“Surprize!”
Raka yang tengah fokus berkutat dengan layar komputernya, harus terlonjak kaget tatkala mendapati seorang wanita sudah berdiri di hadapannya dengan menampilkan seulas senyum yang nampak indah.
Dalam keadaan masih terkejut, tak urung Raka tetap berdiri guna menghampiri wanita cantik dengan pakaian pressboddy yang semakin mempertontonkan keelokan tubuhnya.
“Hay, apa yang membuatmu kesini, hmm?” tanya Raka setelah berhasil memeluk tubuh sang sekretaris dan membawa kepangkuannya.
“Bukankah nanti malam kita akan menghabiskan waktu bersama?” sambungnya, sembari terus mendaratkan kecupan pada wajah Devina.
Devina yang merasa geli, hanya bisa terkikik. Lantas tangannya pun turut bergerak guna membelai rahang tegas pria itu, sembarai merengek bak seorang bocah, “ Aku hanya merindukanmu, Mas. Dan untuk saat ini, menunggu waktu malam itu masih sangat lama.”
Akan tetapi, detik berikutnya ia berhasil dibuat terkesiap saat tanpa sengaja netranya menangkap sesuatu yang cukup familiyar bagi wanita dewasa seperti dirinya.
Tanpa mau menunggu, wanita itu segera mengusap bibir Raka yang benar saja, terdapat sedikit bercak warna pink yang tertempel di sana. “Kamu—”
“Hanya kecupan singkat, sebagai tanda perpisahan pagi ini,” sanggah Raka cepat, tak ingin membuat mood sang sekretaris berantakan pagi ini.
Namun, telat. Devina sudah lebih dulu memalingkan wajahnya dari Raka, kemudian berdecih tanda tak suka.
“Sayang, jangan marah dong!” bujuk pria itu dengan membingkai wajah Devina, memaksa si wanita untuk kembali menatap wajah tampannya.
“Jangan marah, ya? Aku bahkan bisa melakukannya lebih baik jika denganmu!” Raka terus saja membujuk, tetapi Devina hanya diam, tak terpengaruh sedikitpun. Dan hal itu membuat Raka meraup wajahnya, merasa frustasi.
“Lihat mata aku!” pintanya yang kini sudah memegang kuat bahu Devina. Sang empu sendiri hanya menukikkan sebelah alisanya tanpa mau membuka suara.
Lagi dan lagi, hembusan nafas jengah kembali Raka keluarkan, “Kamu tau aku ngelakuin itu demi siapa?”
“Demi kamu, Sayang! Karena hanya dengan ini, Hanny nggak akan menaruh curiga kepadaku. Dan itu akan membuat hubungan kita berjalan dengan sempurna,”
Mendengar itu, tak urung membuat Devina menerbitkan sedikit senyuman, meski tidak kentara tetapi Raka berhasil menangkapnya.
“Apa kamu mau bukti?” cicit Raka yang kini sudah menaik turunkan alisnya mencoba menggoda.
karena tak kunjung mendapat jawaban,.juga Devina yang masih terus bungkam. Membuat Raka semakin gencar menggoda wanita itu.
Seperti halnya sekarang, tanpa basa basi pria itu langsung mengikis jarak antar keduanya, bahkan kini wajah keduanya sudah tak lagi berjarak.
“Gimana, Sayang. Kamu mau aku kasih tanda bukti di mana? Di sini?” Raka menggantungkan ucapannya, dengan senyuman menggoda ia meletakkan telunjuknya di bibir tebal Devina.
“Atau di–”
Ucapan serta perlakuan Raka yang begitu manis, membuat sang sekretaris tak mampu lagi menahan amarahnya agar hinggap lebih lama. Ya! Ucapan Raka berhasil meluluhkan hati yang sudah mengeras karena api cemburu itu.
Tanpa mau menunggu sang pria melanjutkan ucapannya, Devina sudah lebih dulu menarik tekuk Raka guna menempelkan bibir keduanya.
“Aku yang akan lebih dulu melakukannya, Sayang!” bisik Devina penuh gairah, sontak merubah ruangan ber AC itu menjadi lebih panas dari sebelumnya.
Mendengar tutur kata yang cukup lembut itu, berhasil membangunkan kembali hasrat liar seorang Raka daneswara dari rehatnya.
Tanpa permisi, tangan Raka mulai bergerak nakal menjajahi aset di tubuh Devina. Dan senyuman tipis berangsur melebar tatakala pria itu mendapati wajah sang wanita yang tampak menikmati perlakuan manisnya saat ini.
