“Berhenti di sini,” pinta Kirei pada Rudi, sopir yang ditugaskan mengantarnya ke kampus.
“Pak Dev memerintahkan saya untuk ____” “Dia tidak ada di sini. Jangan khawatir. Aku tidak akan melarikan diri,” sela Kirei meyakinkan. “Maaf, Mbak. Tapi ….” Rudi terdengar ragu. Dia terlihat serba salah. “Aku janji.” Kirei mengangkat dua jari, sebagai penegas ucapannya tadi. “Aku tidak mau jadi pusat perhatian. Itu saja,” kilahnya. Rudi tidak punya pilihan lain. Akhirnya, dia setuju menurunkan Kirei beberapa meter dari pintu gerbang universitas, tempat wanita muda itu menimba ilmu. Setelah Kirei turun dari kendaraan, Rudi segera menghubungi seseorang. “Tugasku selesai,” ucapnya, langsung menutup sambungan tanpa basa-basi lagi. Dia harus segera kembali ke kediaman Dev. Sementara itu, Kirei berjalan kaki menuju pintu gerbang. Tepat sebelum memasuki halaman kampus, sebuah jeruk melayang dan mendarat tepat di pelipisnya. Kirei langsung tertegun. Dia bisa menebak siapa pelaku dari tindakan tidak terpuji tadi. Kirei menoleh pada beberapa gadis yang menertawakannya. Dia menatap tajam seorang gadis berambut panjang, yang berjalan mendekat dengan sikap teramat angkuh. “Mana yang sakit?” tanya gadis yang tak lain adalah Natasha. Dia paling populer di kampus karena kecantikan serta sikap arogannya. Natasha mempunyai geng yang terdiri dari lima gadis dengan karakter sama. Mereka kerap menindas gadis lain. Salah satunya adalah Kirei. “Aku melihatmu bicara dengan Tristan di depan perpustakaan. Apa yang kalian bahas?” tanya Natasha dingin. “Tidak ada yang penting. Lagi pula, aku tidak harus memberikan laporan padamu,” jawab Kirei tak peduli. Natasha mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Dia menoleh pada teman-temannya, memberi isyarat tertentu. Kelima gadis itu langsung mendekat. Dua dari mereka berdiri di sisi kiri dan kanan Kirei. Salah satunya bahkan meletakkan lengan di pundak istri Dev tersebut, bersikap seakan-akan berteman dekat dengannya. Kirei menoleh, menatap dingin gadis itu. “Singkirkan tanganmu!" ucapnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Baiklah. Kalau begitu, mari kita ke halaman belakang.” Gadis itu langsung melingkarkan tangan di lengan Kirei. Natasha berjalan paling depan. Di barisan kedua ada Kirei dan si gadis yang menggandengnya. Sementara keempat gadis lain mengikuti di barisan ketiga. Mereka menuju halaman belakang, di mana terdapat toilet dan gudang. Suasana di dekat gudang terbilang sepi karena itu merupakan area terbatas. “Katakan. Apa yang kamu bicarakan dengan Tristan di depan perpustakaan?” tanya Natasha lagi, berhubung kurang puas dengan jawaban Kirei tadi. “Sudah kukatakan tidak ada yang serius,” jawab Kirei. “Minggirlah. Aku harus masuk kelas sebentar lagi.” “Oh, tidak bisa,” tolak Natasha. “Kamu tahu, kan? Aku tidak akan melepaskan seseorang, jika belum ____” “Astaga. Kamu hanya membuang waktu. Tenang saja. Tidak ada yang serius antara aku dan Tristan. Lagi pula, tidak mungkin dia tertarik padaku. Begitu, kan?” “Ini bukan masalah tertarik atau tidak. Kita tahu seperti apa naluri seorang laki-laki. Walaupun dia menghadapi makanan yang tidak menggugah selera, tetapi pasti akan tetap disantap jika disajikan gratis.” “Apa maksudmu?” protes Kirei, seraya maju sedikit. Namun, dia langsung mundur lagi karena rambut panjangnya tiba-tiba ditarik dari belakang. “Tetap di sini,” ujar gadis yang menarik rambut panjang Kirei. Tak terima mendapat perlakuan seperti itu, Kirei menyikut kencang ulu hati gadis tersebut. “Ah!” pekik gadis itu, seraya