***
Sekar duduk di tepi ranjang di kamar sederhananya, rambut panjang hitamnya terurai, kaus longgar dan celana pendek terasa nyaman namun tak mampu menenangkan jantungan yang berdegup kencang. Ponsel di tangannya bergetar tanpa henti, layar penuh notifikasi media sosial yang berdatangan bagai badai. Matanya menyipit, jari-jari ragu saat membuka aplikasi. Ratusan ribu komentar membanjiri akunnya, sebagian besar pedas dan penuh fitnah. “Penari murahan, cuma kejar duit bule!” “Sanggar Ketuk Tilu cuma kedok!” “Haram, nikah sembunyi!” “Jangab-jangan dia sudah hamidun di luar nikah! Menyeramkan!” “Ternyata wajah cantiknya dia manfaatkan untuk uang!”
Sekar membelalak, napas tersengal. “Fitnah apa ini?!” gumamnya, tangan gemetar memegang ponsel.
Ia membuka berita terpopuler. Jantungnya hampir berhenti. Foto dirinya dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pria blasteran bermata hijau, tersebar luas. Gambar itu menangkap momen memalukan di tangga festival budaya Sunda kemarin—Ethan memegang pinggangnya, wajah mereka terlalu dekat setelah ciuman tak sengaja. Judul berita mencolok: “Pernikahan Rahasia Penari Jaipong dan Pengusaha Blasteran yang menjadi Sponsor Utama!” Sekar menutup mulut, mata membelalak. “Nikah? Diam-diam?!” serunya, suara panik. “Ini bohong! Aku cuma nabrak dia! Kenapa jadi begini?!”
Ponselnya berdering, nomor panitia festival. Sekar mengangkat dengan tangan gemetar. “Halo?” tanyanya, suara tegang.
“Teh Sekar, ini Dika dari panitia,” kata suara pria di ujung sana, penuh rasa bersalah. “Maaf sekali, Teh… kemarin ada kesalahan fatal. Dokumen yang Teteh tanda-tangani… itu bukan formalitas biasa. Itu akta nikah. Tercampur dengan dokumen nikah massal di festival.”
Sekar mematung, napas tersengal. “Akta nikah?!” bentaknya, suara meninggi. Ia bangkit, mondar-mandir di kamar kecilnya, tangan menjambak rambut. “Kalian ceroboh banget, Dika! Kalian tahu nggak, sanggar Ketuk Tilu-ku dihujat gara-gara ini?! Aku susah payah bangun sanggar itu! Aku influencer, reputasiku hancur!” Air mata mulai menggenang, tapi kemarahannya lebih kuat. Sanggar Ketuk Tilu adalah mimpinya—tempat anak-anak kampung belajar tari Jaipong dan budaya Sunda, dibangun dengan keringatnya selama bertahun-tahun.
“Maaf, Teh, sungguh!” kata Dika, suara gemetar. “Panitia baru, banyak yang nggak paham. Akta itu sudah ke KUA, dan… sekarang bocor ke media. Kami coba benahi, tapi—”
“Benahi?!” potong Sekar, tangan mengepal. “Kalian hancurkan hidupku! Sanggarku dikira sarang maksiat! Kalian tahu berapa lama aku kumpulkan dana untuk anak-anak itu belajar tari?!” Ia menutup wajah, air mata akhirnya jatuh. “Kalian harus tanggung jawab, Dika!”
“Maaf, Teh,” ulang Dika, hampir menangis. “Kami akan klarifikasi. Tapi… Tuan Ethan juga tanda-tangani dokumen itu. Mungkin Teteh bisa bicara sama dia?”
Sekar mengatupkan rahang, kemarahan membuncah. “Ethan? Pria arogan itu?” katanya, suara dingin. “Dia pasti senang lihat aku jatuh!” Ia menutup telepon, melempar ponsel ke ranjang, dan merosot ke lantai, memeluk lutut. “Gila! Aku nggak nikah sama dia!” batinnya, kepala pening membayangkan wajah Ethan—mata hijau yang menyelidik, senyum sinis yang tak terbaca.
Pintu kamar terbuka. Lila, teman penarinya, masuk dengan wajah cemas. “Teh Sekar, kamu baik-baik aja?” tanyanya, duduk di samping Sekar. Ia melirik ponsel di ranjang. “Aku lihat berita… Teh, kamu beneran nikah sama Tuan Ethan?”
Sekar menggeleng keras, rambut bergoyang. “Nggak, Lila! Itu kesalahan!” katanya, suara gemetar. “Aku cuma nabrak dia di tangga dan tidak sengaja menciumnya, terus… kecelakaan itu. Sekarang sanggarku dihujat, anak-anakku dikira belajar di tempat nggak bener!” Ia menutup wajah, air mata kembali mengalir. “Aku cuma mau anak-anak kampung punya mimpi, Lila. Kenapa jadi begini?”
Lila memeluknya, tangan mentepuk pundak Sekar. “Teh, tenang. Kamu kuat, sanggar itu juga kuat,” katanya, suara penuh semangat. “Kamu influencer, penari hebat, guru yang dicintai anak-anak. Kita lawan fitnah ini bareng, oke?”
Sekar mengangguk pelan, menyeka air mata. “Makasih, Lila,” gumamnya, senyum kecil muncul. “Aku nggak boleh nyerah. Anak-anak nunggu aku ngajar sore ini.”
Dewi, asistennya di sanggar, masuk dengan wajah cemas. “Teh Sekar, punten,” katanya, suara hati-hati. “Ada Pak Bima di depan, mau bicara sama Teteh.”
Sekar membelalak, jantungan meloncat. “Utusan si iblis bermata hijau!” batinnya, kemarahan menyala. Ia menarik napas, mencoba tenang. “Oke, Dewi. Aku ke sana,” katanya, bangkit dan merapikan kaus. Ia melirik Lila. “Lila, aku ketemu dia dulu. Doain aku nggak ngebentak orang.”
Lila terkikik. “Kalau dia macem-macem, kabarin aku. Kita hajar bareng!” katanya, mengacungkan tinju.
Sekar tersenyum kecil, lalu berjalan ke teras. Bima berdiri di sana, kemeja rapi, memegang ponsel, wajahnya sopan tapi tegang. “Teh Sekar, selamat pagi,” sapanya, tersenyum tipis. “Maaf ganggu pagi-pagi.”
Sekar menyilangkan tangan, menatapnya dengan curiga. “Ada apa, Pak Bima?” tanyanya, nada dingin. “Kenapa datang lagi? Apa lagi yang tuannmu mau dari hidupku?”
Bima menarik napas. “Saya datang ingin mengingatkan kalau Tuan Ethan ingin bertemu Teteh sore ini, di vilanya di Lembang,” katanya, suara tegas tapi hati-hati. “Soal akta nikah. Dan… reputasi sanggar Teteh.”
Sekar mematung, kemarahan membuncah. “Reputasi sanggarku?!” bentaknya, melangkah maju. “Dia ancam aku? Sanggar Ketuk Tilu adalah hidupku! Aku nggak akan biarkan dia main-main sama mimpi anak-anakku!”
Bima mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Teh, dengar dulu,” katanya, nada mendesak. “Jika Teteh nolak, fitnah di media akan makin besar. Publik akan serang Teteh sebagai ‘penari penggoda’. Sanggar Teteh bisa tutup.”
Sekar terdiam, kata-kata Bima seperti pukulan. Ia melirik ke jendela, ke halaman sanggar di seberang jalan. Anak-anak didiknya sedang berlatih Jaipong, tawa mereka samar terdengar. Wajah mereka penuh mimpi—mimpi yang Sekar bangun dengan perjuangan bertahun-tahun. “Anak-anak itu harapanku,” batinnya, air mata hampir jatuh lagi. Tapi ia menegakkan kepala, matanya berkilat. “Baiklah,” katanya, suara pelan tapi penuh tekad. “Aku ke sana sore ini. Bukan karena dia. Aku lakukan ini untuk sanggarku, untuk anak-anakku.”
Bima mengangguk, lega. “Terima kasih, Teh. Saya kirim alamatnya sekarang,” katanya, mengetik di ponsel. “Jam empat sore, di vila Tuan Ethan. Pertemuan ini rahasia, karena media lagi heboh.”
Sekar menggeleng tegas. “Nggak perlu dijemput,” katanya, suara tegas. “Aku bisa ke sana sendiri. Aku nggak takut.” Ia menatap Bima, matanya penuh api. “Katakan pada Tuan Ethan, kalau dia pikir bisa ngatur hidupku, dia salah besar.”
Bima membelalak, lalu tersenyum kecil. “Baik, Teh,” katanya, mengangguk sopan sebelum berbalik ke mobilnya.
Sekar berdiri di teras, angin pagi membawa aroma melati dari kebun kecilnya. “Ethan Wiratama Van der Meer,” gumamnya, tangan mengepal. “Aku nggak tahu apa maumu, tapi aku nggak akan biarkan sanggarku hancur.”
***
Sore di Lembang terasa sejuk, kabut tipis menyelimuti vila mewah Ethan di lereng bukit. Sekar tiba dengan ojek online, mengenakan dress panjang krem yang sederhana namun anggun, rambut hitamnya terurai tertiup angin. Matanya berkilat penuh tekad, meski jantungan tak henti berdegup. Ia melangkah ke pintu utama, tangan mengepal, siap menghadapi pria yang telah mengacaukannya.
