“Erlan, apa yang terjadi dengan Gempi?” Pria itu langsung mendapatkan cercaan dari mamanya begitu ia pulang karena melihat wajah Gempi yang sembab. Terlebih gadis manis itu memilih langsung ke kamar tanpa mempedulikan orang sekitar.
“Dia sedang merindukan mamanya, Mam.”
Terdengar embusan napas kasar dari Gian–mama Erlan. “Sudah mama bilang, kau harus segera mencari pasangan!”
Satu sudut bibir Erlan tertarik karenanya. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan punggung yang bersandar. Tatapannya lurus menatap Gian lalu mengembuskan napas kasar. “Aku tidak mau.”
“Erlan, ini sudah lima tahun. Pasti berat bagi Gempi melewati hari-hari tanpa seorang ibu.” Gian masih mencoba membujuk anaknya, tetapi hasilnya tetap nihil.
Erlan bahkan memilih bangkit lalu mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di atas meja sebelumnya. “Aku harus menghadiri rapat.”
“Apa kau tidak akan mengganti baju?”
“Aku bisa telat,” sahut Erlan yang sudah keluar dari rumah orang tuanya.
Lagi-lagi Gian hanya mampu mengembuskan napasnya dengan berat. Wanita paruh baya itu memilih menemui cucu semata wayangnya yang kini sedang tidur.
Sepertinya menangis sepanjang hari membuat Gempi kelelahan dan berakhir tidur dengan posisi tengkurap. Jelas Gian yang melihatnya merasa iba karena dari bayi merah cucunya itu tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ibu.
Mengusap rambutnya yang berkeringat, Gian lantas membenarkan posisi tidur Gempi. Setelahnya ia mengecup kening sang cucu lalu berbisik, “Jangan khawatir, Nak. Nenek akan carikan ibu untukmu.”
Setelah itu, Gian pergi dari kamar untuk menghubungi seseorang. Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Alyn. Wanita itu baru saja tiba yang langsung disambut oleh ibunya.“Alyn, kau pasti lelah. Sebaiknya segera bersih-bersih, ibu sudah buatkan masakan kesukaanmu.”
“Iya, Ibu.”
Alyn ke kamarnya untuk membersihkan diri kemudian ke dapur untuk menemui ibunya. “Waaah, ini yang membuatku teringat terus dengan rumah. Masakan ibu yang paling enak,” ujarnya sambil memeluk Serin–mamanya dari belakang.Sontak Serin terkekeh ringan. Ia menoleh lalu mengusap pipi anaknya dengan lembut. “Sudah, jangan banyak bicara. Lebih baik kau makan sekarang.”
“Iya, Bu.” Dengan patuh Alyn segera menikmati makanan tersebut.
“Alyn, apa besok malam kau memiliki jadwal penerbangan?” tanya Erin di sela-sela makan mereka.
Alyn langsung menegakkan kepalanya lalu menatap ibunya dengan bingung. “Besok malam aku tidak memiliki jadwal, tapi nanti sore aku memilikinya.”
“Oh, Alyn. Kau bahkan baru pulang. Kenapa nanti sore harus kembali bekerja?” Erin menatap anaknya dengan iba karena jadwal putrinya yang padat.Wanita kecil itu hanya meringis kecil kemudian kembali melanjutkan makan. Memang seharusnya ia pulang ke hotel seperti temannya yang lain, tetapi Alyn yang merindukan ibunya pun memilih untuk menyempatkan diri pulang.
“Ibu bahkan sudah tahu bagaimana jadwalku. Lalu kenapa Ibu malah bertanya?” Alyn kembali menegakkan kepalanya demi menghargai lawan bicaranya. Terlebih itu ibunya sendiri.
“Sejujurnya tadi ibu mendapatkan telepon dari teman lama dan dia mengajak ibu untuk makan malam. Dan ibu mau … kau ikut dengan ibu.”
Wanita itu lantas tersenyum mendengar penjelasan dari Erin. “Aku pikir ada apa. Besok aku usahakan untuk datang menemani, Ibu.”