melepaskan cengkraman dari rambut Kirei. Melihat temannya kesakitan. keempat gadis lain langsung mengerubungi Kirei. Dua diantaranya memegangi tangan gadis itu, menarik ke belakang hingga bersandar pada dinding. Sementara itu, kedua gadis lagi menghajar Kirei secara bergantian. Awalnya, Kirei tak tinggal diam. Dia sempat melayangkan satu kali tendangan, sebelum berbalas hal serupa. Kirei terhuyung, merasakan sakit luar biasa di ulu hati. “Sudah. Hentikan,” cegah Natasha. “Akan kutraktir kalian sepulang kuliah nanti,” ujarnya, seraya memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Kirei dibiarkan sendirian dalam keadaan tidak baik-baik saja. Dia terduduk sambil bersandar, merasakan perut dan wajahnya yang sakit. Darah segar keluar dari sudut bibir yang robek. Tak ingin berlama-lama di sana, Kirei segera bangkit. Dia memaksakan diri berjalan menuju toilet. Setelah membasuh wajah, Kirei menatap dirinya lewat pantulan cermin. Luka lebam di sudut bibir tak mungkin disembunyikan dari Dev. Dia harus memikirkan alasan yang jelas, andai sang suami bertanya macam-macam. Sesaat kemudian, Kirei melihat arloji di pergelangan kiri. Dia sudah terlambat masuk kelas. Lagi pula, tak mungkin dirinya mengikuti pelajaran dengan kondisi babak belur seperti itu. Akhirnya, Kirei memutuskan pulang. Beberapa saat berlalu. Kirei sudah tiba di kediaman Dev. Dia masuk dengan tergesa-gesa, berharap tidak bertemu siapa pun. “Kamu sudah pulang?” Suara berat Dev mengejutkan Kirei. Kirei tertegun, tanpa berani menoleh. Dia bahkan menundukkan wajah. “Ada apa? Kenapa pulang tanpa memberitahu Rudi?” tanya Dev lagi, seraya berjalan mendekat. “Tidak apa-apa. Aku hanya tiba-tiba tidak enak badan,” jawab Kirei bohong. “Begitukah?” Dev tak percaya begitu saja. “Katakan. Ada apa?” Dia menarik lengan Kirei sehingga wanita muda itu langsung berbalik. Namun, Kirei segera menunduk. “Apa yang ….” Dev yang hendak bertanya sambil mencengkram pelan pipi Kirei, tak melanjutkan kalimatnya mendengar sang istri mengaduh. Dev menatap tajam Kirei, dengan luka lebam di sudut bibir dan dekat mata. “Siapa yang berani melakukan ini padamu?” tanyanya penuh penekanan.Dev mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Kirei ke seluruh penjuru kota. Dia menekankan kepada mereka agar tidak kembali ke markas, sebelum benar-benar yakin bahwa Kirei tidak ditemukan di manapun. Tiga hari pencarian besar-besaran dilakukan. Seakan tak ada rasa lelah, mereka memeriksa ke seluruh tempat. Namun, Kirei tak ada di mana-mana. Seperti sebelumnya, wanita itu sangat pandai menyembunyikan diri agar tak mudah ditemukan. “Kami sudah memeriksa setiap tempat dan …. Nona Kirei tidak ada di wilayah yang menjadi area pencarian kami,” lapor Mathias, yang bertugas memimpin kelompok 15. Rasa takut tersirat jelas dari parasnya, berhubung laporannya barusan pasti akan membuat Dev marah besar. “Kau yakin sudah mencari Kirei ke berbagai penjuru kota?” Dev menatap tajam Mathias yang berdiri dengan ekspresi cukup tegang.Mathias mengangguk tegas, berusaha menutupi ketakutan akan kemarahan sang tuan besar. “Aku membagi kelompok 15 jadi beberapa bagian, Tuan. Kami berpencar dan mel
