LOGINRoyal tak langsung membalas ucapan Jelita. Wajahnya membatu, sorot matanya dingin seolah menelanjangi isi hati gadis di hadapannya. Jelita menyesal telah membuka aib itu. Dia terlalu jujur, terlalu ingin bersih dari dosa dengan mengungkap kebenaran. Tapi sekarang, atmosfer terasa seperti beku menusuk kulitnya. Dia pun memilih mengatupkan bibirnya. Hingga akhirnya mereka tiba di lantai dua dalam kesunyian.
"Maaf telah mengecewakan Anda...." cicit Jelita dengan suara nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar. Kepalanya menunduk. Tiba-tiba, Royal menarik pinggangnya dengan cepat. Tubuh Jelita yang ramping terseret mendekat ke dada bidang pria itu. Napasnya tercekat, napas Royal terasa di dekat wajahnya. Hangat tapi menakutkan. "Tu-Tuan?" suara Jelita tercekat. Wajah Royal menunduk hingga hidungnya hampir menyentuh rambut wangi milik Jelita. Aroma lembut bunga menyeruak, menusuk kesadaran Royal. Tapi wajahnya tetap dingin dengan tatapan yang mengintimidasi. "Apa kamu hamil anak orang itu?" bisik Royal dalam, tapi suaranya terdengar tajam seperti belati. Kedua mata Jelita membelalak. Detik itu juga, tubuhnya menegang. Bayangan malam kelam itu kembali muncul, mengikis ketenangannya, menenggelamkannya ke dalam lautan rasa bersalah dan trauma. Dia gemetar. Apalagi Jelita tak tahu siapa pria yang telah menghabiskan malam itu bersamanya. "Ha-hamil...?" gumamnya panik. Napasnya tersengal dengan tubuh bergetar. Royal memerhatikan setiap raut wajah Jelita. Dia menangkap kepanikan di sana, ketakutan yang sangat nyata. Tapi pria itu masih saja menatap dingin ke arahnya. "Aku tanya, apakah kamu hamil anak dari orang itu?" ulang Royal dengan nada lebih keras, lebih menekan. Jelita menunduk, menggigit bibir bawahnya. Dia tak sanggup menghadapinya. Dadanya sesak. "Sa-saya juga tidak tahu…" "Kenapa tidak tahu? Jawab saja!" desak Royal. "Ma-maaf, Tuan... Kejadiannya sekitar dua minggu lalu... Jadi saya belum tahu saya hamil atau tidak...." jawabnya lirih, nyaris berbisik. Royal menarik tubuh Jelita lebih erat. Dia seperti ingin memastikan bahwa gadis itu tidak akan pernah bisa lari. Jelita pun mulai meronta. Dia mendorong dada Royal, mencoba menjauh. "Tolong lepaskan saya…." pintanya dengan suara terbata. "Kenapa? Aku sudah membelimu," sahut Royal datar namun menghunjam. "Tapi saya...." "Sudah tidak perawan? Lalu kenapa?" desis Royal, tatapannya tajam menusuk. "Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Besok, aku akan membawamu memeriksa kehamilanmu." Jelita terdiam. Tenggorokannya seperti disumpal batu. Dia tidak tahu apakah tubuhnya membawa benih dari pria misterius itu. Malam itu pandangannya kabur dalam kabut, tapi tubuhnya masih bisa mengingat betapa dirinya telah bercinta berulang kali dalam semalam. "Tapi...." "Tidak ada tapi-tapian." Royal menarik tangan Jelita setelah pintu lift terbuka dan menyeretnya ke dalam kamar mereka. Langkah Royal mantap, dingin, seolah tak ada yang bisa mengubah keputusannya. Begitu sampai di dalam kamar, Jelita didorong ke ranjang. Tubuh mungilnya terhempas di atas kasur yang empuk, namun dia kembali terkejut saat Royal tiba-tiba menindihnya. "Jangan!" pekik Jelita panik. Tubuhnya menggeliat, mencoba melawan. "Kenapa? Kamu bilang sudah tidak perawan. Jadi melakukannya sebelum menikah bukan masalah, kan?" bisik Royal penuh tekanan. Jelita membeku. "Tu-Tuan… Tapi saya dijebak… Itu bukan kemauan saya...." isaknya. Tangisnya tertahan, tapi suaranya menunjukkan