"APA?!" Aruna dan Raisa sama-sama terkesiap, mata mereka membulat sempurna mendengar pengumuman tiba-tiba Raynar.
"Cih, Raynar, apa kau bercanda?" Raisa mendesis, tatapannya merendahkan pada Aruna. "Kau memilih wanita rendahan ini untuk bersaing denganku?"
Dengan langkah anggun yang penuh penghinaan, Raisa mendekati Aruna. Matanya menelisik penampilan Aruna dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah Aruna adalah makhluk asing yang menjijikkan.
"Wanita hina sepertimu," desis Raisa, suaranya tajam seperti belati, "apa kau pantas bersaing denganku, yang jelas-jelas terlahir dari keluarga terpandang?"
'Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?' Aruna membatin, jantungnya berdebar kencang. "Nona, sepertinya Anda salah paham..."
Belum sempat Aruna menyelesaikan kalimatnya, suara berat Raynar memotong, dingin dan tegas. Lengannya melingkar erat di pinggang Aruna, menariknya mendekat.
"Kenapa minta maaf, sayang?" bisik Raynar, suaranya berbisik namun penuh tekanan. "Biarkan semua orang tahu hubungan kita. Untuk apa lagi menyembunyikannya?"
"Tapi..." Aruna panik, matanya membulat ngeri. Apa yang dikatakan Raynar akan menghancurkan hidupnya.
"Ikuti permainanku," desis Raynar di telinga Aruna, napasnya hangat namun mengancam, "atau kupotong gajimu hingga tak bersisa!"
'Ya Tuhan, kenapa tidak sekalian kau penggal saja kepalaku, Pak?' Aruna membatin, ngeri membayangkan gajinya lenyap.
"Jika kau berhasil membuatnya pergi," bisik Raynar lagi, melihat Aruna terdiam, "akan kuberikan kenaikan gaji dan bonus yang sangat besar."
Kenaikan gaji dan bonus? Mata Aruna berbinar. Ia butuh uang itu, sangat butuh.
'Baiklah,' batinnya, tekadnya menguat. 'Hanya mengusirnya, apa susahnya?' Tanpa ia sadari, ia telah melangkah memasuki labirin masalah yang rumit.
"Hentikan sandiwara ini," desis Raisa, matanya menyipit curiga. "Aku tahu, kau hanya memanfaatkannya untuk mengusirku."
Aruna mengangkat dagunya, keberanian yang entah dari mana muncul. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Raynar, menatap Raisa dengan tatapan menantang.
"Benar," ucapnya, suaranya tenang namun menusuk. "Untuk apa menyembunyikannya lagi, sayang? Toh, kita akan menikah."
"Cih!" Raisa mengepalkan tangannya, amarahnya memuncak. "Lihat saja nanti!"
Raynar hanya menyunggingkan senyum tipis, matanya dingin dan penuh perhitungan.
"Kalian tidak akan pernah menikah!" teriak Raisa, wajahnya merah padam, napasnya memburu. "Tante Elisa tidak akan pernah merestui hubungan kalian!"
Dengan langkah marah, Raisa berbalik dan pergi, meninggalkan Aruna dan Raynar dalam keheningan yang tegang.
Aruna menghela napas lega, senyumnya merekah seperti bunga yang baru mekar. 'Akhirnya...' batinnya, rasa lega membanjiri dadanya setelah berhasil menyingkirkan Raisa. "Anda akan menepati janji Anda, kan, Pak?" tanyanya, menoleh ke arah Raynar yang berdiri tegak di sampingnya.
"Ehem," Raynar berdeham, tatapannya dingin dan datar. "Sampai kapan kamu akan memeluk saya?"
Aruna tersentak, menyadari tangannya masih melingkar di pinggang Raynar. Wajahnya memerah padam, ia segera melepaskan pelukannya dan mundur selangkah. 'Astaga, Aruna! Apa yang baru saja kamu lakukan?' batinnya, keningnya berkerut menyesali kecerobohannya. "Ma-maaf, Pak!" ucapnya tergagap.
Raynar tidak menjawab, matanya yang biru sedingin es menatapnya tanpa ekspresi. Ia berbalik dan melangkah menuju meja kerjanya yang besar dan mewah, duduk dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa. Aruna menelan ludah, bertanya-tanya apakah Raynar marah padanya.
"Kemari," perintah Raynar, suaranya singkat dan tegas, memecah kesunyian ruangan.
Dengan ragu, Aruna mendekati meja Raynar dan berdiri di depannya.
"Duduk," kata Raynar, menatap sekilas ke arahnya.
'Ya Tuhan, pria ini benar-benar irit bicara,' batin Aruna, merasa canggung dan sedikit takut. Perlahan, ia duduk di kursi yang ditunjukkan Raynar.
Raynar mengulurkan sebuah map putih ke arah Aruna. "Baca ini," ucapnya dengan nada dingin, "ini adalah surat perjanjian kita."
"Perjanjian?" Aruna terkejut, alisnya terangkat. Perjanjian apa? Bukankah tadi hanya kesepakatan untuk mengusir Raisa?