“Nyonya!” Beto segera menghampiri Maitea. “Apa yang terjadi?” tanyanya sekali lagi, seraya menurunkan tubuh di sebelah ibunda Dev tersebut.“Ki-Kirei …. Di-dia … dia menyerangku …,” ucap Maitea terbata karena sambil menahan sakit di lengannya.“Ya, ampun. Tuan Dev pasti akan marah besar karena ini,” ujar Beto. “Apa Anda bisa bangun?”Maitea mengangguk. “Panggilkan Dokter Maldonado sekarang juga. Setelah itu, bawa rekan-rekanmu mencari Kirei,” titah Maitea.“Tuan Dev hanya menempatkan sepuluh orang di depan, dan sepuluh orang di belakang,” ucap Beto, seraya menghubungi Dokter Maldonado. Sesaat kemudian, panggilannya tersambung. Beto meminta sang dokter agar segera datang ke sana.“Dokter Maldonado akan segera kemari, Nyonya. Aku harus menghubungi Tuan Luis terlebih dulu.”Beto memanggil seorang pelayan, yang langsung membantu Maitea ke kamarnya. Setelah itu, dia bergegas menghubungi Luis sambil berjalan keluar rumah."Nyonya Maitea terluka. Nona Kirei menyerangnya, sebelum melarikan di
“Tidak, Nak! Apa yang kau lakukan?” Maitea berusaha meminta pisau yang Kirei pegang. “Berikan padaku,” bujuknya lembut, menyembunyikan rasa gugup dan khawatir yang tiba-tiba hadir. “Jika aku tidak bisa keluar dalam keadaan hidup, maka tak apa dalam kondisi tidak bernyawa. Hidupku sudah hancur. Semua angan indah tentang masa depan dan cita-cita, sirna seketika saat aku harus berurusan dengan Dev.”“Semua bisa dibicarakan baik-baik.”Kirei menggeleng kencang, membantah ucapan Maitea. “Dev memberikan kesempatan besar. Namun, dia telah memangkas habis kebebasanku. Lambat laun, napasku pun pasti harus sesuai dengan keinginannya.”“Tidak, Nak. Putraku pasti memiliki alasan kuat melakukan itu. Dia tidak pernah bertindak sembarangan tanpa perhitungan matang,” bantah Maitea.“Mama tidak tahu apa yang telah Dev lakukan. Dia kerap bersikap kasar dengan memberikan hukuman padaku,” tutur Kirei cukup tegas. “Aku pernah dihukum di ruang bawah tanah selama dua hari, dengan tiga ekor anjing buas yang
“Tidak ada hukuman lagi?”“Aku akan tetap memberikan hukuman, andai kau melanggar aturanku,” tegas Dev.“Kamu memberikan hukuman untuk kesalahan yang tidak jelas. Apakah itu adil?” Setelah lebih banyak memilih diam, Kirei akhirnya bersuara. “Aku sudah sering mengatakan ini padamu. Namun, kamu tetap egois dan hanya melihat dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandangmu."Dev tidak menanggapi.“Apa yang bisa kulakukan, Dev? Apakah aku harus memasang papan di depan dada, yang bertuliskan ‘Dilarang menatapku’? Itu yang kamu mau?”“Aku hanya takut kehilanganmu.”“Pria yang menatapku, belum t
Kirei menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Dev. Akhirnya, dia lebih memilih diam, lalu memalingkan muka.Beberapa saat kemudian, mobil yang Dev dan Kirei tumpangi sudah tiba di halaman parkir belakang rumah perkebunan milik Maitea. Kedatangan mereka disambut senyum hangat ibunda Dev tersebut.Bahasa tubuh Maitea masih terlihat sama. Dia tidak menunjukkan kemarahan atau semacamnya, meskipun Kirei sudah melakukan kesalahan dengan melarikan dari sang putra. Entah kesalahan atau bukan yang Kirei lakukan. Namun, sepertinya Maitea berusaha memahami situasi yang dihadapi wanita muda itu.“Apa kabar, Nak? Selamat datang kembali di rumah ini,” sambut Maitea hangat dan penuh kasih. Dipeluk serta diciumnya kening Kirei, bagai seorang ibu te
Dev mengepalkan tangan mendengar ucapan Kirei. Tanpa banyak bicara, dia berlalu keluar kamar. Dev mengunci pintu, agar Kirei tidak bisa melarikan diri.Dengan langkah gagah penuh percaya diri, dia menuju kamar Luis.“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanya Luis.Dev tidak segera menjawab. Dia menatap sang ajudan, dengan sorot tajam penuh makna. Namun, hanya lewat tatapan seperti itu, Luis sudah mengetahui apa yang akan Dev katakan.“Owen Wyatt,” ucap Dev dingin.Luis mengangguk. “Siap, Tuan.”“Ingat. Jangan meninggalkan jejak sedikit pun.”