"Tu-Tuan!" Jelita memekik, mencoba melepaskan diri. Namun Royal terus menariknya dan membawanya ke dalam kamar.
"Ah!" Lagi-lagi gadis itu memekik saat Royal berhasil melempar tubuhnya ke atas kasur. Jelita terkesiap. Lalu Royal kembali menindihnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Jelita yang ketakutan dan sedang menahan tangis. "Apa kamu menyesal?" tanya pria itu mengejutkan Jelita. Gadis itu memalingkan wajahnya. Ada air mata yang mulai terkumpul di kedua pelupuk matanya yang seperti boneka. Jelita menggigit bibir bawahnya. "Sa-saya...." Royal diam sejenak sebelum dia kembali bersuara dengan dingin, "Apa kamu akan menggugurkan anak ini?" Jelita membelalak. Gadis itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Menggugurkan anak itu berarti dia adalah seorang pembunuh. Namun, pria yang menahannya adalah calon suami paksanya. "Kamu tidak bisa menjawab?" Jelita masih bungkam. Dia benar-benar takut. Royal pun melepaskannya dan pria itu duduk di salah satu sisi ranjang. "Besok bersiaplah. Kita akan menikah. Dan aku tidak mau ada penolakan," tegas Royal sebelum pria itu benar-benar pergi meninggalkan Jelita kembali sendirian di dalam kamar yang luas. * Pagi itu Jelita terbangun dari tidurnya. Seorang pelayan wanita yang sejak pertama dia datang ke rumah itu, terus membantunya. "Nyonya. Saya akan membantu Anda mandi," ucap wanita bernama Bi Jum itu dengan lembut. Jelita mengangguk dan dia segera mandi sendiri. Setelahnya Jelita disambut oleh dua orang penata rias wanita yang diundang ke kamarnya oleh Royal. Segera, gadis itu didandani dan memakai gaun putih berenda yang telah dipilihkan oleh calon suaminya. Kini usai semua persiapan selesai, Jelita dituntun oleh Bi Jum keluar kamar dan dibawa ke aula yang ada di samping rumah mewah tersebut. Gugup tentu saja. Jelita terus menggenggam erat lengan pelayannya saat dirinya melangkah melewati koridor rumah mewah yang terasa dingin dan sunyi. Saat tiba di aula, Jelita segera disandingkan dengan calon suaminya yang kini berdiri gagah dengan balutan jas dan celana putih bersih yang senada dengan gaunnya. Pria itu menoleh saat calon istrinya datang. "Silakan, Nyonya," ucap Bi Jum dengan lembut. Wanita itu mengulurkan tangan Jelita pada tuannya. Royal menggenggam tangan lembut itu. Tangannya yang besar dan hangat kini saling bertautan dengan tangan ramping Jelita. Ditariknya perlahan gadis itu agar berdiri di sampingnya. Tanpa banyak bicara, Royal mengajaknya duduk bersanding dengannya menghadap seorang penghulu. Kini, janji suci akan segera terucap tanpa adanya keluarga Jelita sebagai saksi. "Tu-Tuan... Apa Anda yakin dengan memilih saya?" tanya Jelita lirih. Royal hanya meliriknya saja. Pria itu segera memberikan isyarat pada sang penghulu. Dan tanpa menunggu persetujuan Jelita, pria itu berhasil mengucapkan janji sucinya di hadapan para saksi yang merupakan orang-orangnya. Suasana di aula begitu tenang. Hingga akhirnya pasangan itu bertukar cincin yang telah disiapkan. Jelita menghadap suaminya yang belum pernah dia lihat rupanya. "Kemarikan tanganmu," ucap pria itu dingin. Jelita dengan gugup mengulurkan tangan kanannya. Lalu Royal menyematkan cincin permata itu dengan lembut. Jelita hanya diam dengan perasaan bersalah. Dia masih tak mengerti mengapa