"Aku mimpi kamu selingkuh?"
Bak disambar petir tepat mengenai jantungnya, secara perlahan Raka menurunkan kedua tangannya dari wajah Hanny, wajahnya cerahnya seketika berubah menjadi pucat pasi.
"Kamu nggak beneran selingkuh, 'kan?"
Raka yang tiba-tiba bingung harus merespon apa hanya bisa tertawa hambar, lantas menyugar rambut tebalnya yang masih basah kebelakang.
"Selingkuh? Ya enggak lah, Sayang. Bagaimana bisa aku menyelingkuhi perempuan lucu, imut dan menggemaskan seperti istriku ini … hmmm?" dalih pria itu pada akhirnya, tangannya kembali bergerak mencubiti pipi chubby milik sang istri, tak peduli dengan sang empu yang sudah merintih karena kesakitan.
"Udah malem, kita istirahat ya! Kasihan si utun pasti lelah." Pria itu kembali bersuara, lantas menata bantal agar terasa nyaman, dan segera membantu Hanny untuk merebahkan dirinya.
Ia pun dengan cepat turut berbaring dan mendekap pinggang ramping milik sang istri, kepalanya sengaja ia sembunyikan pada curuk leher milik Hanny, membiarkan aroma mint menguar menyapa indra penciumannya.
Hanny sendiri hanya diam dengan perasaan yang masih dibuat berantakan, layaknya sebuah kaset rusak, kejadian tadi siang terus berputar pada otaknya. Hatinya terasa sesak dengan air mata yang terus menerobos hendak keluar, tetapi sebisa mungkin wanita yang tengah hamil muda itu menahan semuanya. Ia tidak ingin gegabah dan lebih memilih untuk mengikuti alur yang telah dipersiapkan suaminya.
"Kamu jangan pernah tinggalin aku, ya!"
Suara serak itu kembali terdengar di tengah heningnya malam, bersamaan dengan Raka yang semakin mengeratkan pelukannya kepada sang istri, seakan tengah menyalurkan rasa rindu dan khawatir yang mendalam.
Hanny pun memiringkan kepalanya dengan mata yang sedikit berembun ia menatap wajah tampan milik Raka, sembari mengulum senyum tangannya bergerak lembut mengusap tangan kekar Raka yang masih setia memeluknya.
Bagaimana bisa, Mas … kamu berujar seperti itu, sedangkan kenyataannya, kelakuan kamu sendiri yang menyuruhku untuk pergi
****
"Pagi, Sayang," Raka yang baru saja tiba di meja makan, langsung memberikan kecupan singkat pada kening sang istri, yang tentu langsung dibalas dengan senyuman manis yang khas oleh wanita itu.
"Kamu mau sarapan pakai apa?" Kini giliran Hanny yang bertanya, wanita itu sedikit mendongak, menatap Raka yang masih setia berdiri di sampingnya.
"Apa aja, yang penting makannya sama kamu," balas Raka disertai kekehan di akhir kalimat.
"Dasar gombal, udah mau punya anak juga, masih aja kayak abg," decak wanita itu, sembari mencubit kasar perut Raka, membuat sang empu merintih menahan sakit.
"Sakit sayang!" rengeknya dengan wajah yang dipoles se melas mungkin, " Lagian akutu lagi gak gombal, aku beneran!" sambungnya, masih dengan bibir yang dibiarkan maju layaknya bebek, yang justru terlihat sangat lucu dimata bumil itu.
Hanny yang tak kuasa menahan tawa, akhirnya tertawa singkat, sebelum kemudian tangan mungilnya bergerak pelan mengusap bekas cubitan di perut Raka. "Utututu … sakit? Maafin ya? Aku tadi emang sengaja kok!"
"He'em, sakit banget, maunya dipeluk, bukan diusap-usap!"
Tanpa aba-aba Raka langsung menarik tubuh mungil Hanny untuk masuk ke dalam dekapannya, wanita itu pun dengan senang hati turut melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Raka, perlahan matanya terpejam saat merasakan usapan lembut yang Raka berikan pada punggungnya.
Sejenak ia melupakan segala rasa sakit yang terus menghantui pikirannya. Bukannya bodoh, hanya saja wanita itu tahu langkah tepat yang harus diambil untuk menyelesaikan ini semua.
"Kamu hari ini pulang cepat, 'kan?" gumam Hanny, yang masih menyembunyikan wajahnya di perut rata milik Raka.
