"Ada acara apa nih, pelukan gak ajak-ajak."
Kehadiran Bachtiar membuat kedua insan yang masih setia berpelukan, segera mengakhiri aktivitasnya. Lantas keduanya serempak menoleh ke sumber suara.
"Lah, Bachtiar. Kok lo bisa masuk?" tanya Tania yang reflek melebarkan pupil matanya, menatap tajam ke arah Bachtiar.
Bachtiar sendiri hanya menghembuskan nafas berat, menatap sahabatnya itu dengan tatapan jengah. "Tu lihat pintu lo!"
Tania pun menoleh, menatap arah pandang yang Bachtiar tunjukan, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu dengan menunjukan deretan gigi-gigi putihnya.
"Makanya, jangan ceroboh. Pintu itu ditutup, bukan malah dibuka selebar jidat lo!" Bachtiar yang memang terkenal rese, menyentil jidat Tania, membuat sang empu mengaduh kesakitan.
Namun, pria itu sama sekali tak peduli, karena ia lebih tertarik untuk turut bergabung, dan duduk di samping Hanny yang masih sibuk mengusap bercak air dari pipi chubbynya. "Lo gak papa, '
"Lo ngapain, sih? Pake acara pindah apartemen segala?" Di sepanjang jalan Tiar terus menggerutu kesal, tetapi tak urung kakinya tetap melangkah mengikuti pergerakan Tania, dengan sebuah kardus besar yang berisi barang-barang wanita itu di dalam rengkuhannya. "Ya terserah gue, dong! Orang kaya mah bebas. Lagipula gue bosen di sana!" jawab Tania asal ceplos, lantas ia kembali berjalan setelah pintu lift terbuka. Besarnya kardus yang ia angkat, sedikit menyusahkan netra sipitnya untuk melihat dengan benar, hingga tanpa disadari seorang wanita dari arah berlawanan, tengah berjalan tergesa dan berakhir mereka berdua saling menabrak. Kardus yang Tania bawa terjatuh, dan menumpahkan semua isinya, sedangkan kedua wanita itu saling tersungkur ke atas lantai. Tiar yang menyaksikan adegan itu, dengan cepat meletakkan barang bawaannya, lantas bergegas membantu Tania untuk berdiri. "Lo nggak papa?" tanya Tiar yang saat ini tengah memutar tubuh
Dengan mata yang masih terpejam dalam larutnya malam, Devina semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar milik Raka. Pria itu sendiri yiba-tib terobangun, lantas menyerngit guna menyesuaikan intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.Tubuhnya sedikit tersentak, tatakala melihat jam rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dan kembali memakai setelan kemeja yang sempat ia lepas sebelumnya. “Shit! Bisa-bisanya ketiduran di sini!” decak Raka mengumpati dirinya sendiri. Dan hal itu berhasil membangunkan Devina dari tidur panjangnya.“Kamu mau kemana, Mas? Buru-buru banget. Nggak mau nemenin aku malem ini?” gumam Devina dengan suara serak khas orang bangun tidur.Raka sendiri yang masih sibuk merapikan kemeja nya, hanya menoleh sekilas tanpa mau membalas, membuat Devina yang masih setengah sadar segera beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang sang pria, membiarkan aroma maskulin yang hangat memenuhi ind
Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil berhasil mengenai wajah Raka, membuat tubuh pria itu menggeliat tak nyaman. Hingga akhirnya tak punya pilihan lain, selain membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat.Namun, di detik berikutnya, dengan cepat pria berahang tegas itu mengucek kedua bola matanya, mencoba menghilangkan rasa perih yang masih melanda. Lantas ia segera bangkit saat mendapati sang istri yang mengenakan bathrobe, tengah sibuk mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin.Tak ingin basa basi, pria itu segera memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang, dan mengelus perut yang sudah terlihat membesar di sana, lantas memberikan beberapa kecupan singkat pada ceruk leher wanita itu, sebelum akhirnya meletakkan dagunya di bahu Hanny."Tidur lagi, yuk! Aku masih ngantuk, pengen dipeluk sama kamu!" gumam Raka dengan suara seraknya, berada di posisi seperti sekarang ini adalah hal yang paling disukainya. Hanny send
Dari dalam mobil yang tampak nyaman dengan aroma citrus yang terus menguar, dan tepat di bangku kemudi, seorang wanita cantik berambut blonde dengan panjang hanya sebahu tengah terududuk tenang di sana. Namun, terlihat jelas tatapan tajam dari matanya, menyimpan begitu banyak dendak dan kebencian, terhadap dua sosok lain di luar sana.“Pria brngs*k, sejak kapan dia terbebas?” Wanita itu terus bermonolong. Sembari menyengkram kuat setir kemudi, ia merasakan darahnya semakin mendidih saat itu juga.Namun, tak dapat dipungkiri hatinya sedikit menghangat tatkala mendapati ekspresi penuh kebahagiaan terpancar dari gadis kecil yang tengah menjadi titik fokusnya saat ini. “Sayang!” gumamnya tanpa sadar. Namun, seperdetik setelahnya, dengan cepat ia menepis semua perasaan itu.Luka yang ditorehkan sosok pria yang bersama gadis tersebut sudah cukup besar, dan luka itu pulalah yang berhasil menggelapkan hati dan juga menghancurkan keharmonisan ya
“Kenapa sih, ibu jahat banget sama Hau!” “Hau ada salah apa sama ibu?” Masih dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya, gadis kecil berponi dora itu terus berlari tak tentu arah, sehingga karena kurangnya keseimbangan ia harus tergelincir oleh batu kelikir yang saat itu juga langsung mengambrukkan tubuhnya di atas paving yang kasar. “Hau mau benci ibu, kayak Ibu benci Hau.” Dengan tersedu-sedu ia terus berbicara melalui suaranya yang serak, berusaha melampiaskan segala rasa sakit yang menikam hati nya saat ini, sampai tak sadar jika darah pun turut merembes dari lututnya yang sedikit sobek karena benturan.“Ayah, Hau takut!” Dalam keadaan terduduk di atas paving, gadis yang diketahui bernama Haura itu menekuk kedua lutut dan memeluknya seerat mungkin, tak lupa ia juga menelungkupkan wajahnya di dalam lipatan itu.Hingga sebuah tepukan kecil berhasil membuatnya terlonjak dan reflek mendongak, menata
Sesuai dengan apa yang Hanny katakan sebelumnya. Kini mereka semua, sudah berada dalam satu ruangan yang dipenuhi oleh berbagai macam bunga segar.“Huft! Akhirnya selesai juga.” Hembusan nafas penuh kelegaan akhirnya dapat Tania lepaskan, lantas secara bergantian wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri, guna menatap kedua sahabat yang tengah menghimpit tubuhnya.“Btw, makasih ya kalian. Udah mau bantu beres-beres disini. Terutama kamu Tiar,” sambung Hanny menatap tulus Tania, lantas berhenti pada Tiar yang sudah mau merelakan tidur siangnya hanya untuk membantu beres-beres.Merasa namanya disebut, membuat pria berkacamata itu mengangguk semangat. Kemudian dengan perlahan ia menggerakkan kakinya untuk melangkah, dan berdiri tepat di samping Hanny. Tanpa aba-aba ia pun langsung melingkarkan lengan kekarnya pada pundak Hanny."Demi bumil apa sih, yang enggak," gumamnya, disertai kedipan sebelah matanya genit. Dan Hanny sendiri sa
Sepeninggal Tiar dari kediamannya, Hanny segera melangkah masuk ke dalam rumah, menyusul Raka yang sudah lebih dulu meninggalkannya.“Mas, tunggu! Aku mau ngomong sama kamu!” Suara Hanny yang menggema di ruangan, tetapi Raka justru semakin mempercepat langkah, dan tak mengindahkan panggilannya sedikitpun. Hanny yang tidak mau kalah pun turut menambah kecepatan pada langkahnya, berusaha untuk mensejajarkan langkah keduanya. Tepat di depan pintu kamar mereka, Hanny berhasil menahan pergelangan tangan Raka, dan membuat pria itu berhenti seketika.“Mas, lihat aku! Aku mau ngomong sama kamu!” serunya, membuat Raka akhirnya berbalik badan, menghadap penuh ke arahnya. “Kamu apa-apaan sih? Tiar itu temen aku dari kecil, apa pantes kamu ngusir dia kayak tadi?” Protes Hanny tak terima dengan perlakuan Raka beberapa menit yang lalu.Namun, Raka justru menunjukkan raut datar tanpa ekspresi, tampak tak terpengaruh sedikitpun oleh ucapan Hanny. Hingg
Dengan setiap tekanan pada pedal gas, langit malam menjadi saksi pria berahang tegas itu membelah jalanan dengan mobilnya, disertai sebuah ekspresi marah yang menggelegak di dalam dirinya. Suara mesin yang bergemuruh memotong hening malam, menciptakan jejak kegelapan di belakangnya.Pandangan matanya yang tajam membelah kegelapan jalanan. Cahaya lampu jalan dan bayangan bangunan menciptakan serangkaian kontras yang mewarnai rasa amarah yang terpendam. Setiap tikungan yang dilewati oleh mobilnya menjadi arena di mana kemarahan itu mencari celah untuk meledak.Dalam kecepatan, bunyi ban mobil yang menghancurkan jalanan menyatu dengan denyut marahnya. Jiwanya merasakan getaran mesin sebagai penguat emosi yang terus tumbuh. Setiap kilometer yang dilaluinya membawa dia lebih jauh dari kenyamanan malam, atau mungkin … juga membawanya menuju pertarungan batin yang lebih dalam.Sesekali pandangannya melesat ke langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bin