Siapa sangka saat Ardhan memutuskan pulang ke rumah, mamanya sudah menyiapkan pesta pernikahan untuknya dengan Alea. Padahal, dia sudah memiliki seorang kekasih dan berjanji akan menikahinya selepas kekasihnya lulus kuliah di luar neegri. Namun, ia tak bisa menolak. Lantas, bagaimana nasib pernikahannya? Terlebih, saat Ardhan mulai menyadari kalau dia telah jatuh hati....
View MoreLangkah kaki wanita itu tampak menghentak melihat anak laki-lakinya masih sibuk di depan laptop di ruang kerjanya. Putung rokok sudah memenuhi asbak dan ruangan yang pengap itu menguar bau rokok meski asapnya sudah menghilang.
Brak!
Terdengar suara sesuatu dibanting di meja.
“Jadi setiap hari kau sibuk dengan pekerjaan konyolmu ini hingga Mama telpon, kirim pesan tidak di balas!” tukas Hera mendekat, wanita itu sembari menjewer telinga anaknya.
“Ma, Ma, Ma!” Ardhan mengikuti saja langkah kaki Hera karena kupingnya diseret. “Jangan dijewer, Ma! Sakit, macam anak kecil saja!”
“Kamu memang anak kecil yang kurang ajar! Mamamu sakit di rumah sakit sampai mau mati kamu tidak perduli, hah!” Hera baru melepas telinga anaknya sambil berkacak pinggang.
“Ya elah, Mama! Kan Mama sehat wal’afiat, lihat sekarang bisa datang ke sini dengan semangat masih membara.” Ardhan mengusap-usap daun telinganya yang memerah itu.
“Besok pulang! Kalau tidak Mama bunuh diri!” Hera mengancam.
“Astagfirullah Mama, jangan begitu, nyebut!” Ardhan menggapai lengan wanita yang sudah melahirkannya itu, namun Hera menepisnya.
“Kayak orang bener saja kamu nyuruh Mama nyebut. Kamu tuh yang nyebut, udah tua hobinya masih main mlulu. Mama sedih lihat kamu begini terus, bagaimana kalau tiba-tiba Mama dipanggil yang kuasa sementara kamu belum juga mau menikah . . . “ dan serentetan ocehan masih terdengar seperti sebuah lagu seriosa di telinga Ardhan.
Duh, kumat lagi Drama TV-nya. Ardhan menyesal kenapa tadi tidak pakai earphonenya. Mudah-mudahan telinganya baik-baik saja setelah ini.
“Ya udah, Ma! Besok Ardhan datang, Kok!” Demi nada seriosa itu lenyap dari telinganya, Ardhan akhirnya menyanggupi pulang.
Suara ocehan itu tiba-tiba hening. Wajah wanita separuh baya itu terlihat mengembangkan senyumnya, dia mengelus bahu putranya dengan lembut.
Tuh,kan! Mudah sangat mengambil hati wanita ini.
“Begitu kan, bagus! Mama udah kangen kamu makan bersama di rumah.”
“Iya, Mama! Insyaallah besok Ardhan pulang,” ucap Ardhan agar wanita itu senang.
Namun kesenangan itu hanya terlihat sebentar karena wajah Hera berubah judes lagi.
“Awas kalau sampai tidak datang! Aku suruh Papamu coret dari KK biar gak dapat warisan sekalian!” gerutu Hera sambil mengambil tasnya.
“Hati-hati ya, Ma!” Ardhan segera membukakan pintu untuk Hera. Namun sekali lagi dia ditatap tajam wanita itu.
‘Apalagi sih, Ma?!’
“Semangat banget bukain pintu? Ngusir Mama?” Hera melotot.
“Ya Salaaam…, kan emang Mama mau pulang. Tuh tasnya sudah ditenteng!”
Hera melengos lalu berlalu keluar. Supirnya langsung sigap membukakan pintu untuk sang nyonya.
“Bang Rom, hati-hati ya!” Ardhan melambai pada supir mamanya.
“Ya, Mas! Monggo…,” ucap Romi lalu segera berlari ke pintu kemudi.
Huft!
Sepertinya Ardhan memang harus pulang besok. Bisa jadi ada acara penting sampai mamanya ngancam bunuh diri kalau dia tidak datang.
Ting!
Notifikasi pesan masuk ke ponsel Ardhan. Dari Mamanya? Udah pergi juga masih kirim pesan.
[Mama lupa kasih tahu kamu, di meja ada baju yang harus kamu pakai besok. Ingat kalau kamu tidak datang Mama akan bunuh diri!]
Tuh, kan! Diingetin lagi.
