"Sampai kapan Aruna mau menumpang di rumah ini?"
Gaungan suara Meida menampar Aruna bahkan sebelum ia mencapai anak tangga terakhir. Aruna, terhenti di tengah tangga, menajamkan telinganya. Bukan karena ingin mendengar, tapi karena ingin tahu seberapa jauh lagi wanita paruh baya itu akan melukai ibunya. Ini bukan hal baru. Setiap kali Jessica, cucu kesayangan Meida, menginap, drama pagi selalu sama. Seolah-olah hidup Aruna hanyalah sebuah hitungan mundur menuju label 'perawan tua' yang selalu mereka lontarkan.
"Lihat Jessica," suara Meida melengking, penuh sindiran. "Dia lebih muda dari Aruna tapi sudah menikah. Tidak seperti Aruna yang terus menjadi beban dari kecil hingga menjadi perawan tua seperti ini!"
Aruna memejamkan mata, menahan napas. 'Perawan tua.' Kata-kata itu, diucapkan dengan nada merendahkan, terasa seperti cap yang ditempelkan di dahinya.
Kemudian, fokus Meida beralih ke ibunya, Diandra. Wanita yang paling Aruna sayangi di dunia. "Harusnya kamu, Diandra. Sebagai ibu segeralah atur kencan buta untuk putrimu itu! Apa kamu ingin putrimu itu akan menjadi beban kita selamanya dan benar-benar menyandang status sebagai perawan tua?"
Napas Aruna tercekat. Bukan dirinya yang menjadi target utama kali ini, melainkan ibunya. Hatinya mencelos mendengar nada kesal dalam suara Meida, dan betapa cepat ibunya dihentikan ketika mencoba membela diri. "Tapi, Ibu-" Belum sempat Diandra menyelesaikan kalimatnya, Meida sudah memotongnya dengan kasar. "Tapi apa? Kalau saya memberi nasihat itu dengarkan dan lakukanlah. Jangan selalu membantah seperti itu!"
TAK.
Suara itu, suara sendok yang terlempar ke meja, mengejutkan Aruna. Itu Ayah. Dario. Selalu menjadi pembela yang tak terduga dalam drama keluarga ini. "Segera menikah atau tidak itu biarkan menjadi keputusan Aruna, Bu. Aruna yang menjalani kehidupan itu, bukan kita!" Secuil harapan menyelinap di hati Aruna. Setidaknya ada Ayah yang berpihak padanya.
Namun, Meida tentu saja tidak senang. Suaranya kembali mengudara, dipenuhi kemarahan. "Iya, ibu tahu itu urusan dan keputusan Aruna. Tapi, mau sampai kapan Aruna akan menjadi beban kamu, Dar?"
Akhirnya suasana di meja makan semakin memanas, Aruna hanya bisa berdiri di ujung tangga. Menyaksikan perdebatan sengit itu. Aruna menunggu hingga suara-suara sumbang itu benar-benar lenyap, dan hanya tersisa ibunya di meja makan. Ia menuruni tangga, melangkah mendekat.
"Aruna?" Raut wajah Diandra berubah cemas. Khawatiran apakah putrinya mendengar semua hinaan itu. Mata Diandra memindai wajah Aruna, mencari jejak kesedihan atau kemarahan.
"Ada apa, Ma?" tanya Aruna, mencoba terdengar setenang mungkin, walau hatinya berkecamuk. Ia harus menyembunyikan badai di dalam dirinya.
Secepat kilat, Diandra mengubah ekspresinya, tersenyum lemah. "Ah, tidak apa-apa, Una. Kamu mau sarapan? Biar mama persiapkan!" Diandra bangkit, berniat mengambil piring.
Aruna menggeleng. "Ma, ada yang ingin Aruna sampaikan!" Ucap Aruna ragu.
Diandra, yang tengah menyiapkan roti isi untuk putrinya, seketika menghentikan gerakannya, dan menatap Aruna dengan kening berkerut. "Ada apa?!" Sahutnya dengan suaranya penuh kekhawatiran.
"Ma, sepertinya besok Una akan memulai untuk tinggal sendiri!"
Hening. Ekspresi cemas terpancar jelas di wajah Diandra, "Apakah ini semua karena kamu lelah mendengar apa yang selalu nenek katakan?"
Aruna tersenyum, menggeleng, memaksakan diri terlihat santai. Ia harus berbohong. Demi Mama. "Memang apa yang nenek katakan? Apa nenek ada mengatakan sesuatu, Ma?" Ia berpura-pura tidak tahu, meski setiap kata Meida telah terukir jelas di benaknya, melukai jiwanya. 'Mungkin dengan begini, mama tidak akan diperlakukan seperti itu lagi setiap pagi,' pikir Aruna. Ia tak sanggup lagi melihat ibunya menderita.
"Oh, tidak. Tidak ada," sahut Mama, ekspresinya sedikit lega.
"Mama tenang saja! Lihat, Aruna sudah dewasa, Ma. Sudah saatnya Aruna belajar untuk hidup mandiri!" Aruna mencoba meyakinkan, tangannya menggenggam tangan Diandra erat.
Diandra menghela napas berat. "Bukannya mama tidak senang dengan keinginan kamu. Tapi, mama benar-benar tidak bisa jika harus membiarkan kamu untuk hidup sendiri di luaran sana!" Suara Diandra penuh kekhawatiran.
Aruna terkekeh, "Ma, sudah lama Aruna berniat untuk tinggal sendiri. Aruna janji akan mencari kompleks perumahan terdekat. Agar, kalau mama ingin berkunjung tidak perlu jauh-jauh!" Ia mencoba menawarkan kompromi, mencoba meyakinkan Diandra dengan akal sehat.
Melihat Diandra yang masih berat hati. Aruna tahu ia harus mengambil jalan pintas. Satu-satunya cara untuk membuat Mama benar-benar tenang dan berhenti mengkhawatirkannya. "Ma… Aruna tidak akan tinggal sendiri di sana, jadi mama tenang saja!"
Alis Diandra terangkat. "Maksud kamu?" Tatapan tajam penuh fokus itu menghantam Aruna. Jantungnya berdebar kencang. Ia sudah melangkah terlalu jauh, kebohongannya semakin besar.
"Aruna akan tinggal di sana dengan kekasih Aruna, Ma. Kami benar-benar menjalani hubungan yang serius dan berniat akan segera menikah. Saat kekasih Aruna nanti sudah siap, Aruna berjanji akan memperkenalkannya kepada mama!" Aruna asal bicara. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sebuah kebohongan yang terlalu besar, terlalu cepat, terlalu berani.
"Apa?!" Suara keterkejutan Diandra memenuhi ruangan.
*** *Di perusahaan Wijaya Corporation*"Aduh, bodoh. Bagaimana jika Mama benar-benar menagih janji itu? Siapa yang akan aku kenalkan nanti?" gumam Aruna, langkahnya cepat menyusuri koridor Wijaya Corporation.
Tumpukan berkas di tangan Aruna terasa berat, namun tidak seberat beban pikiran yang menghimpitnya sejak pagi. Kata 'menikah' yang asal keluar dari mulutnya saat berbicara dengan sang ibu, kini terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
'Aishhh, menikah dari mana? Sedangkan kekasih saja tidak punya,' batin Aruna, gelisah. Ia harus mencari solusi, segera. Bagaimana bisa ia menjelaskan ini kepada Diandra nanti? Ia tidak mungkin mempermalukan ibunya di kemudian hari. Pikiran Aruna berkelana, mencoba memikirkan siapa pun yang bisa ia 'pinjam' untuk drama ini. Wajah-wajah teman, kenalan, mantan, semua lewat di benaknya, namun tak ada satupun yang terasa cocok, atau bahkan mau diajak bersekongkol dalam kebohongan sebesar ini. Stres membuatnya nyaris tak fokus pada tujuannya.
Tujuan Aruna adalah ruangan CEO, tempat ia harus menyerahkan berkas-berkas penting yang sudah ditunggu. Jemarinya meraih gagang pintu, memutarnya perlahan.
Kriettttt.
Baru saja pintu terbuka sedikit, sebuah suara lantang dan penuh amarah langsung menyambutnya, membekukan langkahnya. "KELUAR DARI SINI! Sampai kapan pun, aku tidak akan menerima perjodohan ini!"
