“Jangan! Kamu di sini aja, ada yang harus aku omongin sama kamu!”
Suara Hanny yang tampak tegas itu, membuat Devina gugup hingga susah payah menelan salivanya sendiri. Beruntung Raka yang cepat sadar turut melangkahkan kaki guna mendekati kedua wanita itu.
Lantas secara perlahan ia menarik tangan Hanny dan mengenggamnya, “Biarin Devina pergi, Sayang. Toh urusannya sama aku juga udah selesai.”
Bukannya menurut, Hanny justru berdecih kesal. Kemudian dengan bersedekap dada ia mulai menatap Raka juga Devina secara bergantian.
“Kamu kenapa sih, Mas? Khawatir banget kayaknya! Aku tu cuma mau ngomong sama Devina, bukan mau nerkam dia!” sungut Hanny yang kini sudah kembali menatap Raka penuh tanya.
“Ada yang kalian sembunyiin ya, dari aku?” sambungya bersamaan dengan kedua matanya yang sengaja disipitkan saat menatap sang suami.
“Nggak ada!” Raka yang menggeleng, segera menatap jam rolex yang melingkar indah di tangannya, lantas kembali menatap sang istri dengan senyum yang memgembang sempurna.
“20 menit lagi jam makan siang habis, kasihan Devina belum makan,” tambah Raka, merasa yakin bisa menang, dengan alibi yang telah ia ciptakan.
Namun, respon Hanny yang tiba-tiba tertawa, justru membuat kedua netra yang lain saling melempar tatapan penuh tanya.
“Mas, mas ... dasar ya kamu! Kamu pikir aku nahan Devina di sini buat apa?” tanya Hanny dengan menaik turunkan alisnya.
Raka yang masih setia dalam keterdiamannya, membuat Hanny menggeleng pelan, lantas dengan cepat ia gunakan waktu itu, menarik tangan Devina dan membawa wanita itu untuk duduk pada sofa yang berada di pojok ruangan.
“Masih mau berdiri di situ, apa ikut kita makan siang?” celetuk Hanny, di saat tangannya sibuk mengeluarkan beberapa kotak kecil dari paperbag yang sempat ia bawa.
Tutur kata itu, berhasil membuat Raka tersadar dari lamunannya, dan segera mengambil duduk tepat di samping Hanny.
“Kamu mau pakai lauk apa, Mas?” tawar Hanny, melirik sekilas ke arah Raka, “Kamu juga! Ayo dimakan, gausah sungkan-sungkan.”
Devina yang sudah kembali berdiri menggeleng cepat, lantas kembali menerbitkan seulas senyum, “Enggak usah repot-repot, Bu. Saya bisa makan di kantin perusahaan saja!”
"Sudahlah, saya juga tidak merasa direpotkan siapapun, karena ini memag hoby saya." Hanny terus mencoba menepis semua elakan yang Devina lontarkan, dan dengan gerakan cepat ia menarik tangan Devina untuk kembali duduk di hadapanya.
"Lihatlah! Aku sudah memasaknya cukup banyak, Kalau bukan kalian, siapa lagi yang akan memakannya?”
Devina yang bingung harus merespon apa, sedikit melirik ke arah Raka, berusaha meminta bantuan dari pria itu, Raka yang sadar segera mengangguk singkat sebagai jawaban.
Hanny yang kini sudah kembali duduk, dan menyodorkan piring berisi makanan untuk Raka harus kembali menghela nafas berat, tatkala mendapati penampilan sang suami yang jauh dari kata rapi. Lantas tangannya bergerak untuk kembali merapikan kemeja yang menempel di tubuh suaminya itu.
"Aduh sayang. Kamu tu kebiasaan banget sih. Lain kali kemejanya jangan sampai berantakan kayak gini dong! Kalau ada orang lain yang lihat bisa-bisa kamu dikira habis macem-macem lagi, apalagi ada Ibu Devina di sini.”
Mendengar penuturan lembut dari sang istri, justru membuat pria itu terbatuk-batuk. Hanny yang panik segera menuangkan air dan memberikannya untuk Raka.
"Hati-hati makanya, aku tadi cuma ngingetin kamu kok, bukan mau nuduh. Jadi santai aja!" ujar Hanny lagi, yang justru tampak geli sendiri saat melihat warn merah padam terlukis di wajah milik suaminya.
Kemudian ia menoleh menatap Devina, yang ternyata perhatian wanita itu juga tengah terpusat ke arah mereka. Masih dengan senyum yang mengembang sempurna, Hanny kembali membuak suara.
"Bukankah begitu, ibu Devina?"
Devina yang di tatap sedemikian rupa, segera mengangguk dengan senyuman yang telihat sangat dipaksa untuk memgembang.
Hanny yang sadar dan tak kunjung melihat wanita di hadapannya itu menyuap nasi, membuatnya mengeluarkan decakan kecil, yang lagi-lagi mampu menyita atensi kedua orang lainnya.
"Ayo dong dimakan!" erangnya berpura-pura cemberut, Devina yang merasa tidak enak, langsung mengarahkan sendok ke dalam mulutnya, membiarkan lidahnya mencicipi cita rasa masakan istri dari bosnya.
"Enak, 'kan? Dan kamu tenang aja …itu gak aku kasih racun kok."
****
Setelah hampir seharian berada di dalam gedung cakar langit, kini bos dan sekretaris itu sudah berada di dalam apartemen milik Devina.
"Mas, Kamu ada kepikiran ga sih … kalau sebenarnya, mbak Hanny itu udah tau hubungan kita?"
Devina yang baru saja selesai mandi, dan masih memakai bathrobe, segera melangkah ke atas ranjang, guna mendekati Raka yang ternyata masih saja berkutat dengan laptop di pangkuannya.
Raka yang menyadari kedatangan Devina, memilih menutup benda itu dan langsung menyimpannya di atas nakas. Lantas ia menoleh, menatap wanita yang sudah duduk di sampingnya dengan menampilkan seulas senyum pada bibir simetrisnya.
"Ya nggak lah, mana mungkin Hanny tahu tentang ini semua. Kamu lihat sendiri 'kan tadi, dia masih baik sama kita, baik banget malahan."
Bagian bawah bathrobe yang sedikit menyingkap, berhasil mempertontonkan Paha putih Devina. Hal itu berhasil menarik perhatian Raka,dan membuat senyuaman berangsur mengambang sempurna. Lantas dengan gerakan perlahan ia mulai merebahkan tubuh, dan menggunakan paha itu sebagai bantalan kepalanya.
Devina yang masih tampak gusar, menerima kepala itu dengan baik, sebelum kemudian jari-jari lentiknya bergerak memainkan rambut tebal milik bosnya. "Tapi … tatapan matanya tadi seolah mengisyaratkan sesuatu, Mas."
Raka yang awalnya terpejam dengan posisi tubuh yang dimiringkan, kini merubah posisinya menjadi terlentang, lantas mata below nya mulai terbuka, menatap penuh wajah yang tampak cemas itu.
Sebelum bersuara pria itu terkekeh singkat, lantas mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir merah milik Devina. "Itu peerasaanmu aja mungkin, lagi pula dia 'kan lagi hamil, mungkin saj itu efek hormonnya."
Devina mencoba untuk tersenyum lantas mengangguk, kemudian wanita itu melepas handuk yang melilit rambutnya, membiarkan rambut basahnya menjuntai dengan indah. Dan lagi-lagi hal itu sama sekali tak lepas dari pandangan mata Raka, membuatnya semakin terbuai dalam keelokan wajah serta tubuh milik sang sekretaris.
"Kamu cantik," puji pria yang sudah merasa susah payah hanya untuk menelan salivanya sendiri.
Akan tetapi, bukannya menanggapi Devina justru menghela nafasnya dengan berat, pandangan yang semula menerawang jauh ke arah depan, kini ia jatuhkan pada mata bulat milik Raka.
"Hubungan kita ini, mau kamu bawa kemana?" Pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulut Devina, entah mengapa tetapi semejak kejadian di kantor bersama Hanny, hati dan otaknya sangat tidak sinkron, semacam ada hal besar yang tengah mengancam posisinya.
Raka yang melihat kegundahan di wajah itu, segera bangkit, kemudian memilih duduk tepat di hadapan sekretarisnya.
"Jika mbak Hanny mengetahui ini semua, lalu dia memberimu pilihan. Maka mana yang akan kamu pilih, aku atau dia?"
"Hey … kamu tenang, okey" Pria itu langsung membingkai wajah Devina menggunakan kedua tangan, netranya menatap lekat serta mengunci pandangan mata Devina, tak membiarkan sedikitpun wanita itu mengalihkan pandangan.
"Itu semua gak akan terjadi, Hanny gak bakal tau hubungan kita, kamu percaya sama aku!"
Mendengar itu, sontak membuat Devina terkekeh, dengan gerakan cepat ia menepis tangan kekar Raka dari wajahnya. "Percaya sama kamu? Kamu aja gak bisa jawab pertanyaan aku lo, Mas!"
Melihat semburat penuh amarah yang terpampang jelas di wajah Devina, membuat Raka dengan cepat menarik tubuh wanita itu untuk masuk ke dalam dekapannya. Menenggelamkan wajah santik Devina pada dada bidang miliknya,
"Aku gak bakal ninggalin kamu!" tutur pria itu penuh ketegasan, berusaha menyakinkan si wanita.
"Jadi, apa kamu bakal ninggalin mbak Hanny demi aku?"
Raka memilih diam, tetapi tangannya terus bergerak mengusap lembut surai sebahu itu dengan gerakan pelan, dan terakhir ia kembali memberikan kecupan singkat pada kening Devina.
"Kamu jangan ragu lagi ya sama hubungan kita, karena aku akan pastikan kamu akan selalu aman di sisiku."
Dalam balutan malam dengan cahaya remang-remang dari decorative lighting yang berada di pojok ruang tamu. Netra Hanny melirik ke arah jarum jam, yang ternyata sudah berada tepat di angka 11. Namun, kedua netra hazelnya masih enggan untuk sekedar di tutup.“Ayo dong dek, kita tidur ya!” lirih wanita itu dengan mengelus perutnya sendiri, mencoba untuk menenagkan janin yang entah mengapa terus bergerak sejak tadi.“Ayah pulangnya masih lama lo, nanti kamu kecapean, tidur sekarang ya!” sambungnya dengan menghela nafas lelah, tetapi juga bahagia dalam satu waktu.Karena tubuhnya yang merasa lelah saat terlalu lama duduk, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri sembari berjalan mondar mandir di samping sofa. Dan untuk saat ini, entah mengapa ia benar-benar ingin memeluk dan mencium wangi woody dari tubuh suaminya yang tak kunjung pulang itu.“Kamu kemana sih, Mas. Jam segini belum juga pulang?” Entah sudah kali beberapa decakan yang sama itu terus keluar dari mulut Hanny, hingga membuatnya ke
Pagi menyapa dengan embun yang menghiasi daun dan bunga. Di kejauhan, matahari mulai timbul, menerangi langit dengan warna-warni indahnya. Semua tampak begitu segar dan penuh harapan.Begitu pula dengan keluarga kecil yang saat ini tengah duduk bersama di meja makan, di sana ada Raka yang tengah asik menuang madu ke dalam mangkuk yogurt, juga Hanny yang juga sibuk meratakan selai coklat pada roti bakar di tangannya, sebelum kemudian ia letakkan pada piring milik sang suami.“Makasih, Sayang,” gumam Raka yang langsung melahap roti tersebut, membuat Hanny tersenyum senang."Oh iya, Mas. Kamu beli parfum baru?"Hanya dengan satu kalimat pertanyaan, Raka sudah dibuat tersedak, sementara dengan sigap tangan kirinya menepuk pelan dada bidangnya, saat merasakan roti yang baru saja ia kunyah tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Kali ini, Hanny hanya diam dan terus menatap setiap pergerakan Raka tanpa mau membantu."P-parfum? Nggak ada deh
"Ada acara apa nih, pelukan gak ajak-ajak."Kehadiran Bachtiar membuat kedua insan yang masih setia berpelukan, segera mengakhiri aktivitasnya. Lantas keduanya serempak menoleh ke sumber suara."Lah, Bachtiar. Kok lo bisa masuk?" tanya Tania yang reflek melebarkan pupil matanya, menatap tajam ke arah Bachtiar.Bachtiar sendiri hanya menghembuskan nafas berat, menatap sahabatnya itu dengan tatapan jengah. "Tu lihat pintu lo!"Tania pun menoleh, menatap arah pandang yang Bachtiar tunjukan, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu dengan menunjukan deretan gigi-gigi putihnya."Makanya, jangan ceroboh. Pintu itu ditutup, bukan malah dibuka selebar jidat lo!" Bachtiar yang memang terkenal rese, menyentil jidat Tania, membuat sang empu mengaduh kesakitan.Namun, pria itu sama sekali tak peduli, karena ia lebih tertarik untuk turut bergabung, dan duduk di samping Hanny yang masih sibuk mengusap bercak air dari pipi chubbynya. "Lo gak papa, '
"Lo ngapain, sih? Pake acara pindah apartemen segala?" Di sepanjang jalan Tiar terus menggerutu kesal, tetapi tak urung kakinya tetap melangkah mengikuti pergerakan Tania, dengan sebuah kardus besar yang berisi barang-barang wanita itu di dalam rengkuhannya. "Ya terserah gue, dong! Orang kaya mah bebas. Lagipula gue bosen di sana!" jawab Tania asal ceplos, lantas ia kembali berjalan setelah pintu lift terbuka. Besarnya kardus yang ia angkat, sedikit menyusahkan netra sipitnya untuk melihat dengan benar, hingga tanpa disadari seorang wanita dari arah berlawanan, tengah berjalan tergesa dan berakhir mereka berdua saling menabrak. Kardus yang Tania bawa terjatuh, dan menumpahkan semua isinya, sedangkan kedua wanita itu saling tersungkur ke atas lantai. Tiar yang menyaksikan adegan itu, dengan cepat meletakkan barang bawaannya, lantas bergegas membantu Tania untuk berdiri. "Lo nggak papa?" tanya Tiar yang saat ini tengah memutar tubuh
Dengan mata yang masih terpejam dalam larutnya malam, Devina semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar milik Raka. Pria itu sendiri yiba-tib terobangun, lantas menyerngit guna menyesuaikan intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.Tubuhnya sedikit tersentak, tatakala melihat jam rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dan kembali memakai setelan kemeja yang sempat ia lepas sebelumnya. “Shit! Bisa-bisanya ketiduran di sini!” decak Raka mengumpati dirinya sendiri. Dan hal itu berhasil membangunkan Devina dari tidur panjangnya.“Kamu mau kemana, Mas? Buru-buru banget. Nggak mau nemenin aku malem ini?” gumam Devina dengan suara serak khas orang bangun tidur.Raka sendiri yang masih sibuk merapikan kemeja nya, hanya menoleh sekilas tanpa mau membalas, membuat Devina yang masih setengah sadar segera beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang sang pria, membiarkan aroma maskulin yang hangat memenuhi ind
Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil berhasil mengenai wajah Raka, membuat tubuh pria itu menggeliat tak nyaman. Hingga akhirnya tak punya pilihan lain, selain membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat.Namun, di detik berikutnya, dengan cepat pria berahang tegas itu mengucek kedua bola matanya, mencoba menghilangkan rasa perih yang masih melanda. Lantas ia segera bangkit saat mendapati sang istri yang mengenakan bathrobe, tengah sibuk mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin.Tak ingin basa basi, pria itu segera memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang, dan mengelus perut yang sudah terlihat membesar di sana, lantas memberikan beberapa kecupan singkat pada ceruk leher wanita itu, sebelum akhirnya meletakkan dagunya di bahu Hanny."Tidur lagi, yuk! Aku masih ngantuk, pengen dipeluk sama kamu!" gumam Raka dengan suara seraknya, berada di posisi seperti sekarang ini adalah hal yang paling disukainya. Hanny send
Dari dalam mobil yang tampak nyaman dengan aroma citrus yang terus menguar, dan tepat di bangku kemudi, seorang wanita cantik berambut blonde dengan panjang hanya sebahu tengah terududuk tenang di sana. Namun, terlihat jelas tatapan tajam dari matanya, menyimpan begitu banyak dendak dan kebencian, terhadap dua sosok lain di luar sana.“Pria brngs*k, sejak kapan dia terbebas?” Wanita itu terus bermonolong. Sembari menyengkram kuat setir kemudi, ia merasakan darahnya semakin mendidih saat itu juga.Namun, tak dapat dipungkiri hatinya sedikit menghangat tatkala mendapati ekspresi penuh kebahagiaan terpancar dari gadis kecil yang tengah menjadi titik fokusnya saat ini. “Sayang!” gumamnya tanpa sadar. Namun, seperdetik setelahnya, dengan cepat ia menepis semua perasaan itu.Luka yang ditorehkan sosok pria yang bersama gadis tersebut sudah cukup besar, dan luka itu pulalah yang berhasil menggelapkan hati dan juga menghancurkan keharmonisan ya
“Kenapa sih, ibu jahat banget sama Hau!” “Hau ada salah apa sama ibu?” Masih dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya, gadis kecil berponi dora itu terus berlari tak tentu arah, sehingga karena kurangnya keseimbangan ia harus tergelincir oleh batu kelikir yang saat itu juga langsung mengambrukkan tubuhnya di atas paving yang kasar. “Hau mau benci ibu, kayak Ibu benci Hau.” Dengan tersedu-sedu ia terus berbicara melalui suaranya yang serak, berusaha melampiaskan segala rasa sakit yang menikam hati nya saat ini, sampai tak sadar jika darah pun turut merembes dari lututnya yang sedikit sobek karena benturan.“Ayah, Hau takut!” Dalam keadaan terduduk di atas paving, gadis yang diketahui bernama Haura itu menekuk kedua lutut dan memeluknya seerat mungkin, tak lupa ia juga menelungkupkan wajahnya di dalam lipatan itu.Hingga sebuah tepukan kecil berhasil membuatnya terlonjak dan reflek mendongak, menata