seorang bos besar yang terkenal kejam seperti Royal mau menikahi gadis buta seperti dirinya. "Ehem!" Dehaman Royal membuyarkan lamunan Jelita. "Giliranmu," ucapnya kemudian. Jelita dengan gugup mengangguk. Lalu Zain membantu mengulurkan kotak cincin dan Royal segera meraihnya. Dia berikan cincinnya pada Jelita. "Ini," ucap Royal datar. Jelita mengangguk pelan. Lalu gadis itu bergantian meraih tangan besar suaminya. Dengan hati-hati Jelita meraba-raba jemari Royal sebelum akhirnya dia bisa menyematkan cincin di jari manisnya. "Sekarang kita sudah sah menikah. Aku tegaskan bahwa kamu adalah milikku," ucap Royal, berbisik di telinga Jelita. Gadis itu hanya mengangguk patuh saja. Dia tak bisa membantah. Meski dalam hati terus saja merasa bersalah atas kehamilan yang tak dia inginkan. "Selamat, Tuan dan Nyonya Alexander!" seru para bawahan Royal dan juga para pelayan yang bekerja di sana. Mereka ikut bersuka cita atas menikahnya tuan besar mereka. "Sekarang ikut aku!" ajak Royal. Jelita lagi-lagi hanya mengangguk. Lalu tanpa diduga, pria itu menggendong tubuhnya dan segera membawa Jelita keluar dari aula menuju ke rumah utama. Gadis itu pun mulai memeluk bahu lebar suaminya. Kini saat Royal melangkah memasuki rumah utama, Jelita kembali merasakan atmosfer yang berbeda, dingin, sunyi, dan begitu tenang. Hanya suara langkah kaki Royal yang menggema di koridor. "Tu-Tuan...." Jelita memberanikan diri membuka suara. Royal kini berdiri di depan pintu lift dan segera masuk membawa Jelita. Gadis itu menelan ludahnya. Saat merasakan tubuhnya bergerak perlahan menuju ke lantai dua, suasana kembali sunyi. Royal bahkan tak menanggapi panggilannya. Setibanya di lantai dua, Royal membawa Jelita masuk ke dalam kamar pengantin mereka. Jelita dia dudukkan di salah satu sisi ranjang. Dan hal ini membuat Jelita heran. Pasalnya suaminya itu selalu melemparnya ke tengah-tengah ranjang lalu mengungkungnya. "Tuan...." Jelita kembali memanggil. Royal kini duduk di sampingnya. Membuat gadis itu menoleh ke arahnya. "Jangan panggil aku Tuan. Aku bukan tuanmu," sahut Royal dingin. Jelita menggigit bibir bawahnya. Kemudian dia kembali bersuara. "Maaf... Lalu... Saya harus memanggil Anda apa?" Royal menaikkan sebelah alisnya. "Terserah." Lagi-lagi jawaban Royal membuat Jelita terdiam. Lalu gadis itu kembali fokus pada pertanyaan yang sejak tadi ingin dia utarakan. "Eummm. Sebenarnya ada yang mau saya katakan...." cicitnya. Ada sedikit keraguan yang terpancar di kedua matanya. "Apa?" tanya Royal sembari menatap lekat-lekat wajah cantik Jelita. Jelita meremas tangannya sendiri. Dia mulai menunduk. "Saya... Saya mau menggugurkan anak ini...." putusnya seraya menggigit bibir bawahnya. Keputusan ini tentunya begitu berat yang diambil oleh Jelita. "Kenapa kamu mau menggugurkannya?" tanya Royal dengan tatapan tajamnya. Jelita menarik napas sebelum menjawab. "I-itu karena... Saya sudah menikah dengan Anda. Dan... saya tidak mau Anda ikut menanggung dosa saya...." cicitnya. "Lalu?" "Eummm. Bagaimana pun juga anak ini ada karena kebodohan saya. Jadi Anda tidak perlu merasa terbebani. Lagi pula anak ini juga belum bernyawa, jadi tidak akan terlambat...." cicit gadis itu lagi dengan suara bergetar. Royal menegakkan badannya. Terdengar pria itu menghela napas. "Jangan