Itu suara Raynar, atasannya. Aruna tersentak. Belum pernah ia melihat atasannya semarah itu. Ekspresi kemarahan Raynar begitu intens, membuat Aruna ingin segera menghilang. Ia melihat seorang wanita cantik dengan pakaian rapi berdiri tegap di hadapan Raynar, berbicara dengan nada menantang. "Apa alasannya!? Keluargaku terpandang, aku pun tidak buruk. Kenapa kamu menolakku?"
Aruna menyadari ia datang di waktu yang sangat tidak tepat. Ini jelas pertengkaran pribadi, dan ia tidak ingin terlibat. Perlahan, ia mulai mundur, berharap tidak ada yang menyadari kehadirannya. Jantungnya berdegup kencang, antara rasa bersalah karena menguping dan ketakutan akan tertangkap basah. Namun, tiba-tiba saja Raynar bergerak. Tubuhnya mendekat. Panik menjalar di diri Aruna. Sebelum ia sempat bereaksi, Raynar sudah meraih pinggangnya, menariknya mendekat, hingga tubuh mereka nyaris bersentuhan. Aroma parfum Raynar yang maskulin langsung menyerbu indra penciumannya, dan kehangatan tangannya terasa aneh di pinggangnya.
"Karena aku hanya akan menikahi kekasihku ini."
Mata Aruna membelalak lebar. Kekasih? Ini gila! Dirinya? Terjebak di antara kekacauan perjodohan atasannya dan kebohongan besar yang baru saja ia buat kepada ibunya, Aruna merasa dunia baru saja terbalik. Bibirnya sedikit ternganga, otaknya berputar mencari penjelasan. Kebingungannya semakin menjadi-jadi. Apakah ini sebuah kebetulan, ataukah semesta sedang mempermainkannya dengan cara yang paling absurd? Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, hanya bisa berdiri terpaku dalam pelukan paksa atasannya, sementara wanita di hadapan mereka menatap Aruna dengan mata menyala penuh amarah. Sepertinya, Aruna baru saja menemukan masalah baru, yang mungkin bisa jadi solusi atas masalah lamanya. Atau justru memperburuk segalanya? Ia tak punya waktu untuk memikirkannya sekarang.
***
"Huftttt," desis Aruna, lega. Setibanya di area lobi hotel yang mewah dan ramai, ia segera melarikan diri dari Raynar dengan alasan klise yang terdengar masuk akal: kamar mandi. Itu adalah satu-satunya tempat yang terlintas di benaknya untuk menenangkan diri dan memproses apa yang baru saja terjadi.Di dalam kamar mandi, ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak memerah. "Sadar, Aruna," gumamnya lirih, mencaci dirinya sendiri. "Ini hanya sebatas hubungan kerja sama." Kata-kata itu ia ucapkan berulang kali, berharap bisa menenangkan debaran jantungnya yang masih belum normal. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rona di wajahnya segera mereda. Kecupan yang tak disengaja itu terasa seperti jejak panas yang tak bisa dihapus, membuatnya merasa malu dan canggung.Setelah yakin penampilannya telah kembali seperti biasa dan debaran jantungnya normal, Aruna memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Sudah cukup lama ia bersembunyi. Ia berharap Raynar sudah terlebih d
Cekrikkkk.Suara jepretan kamera, diikuti kilatan cahaya flash, memecah keheningan kantor catatan sipil. Aruna tersentak, jantungnya berdegup kencang. Di tangannya, tergenggam buku nikah berwarna merah, simbol pernikahan kontraknya dengan Raynar, sang atasan. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu cepat, mengubah hidupnya dalam sekejap.Aruna dan Raynar berjalan berdampingan keluar dari gedung, buku nikah itu menjadi saksi bisu perubahan status mereka. Raynar tersenyum tipis, matanya melirik sekilas foto mereka di dalam buku itu. 'Ahhh... sepertinya aku sudah gila,' batinnya, suara hatinya berbisik di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.Berbeda dengan Raynar yang tampak tenang, Aruna dilanda badai emosi. Ia mencubit lengannya sendiri, berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan ilusi. "Shhhh," desisnya lirih, rasa sakit di lengannya membuktikan bahwa ini nyata."Ada apa denganmu?" tanya Raynar, suaranya memecah lamunan Aruna.Aruna menoleh, matanya menatap Rayn