betapa dirinya sangat menyesal. Royal terdiam. Rahangnya mengeras, matanya menatap Jelita tanpa berkedip. Ada sesuatu yang berubah di sana. Ia menatap dalam-dalam mata Jelita yang berkaca-kaca, bening, dan penuh luka. "Saya mengatakan yang sebenarnya, Tuan... Saya dijebak...." ucap Jelita lagi. Kata-katanya menggantung dalam udara penuh ketegangan. Royal menarik napas panjang, lalu mengangkat tubuhnya dari atas Jelita. "Kalau begitu, kita lihat saja apakah kamu benar hamil atau tidak." Ia lalu pergi meninggalkan kamar itu, membiarkan Jelita sendirian dalam kekosongan dan ketakutan yang membekap. * Pagi datang dengan cahaya lembut, tapi bagi Jelita, hari itu adalah awal dari kehidupan yang tak pernah dia bayangkan. Rumah Royal terasa asing, megah, tapi tidak hangat karena hatinya hampa. Jelita kini resmi tinggal di rumah pria yang telah membelinya seperti barang. Seorang wanita paruh baya bernama Bi Jum menuntunnya ke ruang makan. Di sana, Royal sudah duduk. Tampak menawan dalam balutan jas hitam dan dasi merah marun. Pria itu sedang membaca berita di tabletnya tanpa ekspresi. Langkah Jelita terdengar lirih, tapi Royal menoleh saat menyadari kehadirannya. Tatapannya langsung menyambar gadis itu dari ujung kepala sampai kaki. "Duduk," ucapnya singkat namun berwibawa. Dengan gugup, Jelita menurut. Sang pelayan lalu pergi, menyisakan keheningan di antara mereka berdua. Belum sempat Jelita mengambil sendok, Royal sudah menuntun kedua tangan Jelita agar menggenggam sendok dan garpu. Sentuhannya dingin, namun menguasai. "Saya bisa ambil sendiri...." gumam Jelita ragu. "Kamu hanya akan makan makanan yang aku berikan. Dan kamu tidak boleh kabur dari rumah ini. Ingat itu." Nada ancaman Royal terdengar tenang, tapi tajam. Jelita menelan ludah. Dia mengangguk, menunduk dalam diam. Lalu mulai makan, perlahan, menahan rasa sesak di dadanya. Setelah makan, Royal bangkit, membetulkan dasinya dan berdiri di hadapan Jelita. "Hari ini aku kerja. Kamu tetap di rumah. Sore nanti kita ke rumah sakit. Jadi, jangan macam-macam." Jelita kembali mengangguk. "Lagi pula orang buta nggak akan bisa kabur…," gumamnya lirih, hampir tak terdengar. "Apa?" tanya Royal, menoleh cepat. "Bu-bukan apa-apa. Hati-hati di jalan, Tuan," tukasnya cepat. Royal hanya menatapnya sesaat sebelum pergi. Tapi sebelum benar-benar keluar, dia kembali berkata, "Zain akan mengantarkan beberapa pakaian baru untukmu." "Pakaian baru? Tapi pakaian saya masih banyak, Tuan...." "Jangan membantah. Kamu tinggal di rumahku, kamu harus mengikuti aturanku," sentaknya. * Siang harinya, Zain datang membawa kantong belanjaan dari butik mahal. Jelita terkejut. Gaun, setelan santai, bahkan pakaian dalam, semuanya pas seolah sudah diukur secara pribadi. Hal ini tentu saja membuat Jelita merasa tak nyaman. "Buang pakaian yang lama," ucap Zain pada seorang pelayan wanita paruh baya. Jelita menolak halus, tapi Zain hanya tersenyum sopan. "Ini perintah dari Tuan Royal, Nona." Dengan berat hati, Jelita menerima semuanya. Dan saat sore menjelang, dia sudah berpakaian rapi. Gaun berwarna nude membingkai tubuh rampingnya. Rambutnya disisir rapi, dan wajahnya terlihat pucat menanti Royal. 'Aneh... kenapa baju ini pas sekali di tubuhku?’ pikirnya bingung. Royal akhirnya pulang dan langsung mengajaknya ke rumah sakit. Setelah beberapa pemeriksaan, mereka menunggu. Jelita terlihat gelisah dengan jantung yang berdegup cepat. Dalam penantiannya, detik terasa menjadi jam. Kemudian, dokter kembali. Memberikan hasil pemeriksaan kehamilan Jelita pada Royal. Royal yang menerima berkas. "Positif. Kamu hamil," katanya tanpa ekspresi. Jelita membeku. Dunia seperti runtuh. Ia tak bisa berkata apa-apa saat Royal menggandeng tangannya keluar dari rumah sakit tanpa bicara apa-apa lagi. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil begitu sunyi. Jelita memeluk perutnya yang masih rata. Air matanya nyaris jatuh, namun ia menahannya. "Tuan Royal...." Jelita memberanikan diri memanggil Royal saat mereka menaiki lift. "Hm?" Royal hanya merespon singkat. Namun sejak tadi pandangan pria itu terus tertuju pada wajah pucat Jelita. "Tuan ... Saya hamil, apakah Anda akan membatalkan pernikahan ini?" tanya gadis itu sembari mendongakkan wajahnya. "Tidak." Jelita terbelalak. "A-apa? Ta-tapi...." Royal menarik tangan Jelita dan membawanya keluar dari lift. "Jika pria itu bisa menghamilimu, bukankah aku juga bisa?" tanyanya tajam. ***Jelita sudah dibawa pulang bersama anak kembarnya yang lucu-lucu. Wanita itu kini sedang menidurkan bayi perempuannya, sementara Royal sedang sibuk menggantikan popok putranya."Sayang, sudah," ucap Royal.Jelita memeriksa bagaimana suaminya memakaikan popok putranya. "Bagus. Mas sudah bisa memakaikan popok anak-anak kita," ucapnya memuji.Royal ternsyum. Lalu pria itu menggendong putranya dengan lembut. "Ya. Ini semua kan berkat kamu dan Mamah yang mengajari. Tapi... Apa kamu yakin tidak perlu baby sitter?" tanyanya."Aku bisa, Mas. Aku ingin anak-anak kita lebih dekat dengan kedua orang tuanya dari pada sama baby sitter. Lagi pula sangat menyenangkan merawat mereka. Mereka juga pinter. Aku juga kan cuti dan bisa sesekali kerja di rumah. Ada Bi Jum juga yang bantuin," jawab Jelita menolak tawaran suaminya."Baiklah kalau mau kamu begitu, Sayang. Tapi kalau capek, istirahat. Aku juga akan merawat mereka semaksimal mungkin." Royal ikut mengusulkan. Sebagai ayah dari bayi kembar, ia tak
"Oeeekk, oekkkk!" Setelah perjuangan yang cukup panjang dan mempertaruhkan nyawa, dua bayi kembar laki-laki dan perempuan itu lahir, Royal segera memeluk Jelita."Makasih, Sayang... Makasih...." ungkapnya penuh kelegaan. Jelita hanya tersenyum lemas."Akhirnya anak kita lahir... Maafkan aku yang tidak bisa menggantikan rasa sakitmu...." cicit pria itu. Tanpa diduga Royal menangis."Mas... Nggak papa... Aku senang," balas Jelita sembari mengusap punggung suaminya. Tak menyangka bahwa pria yang paling ia cintai itu menangis karena tak bisa menggantikan melahirkan. Sungguh lucu baginya karena Royal sendiri selalu dikenal sebagai pribadi yang dingin dan tanpa perasaan.Tubuh Jelita yang masih lemah segera dibersihkan."Biar aku saja. Kalian bersihkan kedua anakku!" perintah Royal."Tapi, Tuan...."Royal memberikan tatapan tajamnya yang menakutkan. Membuat perawat memilih menurut saja. Sementara Jelita hanya menggeleng pelan."Anda sebaiknya tunggu sebentar, Tuan. Nyonya masih harus dijah
Jelita berlari masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu pun menunduk di depan wastafel dan tiba-tiba memuntahkan isi perutnya. Royal yang sudah menyusul, menatap kaget pada Jelita."Sayang...?" panggilnya pelan sembari berjalan mendekat."Hoek...." Jelita masih memuntahkan isi perutnya yang tidak seberapa.Royal mengusap punggungnya. Meraih rambut panjang Jelita agar tidak kotor terkena muntahan. Pria itu menatap cemas pada keadaan Jelita. Sementara Nilam terdiam di tempat."Mah, kita panggil dokter!" usul Yudha ikut cemas.Nilam menahan tangan putranya. "Tunggu dulu, Yudha.""Tapi, Mah....""Kita tunggu kakak iparmu, Yudha. Bagaimana pun juga Kakak kamu sudah menjadi istrinya," ucap Nilam lembut, memberi pengertian pada putranya."Baiklah....""Tidak apa-apa. Sepertinya Kakak kamu nggak sakit. Kamu tenanglah. Nanti juga kamu akan merasakannya kalau sudah berkeluarga," lanjut Nilam lagi.Yudha pun mengangguk. Kakek Luis ikut menatap ke kamar mandi. "Tapi apakah benar baik-baik saja? Sep