“Benarkah?” Erin tampak berbinar.
“Iya, Ibu.”
“Ah … syukurlah. Kalau begitu kau habiskan makan. Setelahnya beristirahatlah.”
Alyn mengangguk kemudian melanjutkan makan. Selesai makan, Alyn langsung istirahat di kamarnya seperti yang tadi dikatakan Erin.Setelah merasa cukup dengan istirahatnya, Alyn lantas kembali bersiap. “Ibu, aku harus berangkat sekarang.”
“Oh, Alyn. Ibu selalu khawatir jika kau akan terbang,” ujar Erin yang tengah menyapu rumah.
“Jangan terlalu khawatir. Ada bagusnya Ibu doakan aku saja.”
“Itu sudah pasti!”
Wanita itu terkekeh lalu mencium pipi ibunya sebelum berangkat.Tiba di bandara ia langsung bergabung dengan teman sejawatnya. Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di sebuah perusahaan ternama. Ada Erlan yang masih berkutat dengan pekerjaannya.
Pria itu baru saja menghadari rapat penting, tetapi tidak bisa langsung pulang karena masih ada pekerjaan lain di kantor. Hingga tiba-tiba sebuah ketukan pintu membuat Erlan mengalihkan perhatiannya layar monitor ke arah pintu.
“Masuk!” serunya.
Tampak seorang wanita dengan pakaian minim membuka pintu kemudian menghampiri Erlan. “Selamat sore, Pak. Mohon maaf, ini sudah mau malam. Apa Anda tidak akan pulang?”
Pertanyaan dari sekretaris Erlan pun membuat pria itu melirik ke arah arloji mewah yang melingkar di lengannya. Benar, jika hari sudah mau malam. Namun, pria itu masih betah di sana.
“Kau bisa pulang, saya akan tetap tinggal di sini.”
“Tapi, Pak—”
“Sudah, lebih baik kau pergi.”
Tidak bisa membantah, wanita itu pun pamit undur diri. Sehingga Erlan kembali larut dengan pekerjaannya. Pria pulang ketika malam sudah larut, membuat dirinya tidak mendapatkan sambutan dari putri kecilnya yang kini sudah tertidur.
Erlan masuk ke kamar Gempi lalu duduk sisi ranjang. Ia tatap wajah lugu itu lalu mengembuskan napasnya dengan pelan. “Maafkan papa, Nak.”
***
“Erlan, luangkan waktu untuk nanti malam.”
Ucapan Gian membuat Erlan mendongak. Pria itu lantas menatap ibunya dengan satu alis yang terangkat. “Untuk apa, Mam?”
“Mama ingin ajak kamu makan malam dengan teman mama.”
Refleks Erlan memutar bola matanya. “Mama, apa tidak lelah menjodohkanku dengan banyak wanita?”
Gian meringis kecil karena rencananya sudah bisa Erlan tebak.
Ya, bukan hanya sekali Gian melakukan ini. Wanita paruh baya itu sering memperkenalkan wanita yang siap menjadi istri juga ibu bagi Gempi. Sayang … semuanya berakhir dengan penolakan dari Erlan dan Gempi.
Lantas, apa kali ini Gian akan berhasil?
“Nenek, apa kita akan bertemu lagi dengan calon mamaku?” tanya Gemi yang memang sedang berkumpul di ruang makan. Gadis manis itu terlihat lucu menatap Gian dengan mata yang terbuka lebar.
“Ya, kali ini pasti kau akan menyukainya.”
Tiba-tiba saja Gempi mengembuskan napasnya dengan kasar. “Aku tidak ingin mama cerewet, seperti yang kita temui minggu lalu.”
Gian terkekeh ringan mendengar keluhan Gempi. Sementara Erlan refleks mengusap ujung kepala anaknya dengan lembut.
“Kau tenang saja, Sayang. Kali ini nenek membawa mama yang baik.”