Tidak ada jawaban, kecuali helaan nafas panjang yang terdengar cukup berat, sontak hal itu membuat hanny melepaskan dekapannya dan menatap Raka dengan semburat penuh kekecewaan.
"Ada meeting lagi?"
Meski berat, Raka tetap mengangguk. Lantas pria itu berjongkok tepat di hadapan Hanny yang tengah duduk manis di atas kursi, tangannya bergerak cepat membingkai wajah lesu yang istrinya tampilkan saat ini.
"Hey, jangan sedih dong! Kan cuma hari ini. Besok janji deh bakal pulang cepet," bujuk pria itu, matanya sama sekali tak lepas dari wajah Hanny, tidak bisa dipungkiri wajah wanita dihadapannya ini bisa dibilang mendekati sempurna.
Matanya, berwarna hazel yang begitu unik, kedua bola mata itu juga tampak begitu tajam, yang mampu menangkap detail-detail terkecil dalam kehidupan sehari-hari. Namun, juga memiliki kemampuan untuk melebur menjadi dua permata berkilau yang menawan. Ditambah bulu matanya yang lentik, dengan elegan membingkai mata itu, memberikan pesona ekstra pada pandangan penuh kehangatan dan kelembutan. Mereka seperti jendela ke dalam jiwa yang tulus dan lembut, sejernih kristal yang mengundang siapapun yang memandang untuk terpaku.
Bibirnya, ranum dan menggoda, menyiratkan pesona alami yang tak terhindarkan. Mereka memancarkan keinginan dan kelembutan, seperti sehelai bunga yang mengundang untuk dicium, dan sejajar dengan senyumnya yang selalu mengembang manis.
"Janji!" seru Hanny dengan mengangkat jari telunjuknya tepat di wajah Raka. Melihat itu membuat senyum puas tercetak pada bibir Raka , lantas pria itu turut menautkan jari telunjuknya menjadi satu dengan milik Hanny.
Hanny yang tampak semakin melebarkan senyumannya, berhasil memunculkan kembali kelenjar aneh yang turut mengalir dalam darah Raka, secara sadar pria itu mengikis jarak antar keduanya, bahkan kini dahi dan hidung nya sudah menempel tepat di wajah sang istri, Hanny yang paham akan sinyal penuh hasrat itu, turut menyatukan bibir keduanya, dan saat itu juga ia merasakan kelembutan yang nyaman saat bibir Raka berhasil menyentuh bibirnya, menciptakan kilatan gairah yang memenuhi ruangan.
Raka reflek menahan tengkuk sang istri dengan sebelah tangan, dan secara perlahan ia melumat bibir sexi itu, sehingga keduanya berhasil saling bertukar saliva. Dalam detik-detik tersebut, Hanny merasakan kehangatan dan cinta yang meluap dari dalam dirinya, sementara Raka merasakan kebahagiaan dan keinginan yang tak terbendung. Sebelum akhirnya Raka yang lebih dulu melepaskan ciumannya saat dirasa istrinya itu mulai kehabisan nafas.
"I'am so happy!" gumama Raka yang masih setia menatap wajah Hanny, yang sudah memerah karena menahan malu.
Lantas keduanya saling menatap dengan intens, dan seperdetik setelahnya sepasang suami istri itu saling tertawa dengan renyah, sebelum akhirnya dengan berat hati Hanny harus melepaskan kepergian suaminya untuk bekerja.
"Hati-hati dijalan, Mas!" teriak Hanny saat mobil hitam yang ditumpangi sang suami mulai menjauh dan berakhir hilang di antara tikungan jalan.
Lantas wanita itu memincingkan matanya, tangannya bergerak pelan menyentuh bibirnya yang sedikit membengkak, kemudian ia terkekeh sebelum akhirnya memutuskan untuk bergerak cepat menuju ruang kerja milik Raka.
Secara perlahan, tangannya bergerak lincah membuka satu per satu dokumen yang tertumpuk di sana, berusaha sekuat tenaga untuk tidak merubah sedikitpun posisi benda yang ada di sekitarnya. Saking fokusnya, ia bahkan tidak menyadari jika tangannya menyenggol beberapa tumpukan map yang tertata rapi.
"Bitch!"
Wanita itu berdecak, lalu berusaha dengan hati-hati menata dan mengembalikannya ke tempat semula. Namun, matanya kembali menyipit saat menangkap gambar yang tampak familiar di sampul salah satu dokumen.