gugurkan anak itu," tegasnya. Jelita menoleh dengan kedua mata membelalak meski tak dapat melihat wajah suaminya. "A-apa? Ta-tapi saya sudah menikah dengan Anda dan anak ini adalah kesalahan saya...." cicitnya tak percaya. Royal menarik lengan Jelita dan membuat gadis itu kini jatuh dalam pelukannya. Diciumnya pucuk kepala Jelita dengan lembut sebelum kembali membisikkan sesuatu, "Jangan berani-berani menggugurkan anak itu," ancamnya. "Dia adalah anakku," imbuh Royal dan tentu saja membuat Jelita semakin terkejut. "A-apa...?" ***Pagi hari, di pusat kota. Media-media besar mulai berdatangan ke sebuah area pemakaman keluarga terpandang. Dua liang lahat kini sudah tergali cukup dalam, tepat di sisi makam mendiang Rainer dan Ara Alexander, ayah dan ibu Royal.Kursi-kursi disusun rapi. Beberapa karangan bunga berjejer mengungkapkan bela sungkawa. Beberapa tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian gelap dan menunjukkan wajah penuh duka.Luis yang lemah karena syok, kini duduk di kursi roda sembari menatap nanar ke arah mobil jenazah. Pria tua itu langsung terbang ke kota tempat tinggal cucunya setelah mendengar kabar tersebut. Wajah tuanya tampak pucat dan juga diliputi kesedihan yang mendalam."Royal... Jelita... Kenapa kalian pergi secepat ini?" gumam pria tua itu, tangannya bergetar saat menggenggam lututnya. Bahkan suara juga terdengar pilu.Suasana haru tercipta, namun hanya beberapa yang benar-benar merasakannya. Sebagian besar hanyalah formalitas. Jajaran direksi Infinite Corporation turut hadir, mengenakan
"Ada apa, Mas?" tanya Jelita yang saat itu duduk di samping suaminya.Sore itu merupakan sore yang hangat. Pasangan tersebut sudah kembali ke kediaman Royal yang mewah dan lebih aman.Royal menoleh, lalu menyentuh tangan Jelita yang melingkari perutnya. "Victor sudah masuk ke dalam perangkap," jawab pria itu sembari tersenyum dan memeluk sang istri."Begitu, ya? Semoga saja dia segera tertangkap dan terbukti bersalah," ucap Jelita sembari tersenyum. Namun, ada kilatan emosi lain yang tersembunyi. Royal pun menangkapnya."Ada apa? Apa ada masalah?" tanya pria itu sembari mengusap lembut pipi Jelita.Jelita menggeleng. "Nggak ada apa-apa, kok, Mas." Jelita bersandar di dada bidang suaminya.Royal mencubit pipi Jelita. "Tenang saja. Kamu jangan khawatir. Masalah ini akan segera selesai.""Iya, Mas. Aku percaya Mas Royal bisa menyelesaikannya. Semoga juga Kakek baik-baik saja," ucap Jelita dengan senyuman lembut."Kalau begitu aku mau mandi dulu. Kamu istirahat saja, Jelly." Royal mencium
Royal tak kunjung menjawab. Terlihat jelas bahwa pria itu enggan menjawab pertanyaan dari istrinya. "Mas?" Jelita kembali memanggil suaminya. Membuat pria itu tersadar dari lamunannya. Jelita menggenggam tangan Royal dengan lembut. "Mas? Ada apa? Kenapa diam? Apakah pertanyaanku ini menyinggung Mas Royal? Maaf...." cicitnya kemudian, merasa tidak enak hati pada suaminya sendiri. Mata Royal melembut, tapi kilatan tajamnya tetap ada. "Apa kamu mau mendengarkan ceritaku?" tanya pria itu kemudian. Jelita mengangguk. "Iya." Pria itu terlihat menghela napas panjang. "Baiklah... Aku akan menceritakannya. Ini juga merupakan satu rahasiaku yang lain." Jelita kembali mengangguk dengan antusias. Royal pun gemas melihat tingkah istrinya. "Dulu... Waktu aku kecil aku seoeng dihina dan disiksa oleh keluarga Om Edwin," ujarnya membuka cerita. "Mereka kejam terhadapku dan ibuku yang berasal dari panti. Dulu, pernikahan Papah dan Mamah ditentang oleh keluarga Alexander. Tapi Papah begit