“IYA IYA MAMAKU YANG BAWEL DAN CEREWET!” ucap Ardhan yang tentu tidak bisa di dengar mamanya.
Heran sama Papanya. Kok bisa tahan dan sabar menghadapi wanita itu. Batin Ardhan mengambil paperbag di meja lalu melemparnya begitu saja di kamarnya. Saat kembali pada laptopnya dia jadi kepikiran. Ada acara apa besok di rumahnya?
Ketika Ardhan datang dengan pakaian yang diberikan mamanya semua orang menyambutnya dengan sangat bahagia. Semua keluarga besarnya datang dan tampak rapi. Ardhan masih bingung, acara apa? Hingga dia melihat di halaman samping ada pergola kecil yang dihias bunga-bunga. Di sampingnya ada meja dan 4 kursi yang dua diantaranya sudah diduduki seseorang. Sepertinya petugas KUA.
‘Siapa yang menikah?’ batinnya.
“Kak Ardhan! Ayo makan-makan dulu!” panggil sepupunya yang sudah menenteng makanan dan minuman.
“Hei, Laila! Jangan makan dulu, acara belum di mulai,” tukas seorang wanita meletakan makanan yang dipegang Laila. Itu Kamila, tantenya.
“Ardhan, kamu ganteng deh hari ini. Tante jadi pangkling!”
“Makasih, Tan!” ucap Ardhan.
“Mama, kapan dong acaranya. Siapa yang nikah?” Masih Laila yang sedikit gembul itu merengek pada mamnya.
“Iya bentar lagi, itu Kak Ardhan juga sudah datang. Pasti akan segera dimulai acaranya!” ucap Kamila saat melewati depan Ardhan.
‘Memang siapa yang menikah? Kenapa nunggu aku datang?’
“Ardhan, Sayangku! Akhirnya …”
Hera keluar dengan kebaya yang sangat indah dan elegan. Wajahnya pun dirias dengan sangat cantik. Di sampingnya dia melihat Papanya yang juga tersenyum padanya.
“Pa, siapa yang mau nikah? Jangan-jangan Papa mau nikah lagi?” tukas Ardhan mencandai papanya. Dia pria keturunan arab, biasanya orang dari sana punya istri lebih dari satu.
“Eh, sembarangan kamu!” Hera melotot. Lalu dia mendorong punggung anaknya sampai duduk di kursi di samping petugas KUA.
“Ta-tapi siapa yang menikah?” Ardhan masih heran.
Dan keheranan itu terhenti saat seorang laki-laki berjalan lalu duduk tepat di hadapannya. Dia kenal lelaki itu. Ayah dari seorang gadis yang dijodohkan dengannya.
‘Mama apa-apaan sih! Ya Allah… gini amat punya orang tua.’
Hingga kata ‘sah’ membahana di penjuru halaman itu membuat Ardhan terhenyak. Dirinya sudah mengucapkan akad untuk seorang gadis yang bahkan tidak dicintainya itu.
“Asyiik, sudah boleh makan ya, Ma!” teriak Laila membuyarkan sisi khidmat setelah kata ‘sah’ itu terucap.
“Ehh, dengerin doa dulu!” Kamila masih memegangi tangan anaknya yang sudah tidak sabar makan itu. Sementara hadirin yang lain tertawa.
Hera tampak berkaca-kaca dan memeluk Ardhan. “Terima kasih, Sayang! Mama bisa tenang sekarang karena anakku sudah menikah!” Hera masih terisak.
“Apaan, sih, Ma? Ini Prank ya?” Ardhan masih bergumam ditelinga Mamanya.
“PRANK KEPALAMU! Mana mungkin Mama mau keluarin banyak duit untuk semua ini kalau bukan untuk pernikahanmu!” Hera menjitak kepala Ardhan.
“Ma,” tukas Hamid, papa Ardhan mengingatkan Hera agar tidak keblalasan ngomel-ngomel di depan banyak orang.
“Ardhan, tidak ada prank tentang pernikahan. Semua sudah sah di hadapan Allah dan hukum. Kamu sudah menikahi Alea putri Pak Nadim. Kau harus jadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk istrimu!” tukas Hamid menepuk pundak Ardhan meski melihat tatapan protes putranya itu.
Kedua mempelai kemudian dipertemukan. Tidak ada senyum terkembang di wajah Ardhan. Pun dia tidak terlalu memperhatikan wajah sang istri. Toh, dia tidak pernah mencintainya. Bagaimana dengan Naysila kekasihnya yang kini masih menempuh pendidikan di luar negri? Bagaimana perasaannya jika ternyata mengetahui dirinya sudah menikah dengan wanita lain? Padahal semalam mereka masih ngobrol di telpon dengan sangat mesra.
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments