Tuk! Tuk! Tuk!
Itu bunyi sepatu yang beradu dengan lantai. Sepertinya terdengar semakin mendekat ke kamar.
‘Apakah pria itu akan datang? Kenapa juga harus sesore ini?’ jantung Alea berdegup kencang.
Ciiit!
Pintu terbuka sedikit. Tubuh tinggi dan tegap yang tampak samar karena cahaya dari belakang tubuhnya membuat wajah pria itu jadi tidak terlihat, hingga pintu ditutup lagi.
Kamar menjadi gelap. Hanya sedikit cahaya yang menerobos tirai putih. Namun Alea masih bisa melihat pria itu mendekat.
“Jangan!” gumam Alea sambil reflek bangkit dan berdiri di sudut tembok.
Sesaat keadaan yang gelap itu menjadi terang setelah Ardhan menekan saklar lampu kamarnya.
Ardhan menatap gadis yang masih berkebaya itu. Terakhir kali dia bertemu dengan Alea secara langsung saat melayat ibunya yang meninggal setahun yang lalu. Waktu itu dia juga hanya melihatnya sekilas karena Alea dalam keadaan berduka dan tidak sempat menemuinya. Sebelum itu Ardhan terakhir bertemu dengan Alea saat gadis itu masih duduk di bangku SMP.
Sekarang Ardhan baru melihat wajah Alea dengan jelas. Dia memang cantik, meski dengan dandanan rambut yang amburadul itu. Walau begitu hati Ardhan tidak bisa tergetar karena sudah memiliki tambatan hati.
“Kenapa kau berdiri di sana?” tanya Ardhan cuek sambil mengambil sesuatu langsung pergi ke kamar mandi.
Alea menatapnya bengong, pria yang sudah menjadi suaminya itu masuk begitu saja ke kamar mandi. Lalu ketegangan di wajahnya mulai terurai.
“Jangan takut Alea. Kau masih ingat kan, Ardhan pria yang baik. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan buruk”
Alea komat kamit sendiri karena merasa Ardhan sangat tidak menyukainya lantaran sikapnya sejak selesai akad itu. Dia jadi insecure karena yakin Hera memang memaksakan perjodohan ini pada putranya itu. Dalam pikiran polosnya dia sudah membayangkan bahwa hari-harinya pastilah tidak mudah.
disiksa, dihina, dilecehkan... Ugh! Alea sudah menyiapkan mental untuk itu.
“Keluarga kita banyak berhutang budi pada Pak Hamid!” begitu ucapan ayahnya terlintas lagi di kepala.
Ardhan keluar dan sudah mengganti bajunya dengan kaos dan celana santai. Dia masih mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Alea hanya membeku melihat pria itu. Dia menelan salivanya karena baru kali ini melihat pria selesai mandi dan mengusap rambutnya yang basah. Gerakannya begitu menawan di pandangan Alea.
‘Ck! Kak Ardhan ternyata ganteng juga!’
Eh sadar! Alea langsung menundukan wajahnya dan menghindari menatap pria itu lagi.
“Kau kenapa?” tanya Ardhan melihat heran Alea yang masih berdiri di pojok kamar.
“Eng, tidak apa-apa, kok, Kak!”
Ardhan duduk di tempat tidur dan menatap Alea yang masih tidak bergeming di sudut kamar dengan heran.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana? Atau memang kamu suka bergelantung di pojok kamar dengan rambut acak-acakan seperti itu?”
Mata Alea terbelalak. ‘Sialan! Dia kira aku Mbak Kunti apa?’
Alea kemudian baru sadar, rambut panjangnya memang acak-acakan karena dia tidak tahan dengan jepit-jepit rambut yang ditusukan para penata rambut tadi hingga kulit kepalanya terasa sakit karena tertarik jepit. Pasti dia sangat berantakan. Pantesan Ardhan sampai membandingkannya dengan Mbak Kunti.
“Sudah, mandi sana!” ujar Ardhan pada Alea.
“I-Iya, Kak!” Alea kemudian berjalan ke kamar mandi.
Saat itu Ardhan menghela napas dan duduk termenung di tempat tidur. Tadinya dia sudah ingin pergi saja dan tidak memperdulikan status pernikahannya ini. Namun saat hendak mencari mobilnya dan pergi, dia bertemu dengan Nadhim. Ayah Alea.