Langkah kaki Victor menggema di sepanjang koridor utama gedung Infinite Corporation. Wajahnya terlihat penuh kemenangan, senyumnya lebar, dan matanya bersinar penuh ambisi. Di tangan kanannya, dia menggenggam beberapa dokumen. Sementara surat wasiat palsunya tanpa dia ketahui sudah berada di tangan Royal."Pak Victor," sapa seorang resepsionis muda, agak gugup. "Ruangan Anda sudah disiapkan sesuai permintaan. Direksi juga akan bertemu dengan Anda jam dua siang nanti," lanjutnya.Victor mengangguk, "Bagus. Sudah saatnya aku mulai memimpin di sini. Aku akan meneruskan apa yang sepupuku tinggalkan."Dia masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan untuknya. Langkah tegapnya berhenti sejenak di depan pintu yang terbuka. Saat menatap ke dalam, dia melihat ruangan yang elegan, luas, dan berada di lantai tertinggi, ruangan itu biasanya digunakan untuk pertemuan internal Royal. Sekarang, semua itu akan menjadi ruangannya.Atau setidaknya, itulah yang dia kira."Bagus. Tapi, tunggu... Seharusny
Zain menunduk. Wajahnya terlihat tegang. Suaranya sempat tercekat sebelum akhirnya keluar dengan berat."Surat itu berisi pengalihan aset dan tanggung jawab penuh kepada seseorang yang mengklaim sebagai ahli waris Anda."Royal mengerutkan alisnya. Hawa di sekeliling mereka yang semula hangat karena canda tawa berubah dingin seketika. "Ahli waris?" gumam Royal dengan nada dingin.Dia memeluk Jelita lebih erat. "Aku bahkan belum memiliki anak dengan istriku," ucapnya tegas, penuh kemarahan yang ditekan.Jelita hanya mengangguk dalam pelukannya, berusaha memahami situasi. Ia sadar benar bahwa satu-satunya yang pantas menyandang gelar ahli waris adalah anak mereka yang belum lahir. Tidak ada orang lain.Royal mengangkat wajahnya, sorot matanya menusuk. "Siapa orangnya?" tanyanya dingin.Zain terlihat ragu. Tenggorokannya naik-turun, menunjukkan betapa berat nama yang akan ia sebutkan. Namun tak ada ruang untuk keraguan di depan Royal."Victor," jawabnya akhirnya, pelan, hampir tak terdeng
Jelita membulatkan kedua matanya saat mendengar panggilan baru yang meluncur dari bibir suaminya. Panggilan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Panggilan yang membuat dadanya mendadak sesak oleh emosi yang tak bisa ia kenali."Jelly... Istriku...."Suara Royal terdengar begitu hangat, dalam, dan penuh kelembutan yang menelusup langsung ke jantung Jelita. Pria itu meraih tangan Jelita dengan lembut, lalu mengecup telapak tangannya dengan perlahan, seolah menyematkan janji abadi lewat sentuhan itu.Jelita terdiam, tubuhnya membeku sesaat. Namun rona merah perlahan menjalar dari pipinya hingga ke kedua telinganya. Panggilan itu begitu lembut, manis, dan membuat hatinya bergetar."Jelly... Aku akan memanggilmu begitu mulai sekarang," ucap Royal lagi, kali ini lebih pelan, seperti bisikan yang hanya ingin ia bagikan pada Jelita seorang.Wajah Jelita semakin memerah. Wanita itu menarik tangannya secara refleks dan memalingkan muka ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegugupan yang men