Di ruang baca vila, Ethan berdiri dekat jendela, kaos putih dan celana linen membuatnya tampak santai, tapi mata hijaunya tajam, penuh teka-teki. Ia memegang gelas anggur, jari mengetuk kaca dengan irama pelan. Pintu terbuka, Bima masuk. “Tuan Ethan, Teh Sekar sudah datang,” katanya, suara sopan.
Ethan mengangguk, senyum licik muncul di bibirnya. “Bawa dia masuk,” perintahnya, suara dalam dengan aksen Belanda yang khas, lalu berbalik menghadap jendela.
Sekar melangkah masuk, langkahnya tegas meski matanya waspada. Ia berhenti di tengah ruangan, menyilangkan tangan, menatap Ethan dengan ekspresi dingin. “Aku di sini,” katanya, suara tegas. “Bilang apa yang kamu mau, Tuan Ethan. Aku cuma datang untuk sanggarku.”
Ethan berbalik perlahan, mata hijaunya menyapu Sekar dari atas ke bawah. “Kau datang tepat waktu, Nona Sekar,” katanya, suara rendah, penuh sindiran. Ia melangkah mendekat, tangan di saku, senyum licik melebar. “Aku suka itu. Tapi… kau yakin cuma untuk sanggar? Atau mungkin kau penasaran dengan ‘suami’ barumu?”
Sekar mengepal tangan, kemarahan membuncah. “Jangan main-main!” bentaknya, matanya berkilat. “Aku nggak pernah minta nikah sama kamu! Ini cuma kesalahan, dan sekarang sanggarku dihujat gara-gara kamu! Bilang, apa maumu?!”
Ethan tertawa kecil, suaranya dalam dan menjengkelkan. Ia berhenti beberapa langkah darinya, mata hijau menyelidik. “Tenang, Nona,” katanya, nada dingin tapi penuh teka-teki. “Kita punya banyak hal untuk dibicarakan… tentang masa depan sanggarmu. Dan mungkin, masa depan kita.”
***
***Ethan berdiri di sisi lain ballroom, diapit oleh ibunya, Raden Ayu Ratu Ayuningtyas Wiratama, dan beberapa sepupu dari keluarga besar Wiratama. Tuksedonya hitam sempurna, tapi rahangnya tegang. Ratu, dengan gaun sutra merah dan perhiasan berlian, menatap anak sulungnya dengan alis terangkat, wajahnya penuh kekecewaan.“Ethan, kamu baru kembali ke tanah air, dan Mami kecewa karena kamu telah menikah,” suara Ratu terdengar tenang tapi tajam. “Kenapa kamu tidak memberitahu keluarga Wiratama? Kamu tidak memikirkan Mami? Ibu kandungmu?”Ethan menoleh perlahan. “Menikah yang penting sah, kan?” katanya datar, menyandarkan punggung ke dinding. “Dan untuk masalah istri, biarkan aku yang menentukan. Papi juga tidak mempermasalahkannya.”Ratu menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir dengan bunyi kecil di meja kaca.“Ethan, kita ini berada di keluarga ningrat. Keluarga Wiratama tak pernah salah memilih menantu.” Ia menatap tajam ke arah anak sulungnya. “Dan wanita yang kamu pilih? Seor
***Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam
***Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya d
***Sekar duduk di tepi ranjang di kamar sederhananya, rambut panjang hitamnya terurai, kaus longgar dan celana pendek terasa nyaman namun tak mampu menenangkan jantungan yang berdegup kencang. Ponsel di tangannya bergetar tanpa henti, layar penuh notifikasi media sosial yang berdatangan bagai badai. Matanya menyipit, jari-jari ragu saat membuka aplikasi. Ratusan ribu komentar membanjiri akunnya, sebagian besar pedas dan penuh fitnah. “Penari murahan, cuma kejar duit bule!” “Sanggar Ketuk Tilu cuma kedok!” “Haram, nikah sembunyi!” “Jangab-jangan dia sudah hamidun di luar nikah! Menyeramkan!” “Ternyata wajah cantiknya dia manfaatkan untuk uang!”Sekar membelalak, napas tersengal. “Fitnah apa ini?!” gumamnya, tangan gemetar memegang ponsel.Ia membuka berita terpopuler. Jantungnya hampir berhenti. Foto dirinya dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pria blasteran bermata hijau, tersebar luas. Gambar itu menangkap momen memalukan di tangga festival budaya Sunda kemarin—Ethan memegang pingga
***Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” u
***Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!