“Your happy?” gumam Raka tepat di wajah wanita itu, dan dengan antusis tinggi Devina mengangguk, bersamaan dengan kedua tangannya yang mulai bergelantung manja di leher Raka.
“Yeah, i’am so happy. My boss!”
Namun, baru saja wanita itu hendak mengecup bibir Raka, suara ketukan berhasil menggagalkan rencananya. Masih dalam posisi yang tak berubah sedikitpun, keduanya reflek berdecak, dan menatap tajam ke sumber suara.
“Bitch! Penganggu!” kelakar Devina, sebelum akhirnya kembali menatap Raka, seakan meminta jawaban siapa yang kiranya datang di waktu makan siang seperti ini.
Raka yang masih setia menatap pintu masuk, sama sekali tak menggubris wanita di hadapnnya.
"Mas Raka. Kamu masih di dalam, ‘kan?”
Hingga suara yang terdengar, setelah suara ketuakan itu berhasil membuat keduanya reflek menatap tajam satu sama lain, dengan pikiran yang juga sama-sama melayang jauh entah kemana.
Sedangkan di luar sana, Hanny terus mengetuk pintu tanpa jeda. Sebenarnya ia bisa saja langsung masuk, tetapi wanita pemilik senyum sedamai langit itu memilih untuk tetap di luar sebelum Raka menyahutinya.
Bukan apa-apa, hanya saja ia belum siap jika harus kembali melihat kejadian tidak senonoh layaknya tempo hari. Dan ia juga sangat yakin bahwa di dalam sana, Raka tidaklah seorang diri, melainkan bersama sekretaris gatelnya.
Namun, karena tak kunjung mendapat jawaban, membuat wanita itu merasa bksan, lantas segera menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum kembali di hembuskan.
“Aku masuk, ya!”
Bersamaan dengan suara knop pintu yang diputar, Raka reflek mendorong tubuh Devina untuk turun dari pangkuannya, begitu juga Devina. Wanita itu dengan sigap langsung berdiri dan kembali merapikan beberapa kancingnya yang terlepas.
“Sekretaris Devina, anda di sini juga?” Dengan ekspresi yang dibuat seterkejut mungkin, pertanyaan itulah yang pertama kali hanny lontarkan, membuat sang empu yang tengah menunduk perlahan mendongak.
“I-iya, kebetulan tadi saya sedang mengantarkan berkas penting yang harus pak Raka tanda tangani!” jawab wanita itu dengan sedikit menyungingkan senyuman, lantas kembali menatap lurus sepasamh hells yang ia kenakan.
Hanny sendiri hanya ber oh ria, seakan percaya dengan alibi murahan itu, walaupun sebenarnya di dalam sana, hantinya sudah remuk berkeping-keping. Apalagi saat melihat baju yang sudah awut-awutan dari kedua orang di hadapannya.
Raka yang juga merasa tidak nyaman dengan keadaan di sekitarnya, memutuskan untuk mengikis jaraknya dengan sang istri, berniat untuk merengkuh tubuh wanita hamil itu.
“Sayang! Tumben ke sini nggak ngabarin aku dulu? ‘Kan kalau kamu mgomong aku bisa jemput tadi!”
Namun, Hanny sama sekali tak merespon ucapan suaminya, bahkan wanita itu juga langsung mleset pergi sebelum Raka berhasil merengkuh tubuhnya. Sepertinya wanita itu lebih tertarik dengan Devina yang masih setia menatap sepasang sepatunya sendiri.
“Bagaimana kabar anda ibu Devina? Sepertunya sudah lama kita tak berjumpa?” seru Hanny, dengan senyuman yang mengembang sempurna tepat di hadapan Devina.
Devina yang sadar jika dirinya tengah di tatap, segera mendongak, tak lupa ia juga menerbitkan seulas senyum yang tampak sempurna di bibir merah meronanya. “Saya baik, lalu bagaiamana dengan anda?”
“Ya, seperti yang kamu lihat sekarang! Saya juga lebih dari kata baik,” jawabnya sengaja di lebih-lebihkan, lantas ia kembali mendekat ke arah Raka dan tanpa aba-aba langsung mencuri kecupan dari bibir sang suami.
Raka yang mendapat serangan dadakan itu, sedikit melebarkan pupil matanya, tetapi tak urung ia tetap membalas kecupan itu dengan membawa Hanny masuk kedalam dekapannya.
Melihat itu, tentu berhasil membuat Devina langsung terbakar api cemburu, dengan gigi yang bergemeletuk hebat, wanita itu meremas kuat telapak tangannya sendiri, sebekum akhirnya berdehem, membuat dua pasang netra lain menatap penuh ke arahnya.
“Maaf, saya hanya ingin pamit keluar!”
Hannya yang melihat pergerakan Devina, segera menahan pergelangan tangan wanita itu. Membuat sang empu reflek menatap ke arahnya.
“Jangan! Di sini aja, ada yang perlu saya omongin!”
“Jangan! Kamu di sini aja, ada yang harus aku omongin sama kamu!”Suara Hanny yang tampak tegas itu, membuat Devina gugup hingga susah payah menelan salivanya sendiri. Beruntung Raka yang cepat sadar turut melangkahkan kaki guna mendekati kedua wanita itu.Lantas secara perlahan ia menarik tangan Hanny dan mengenggamnya, “Biarin Devina pergi, Sayang. Toh urusannya sama aku juga udah selesai.”Bukannya menurut, Hanny justru berdecih kesal. Kemudian dengan bersedekap dada ia mulai menatap Raka juga Devina secara bergantian.“Kamu kenapa sih, Mas? Khawatir banget kayaknya! Aku tu cuma mau ngomong sama Devina, bukan mau nerkam dia!” sungut Hanny yang kini sudah kembali menatap Raka penuh tanya.“Ada yang kalian sembunyiin ya, dari aku?” sambungya bersamaan dengan kedua matanya yang sengaja disipitkan saat menatap sang suami.“Nggak ada!” Raka yang menggeleng, segera me
Dalam balutan malam dengan cahaya remang-remang dari decorative lighting yang berada di pojok ruang tamu. Netra Hanny melirik ke arah jarum jam, yang ternyata sudah berada tepat di angka 11. Namun, kedua netra hazelnya masih enggan untuk sekedar di tutup.“Ayo dong dek, kita tidur ya!” lirih wanita itu dengan mengelus perutnya sendiri, mencoba untuk menenagkan janin yang entah mengapa terus bergerak sejak tadi.“Ayah pulangnya masih lama lo, nanti kamu kecapean, tidur sekarang ya!” sambungnya dengan menghela nafas lelah, tetapi juga bahagia dalam satu waktu.Karena tubuhnya yang merasa lelah saat terlalu lama duduk, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri sembari berjalan mondar mandir di samping sofa. Dan untuk saat ini, entah mengapa ia benar-benar ingin memeluk dan mencium wangi woody dari tubuh suaminya yang tak kunjung pulang itu.“Kamu kemana sih, Mas. Jam segini belum juga pulang?” Entah sudah kali beberapa decakan yang sama itu terus keluar dari mulut Hanny, hingga membuatnya ke
Pagi menyapa dengan embun yang menghiasi daun dan bunga. Di kejauhan, matahari mulai timbul, menerangi langit dengan warna-warni indahnya. Semua tampak begitu segar dan penuh harapan.Begitu pula dengan keluarga kecil yang saat ini tengah duduk bersama di meja makan, di sana ada Raka yang tengah asik menuang madu ke dalam mangkuk yogurt, juga Hanny yang juga sibuk meratakan selai coklat pada roti bakar di tangannya, sebelum kemudian ia letakkan pada piring milik sang suami.“Makasih, Sayang,” gumam Raka yang langsung melahap roti tersebut, membuat Hanny tersenyum senang."Oh iya, Mas. Kamu beli parfum baru?"Hanya dengan satu kalimat pertanyaan, Raka sudah dibuat tersedak, sementara dengan sigap tangan kirinya menepuk pelan dada bidangnya, saat merasakan roti yang baru saja ia kunyah tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Kali ini, Hanny hanya diam dan terus menatap setiap pergerakan Raka tanpa mau membantu."P-parfum? Nggak ada deh
"Ada acara apa nih, pelukan gak ajak-ajak."Kehadiran Bachtiar membuat kedua insan yang masih setia berpelukan, segera mengakhiri aktivitasnya. Lantas keduanya serempak menoleh ke sumber suara."Lah, Bachtiar. Kok lo bisa masuk?" tanya Tania yang reflek melebarkan pupil matanya, menatap tajam ke arah Bachtiar.Bachtiar sendiri hanya menghembuskan nafas berat, menatap sahabatnya itu dengan tatapan jengah. "Tu lihat pintu lo!"Tania pun menoleh, menatap arah pandang yang Bachtiar tunjukan, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu dengan menunjukan deretan gigi-gigi putihnya."Makanya, jangan ceroboh. Pintu itu ditutup, bukan malah dibuka selebar jidat lo!" Bachtiar yang memang terkenal rese, menyentil jidat Tania, membuat sang empu mengaduh kesakitan.Namun, pria itu sama sekali tak peduli, karena ia lebih tertarik untuk turut bergabung, dan duduk di samping Hanny yang masih sibuk mengusap bercak air dari pipi chubbynya. "Lo gak papa, '