"Mas... Akhirnya masalah ini sudah selesai," ucap Jelita sembari memeluk erat suaminya.Royal tersenyum dan membalas pelukan sang istri. "Ya. Semua ini berkat kamu, Jelly."Hati Jelita merasa tenang. "Aku hanya membantu sedikit, Mas. Mas Royal dan yang lainnya lah yang telah berusaha keras mencari pelaku sebenarnya," ucap wanita itu rendah hati."Kamu adalah keberuntungan bagiku, Jelly. Terima kasih," ucap Royal sembari mencium kening Jelita.Wanita itu tersenyum. Ia benar-benar merasa dihargai saat bersama suaminya. Dan dirinya sadar bahwa dicintai lebih indah dari pada mencintai. Dan ia yang membalas cinta suaminya juga merupakan hal yang membahagiakan."Mas terlalu berlebihan. Aku lah yang beruntung karena dicintai oleh orang hebat seperti kamu," sahut Jelita."Tidak, Sayang. Akulah yang beruntung karena menikah dengan wanita cantik dan hebat sepertimu," balas Royal.Saat pasangan itu sedang saling melempar pujian, Zain yang duduk di samping kemudi hanya bisa diam saja dengan peras
"Kami sudah membawanya, Tuan." Zain berujar saat bertemu kembali dengan Royaldio. Pria itu membawa seseorang yang kini tertunduk lesu di hadapan sang bos besar.Royal hanya mengangguk. Pria itu memberikan instruksi agar orang yang dibawa Zain didudukkan pada sebuah kursi kayu. Sementara dirinya yang sudah duduk lebih dulu, menatap tajam ke arahnya, membuat suasana di ruangan yang terang itu terasa dingin dan mencekam."Tuan, dia terbukti merusak mobil Tuan Besar sebelumnya," jelas Zain.Tatapan Royal begitu dingin. Pria itu pun membuka mulutnya. "Apa maumu?" tanya Royal menusuk.Sang pria yang merupakan mantan sopir pribadi pamannya yang sudah lama berhenti itu pun menegang. Wajahnya mulai pucat. Pertanyaan yang terdengar seperti penekanan itu membuat lidahnya kelu.Suasana tiba-tiba sunyi. Sang sopir pribadi hanya diam, tak sanggup menjawab, sementara Royal dan yang lainnya juga ikut diam, menunggu jawaban dengan perasaan marah."Jawab!" bentak salah satu anak buah Royal yang berdiri
Royal menatap sang istri lalu mengusap pipi Jelita dengan lembut. "Tidak, Sayang. Justru aku berterima kasih pada ingatanmu itu. Sudah lama sekali aku belum bisa mengungkapkan kematian ayahku. Dan berkat ingatanmu ini dan gambar wajah pelaku, aku pasti bisa menangkap mereka," ujarnya dengan sebuah senyuman."Tapi... Ini masih belum jelas, Mas. Aku takut jika aku salah...." cicit Jelita.Royal kembali tersenyum. "Tidak ada yang salah. Aku akan segera menyelidikinya."Dan setelah itu, Zain segera menyelidiki soal mantan sopir pribadi Edwin. Sementara Royal dan Jelita masih berpura-pura tidak tahu dan tetap tenang saat bertemu kembali dengan Edwin dan Vanessa. Malam itu, Jelita diam-diam mengamati wajah Edwin yang memang mirip sekali dengan pria dalam ingatannya saat masih remaja.*"Kalian tidak menginap lagi di sini?" tanya Luis ketika sehari setelahnya Jelita dan Royal memilih berpamitan.Jelita tersenyum. "Makasih, Kek. Tapi kamu harus kembali," jawabnya sopan.Luis menggengam tanga