“Kita bisa bicara sebentar, Mas?” tukas Nadhim pada Ardhan.
Ardhan bukan pria yang tidak berpendidikan dan tidak punya etika. Dia besar di keluarga baik-baik dan masih sangat kental dengan norma sopan santun. Meskipun status Nadhim adalah supir papanya, namun pria itu juga sudah lama dianggap Ardhan keluarganya sendiri. Dia sering menggantikan papanya melakukan tugasnya sebagai seorang ayah. Mengambilkan rapotnya saat sekolah dulu, menasehati Ardhan saat salah, juga sering membelanya dari banyak hal. Kedekatannya dengan Nadhim melebihi kedekatannya dengan papanya yang super sibuk itu.
Karena itu, saat orang tua itu meminta waktunya untuk bicara, Ardhan tidak menolak.
“Alea tidak bersalah dalam hal ini. Jadi mohon jangan perlakukan Alea dengan buruk, Mas!” Nadhim berkaca-kaca menyampaikannya.
“Kenapa Pak Nadhim berpikir seperti itu? Saya tidak mungkin menyiksa Alea, Pak!” Ardhan heran Nadhim sampai berpikiran begitu. Dia jadi lebih yakin, ini pasti karena desakan mamanya.
“Niat ibu baik, kok, Mas. Saya berani mengambil keputusan ini karena melihat ibu sangat menyayangi Alea. Dua tahun terakhir ini Alea sangat sedih ditinggal ibunya. Berharap dia juga merasakan kasih sayang seorang ibu lagi yang selama ini sudah diambil yang kuasa.” Nadhim menangis, membuat hati Ardhan terenyuh. Begitu cinta pria ini pada putrinya.
“Saya bisa memahami itu, Pak. Tapi … “
“Mas Ardhan tidak menyukai Alea?”
“Bukan begitu, Pak! Masalahnya ini terlalu mendadak, semua butuh waktu dan proses.”
“Iya, Mas. Saya berharap Mas mencoba berproses dalam beberapa waktu ini bersama Alea. Jika memang Mas Ardhan masih tidak bisa menerimnya dengan baik, tolong jangan sakiti Alea, pulangkan saja Alea dengan baik-baik, Mas!” tukas Nadhim lagi beruraian air matanya. Setelah kepergian istrinya, hidup dan bahagianya tercurah hanya untuk putrinya itu.
“Jangan kuatir Pak, Alea akan baik-baik saja. Masalah apakah jodoh kami akan terus atau terhenti di jalan, hanya Allah yang tahu. Doakan yang terbaik untuk kami ya, Pak!” Ardhan menenangkan pria yang sudah menjadi mertuanya itu.
Nadhim mengusap air matanya dan mulai bisa tersenyum pada Ardhan. anak muda yang tumbuh bersamanya itu memang anak muda yang baik. Nadhim tentu sudah mengenalnya dengan baik. karena itu, meski sedikit terpaksa, Nadhim ikhlas Alea menikah dengan Ardhan.
“Alea dua tahun terakhir ini hanya sibuk mengurusi ibunya yang sakit, dia masih sedikit polos dan kekanak-kanakan, mohon Mas Ardhan membimbingnya dengan baik.” Nadhim masih mencoba membuat Ardhan mengerti bagaimana putrinya.
Lamunan Ardhan buyar saat pintu kamar mandi terbuka. Alea tampakn keluar dan masih memakai kebayanya. Ardhan menatapnya dengan heran.
“Kau sampai kapan mau pakai kebaya? Suka banget ya sama kebaya itu?” komentar Ardhan pada Alea yang berdiri dengan raut bingung itu.
“Aku boleh keluar bentar, ya, Kak?”
“Kamu mau keluar dengan memakai kebaya dan rambut yang … “
Gimana sih nih anak? Gak lihat apa penampilannya sudah sama dengan kuntil anak begini, malah mau keluar.
“Aku, aku gak bisa tarik resleting kebayanya, Kak! Jadi mau minta tolong Mama Hera buat bukain dulu!” ucap Alea malu.
“Ya udah, sini, aku bantu!” tukas Ardhan bangkit, dari pada nanti mamanya ngomel-ngomel padanya kalau Alea justru keluar minta tolong bukain resleting.
“Tapi, Kak…”
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d