"Kamu sudah bersedia membantuku, kan?" jelas Raynar, "jadi, kita harus menyelesaikan drama ini sampai akhir."
"Apa?!" Aruna tersentak, firasat buruknya terbukti.
"Kamu tidak bersedia?" tanya Raynar, menegakkan tubuhnya dan menatap Aruna dengan intens. Tatapan matanya yang tajam membuat Aruna merasa seperti diinterogasi. "Kamu boleh membacanya dulu. Saya beri kamu waktu sampai jam pulang kantor untuk memikirkannya."
Aruna mengangguk kaku, menerima map itu dengan tangan gemetar. Ia membuka map itu dan mulai membaca isinya. Setiap poin yang tertera tampak menguntungkan, bahkan terlalu menguntungkan. Namun, ada satu poin yang membuatnya terdiam, jantungnya berdebar kencang. 'Apa Pak Raynar tidak salah? Kami harus tinggal bersama?'
"Ada apa?" tanya Raynar, matanya yang biru sedingin es menatap Aruna dengan tajam. Ia melihat perubahan ekspresi di wajah Aruna, dari tenang menjadi tegang.
"I-ini, apa tidak salah, Pak?" tanya Aruna, suaranya bergetar, sambil menunjuk poin yang membuatnya bimbang. Ia ragu, apakah tawaran menggiurkan ini sepadan dengan konsekuensinya.
Raynar membaca poin yang ditunjuk Aruna dengan ekspresi datar, auranya yang tenang namun mengintimidasi. "Memangnya kenapa? Apa salahnya jika sepasang kekasih tinggal bersama?"
'Sebenarnya tidak ada yang salah, Pak,' batin Aruna, 'jika saja hubungan ini nyata.' "Hubungan kita hanya sebatas kerja sama, Pak. Saya rasa kurang etis jika kita tinggal bersama," ucap Aruna hati-hati, berusaha menjelaskan tanpa menyinggung perasaan Raynar.
Kening Raynar berkerut tipis, matanya menyipit. "Justru karena ini kerja sama, bukankah akan lebih meyakinkan jika kita tinggal bersama?"
Aruna terdiam, kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan. Bagaimana cara menjelaskan bahwa usul ini terlalu berlebihan?
"Saya tahu, kamu sedang mencari tempat tinggal, kan?" tebak Raynar, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Dengan tinggal bersamaku, bukankah itu akan menguntungkanmu dan juga saya?"
Aruna terkejut, bagaimana Raynar bisa tahu masalah pribadinya? "Anda tahu dari mana, Pak?"
Raynar tersenyum miring, misterius. "Itu tidak penting. Yang terpenting, tawaran ini akan sangat membantumu, Aruna. Bukankah kamu kesulitan mencari alasan untuk keluar dari kediaman Dinata?"
Aruna tersentak. Raynar benar. Ia memang sedang mencari cara untuk keluar dari rumah keluarga Dinata, rumah dari keluarga Ayah tirinya yang tidak pernah menghargai kehadirannya.
"Anda..." Aruna kehilangan kata-kata. Bagaimana Raynar bisa tahu semua ini?
"Jadi, bagaimana?" tanya Raynar, suaranya lembut namun penuh tekanan. "Apakah kamu menerima tawaran saya?"
Aruna menatap Raynar, matanya mencari jawaban di balik tatapan dingin itu. Ia terjebak dalam dilema. Tawaran ini terlalu bagus untuk ditolak, namun konsekuensinya terlalu besar.
***
Raisa mematung, harga dirinya seakan hancur diinjak-injak. Rasa malu bercampur amarah membakar di dadanya. Tamparan yang gagal mendarat di pipi Aruna kini terasa lebih perih daripada apa pun. Ia menatap Raynar, berharap pria itu akan membelanya, tetapi tatapan dingin Raynar dan kalimatnya yang tajam bagai ribuan pisau menghujamnya."Jangan pernah sentuh istriku lagi. Jika kamu melakukannya, aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkanmu," suara Raynar yang menggelegar penuh ancaman masih terngiang di telinganya.Aruna yang berada di pelukannya hanya bisa terdiam. Walaupun Aruna terlihat santai, namun ia berusaha menahan getaran di tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan seluruh karyawan di kantor itu, menuduh, menghakimi, dan penuh rasa ingin tahu.Raynar mengabaikan Raisa. Ia semakin mengeratkan pelukan itu, seolah ingin melindunginya dari semua mata yang mengawasi. Tiba-tiba, Raynar mengeluarkan ponselnya dan menelepon asistennya. "Siapkan meeting sekarang juga di lantai utama. Kumpul
Tebakan Jessica meleset. Ia menduga Raynar akan panik dan menangkapnya saat ia pura-pura terjatuh. Tapi tidak. Sedikit pun Raynar tidak bergeming. Ia hanya menatap Jessica yang jatuh dengan tatapan dingin, bahkan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sangat santai.BUKK!Tubuh Jessica membentur lantai dengan keras. Rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya, tetapi yang lebih sakit adalah harga dirinya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Raynar yang masih berdiri dengan santai."Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Aruna tiba-tiba memecah keheningan.'Sialan.' Jessica mengumpat dalam hati. Kesalahpahaman yang ingin ia ciptakan gagal total. Ini adalah momen yang sangat pas, tapi sayangnya tidak sesuai ekspektasinya. Ia masih terduduk di lantai, rasa sakit dan malu membaur menjadi satu.Melihat kedatangan Aruna, Raynar menyambut dengan seulas senyum. Ia melangkah melewati Jessica yang masih terduduk di lantai, seolah Jessica hanyalah batu yang menghalangi jalannya. Raynar menghamp