Keesokan harinya, Aruna tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Ada tumpukan pekerjaan yang menanti, tapi pikirannya melayang pada satu hal: pertemuan dengan Raynar. 'Bagaimana cara menyampaikan permintaan ini nanti?' batinnya bergejolak, keraguan dan kecemasan menari-nari di benaknya.Saat jam kantor dimulai, Aruna sudah tenggelam dalam pekerjaannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard laptop. Tak lama kemudian, Raynar muncul, diiringi asistennya, disambut sapaan serentak dari seluruh karyawan divisi."Pagi, Pak!" suara mereka menggema di ruangan luas itu.Raynar hanya mengangguk singkat, tatapannya dingin dan acuh tak acuh. Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas, menyaksikan ketampanan dan aura dominan Raynar. Namun, di balik kekaguman itu, terselip rasa takut. Mereka tahu, kemarahan Raynar bisa meledak kapan saja, menghancurkan ketenangan yang rapuh."Aruna, ikut ke ruangan saya!" perintah Raynar, suaranya sedingin es, tanpa menghentikan langkahnya yang mantap.DEG.Jan
"Siapa yang kau anggap pria liar, hmm?!" Mata elang Raynar menyipit, menatap Meida dengan tatapan tajam yang menusuk. Rahangnya mengeras, otot-ototnya menegang, menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Hinaan Meida terhadap Aruna, wanita yang kini berdiri di sampingnya, membuatnya murka.Aruna, yang merasakan aura kemarahan Raynar, mencengkeram lengan pria itu dengan cemas. Ia takut, sangat takut, jika amarah Raynar akan meledak, menghancurkan ketenangan malam itu.Meida, seolah tak gentar sedikit pun, menatap Raynar dengan tatapan tak kalah tajam. Ada campuran antara intimidasi dan penghinaan di matanya, merendahkan Raynar yang dianggapnya sebagai pria rendahan yang memelihara Aruna. 'Memang tampan,' batin Meida, matanya menelisik Raynar dari ujung kepala hingga ujung kaki, 'tapi sayang, hanya pria liar.'"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Meida, suaranya sinis, memecah keheningan malam. "Memang pasangan yang serasi, sama-sama rendahan," gumamnya, bibirnya melengkung sinis
Aruna yang lelah setelah seharian bekerja, sesampainya di rumah ia sudah di sambut dengan makian oleh Meida, nenek tirinya."Lihat, sudah jam berapa ini?!" Teriak Meida melihat Aruna baru saja masuk membuka pintu, bahkan gadis itu belum sempat melangkahkan kaki dan masih berdiri di ambang pintu, "Perusahaan mana yang mempekerjakan karyawannya hingga hampir tengah malam seperti ini? Atau jangan-jangan ... Selama ini uang yang kmu berikan kepada kami berasal dari pekerjaan yang tidak benar?!" Ucap Meida memojokkan Aruna."IBU?!" Dengan suara yang sedikit meninggi, Dario berusaha untuk menghentikan kalimat Meida yang pedas."Kamu berani membentak ibu demi membela anak ini?" Tanya Meida kesal."Dia juga anak ku, bu!" Sahut Dario, ia menatap sekilas ke arah Aruna. Melihat perlakuan Meida terhadap Aruna, ia merasa sangat bersalah. Merasa tidak bisa melindungi putri dan juga istrinya, karena istrinya juga pasti sakit hati mendengar bagaimana ibunya mencaci Aruna."Anak? Anak dari mana? Dia t
"Jangan berjalan sambil melamun!"Suara bariton itu memecah keheningan jalanan yang sepi. Aruna tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh, mendapati Raynar berdiri di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh misteri. 'Kenapa Pak Raynar bisa ada di sini?' batin Aruna, matanya menelisik sekeliling, mencari jawaban yang tak terlihat."Astaga?!" serunya, terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba."Ada apa?" tanya Raynar, melihat kebingungan di wajah Aruna."Ti-tidak," jawab Aruna gugup. "Emmm, bagaimana Anda bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Daerah ini dekat dengan rumah keluarganya, sementara kediaman Raynar berada di kawasan elit yang jauh dari sini.Raynar memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, tatapannya dingin namun penuh pesona. "Tentu saja, saya datang untuk menagih janji Anda," jawabnya datar, suaranya mengalun seperti beludru.DEG.Jantung Aruna berdebar semakin kencang. Ia ingat perjanjian itu, tawaran