Tanpa ragu, ia segera membuka isi map itu, dan benar saja, tebakannya sama sekali tak meleset. Kini, ia telah menemukan apa yang telah dicarinya sejak tadi. Membuat senyum licik langsung terekspos di bibir indahnya.
"Devina Anggraeni," gumamnaya disertahi kekehan tak bersahabat.
"Saya akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik saya!"
“Surprize!”Raka yang tengah fokus berkutat dengan layar komputernya, harus terlonjak kaget tatkala mendapati seorang wanita sudah berdiri di hadapannya dengan menampilkan seulas senyum yang nampak indah.Dalam keadaan masih terkejut, tak urung Raka tetap berdiri guna menghampiri wanita cantik dengan pakaian pressboddy yang semakin mempertontonkan keelokan tubuhnya.“Hay, apa yang membuatmu kesini, hmm?” tanya Raka setelah berhasil memeluk tubuh sang sekretaris dan membawa kepangkuannya.“Bukankah nanti malam kita akan menghabiskan waktu bersama?” sambungnya, sembari terus mendaratkan kecupan pada wajah Devina.Devina yang merasa geli, hanya bisa terkikik. Lantas tangannya pun turut bergerak guna membelai rahang tegas pria itu, sembarai merengek bak seorang bocah, “ Aku hanya merindukanmu, Mas. Dan untuk saat ini, menunggu waktu malam itu masih sangat lama.” Akan tetapi, detik berikutnya ia berhasil dibuat terkesiap saat tanpa sengaja netranya menangkap sesuatu yang cukup familiyar b
“Jangan! Kamu di sini aja, ada yang harus aku omongin sama kamu!”Suara Hanny yang tampak tegas itu, membuat Devina gugup hingga susah payah menelan salivanya sendiri. Beruntung Raka yang cepat sadar turut melangkahkan kaki guna mendekati kedua wanita itu.Lantas secara perlahan ia menarik tangan Hanny dan mengenggamnya, “Biarin Devina pergi, Sayang. Toh urusannya sama aku juga udah selesai.”Bukannya menurut, Hanny justru berdecih kesal. Kemudian dengan bersedekap dada ia mulai menatap Raka juga Devina secara bergantian.“Kamu kenapa sih, Mas? Khawatir banget kayaknya! Aku tu cuma mau ngomong sama Devina, bukan mau nerkam dia!” sungut Hanny yang kini sudah kembali menatap Raka penuh tanya.“Ada yang kalian sembunyiin ya, dari aku?” sambungya bersamaan dengan kedua matanya yang sengaja disipitkan saat menatap sang suami.“Nggak ada!” Raka yang menggeleng, segera me
Dalam balutan malam dengan cahaya remang-remang dari decorative lighting yang berada di pojok ruang tamu. Netra Hanny melirik ke arah jarum jam, yang ternyata sudah berada tepat di angka 11. Namun, kedua netra hazelnya masih enggan untuk sekedar di tutup.“Ayo dong dek, kita tidur ya!” lirih wanita itu dengan mengelus perutnya sendiri, mencoba untuk menenagkan janin yang entah mengapa terus bergerak sejak tadi.“Ayah pulangnya masih lama lo, nanti kamu kecapean, tidur sekarang ya!” sambungnya dengan menghela nafas lelah, tetapi juga bahagia dalam satu waktu.Karena tubuhnya yang merasa lelah saat terlalu lama duduk, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri sembari berjalan mondar mandir di samping sofa. Dan untuk saat ini, entah mengapa ia benar-benar ingin memeluk dan mencium wangi woody dari tubuh suaminya yang tak kunjung pulang itu.“Kamu kemana sih, Mas. Jam segini belum juga pulang?” Entah sudah kali beberapa decakan yang sama itu terus keluar dari mulut Hanny, hingga membuatnya ke
Pagi menyapa dengan embun yang menghiasi daun dan bunga. Di kejauhan, matahari mulai timbul, menerangi langit dengan warna-warni indahnya. Semua tampak begitu segar dan penuh harapan.Begitu pula dengan keluarga kecil yang saat ini tengah duduk bersama di meja makan, di sana ada Raka yang tengah asik menuang madu ke dalam mangkuk yogurt, juga Hanny yang juga sibuk meratakan selai coklat pada roti bakar di tangannya, sebelum kemudian ia letakkan pada piring milik sang suami.“Makasih, Sayang,” gumam Raka yang langsung melahap roti tersebut, membuat Hanny tersenyum senang."Oh iya, Mas. Kamu beli parfum baru?"Hanya dengan satu kalimat pertanyaan, Raka sudah dibuat tersedak, sementara dengan sigap tangan kirinya menepuk pelan dada bidangnya, saat merasakan roti yang baru saja ia kunyah tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Kali ini, Hanny hanya diam dan terus menatap setiap pergerakan Raka tanpa mau membantu."P-parfum? Nggak ada deh