Jessica melangkah masuk ke dalam restoran mewah dengan senyum penuh percaya diri. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari seorang kenalan, Raynar dan Aruna sering makan siang di sini. Ia telah merencanakan pertemuan ini dengan matang, mengenakan gaun yang paling indah dan riasan yang paling menawan, berharap bisa menarik perhatian Raynar.Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan mereka. Raynar dan Aruna duduk di meja sudut, dekat jendela, terlihat begitu serasi. Raynar sesekali tersenyum mendengar cerita Aruna. Pemandangan itu membuat Jesicca tidak suka.Jessica mendekati meja mereka, berpura-pura terkejut. "Kak Aruna? Kakak ipar?" sapanya dengan suara riang yang dibuat-buat.Aruna mendongak, alisnya sedikit berkerut heran, tidak menyangka akan bertemu Jessica di sini. "Jessica? Sedang apa kamu di sini?"Raynar menoleh, alisnya sedikit terangkat. Ia menatap Jessica dengan tatapan dingin, yang langsung membuat senyum Jessica memudar."Aku sedang makan siang dengan klienku," j
Hari itu, Raynar benar-benar mengumumkan hubungannya dengan Aruna. Pria tampan dengan mata elang itu tidak peduli dengan penolakan dari keluarganya. Di dalam gedung Wijaya Corporation, seluruh karyawan benar-benar terkejut. Suasana menjadi riuh, dipenuhi bisikan-bisikan. Hubungan tak terduga antara Bos dan sekretarisnya itu menjadi topik utama di seluruh perusahaan."Pak..." Aruna berdiri di balik kaca penyekat, menatap keramaian di luar. Ia ingin keluar untuk mengambil sesuatu, tetapi kakinya terasa berat. Ia tidak punya tenaga untuk menghadapi tatapan dan bisikan-bisikan itu."Hmmm. Ada apa?" sahut Raynar lembut. Ia tersenyum kecil dari meja kerjanya, menatap Aruna yang terlihat cemas seperti buronan. "Apa kamu tidak nyaman dengan mereka? Apa kamu ingin saya memecat mereka?" tanya Raynar, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Aruna, dengan satu tangan di saku celana. Ia menunjuk ke arah beberapa karyawan yang bergosip di seberang kaca."Pak, jangan aneh-aneh, dong!" prote
BRAKKK!Pintu itu terbuka. Pemandangan pertama yang dilihat oleh CEO muda itu benar-benar membuatnya sangat khawatir. Dengan membawa ponsel Aruna yang ia temukan di depan pintu toilet, Raynar melangkah lebar menghampiri Aruna yang terduduk di atas lantai, di sudut tembok salah satu bilik toilet."Ada apa?!" paniknya, berjongkok di depan Aruna dan segera memeluk gadis itu.Aruna yang saat itu masih syok atas kejadian yang baru ia alami, hanya bisa menangis di dekapan Raynar. Usapan halus Raynar di rambutnya, cukup membuatnya merasa nyaman. Air matanya terus mengalir, membasahi jas mahal yang dikenakan oleh CEO muda itu."Siapkan mobil sekarang!" perintah Raynar kepada asistennya, Arland, yang kebetulan berada di sana untuk menyampaikan hal penting tentang perusahaan."Baik, Pak," sahut Arland, sigap.Tanpa menunggu lama, Raynar mengangkat tubuh Aruna. Dengan gagahnya ia melangkah di tengah banyaknya pasang mata yang melihatnya ketika melintasi lobi."Sembunyikan wajahmu," bisiknya lemb
Raynar dan Aruna melangkah masuk ke ruang rawat. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan suasana dingin dan kaku. Di sana, Elisa duduk di samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Bara yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Raisa berdiri di sudut ruangan, matanya memancarkan amarah yang tak bisa disembunyikan melihat Raynar dan Aruna. "Raynar, kenapa kamu baru datang?" tanya Elisa panik. "Ayahmu..." Aruna merasa bersalah. Ia menyadari semua ini terjadi karena dirinya. Raynar mengabaikan pertanyaan ibunya dan mendekati ranjang Bara, membiarkan Aruna tetap di sampingnya. Aruna merasakan tatapan Raisa yang menusuk, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kenapa kamu bawa wanita itu kemari? Apa kamu sengaja memperburuk keadaanku?" tanya Bara. Suaranya lemah, menatap Raynar dengan tatapan sulit diartikan. "Raynar, apa kamu tidak bisa melihat kondisi ayahmu sekarang?" teriak Raisa, campur aduk antara emosi, cemburu, dan frustrasi. "Hubungan kami tidak ada hubungannya dengan kondisi