Gadis kecil itu menggeleng. Menunjukan jika ia tidak suka dengan ide neneknya. Sehingga Gian yang melihatnya merasa heran. Karena pasalnya gadis manis itu paling semangat jika ia akan memperkenalkan calon mamanya, meski sering kali berakhir dengan tangisan lantaran Gempi yang tidak suka dengan wanita yang dijodohkan dengan papanya.
“Gempi, apa kau sudah tidak ingin mama?” tanya Gian membuat Erlan menghela napas.
“Mam—”
“Gempi sudah punya mama baru!”
Sontak pengakuan Gempi membuat Gian langsung menatap anaknya. “Erlan, jadi kau sudah memiliki kekasih?”
"Tadi Gempi merengek ingin ikut dan bertemu denganmu, jadi aku sengaja membawanya ke mari," terang Erlan setelah mereka menghabiskan waktu bersama dengan Gempi.Kini gadis manis itu sudah tidur di antara Erlan dan Alyn, dengan posisi memeluk lengan Alyn. Sehingga membuat Alyn sulit bergerak."Aku minta maaf, karena waktu tenangmu jadi terganggu." Erlan menambahkan sambil melirik ke arah Gempi.Dengan pelan Alyn menggeleng. Kemudian wanita itu berkata, "Tidak apa-apa, Mas. Mas Erlan tidak perlu meminta maaf.""Tapi tetap saja. Bukankah kau membutuhkan waktu untuk beristirahat?""Aku memang membutuhkannya, tapi aku rasa sudah cukup. Em ... besok aku juga akan pulang," terang Alyn membuat Erlan mengerjap beberapa kali, lalu menatap wanita itu dengan tatapan tak percaya."Maksudnya, kau akan kembali ke rumah kita?" Erlan memastikan jika dirinya tidak salah mendengar."Bukankah sekarang itu adalah rumahku juga, Mas? Kau suamiku, tempat aku pulang ketika masih berada di dunia adalah kau ...
Alyn yang tidak memiliki jadwal penerbangan pun memilih menghabiskan waktu di kebun kecil yang ada di halaman belakang rumahnya. Kebetulan Erin memang senang berkebun untuk dikonsumsi sendiri, maupun dibagikan kepada para tetangga. "Alyn, apa kau tidak akan pulang?" tanya Erin menghentikan kegiatannya sejenak. "Memang aku harus pulang ke mana? Bukankah ini rumahmu, Bu? Jadi rumahku juga!" Erin mendesah pelan lalu menatap Alyn dengan serius. "Maksud ibu rumah Erlan. Mau bagaimanapun sekarang kau adalah istrinya, sudah seharusnya kau ikut dengannya." "Jadi apa artinya aku tidak bisa tinggal di sini, Bu?" "Oh astaga, kenapa pikiranmu sempit begitu?" keluh Erin menbuat Alyn terkekeh kecil. Wanita itu paham ke mana arah bicara ibunya, tetapi memiliki berpura-pura pada awalnya. "Aku sudah mengatakan akan tinggal sementara waktu di sini, dan Mas Erlan tidak keberatan. Jadi bukankah tidak apa-apa aku tinggal di sini? Aku sudah mendapatkan izin, Bu!" "Yeah, tapi bagaima
"Apa kau akan ikut pulang dengannku sekarang?" tanya Erlan setelah mereka sarapan. Pelan Alyn menggeleng, membuat Erlan yang melihatnya tampak mendesah. "Maaf, Mas. Tapi jika boleh, aku ingin menginap sehari lagi di sini. Apa tidak apa-apa?" Tak langsung menjawab, Erlan tampak menatap istrinya sejenak. Setelahnya ia mengangguk pelan. "Kalau memang itu yang kau inginkan, maka baiklah. Aku izinkan," ucapnya. "Terima kasih." "Sama-sama, Sayang," balas Erlan kemudian bersiap untuk berangkat. "Aku berangkat dulu, kamu istirahatlah yang cukup," sambung Pria itu menarik Alyn ke dalam pelukannya, kemudian mengecup kening sang istri dengan singkat. Maunya Erlan berlama-lama, tetapi pria itu juga sadar betul jika ia terlalu ugal-ugalan, maka Alyn bisa saja merasa semakin tidak nyaman saat bersamanya. Sehingga Erlan memilih melakukan pendekatan secara perlahan .... "Hemm," sahut Alyn singkat lalu mundur satu langkah setelah Erlan melepaskan pelukan. Melihat hal itu membuat E
