan penting dengan Anda," jawab ART itu.Reno langsung beranjak ke ruang tamu. Di sana, seorang pria muda berjas rapi sudah duduk menunggunya."Selamat pagi, Pak Reno," sapa Zain sopan. "Langsung saja pada intinya, saya datang mewakili atasan saya untuk menyampaikan bahwa beliau setuju ingin membantu menyelesaikan krisis keuangan perusahaan Anda."Mata Reno membulat. "A-Anda serius?"Zain mengangguk. Dia adalah salah satu utusan dari seseorang yang paling berpengaruh dan disegani di kota tersebut."Tuan kami bersedia menutup semua kerugi
Satu minggu berlalu, Jelita masih memejamkan matanya di ruang ICU. Selama itu, hanya Nilam, sang ibu, yang selalu menemaninya. Sementara ayah, adik, dan calon suaminya, entah ke mana. "Eumhh…," lenguh Jelita pelan ketika akhirnya kesadarannya kembali, tetapi dia belum bisa membuka matanya dengan lebar. "Lita, anakku sayang, akhirnya kamu sadar!" seru Nilam yang saat itu sedang duduk di samping ranjang Jelita. Dia tampak begitu gembira melihat anaknya kembali membuka mata. "Mamah … Mamah di mana, kenapa ini gelap?" tanya Jelita lirih tangannya meraba-raba ke udara, sementara tubuhnya masih terbaring lemah. "Lita...." kata Nilam dengan isak tangis. Dia menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Lita kamu yang sabar ya, Nak. Dokter bilang, benturan di kepala kamu merusak saraf penglihatan kamu dan membuat kamu tidak bisa melihat lagi." Jelita terdiam, semua ini benar-benar terjadi bersamaan dalam waktu singkat. Masalah perselingkuhan itu belum selesai diurus, lalu timbul fitnah tent
"Kalian benar-benar keterlaluan!" bentak seorang gadis cantik dengan kedua mata berkaca-kaca. Dia baru saja memergoki dan berhasil merekam calon suaminya yang sedang bercinta dengan adik kandungnya sendiri. "Kak… ini nggak seperti yang Kak Lita pikirkan…," ucap Jeni gelagapan. "Kamu keterlaluan, Jen! Aku nggak nyangka kamu rebut calon suami kakakmu sendiri!" hardik Jelita Maharani Wijaya. Niko Herlambang, yang disebut sebagai tunangan Jelita, segera turun dari tempat tidur, sementara Jeni buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Jelita memalingkan wajah, jijik melihat keduanya. "Lita, aku bisa jelasin ini semua…," kata Niko tergesa. Namun, Jelita sudah kepalang muak, dan langsung berkata, "Sudahlah, sekarang kita putus. Pernikahan kita batal!" Niko semakin panik, dia segera mendekati Jelita dan memohon, "Nggak, jangan batalin pernikahan kita. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kali ini aku khilaf. Maafin aku, Lita." Perkataan itu membuat Jeni mengernyitkan dahi. Dia