"Lo ngapain, sih? Pake acara pindah apartemen segala?" Di sepanjang jalan Tiar terus menggerutu kesal, tetapi tak urung kakinya tetap melangkah mengikuti pergerakan Tania, dengan sebuah kardus besar yang berisi barang-barang wanita itu di dalam rengkuhannya. "Ya terserah gue, dong! Orang kaya mah bebas. Lagipula gue bosen di sana!" jawab Tania asal ceplos, lantas ia kembali berjalan setelah pintu lift terbuka. Besarnya kardus yang ia angkat, sedikit menyusahkan netra sipitnya untuk melihat dengan benar, hingga tanpa disadari seorang wanita dari arah berlawanan, tengah berjalan tergesa dan berakhir mereka berdua saling menabrak. Kardus yang Tania bawa terjatuh, dan menumpahkan semua isinya, sedangkan kedua wanita itu saling tersungkur ke atas lantai. Tiar yang menyaksikan adegan itu, dengan cepat meletakkan barang bawaannya, lantas bergegas membantu Tania untuk berdiri. "Lo nggak papa?" tanya Tiar yang saat ini tengah memutar tubuh
Dengan mata yang masih terpejam dalam larutnya malam, Devina semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar milik Raka. Pria itu sendiri yiba-tib terobangun, lantas menyerngit guna menyesuaikan intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.Tubuhnya sedikit tersentak, tatakala melihat jam rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dan kembali memakai setelan kemeja yang sempat ia lepas sebelumnya. “Shit! Bisa-bisanya ketiduran di sini!” decak Raka mengumpati dirinya sendiri. Dan hal itu berhasil membangunkan Devina dari tidur panjangnya.“Kamu mau kemana, Mas? Buru-buru banget. Nggak mau nemenin aku malem ini?” gumam Devina dengan suara serak khas orang bangun tidur.Raka sendiri yang masih sibuk merapikan kemeja nya, hanya menoleh sekilas tanpa mau membalas, membuat Devina yang masih setengah sadar segera beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang sang pria, membiarkan aroma maskulin yang hangat memenuhi ind
Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil berhasil mengenai wajah Raka, membuat tubuh pria itu menggeliat tak nyaman. Hingga akhirnya tak punya pilihan lain, selain membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat.Namun, di detik berikutnya, dengan cepat pria berahang tegas itu mengucek kedua bola matanya, mencoba menghilangkan rasa perih yang masih melanda. Lantas ia segera bangkit saat mendapati sang istri yang mengenakan bathrobe, tengah sibuk mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin.Tak ingin basa basi, pria itu segera memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang, dan mengelus perut yang sudah terlihat membesar di sana, lantas memberikan beberapa kecupan singkat pada ceruk leher wanita itu, sebelum akhirnya meletakkan dagunya di bahu Hanny."Tidur lagi, yuk! Aku masih ngantuk, pengen dipeluk sama kamu!" gumam Raka dengan suara seraknya, berada di posisi seperti sekarang ini adalah hal yang paling disukainya. Hanny send
Dari dalam mobil yang tampak nyaman dengan aroma citrus yang terus menguar, dan tepat di bangku kemudi, seorang wanita cantik berambut blonde dengan panjang hanya sebahu tengah terududuk tenang di sana. Namun, terlihat jelas tatapan tajam dari matanya, menyimpan begitu banyak dendak dan kebencian, terhadap dua sosok lain di luar sana.“Pria brngs*k, sejak kapan dia terbebas?” Wanita itu terus bermonolong. Sembari menyengkram kuat setir kemudi, ia merasakan darahnya semakin mendidih saat itu juga.Namun, tak dapat dipungkiri hatinya sedikit menghangat tatkala mendapati ekspresi penuh kebahagiaan terpancar dari gadis kecil yang tengah menjadi titik fokusnya saat ini. “Sayang!” gumamnya tanpa sadar. Namun, seperdetik setelahnya, dengan cepat ia menepis semua perasaan itu.Luka yang ditorehkan sosok pria yang bersama gadis tersebut sudah cukup besar, dan luka itu pulalah yang berhasil menggelapkan hati dan juga menghancurkan keharmonisan ya