"Ada acara apa nih, pelukan gak ajak-ajak."Kehadiran Bachtiar membuat kedua insan yang masih setia berpelukan, segera mengakhiri aktivitasnya. Lantas keduanya serempak menoleh ke sumber suara."Lah, Bachtiar. Kok lo bisa masuk?" tanya Tania yang reflek melebarkan pupil matanya, menatap tajam ke arah Bachtiar.Bachtiar sendiri hanya menghembuskan nafas berat, menatap sahabatnya itu dengan tatapan jengah. "Tu lihat pintu lo!"Tania pun menoleh, menatap arah pandang yang Bachtiar tunjukan, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu dengan menunjukan deretan gigi-gigi putihnya."Makanya, jangan ceroboh. Pintu itu ditutup, bukan malah dibuka selebar jidat lo!" Bachtiar yang memang terkenal rese, menyentil jidat Tania, membuat sang empu mengaduh kesakitan.Namun, pria itu sama sekali tak peduli, karena ia lebih tertarik untuk turut bergabung, dan duduk di samping Hanny yang masih sibuk mengusap bercak air dari pipi chubbynya. "Lo gak papa, '
"Lo ngapain, sih? Pake acara pindah apartemen segala?" Di sepanjang jalan Tiar terus menggerutu kesal, tetapi tak urung kakinya tetap melangkah mengikuti pergerakan Tania, dengan sebuah kardus besar yang berisi barang-barang wanita itu di dalam rengkuhannya. "Ya terserah gue, dong! Orang kaya mah bebas. Lagipula gue bosen di sana!" jawab Tania asal ceplos, lantas ia kembali berjalan setelah pintu lift terbuka. Besarnya kardus yang ia angkat, sedikit menyusahkan netra sipitnya untuk melihat dengan benar, hingga tanpa disadari seorang wanita dari arah berlawanan, tengah berjalan tergesa dan berakhir mereka berdua saling menabrak. Kardus yang Tania bawa terjatuh, dan menumpahkan semua isinya, sedangkan kedua wanita itu saling tersungkur ke atas lantai. Tiar yang menyaksikan adegan itu, dengan cepat meletakkan barang bawaannya, lantas bergegas membantu Tania untuk berdiri. "Lo nggak papa?" tanya Tiar yang saat ini tengah memutar tubuh
Dengan mata yang masih terpejam dalam larutnya malam, Devina semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar milik Raka. Pria itu sendiri yiba-tib terobangun, lantas menyerngit guna menyesuaikan intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.Tubuhnya sedikit tersentak, tatakala melihat jam rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dan kembali memakai setelan kemeja yang sempat ia lepas sebelumnya. “Shit! Bisa-bisanya ketiduran di sini!” decak Raka mengumpati dirinya sendiri. Dan hal itu berhasil membangunkan Devina dari tidur panjangnya.“Kamu mau kemana, Mas? Buru-buru banget. Nggak mau nemenin aku malem ini?” gumam Devina dengan suara serak khas orang bangun tidur.Raka sendiri yang masih sibuk merapikan kemeja nya, hanya menoleh sekilas tanpa mau membalas, membuat Devina yang masih setengah sadar segera beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang sang pria, membiarkan aroma maskulin yang hangat memenuhi ind
Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil berhasil mengenai wajah Raka, membuat tubuh pria itu menggeliat tak nyaman. Hingga akhirnya tak punya pilihan lain, selain membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat.Namun, di detik berikutnya, dengan cepat pria berahang tegas itu mengucek kedua bola matanya, mencoba menghilangkan rasa perih yang masih melanda. Lantas ia segera bangkit saat mendapati sang istri yang mengenakan bathrobe, tengah sibuk mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin.Tak ingin basa basi, pria itu segera memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang, dan mengelus perut yang sudah terlihat membesar di sana, lantas memberikan beberapa kecupan singkat pada ceruk leher wanita itu, sebelum akhirnya meletakkan dagunya di bahu Hanny."Tidur lagi, yuk! Aku masih ngantuk, pengen dipeluk sama kamu!" gumam Raka dengan suara seraknya, berada di posisi seperti sekarang ini adalah hal yang paling disukainya. Hanny send