"Ekhem!" Deheman itu berhasil membuat Alyn dan Erin menoleh ke arah sumber suara. Sehingga membuat kedua wanita berbeda generasi itu terkejut--khawatir andai Erlan mendengar apa yang dikatakan Alyn barusan. Meski pada kenyataannya memang Erlan sudah mendengar. Namun, pria itu tampaknya memilih untuk berpura-pura tak mendengar. Terbukti dengan senyum yang ia tampilkan kepada istri dan mertuanya. "Kalian sedang apa?" tanya Erlan membuat Erin menyenggol lengan anaknya. "Em ... aku sedang membantu ibu membuat sarapan," jawab Alyn pada akhirnya. "Kalau begitu, apa aku harus membantu juga?" Pria itu benar-benar berusaha keras untuk berpura-pura dan tidak memikirkan ucapan Alyn tadi. Meski tak dapat ia pungkiri jika dirinya merasa terganggu dengan itu semua. Bercerai? Tidak, Erlan tidak akan melepaskan Alyn. Ini bukan lagi tentang Erlan yang takut jika Gempi kehilangan sosok ibu. Namun, ini mengenai perasaannya yang sudah menyadari jika dirinya begitu mencintai Alyn. "Tidak.
Menggeliat, Alyn baru saja bangun merasakan tubuhnya terasa berat. Sehingga dengan segera ia membuka mata dan mendapati ada Erlan yang memeluknya dengan erat. Hal itu jelas membuat Alyn terdiam beberapa saat sambil menatap wajah Erlan yang terlelap dengan seksama. Hingga akhirnya wanita itu memilih untuk menyingkirkan lengan Erlan secara perlahan, karena panggilan alam mendesaknya untuk lekas ke kamar mandi. Namun, gerakan kecil yang Alyn lakukan malah membuat Erlan terganggu. Pria itu membuka mata secara perlahan lalu menatap Alyn dengan matanya yang sayu. Hanya beberapa detik, karena setelahnya Erlan yang tersadar langsung menarik diri. "Sayang, maaf aku sudah lancang." Tidak seperti biasanya--Erlan yang sering mengelak, tetapi kali ini pria itu malah meminta maaf. Membuat Alyn terkejut dengan sikap Erlan. Maka dengan gerakan kaku Alyn mengangguk. "Hemm," sahutnya. "Aku akan ke kamar mandi." Wanita itu menambahkan seraya turun dari ranjang. "Iya," sahut Erlan sambil menga
"Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi lebih dulu sebelum pulang, Sayang?" tanya Erlan setelah mereka selesai makan. Alyn menggeleng pelan. Kemudian berkata, "Aku ingin langsung pulang saja. Sejujurnya aku masih merasa letih." "Aku mengerti. Maaf, tidak seharusnya aku mengajakmu makan di luar." Kembali wanita itu menggeleng. "Aku yang menginginkannya, jadi kau tidak perlu meminta maaf, Mas." Entah harus apa, Erlan mengangguk saja. Setelahnya ia merangkul pinggang Alyn dengan ragu-ragu karena takut jika sang istri akan menolak. Namun, melihat Alyn yang diam saja membuat Erlan semakin percaya diri dengan mengeratkan langkulan. Sehingga posisi keduanya menjadi semakin menempel. Tersenyum tipis, sesekali Erlan mencuri pandang ke arah Alyn yang memilih menatap lurus ke depan. Hingga akhirnya mereka tiba di depan mobil. Lekas Erlan melepaskan rangkulan kemudian membukakan pintu untuk Alyn. "Sayang, hati-hati," ucapnya dibalas anggukan oleh Alyn. "Terima kasih," ucap Alyn. "